Jumat, 01 November 2024

Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan


Dari kejauhan, bangunan itu tampak berdiri megah. Bangunan yang bagian separuh ke atas itu berwarna putih menjadi pusat perhatian. Tak ada hal menonjol lain di sekitarnya. Pohon-pohon kurma yang ada di salah satu sisi bangunan terlihat biasa saja.

Memasuki pintu salah satu masjid itu, bagian utama masjid ternyata tidak begitu luas. Ruangnya melebar ke samping. Dua lampu berbentuk lingkaran dan bersusun yang lurus dengan tempat imam tampak menarik perhatian. Lampu serupa ada di bagian lain masjid itu. Sebagian besar orang-orang di ruangan itu melaksanakan shalat.

Di seberang ruang utama itu, ada ruang terbuka yang seperti menjadi halaman dalam masjid. Halaman dalam itu dikelilingi semacam ruang teras yang menjadi bagian terluar bangunan masjid. Cahaya matahari masuk melalui halaman tengah di dalam masjid itu, memberikan penerangan alami ke bagian dalam masjid bersejarah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah itu.

Ya, itu adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Masjid Quba, berjarak sekitar 4 km dari Masjid Nabawi di kota Madinah. Dengan hanya tinggal selama tiga sampai empat hari di Quba, yang dimaksud Rasulullah “membangun masjid” tentunya tak bisa kita bayangkan seperti pembangunan masjid saat ini. Saya berpikir mungkin Rasulullah hanya menetapkan tempat itu sebagai masjid atau tempat shalat bersama untuk umat Islam. Mungkin Rasulullah memancangkan batas-batas area masjid di situ dan membuat pondasi.

Lebih dari sekadar detail yang bersifat teknis, masjid pertama itu merefleksikan banyak hal dalam perkembangan sejarah Islam baik secara personal bagi seorang muslim maupun secara sosial dalam konteks masyarakat Islam. Itu hal yang ada dalam pikiran saya saat akan memasuki masjid itu.

Saya teringat refleksi yang ditulis oleh Tariq Ramadan dalam buku In the Footsteps of the Prophet ketika menuturkan pendirian masjid pertama dalam peristiwa hijrah Rasulullah. Menurut Tariq Ramadan, pembangunan masjid itu “menunjukkan signifikansi dan sentralitas masjid dalam hubungannya dengan Tuhan, ruang, dan masyarakat”. Ruang semesta yang dalam pandangan spiritual Islam bersifat sakral mendapatkan label khusus sebagai ruang suci setelah ditetapkan sebagai “tempat bersujud” (masjid). Sebagai “tempat bersujud”, ia adalah tempat hamba merendahkan dan menundukkan ego di hadapan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Kesucian ruang itu menegaskan bahwa ada hubungan antara ruang tertentu dan penghayatan spiritualitas. Secara objektif, ruang mungkin hanya dibedakan oleh detail spesifikasi teknis. Tapi secara subjektif, ruang menjangkau nilai sejarah dan nilai lainnya sehingga dapat membawa pada makna penghayatan spiritualitas tertentu. Mungkin itu juga akan terkait dengan “wadah” dan kesiapan subjek untuk menampung makna ruang tersebut. Jejak dan pengalaman hidup, wawasan dan pengetahuan, serta rekam penghayatan interaksinya dengan semesta membentuk wadah subjektif tersebut.

Masjid menurut Tariq Ramadan juga adalah gambaran realitas kehidupan menetap, tempat kesadaran keimanan menemukan rumah tinggalnya. Rasanya bukanlah suatu kebetulan bahwa masjid ini dibangun dalam momentum hijrah. Dalam kehidupan umat Islam di Mekah, keimanan mereka mungkin bisa dibilang masih berada dalam status “kehidupan nomad”. Kesadaran keimanan masih terombang-ambing dalam pengasingan karena tak menemukan rumah tempat berpulang. Tak ada masjid di era Mekah. Umat Islam masih terlunta-lunta, berjuang mengokohkan keimanan dalam deraan dan tekanan kaum kafir. Masyarakat muslim belum cukup kuat untuk membangun rumah keimanan mereka dalam skala komunal.

Dengan mendirikan masjid, Rasulullah menegaskan satu titik penting poros kehidupan bermasyarakat. Masjid adalah rumah—rumah bersama. Dalam keterombang-ambingan, baik dalam sebuah perjalanan atau pengasingan, masjid adalah tempat berpulang agar seorang muslim tidak kehilangan arah dan makna.

Namun begitu, pemaknaan masjid yang sedemikian itu akan berhadapan dengan kenyataan objektif dan subjektif seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga penghayatan keagamaannya. Norma ideal akan berhadapan dengan fakta dan kenyataan. Apakah seorang muslim sudah menempatkan masjid sebagai ruang suci dan poros keimanannya? Seberapa intens dia menjadikan masjid dalam pemaknaan dan penghayatan tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif? Bagaimana upaya sebuah komunitas untuk menjadikan masjid sebagai ruang bersama tempat berbagi penghayatan keagamaan dalam pengertian yang luas? Bagaimana masjid dikelola untuk menampung keragaman latar dan karakter individu dalam sebuah komunitas?

Kunjungan saya ke Masjid Quba di akhir September lalu memantik refleksi dan pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan yang tentu kembali ke diri saya juga. Pertanyaan yang juga mengundang semacam kegelisahan. Pertanyaan yang mengingatkan saya pada pengalaman 15 tahun yang lalu, saat saya mencari dan menemukan masjid di sebuah kota kecil di Zeist, Utrecht, dalam episode “pengasingan” saya.

Saat saya berpisah dengan sebuah ruang suci dengan nilai sejarah yang kental itu, saya khawatir pertanyaan-pertanyaan penting ini kemudian tenggelam dalam rutinitas sehari-hari. Pertanyaan pengingat ini bisa saja kemudian berhenti berdering dan tak berdaya. Tapi mungkin dengan menuliskannya, setidaknya saya berharap dapat merawat pertanyaan dan kegelisahan ini agar tidak hilang begitu saja ditelan waktu.

Saya juga percaya bahwa suatu saat mungkin pertanyaan-pertanyaan itu akan menjelma kerinduan—pada ruang suci dengan sosok agung dan sejarah yang melingkupinya.


Read More..

Kamis, 15 Agustus 2024

Decolonizing Javanese-Islamic Identity in the Discourses of Contemporary Indonesian Islamic Studies


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena dekolonisasi studi Islam sebagai kelanjutan dari proyek kritik postkolonial yang marak di berbagai wilayah kajian. Secara khusus, tulisan ini ingin menjawab dua persoalan pokok, yakni tentang latar dan landasan dekolonisasi studi Islam serta pergulatannya dalam diskursus Islam Indonesia dengan mengambil fokus pada isu identitas Islam-Jawa. Dengan menganalisis data-data yang relevan, tulisan ini menyimpulkan bahwa dekolonisasi dilatarbelakangi oleh keresahan para ilmuwan atas dampak kolonialisme di wilayah akademik-ilmiah yang membentuk konstruksi budaya yang menindas. Dekolonisasi berusaha melampaui proyek postkolonial yang pada titik tertentu masih dibayang-bayangi oleh gagasan-gagasan tokoh Barat. Landasan epistemologis dekolonisasi berupa pendekatan kritis dalam studi agama pada umumnya yang juga melibatkan faktor politik pengetahuan pada salah satu dimensinya. Dalam konteks identitas Islam-Jawa, dekolonisasi berusaha menegaskan jalinan erat antara kejawaan dan keislaman yang cenderung dipisahkan oleh jejak kajian kolonial.

Tulisan selengkapnya bisa dibaca di sini.

Read More..

Rabu, 10 Juli 2024

Dari Sudut Ruang di Kursi Tunggu


Dari sudut ruang di kursi tunggu ini, saya menatap pintu itu lekat-lekat. Saya membaca nama-nama itu. Dua nama itu. Satu menangani ayah saya, sepuluh tahun lalu, dalam waktu tidak lebih dari 2x24 jam, sebelum kemudian ayah saya meninggal dunia di rumah sakit ini. Nama lainnya menangani ayah-mertua saya selama sekitar 2 bulan hingga beliau meninggal di awal Ramadan lalu.

Dan saya terduduk di sini, menunggu panggilan untuk bertemu dengan dokter itu.

Pikiran saya masih dipenuhi dengan baris-baris kalimat dalam berkas tugas kuliah yang belum selesai. Hari ini adalah hari terakhir penyetoran tugas. Tapi saya harus menemui dokter itu untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan laboratorium dua hari yang lalu. Harus hari ini, karena berkaitan dengan obat yang harus saya minum dan beberapa keluhan yang saya alami sekitar 2 bulan terakhir. Saya tidak bisa menunda.

Tiba-tiba bayangan pikiran saya dilempar ke momen tahun lalu. Ya, tahun lalu saya juga duduk di sini. Hampir persis tahun lalu. Waktu itu pertengahan Juni. Saya duduk di sini tahun lalu untuk mengurus berkas pendaftaran beasiswa studi saya yang mensyaratkan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Dan di akhir semester perkuliahan ini saya harus bertemu dengan dokter yang sama untuk masalah kesehatan saya sendiri.

Saya telah menjalani satu tahun yang penuh warna. Jogja, Astra Seroja, kereta, bus Eka, suka duka. Oiya, ada juga yang masih satu wazan: Mas Anta. Satu tahun yang ternyata di antaranya dimulai dari sini, dan juga titik akhirnya di ujung semester kedua ini juga saya masih harus ke sini. Seperti cerita David Webb yang berburu identitasnya di sekuel Bourne edisi kedua ke Johnston Medical Clinic yang merupakan tempat Special Research Development proyek Treadstone.

Lembar demi lembar perjalanan satu tahun melintas dalam pikiran saya. Rasanya begitu cepat waktu berlalu. Saya bersyukur bahwa saya telah berdiri di sini, di lintasan terakhir sebelum mencapai garis finish etape pertama.

Ada momen-momen yang rasanya sayang jika tak dituliskan. Momen yang mungkin memang tidak akan terulang dan rekamannya ingin saya bagikan. Saya membayangkan saya berharap bahwa nanti anak saya akan membacanya, seperti beberapa bulan lalu saat anak saya membaca petikan cerita saya yang ketinggalan kereta terakhir di Frankfurt dan harus kedinginan dan menjadi “gelandangan” semalam di penghujung 2009 dahulu.

Satu tahun perjalanan ikhtiar untuk merawat passion dan semangat keilmuan dalam diri saya yang saya rasakan sempat redup sebelumnya di antara rutinitas kegiatan saya. Ya, rasanya saya memang telah diserang virus itu: rutinitas, yang sering saya sampaikan di kelas bahwa itu adalah musuh terbesar filsafat yang dapat menenggelamkan kita dan membutakan kita dari sikap kritis dan reflektif.

Satu tahun ini, saya sudah diajak melihat-lihat kios gagasan. Menekuri lembar-lembar kertas, menelusuri jurnal-jurnal. Diskusi-diskusi di kelas. Waktu yang terasa berlari cepat dan menyempit saat menuntaskan tugas ulasan bacaan. Daftar bacaan yang seperti tak habis-habis, seperti Sisifus yang mendorong batu-batu. Lebih dari itu, ada orang-orang yang saya jumpai. Persona, bukan sekadar nama-nama. Para guru, rekan-rekan di kelas. Mitra diskusi lainnya yang sudi meluangkan waktu mereka. Aktor dan aktris pendukung yang tak bisa saya abaikan dan mesti juga nanti dipersilakan naik panggung untuk diberi penghargaan. Mereka semua yang nanti akan tampak semakin luar biasa.

Saya teringat anak saya saat pertama diajak ke pasar malam di kota. Lampu-lampu gemerlap. Meski semula seperti takut, akhirnya anak saya mau naik komidi putar dan tak lagi takut dengan ketinggian. Dari atas, dia bisa melihat pemandangan kota. Seperti John Keating saat mengajak murid-muridnya untuk naik berdiri di atas meja di kelasnya dalam Dead Poets Society. Melihat dari ketinggian. Memberi perspektif baru.

Kelebat bayang-bayang itu buyar. Nama saya dipanggil dari pengeras suara yang kadang terdengar sayup tapi kadang begitu memekakkan telinga. Saya harus masuk dan menemui dokter itu. Mendengarnya memberi penjelasan yang rasanya terlalu singkat untuk saya yang berharap detail dan pernah membaca Beauchamp dan Childress tentang etika profesi kedokteran. Dan nanti antre di apotek. Lalu pulang untuk menyelesaikan tugas paling akhir di semester ini agar saya dapat bebas dari sekolah dan bebas dari makalah—setidaknya di akhir etape ini.

Pamekasan, 6 Juli 2024

Read More..

Senin, 24 Juni 2024

Annuqayah dan Lingkungan Hidup, Tak Ada Habisnya


Saya menerima tautan akses disertasi Hasan Basri, alumnus Latee yang baru wisuda S-3 di Western Sydney University, bersamaan dengan “lap terakhir saya di Sirkuit Austin, Texas, Amerika”. Hehehe…bukan, saya ke Austin tahun 2017. Maksudnya, saat saya sedang menyelesaikan bagian akhir tugas makalah saya untuk dosen S-3 saya yang lulusan Amerika dan terkenal sangat disiplin, sehingga saat menggarap tugas tersebut saya membayangkan seperti sedang main balapan GP500 di komputer zaman dahulu kala di sirkuit tersebut.

Saya segera unduh berkas yang memuat 206 halaman tersebut, membaca sekilas, melihat daftar isi, melihat dan memeriksa bagian-bagian tertentu, dan juga mencari kata kunci tertentu. Kebetulan makalah yang saya tulis juga mengangkat tema serupa dengan disertasi Hasan Basri, yakni tentang Annuqayah dan lingkungan hidup. Saya jadi terpikir: tema pesantren secara umum, atau yang lebih spesifik, tema tentang Pesantren Annuqayah, atau tema yang lebih spesifik lagi, pesantren Annuqayah dan lingkungan hidup, masih sangat kaya untuk digali.

Saat menyelesaikan bagian akhir tugas makalah saya, yang harus berkejaran dengan batas akhir waktu penyetoran, saya merasakan bahwa ada beberapa tema yang lebih spesifik lagi yang bisa dibahas. Kalau secara umum, saya merasa aspek-aspek dan data-data yang sifatnya umum memang masih penting untuk terus didiskusikan, seperti latar dan kisah di balik layar yang lebih detail keterlibatan awal Annuqayah dengan isu-isu lingkungan hidup, data tentang proses awal berdirinya Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPM PPA), dan semacamnya. Saya bayangkan, seperti upaya rekonstruksi untuk memahami pikiran para kiai Annuqayah di era tersebut.

Rasanya, episode itu masih sangat mungkin untuk dibahas. Data-data yang ada rasanya belum sepenuhnya mengungkap pergulatan gagasan waktu itu. Saya kadang terpikir, apakah saya harus menghubungi agen dari Langley untuk membantu menggali data dan arsip-arsip penting untuk mengungkap bagian ini? Hehehehe…

Dari disertasi Hasan Basri, saya menemukan bagian yang menarik, yakni saat dia membahas tentang “green art”. Di bagian ini, Hasan Basri menetapkan green action Annuqayah masuk ke wilayah seni sejak 2015 (hlm. 94). Wah, ini bagian yang sangat mungkin untuk didalami, pikir saya. Dan kalau boleh menawar, bolehkah saya kalau mau memajukan sedikit tahun penetapannya itu? Memang, Pesantren Annuqayah juga dikenal sebagai salah satu tempat yang banyak melahirkan seniman-seniman dengan karya dan ekspresi yang menarik. Beberapa kiainya juga sangat dikenal sebagai seniman, bahkan pergaulannya sampai ke dunia internasional. Kiai Faizi dan almarhum Kiai Zamiel El-Muttaqien, adalah dua nama yang sangat menonjol di bidang ini.

Lain dari itu, saya tak ragu untuk menyebut Kiai Muhammad Affan sebagai pekerja seni yang punya peran penting setidaknya di wilayah Sumenep. Beberapa kiai yang lain saya tahu mempunyai sense kesenian dan pengalaman di bidang seni yang juga sangat kaya, sehingga saya yakin itu juga menjadi bagian dari mewarnai Annuqayah dan keterlibatannya dengan dunia seni. KH Muhammad Shalahuddin A Warits saya tahu juga sangat pantas untuk disebut seorang artist. Hanya beliau sering menyamar, seperti David Webb saat menggunakan identitas Gilberto De Piento waktu mau masuk ke Amerika.

Keempat nama kiai yang juga seniman di atas jelas punya kontribusi yang besar dalam perkembangan Annuqayah dan lingkungan hidup. Tak bisa diragukan lagi. Kalau mau ditambah, ada nama almarhum Kiai Homaidy.

Jadi, dengan banyaknya kiai Annuqayah yang akrab dengan seni dan beririsan dengan isu lingkungan hidup, saya yakin, tema ini masih sangat kaya untuk digali. Bahkan saya terpikir, mau diangkat jadi tema disertasi rasanya juga layak.

Saat saya mengerjakan tugas makalah saya, saya juga menemukan ada beberapa bagian yang rasanya belum diungkap cukup mendalam terkait Annuqayah dan lingkungan hidup ini. Paling tidak, ada beberapa data yang menurut saya cukup bernilai tapi rasanya masih cukup samar dan ketika saya mau melacak lebih jauh untuk bahan makalah saya, tiba-tiba bel berbunyi: time out, game over. Waktu saya habis. Makalah harus segera dikirim. M dan timnya tampaknya tak bakal bisa membantu saya jika saya tidak lulus gara-gara lambat menyetor tugas saya.

Keterangan: foto diambil dari dinding FB Hasan Basri yang diposkan tanggal 23 Juni 2024.

Read More..

Sabtu, 30 Maret 2024

Kerja Artikulasi dan Otoritas Habib Luthfi

Judul buku: What is Religious Authority: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah
Penulis: Ismail Fajrie Alatas
Penerbit: Bentang dan Mizan Wacana, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2024
Tebal: lxxvii + 338 halaman

Buku yang ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas ini mengangkat tema otoritas keagamaan dengan tesis baru yang menarik. Bukannya menekankan otoritas keagamaan pada teks-teks keagamaan atau karisma sosok tertentu, buku ini menyatakan bahwa otoritas keagamaan merupakan hasil kerja artikulasi yang dilakukan secara berkelanjutan, yakni bagaimana seorang aktor menerjemahkan sunnah dan merangkai jamaah sehingga ia mendapatkan pengakuan dan kepatuhan tanpa paksaan.

Secara konseptual, buku ini menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif sebagaimana digagas oleh Talal Asad yang tidak hanya mengaitkan Islam dengan kitab suci atau tradisi tekstual, tetapi juga terkait dengan bentuk praktik sosial yang berubah-ubah yang bergerak dengan mencari landasan pada masa lalu fondasional. Karena itu buku ini menolak gagasan Islam yang esensialistik yang bersifat akultural. Buku ini menempatkan Islam sebagai realitas sosiologis, sebagai “hasil dari suatu ikhtiar budi daya lahan sosial yang idealnya terus tumbuh dan berfungsi sebagai realisasi pranata norma-norma yang dahulu pernah ditegakkan oleh Nabi”.

Istilah kerja artikulasi (articulatory labor) menggambarkan kalibrasi aneka unsur pembentuk komunitas Islam yang bersifat konkret, relasional, dengan moda kerja beragam, yang pada satu titik dapat membentuk paradigma artikulasi tertentu. Berbeda dengan “karya/cipta” (work), kerja artikulasi merupakan reproduksi terus-menerus dan berulang yang memanfaatkan infrastruktur dan kerja politik tertentu.

Dengan kerangka konseptual seperti ini, buku ini mengkaji kerja artikulasi Habib Luthfi dalam membangun jamaahnya. Namun sebelum itu Alatas memberi gambaran latar kerja artikulasi Habib Luthfi yang terkait dengan bentuk dan perkembangan komunitas muslim di Nusantara.

Kerja artikulasi dapat berlangsung pada komunitas yang beraneka ragam, seperti tarekat, perdikan, keraton, atau wilayah suci yang di daerah Hadramaut disebut hautha. Alatas menyinggung Dipanagara yang merangkai komunitas dengan menerjemahkan masa lalu kenabian dengan melihat peran Nabi sebagai prototipe mistikus sejati. Namun Dipanagara memadukan kerja artikulasinya dengan cara pandang dunia ruh para leluhur Jawa sehingga melahirkan artikulasi sunnah yang khas.

Alatas membandingkannya dengan beberapa ulama Hadrami yang di antaranya mengembangkan komunitas berbasis teks seperti yang dilakukan ‘Abdallah bin ‘Alawi Al-Haddad (w. 1720) yang kemudian menjadi cukup paradigmatik di Nusantara. Kinerja Haddadiyah dilakukan dengan menerjemahkan Islam yang mudah diakses oleh orang kebanyakan dengan mengobjektifikasi ajaran Nabi dalam teks teologi, fikih, dan wirid yang mudah dipahami. Otoritasnya berkaitan dengan syaikh al-ta’lim (guru ajar) yang dianggap mampu untuk mengajarkan teks dan kurikulum standar.

Ada pula moda kerja artikulasi yang disebut “dinasti kewalian” (manshobah) yang berpusat pada masa lalu kewalian pendiri jamaah. Dinasti kewalian dipimpin oleh munshib turun-temurun yang otoritasnya berkaitan dengan ketersambungan hubungan darah (nasab). Di Indonesia, ada setidaknya 52 haul wali Hadrami yang rutin dilaksanakan sebagai bagian dari kerja artikulasi manshobah.

Habib Luthfi berada di antara moda-moda kerja artikulasi tersebut. Otoritas keagamaan Habib Luthfi tidak terbentuk terutama melalui jalur nasab, karena meski tersambung dengan Ba Alawi di Hadramaut, Habib Luthfi tidak berasal dari keluarga ulama atau wali. Otoritas Habib Luthfi dibangun dengan mobilitas atau rihlah mencari ilmu. Mobilitas yang membelok pada Habib Luthfi ditandai dengan jejak rihlah keilmuan dan spiritualnya yang beragam yang menyerap keanekaragaman sosial-budaya lokal di Nusantara, tak hanya pada jejaring Hadrami. Genealogi Habib Luthfi mula-mula tersambung dengan jaringan non-Ba Alawi melalui adopsi genealogis, ketika ia diangkat sebagai mursyid Naqsyabandi-Khalidi-Syadzili (NKS) oleh gurunya yang berdarah Jawa, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas (w. 1980).

Keragaman dan lokalitas ini berpengaruh terhadap model sunnah yang dikembangkan oleh Habib Luthfi. Pemahaman dan kepekaan Habib Luthfi terhadap kultur yang beragam memperluas ruang gerak Habib Luthfi dengan komunitas dan jamaah yang lebih beraneka. Kita tahu, Habib Luthfi menguasai ragam bahasa kromo, juga bahasa Sunda, meski dalam bahasa Arab komunikatif cukup lemah.

Setelah tinggal di Pekalongan, kerja artikulasi Habib Luthfi berhadapan dengan komunitas jamaah yang lain yang berberbasis munshib atau lainnya. Misalnya dalam berinteraksi dengan jamaah Masjid Al-Raudhah yang berkomitmen secara kaku pada bahasa Arab dan ritual Ba Alawi. Ketegangan terjadi karena Kanzus Shalawat, pusat kegiatan jamaah Habib Luthfi, berdiri tidak jauh dari masjid yang diasuh oleh munshib ketiga Pekalongan, Habib Bagir.

Dengan gaya bertutur yang sangat nyaman dibaca, buku ini mendedahkan infrastruktur kerja artikulasi Habib Luthfi, seperti praktik shuhbah (penyertaan) atau pertemuan rutin bulanan dengan jamaah, penyusunan kitab wirid, relasi dengan aktor-aktor negara atau penguasa atau bahkan Keraton Yogyakarta, juga bagaimana Habib Luthfi membangun otoritas keagamaannya dengan berusaha merekonstruksi jejaring leluhurnya melalui pembangunan makam-makam wali yang diklaim memiliki hubungan nasab.

Nilai penting buku yang ditulis oleh associate professor di New York University ini terletak pada cara pandang baru yang ditawarkan untuk melihat dinamika otoritas keagamaan. Perspektif baru buku ini sangat berharga untuk dijadikan cara memotret keragaman komunitas-komunitas muslim di Nusantara pada khususnya yang memiliki keragaman moda artikulasi dalam mengembangkan dakwah dan komunitasnya masing-masing. Keragaman model penafsiran sunnah dan jamaah umat Islam di Nusantara bagaimanapun harus dilihat sebagai sebuah kekayaan budaya yang harus digali untuk dijadikan dasar dalam mengembangkan ragam dan model penghayatan keislaman yang lebih baik.

Saya yang dibesarkan dalam tradisi pesantren di Madura, misalnya, dapat merasakan betapa kerja-kerja artikulasi para kiai di pesantren sangatlah beragam dan menarik untuk didalami. Tawaran perspektif dan metodologis yang diajukan buku ini sangatlah berharga untuk dilewatkan begitu saja oleh para pengkaji Islam di Indonesia pada khususnya.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 30 Maret 2024.



Read More..

Jumat, 01 Maret 2024

Objektivitas dan Jarak Kritis


Salah satu persoalan dalam penelitian ilmiah adalah soal objektivitas. Peneliti harus dapat mengambil jarak dengan objek material yang akan dia cermati. Bagaimana jika posisi peneliti adalah bagian dari objek yang akan dia teliti?

Masalah ini telah melahirkan perdebatan tentang posisi insider dan outsider dalam penelitian ilmiah dan telah menjadi tema diskusi penting yang terus berkembang. Dalam khazanah studi agama, saya pernah diperkenalkan dengan tulisan Kim Knott yang membahas masalah ini. Knott membuat pembedaan posisi insider dan outsider dalam empat kategori: complete observer (peneliti seutuhnya), observer as paticipant (peneliti sebagai partisipan), participant as observer (partisipan sebagai peneliti), dan complete participant (partisipan seutuhnya).

Belakangan, melalui buku Ismail Fajrie Alatas saya mendapatkan rujukan beberapa sarjana lain mengenai diskursus masalah ini. Alatas mengutip tiga sumber dalam diskusi masalah ini, yakni karya Lila Abu-Lughod (1988) berjudul “Fieldwork of a Dutiful Daughter” dalam buku Arab Women in the Field: Studying Your Own Society, Nathaniel Mackey (1992) berjudul “Other: From Noun to Verb”, Gayatri Spivak (1992) berjudul “Acting Bits/Identity Talk”, dan buku karya Trinh T Minh-Ha (1989) berjudul Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and Feminism.

Alatas mengutip tiga sumber itu dalam bukunya What is Religious Authority (2021) di akhir bab pertama saat menjelaskan problem metodologis terkait subjek yang dia tulis. Buku itu membahas tentang Habib Luthfi, sedangkan Alatas juga adalah seorang muslim Indonesia dari kalangan Ba Alawi—sama seperti Habib Luthfi. Lalu apa kata Alatas?

The extended time I have spent outside Indonesia since I was fourteen and the historical and anthropological training that I have received have created some measure of critical distance to the tradition and culture that I was born into.

Lamanya waktu yang saya habiskan di luar Indonesia sejak berusia 14 tahun serta pendidikan sejarah dan antropologi yang saya peroleh menciptakan jarak kritis dengan tradisi dan budaya tempat saya lahir.



Di sini Alatas menyampaikan tentang jarak kritis yang dapat dia ciptakan dengan objek yang dia teliti yang terbentuk oleh dua faktor: pendidikan sejarah dan antropologi yang dia peroleh, dan waktu yang dia habiskan di luar Indonesia mulai dia berusia 14 tahun.

Yang lebih menarik, di bagian akhir pendahuluan, Alatas menulis:

In my view, the best anthropological research is one that maintains, rather than ignores or suspends, the tension between estrangement and intimacy and uses it to sketch a simultaneously objectifiable and personal, but nevertheless incomplete, picture of human sociality that “arises from within human sociality.”

Bagi saya, penelitian antropologi yang paling baik adalah yang mempertahankan, dan bukannya mengabaikan atau mengesampingkan, ketegangan antara keterasingan dan kedekatan serta menggunakannya untuk membuat sketsa gambaran sosialitas manusia yang dapat diobjektivikasi sekaligus bersifat pribadi. Sketsa tersebut tentu tidak akan pernah lengkap karena ia “muncul dari dalam sosialitas manusia” itu sendiri.


Dari kutipan ini, tampak Alatas menggiring kita untuk sedikit mengesampingkan soal objektivitas atau keberjarakan peneliti dengan subjek yang dia teliti dalam pengertian konvensional. Alatas mengajak kita untuk masuk tidak saja ke ruang refleksi tentang identitas yang semakin kompleks, tapi juga ke dalam ketegangan personalitas dan sosialitas manusia yang mungkin dapat dikatakan merupakan salah satu diskursus filosofis tentang manusia yang lebih luas. Sosialitas dan personalitas tak harus dilihat dalam posisi yang bertentangan. Justru ketegangan di antara keduanya dapat menjadi nilai lebih, termasuk dalam konteks penelitian ilmiah.

Lalu bagaimana tentang jarak kritis yang terbentuk melalui proses pendidikan? Saya percaya bahwa proses pendidikan secara umum akan dapat membentuk sikap kritis untuk bersikap objektif atau memupuk kemampuan mengambil jarak dengan objek yang sedang diamati. Ini adalah kemampuan khas manusia. Tanpa pendidikan akademik pun, kemampuan mengambil jarak ini sudah dimiliki oleh manusia. Melalui proses pendidikan yang intensif, kemampuan ini akan semakin kuat.

Karena itu, ketika kemarin ada yang mempertanyakan kepada saya “…kamu mau meneliti pesantren atau kiai di Madura, kira-kira bagaimana kamu bisa mengambil jarak dan bersikap objektif? Jangan-jangan nanti penelitiannya hanya melegitimasi hal tertentu dari apa yang sudah mapan di pesantren di Madura selama ini…”, saya santai saja.

Saya pernah menulis tentang hal-hal yang saya merupakan bagian di dalamnya. Saya pernah menulis hal-hal yang memungkinkan saya mengalami bias personal dalam tulisan saya. Tapi nyatanya saya tidak selalu terjerembab ke dalam sikap buta dan bias sepenuhnya. Saya tetap bisa mengambil jarak—dengan batas-batas tertentu. Seperti tulisan saya tentang sastra pesantren, yang dibilang bias oleh Ariel Heryanto (2014: 72-73), tapi juga mendapatkan apresiasi oleh Ariel karena ada catatan kritis yang saya kemukakan di sana.

Tapi komentar tentang atas sikap objektif itu tentu tak bisa saya lewatkan begitu saja. Komentar itu memancing pertanyaan lebih jauh: kalau Alatas mengemukakan dua unsur yang berperan untuk dapat menciptakan jarak kritis agar dapat bersikap objektif secara proporsional, lalu apa kira-kira faktor lain yang dapat berperan untuk menjaga jarak kritis tersebut?

Mari, bantu saya untuk menjawab pertanyaan ini lebih lanjut.

Keterangan: kutipan terjemahan dari buku Ismail Fajrie Alatas diambil dari terjemahan versi Penerbit Bentang/Mizan (2024).

Read More..

Minggu, 11 Februari 2024

Era Disrupsi dan Tantangan Peran Pesantren

Era disrupsi menghadirkan tantangan bagi pesantren dan santri untuk mengambil peran dalam kehidupan masyarakat. Peran yang dimainkan pesantren dan santri saat ini sebagian bisa digantikan oleh institusi-institusi modern dan infrastruktur yang merupakan turunannya. Peran yang terkait dengan pengetahuan keagamaan pun sebagian juga terdisrupsi dengan munculnya otoritas baru di berbagai saluran media baru berbasis teknologi digital yang saat ini aksesnya lebih mudah menjangkau khalayak umum.

Pesantren dikenal telah memainkan peran yang cukup menyeluruh dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya di Madura, mulai dari urusan pertanian, perdagangan, penyelesaian konflik sosial, keluarga, pendidikan, politik, kesehatan, dan juga masalah-masalah keagamaan. Namun seiring dengan kemajuan yang bersifat teknis pada bidang-bidang sekular tersebut yang telah meluas sebagai dampak dari perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang bersifat masif hingga ke wilayah pedesaan, peran pesantren menghadapi tantangan. Cara berpikir masyarakat yang semula banyak menaruh kepercayaan pada kiai sebagai tokoh sentral pesantren dalam memberi nasihat di bidang perdagangan, misalnya, kini mulai bergeser karena sebagian masyarakat merasa telah memiliki kemampuan otonom untuk membuat keputusan.

Dalam situasi tersebut, sejauh ini sebagian pesantren merespons dengan turut masuk ke dalam gelanggang aspek-aspek yang telah berkembang tersebut dengan mereformasi lembaga dan arah pendidikan yang di antaranya dilakukan dan juga dengan mengembangkan lembaga yang bersifat kekinian. Berdirinya lembaga-lembaga bisnis dan keuangan dan dibukanya pendidikan dengan minat keilmuan yang terbilang baru di pesantren di Madura, seperti bidang sains dan teknologi, menunjukkan hal tersebut. Belakangan, beberapa pesantren juga berusaha membekali santri-santrinya dengan kecakapan digital saat menyadari bahwa disrupsi digital bahkan dapat berdampak serius pada pemahaman keagamaan dan cara berpikir santri. Kita menyaksikan banyak santri di Madura belakangan aktif menjadi pembuat konten di berbagai kanal media digital. Namun apakah hal tersebut cukup berhasil? Terlalu dini rasanya untuk memberikan penilaian karena apa yang dilakukan pesantren atau santri secara perorangan tersebut banyak yang masih berada dalam tahap rintisan.

Meminjam kacamata analisis Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lessons for the 21st Century (2018), agama tampak sulit untuk mengambil peran dalam ikut mengatasi persoalan-persoalan teknis dan kebijakan (technical problems dan policy problems) masyarakat modern. Masalah teknis dalam kehidupan sudah banyak dipecahkan oleh sains dan teknologi, sedangkan peran pesantren dalam bidang ini sudah jauh tertinggal. Sementara itu, perkembangan sains dan teknologi di luar pesantren melesat begitu pesat.

Ada sebagian pesantren yang berusaha masuk ke bidang-bidang sains dan teknologi alternatif, seperti halnya Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep yang turut menggarap konsep kesehatan swadaya sejak awal tahun 2000-an—mungkin termasuk juga isu-isu lingkungan hidup yang sudah dikerjakan oleh Annuqayah sejak 1980-an. Namun kita tahu, bidang-bidang alternatif seperti itu tidak berada pada arus utama pengembangan sains, sehingga kerja-kerja artikulatif yang dibutuhkan menuntut kerja keras dan upaya yang luar biasa. Padahal, dibutuhkan infrastruktur dan jaringan yang kuat untuk menopang pengembangan bidang alternatif seperti itu untuk dapat benar-benar berkembang dan memberi dampak yang signifikan.

Berkaitan dengan masalah kebijakan, pesantren tampak masih kesulitan untuk memberikan tawaran visioner atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks agama, Harari dalam bukunya mencontohkan bagaimana agama hanya sampai pada level mengecam materialisme modern tapi tidak bisa ikut berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Dalam kaitannya dengan kritik terhadap ekonomi kapitalis, agama bisanya hanya “to redo the paint and place a huge crescent, cross, Star of David, or om on the roof”, atau memberi aksesoris bersimbol agama pada bangunan ekonomi kita dan belum mampu untuk menyentuh aspek mendasar yang bisa menjadi tawaran alternatif bagi kebijakan pengembangan ekonomi.

Lagi-lagi, dalam konteks Pesantren Annuqayah, kita juga melihat upaya untuk masuk ke bidang teknis di bidang pengembangan ekonomi atau keuangan mikro masih berupa rintisan. Lembaga di internal Annuqayah yang dicita-citakan membawa tawaran konsep dan praktik baru di bidang pengelolaan keuangan ternyata masih menghadapi banyak tantangan teknis di tengah apresiasi awal pada konstruksi visi yang berusaha untuk dikembangkannya.

Demikian pula, lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh kalangan santri lainnya tak lepas dari kritik dan pada level substansi tampak belum memberikan terobosan alternatif bagi sistem keuangan konvensional yang ada.

Identitas Santri

Jika demikian, lalu apa yang tersisa? Harari menjelaskan bahwa agama juga bisa berperan di wilayah identitas (identity), yang di antaranya digambarkan terkait dengan visi yang lebih luas dalam bidang-bidang kehidupan. Harari meyatakan bahwa identitas terbukti telah menjadi kekuatan sejarah yang penting. Meski identitas oleh Harari dihubungkan dengan konstruksi yang bersifat “fiktif”, kita tampaknya patut untuk merenungkan: apakah konsep identitas santri dapat menjadi kekuatan untuk mengharapkan peran pesantren yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat di era disrupsi?

Pada titik inilah menurut saya kita diajak untuk berefleksi hal yang mungkin sudah terbilang klasik tentang identitas santri. Apa sebenarnya hal yang khas dari identitas santri? Bagaimana visi hidup seorang santri itu? Mengutip almarhum KH A Warits Ilyas pada saat pembukaan Lokakarya Visi Pendidikan Annuqayah tahun 2008, disampaikan rumusan visi seorang santri (Annuqayah) sebagai berikut: “lahirnya generasi abdullah (‘ibadullah) yang mutafaqqih fiddin dan mempunyai ketakwaan dan berilmu pengetahuan sehingga menjadi mundzirul qawm”. Pada rumusan ini, kita bisa menemukan beberapa poin gagasan kunci, seperti kesadaran akan posisi penghambaan, pentingnya bekal keilmuan dan ketakwaan sebagai fondasi, dan peran kemasyarakatan.

Selain itu, kita juga sering sekali mendengar penekanan para kiai di pesantren di Madura pada khususnya tentang Islam ahlussunnah wal jama’ah yang menjadi fondasi keagamaan pesantren. Memang, istilah ini kadang menjadi cukup problematis pada tataran praktis karena menaungi sebuah konsep yang “diperebutkan” oleh kalangan Islam dari berbagai kelompok. Namun secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa Pondok Pesantren Annuqayah, misalnya, atau pesantren di Madura pada umumnya, mengajarkan pemahaman ahlussunnah wal jama’ah melalui praktik-praktik yang dapat kita serap dari teladan para kiai/pengasuh terutama dari generasi awal (pendiri atau perintis).

Namun demikian, living aswaja yang dipraktikkan para kiai/pengasuh tersebut menurut saya masih menjadi sesuatu yang masih terus perlu digali dan dieksplorasi sehingga semakin jelas dimensi paradigmatiknya. Meminjam istilah Ismail Fajrie Alatas dalam What is Religious Authority? (2021), penting bagi kita untuk melihat secara lebih dekat dan mendalam articulatory labor (kerja artikulasi) yang dilakukan para kiai tersebut di dalam menerjemahkan (sunnah) aswaja dalam agenda kerja kumulatif memupuk dan membangun (jamaah) pesantrennya dengan ciri khas masing-masing.

Jika diturunkan pada level praktis, persoalan identitas itu bisa muncul dalam refleksi atau pertanyaan tentang bagaimana identitas santri berpengaruh bagi seorang santri yang menjalankan perannya sebagai kepala desa dan pengurus publik lainnya di tengah disrupsi politik yang luar biasa. Demikian juga, bagaimana identitas santri dapat memberi arahan bagi seorang santri yang terjun dalam dunia bisnis yang karena proses transformasi digital melahirkan banyak tantangan baru yang dapat menantang orientasi kesantriannya. Atau, bagaimanakah identitas santri sebagai pendidik dapat meletakkannya dalam posisi yang ajek berhadapan dengan gonjang-ganjing dan tarikan dunia pendidikan yang cenderung mekanis dan kapitalistik.

Demikianlah mungkin sebagian dan sekelumit tantangan yang dihadapi pesantren dan kalangan santri menghadapi era disrupsi yang membutuhkan refleksi bersama. Wallahu a’lam.

Versi awal tulisan ini semula dibuat untuk bahan pengantar Seminar Pemikiran Pesantren Kerja Sama Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Jember dengan Pusat Pengembangan Studi Pesantren (PSP) LP2M UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember pada 3 Februari 2024, yang kemudian disunting dan dimuat di Radar Madura, 11 Februari 2024.

Read More..

Selasa, 06 Februari 2024

Teks Babon, Buku Babon


Saat membaca buku terjemahan What is Religious Authority karya Ismail Fajrie Alatas yang baru diterbitkan Mizan/Bentang, terutama di bagian pengantar yang banyak mengeksplorasi aspek metodologi, saya jadi teringat tentang pentingnya bahan-bahan pokok dan mendasar dalam karya ilmiah. Saya teringat tentang pentingnya mahasiswa dan kalangan akademisi membaca teks-teks kunci dan mendasar pada tiap bidang atau rumpun keilmuan yang ditekuninya.

Saat Alatas menyebut Talal Asad, misalnya, saya jadi ingat teks yang dirujuk karya Asad yang telah menjadi klasik, yakni esai panjang “The Idea of an Anthropology of Islam” (1986). Di kalangan akademisi, khususnya yang menggeluti bidang antropologi, teks tersebut sangat penting karena memuat kritik atas pendekatan kajian Islam yang selama ini berkembang. Asad menawarkan gagasan yang jika dirumuskan secara sederhana menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif (discursive tradition).

Cara pandang ini menolak corak esensialisme yang memandang Islam dengan menghubungkannya pada esensi tertentu dan mencoba melihat dinamika pemaknaan Islam sebagai sebuah tradisi yang hidup, yang dinamis. Praktik tradisi umat Islam yang beragam pada waktu, tempat, dan komunitas yang berbeda menandakan perbedaan bernalar sesuai dengan kondisi sosio-historis masing-masing. Karena itu, menurut Asad, antropologi Islam berusaha untuk memahami kondisi sejarah yang memungkinkan terjadinya produksi dan upaya untuk mempertahankan tradisi diskursif tertentu, termasuk juga bagaimana proses transformasi terjadi beserta upaya yang dilakukan.

Memang Alatas tidak sepenuhnya sepakat dengan seluruh poin gagasan Asad sehingga Alatas juga menggunakan perspektif metodologi yang lain dalam karyanya itu. Namun fokus saya di sini bukan tentang penelitian Alatas secara khusus. Fokus saya adalah tentang pentingnya memperkenalkan teks-teks kunci kepada mahasiswa dan bagaimana kalangan akademisi membekali dirinya dengan teks-teks babon tersebut.

Saya menduga kritik terhadap kondisi dunia akademik kita yang tidak sehat belakangan ini, seperti lesunya diskusi akademik, maraknya plagiarisme, berkembangnya publikasi ilmiah yang bersifat instan, di antaranya juga terkait dengan lemahnya penguasaan para akademisi atas teks-teks kunci pada bidang yang digelutinya. Ia tidak kenal peta bacaan kunci tersebut, baik yang sifatnya klasik maupun yang mutakhir. Akibatnya, ia tidak bergerak di wilayah-wilayah yang sifatnya fondasional pada bidang keilmuannya dan seringnya hanya bergerak di wilayah pinggiran.

Saat dulu saya mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA 3 Annuqayah, saya juga memiliki pikiran serupa. Siswa-siswa mestinya diperkenalkan dengan teks-teks kunci bidang sastra Indonesia. Keprihatinan itu lalu memicu saya untuk menghimpun sejumlah cerpen-cerpen Indonesia yang saya anggap sebagai “cerpen sepanjang zaman”. Saya berdiskusi dengan banyak rekan, termasuk dengan AS Laksana, Kiai Faizi, almarhum M. Zamiel el-Muttaqien, Bernando J. Sujibto, dan yang lainnya, dan akhirnya sekolah “menerbitkan” kumpulan cerpen pilihan karya para sastrawan Indonesia dari setiap periode/generasi. Apa yang saya lakukan itu pernah ditulis dan diapresiasi oleh AS Laksana dalam satu esainya di Jawa Pos, 29 Desember 2013.

Kembali ke pokok pembicaraan, saat membaca karya Alatas yang sangat renyah dan mengilhamkan ini, saya bertemu dengan teks-teks kunci atau buku-buku babon lainnya yang sebagian masih banyak yang belum saya baca.

Keprihatinan atas kondisi dunia akademik yang lemah dalam penguasaan teks kunci itu mendorong saya untuk berpikir tentang pentingnya membuat antologi atau setidaknya daftar bacaan yang direkomendasikan pada bidang-bidang tertentu. Misalnya bidang filsafat moral, etika lingkungan, tasawuf, studi al-Qur’an, pendidikan Islam, dan seterusnya. Di kampus tempat saya mengajar, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, saya sering mendorong hal tersebut, sehingga prodi tempat saya mengajar saat ini sudah mulai membuat daftar tersebut dan mendorong mahasiswa dengan mewajibkan mereka membaca teks-teks tersebut setiap semester dengan target tertentu.

Lebih detail dari itu, saya teringat salah satu buku Franz Magnis-Suseno yang berjudul 13 Tokoh Etika. Buku yang terbit di Kanisius dan pertama terbit tahun 1997 itu (saya dulu meresensinya di Surabaya Post saat saya baru masuk kuliah di Filsafat UGM Yogyakarta) lalu disusul oleh buku lain yang diberi judul 13 Model Pendekatan Etika (Kanisius, 1998). Buku yang terakhir ini memuat kutipan teks-teks pokok dari ketiga belas filsuf yang dibahas Magnis-Suseno pada buku sebelumnya. Ada pengantar singkat yang diberikan oleh Magnis-Suseno sebelum kutipan teks kunci disajikan. Di bagian akhir, ada daftar pertanyaan yang dibuat untuk menguji pemahaman pembaca.

Buku semacam ini menurut saya sangat penting untuk membantu penguasaan mahasiswa dan akademisi atas konsep dan gagasan dasar pada setiap bidang ilmu sehingga penguasaan dan pengembangan diskursus keilmuan dapat lebih mudah dilakukan.

Sayangnya hal-hal semacam ini belum banyak dipikirkan dan dikerjakan. Kita belum punya infrastruktur belajar yang cukup dan diperlukan oleh mereka yang mau belajar, mendalami ilmu, dan mengembangkan ilmu. Tak heran bila perkembangan ilmu di lingkungan kita bergerak sangat lambat—untuk tidak mengatakan macet.


Read More..

Rabu, 31 Januari 2024

Mudah Pecah


Ia mudah pecah. Ia rentan. Ia seperti gelas yang jika dibawa dengan tangan harus dipegang dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Saya sering melihat gambar gelas dengan ada kilatan kecil di salah satu sisinya, diletakkan sebagai simbol pada kemasan barang yang katanya mudah pecah.

Jangan dibanting. Demikian tertulis sebagai pengingat. Please handle with care. Tangani atau bawa dengan hati-hati. Namun sering juga terdengar orang-orang mengeluh, karena kurir ekspedisi kadang masih sembarangan menangani paket yang sudah ditempeli dengan stiker simbol gelas yang mudah pecah dan ada tulisan “FRAGILE” itu.

Namun saya tidak sedang berpikir tentang gelas yang mudah pecah atau barang pecah belah serupa. Saya berpikir tentang anak-anak, jiwa dan perasaan anak-anak, yang saya bayangkan mungkin juga “mudah pecah”, dan membutuhkan penanganan yang hati-hati, meski kita tidak menemukan stiker bergambar gelas pecah yang ditempelkan pada baju anak-anak kita.

Saya teringat Robert Frager yang dalam buku bagusnya berjudul Sufi Talks (terakhir versi terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Noura Books, dan sebelumnya diterbitkan oleh Penerbit Zaman) yang mengingatkan bahwa bayi manusia, atau anak-anak, membutuhkan perawatan lebih banyak dan lebih lama dibandingkan bayi spesies lainnya. Mereka lebih banyak membutuhkan aliran cinta—mungkin waktu yang juga lebih lama di masa atau periode kanak-kanaknya. Mereka mudah pecah.

Saya teringat novel-novel Torey Hayden, di antaranya berjudul Sheila, versi terjemahannya diterbitkan Penerbit Qanita, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, disunting oleh Rika Iffati Farihah yang pernah menjadi mitra kerja saya di Bentang Pustaka. Sheila bercerita tentang luka hati seorang gadis kecil yang dampaknya begitu membekas dalam kehidupannya. Sheila berkisah tentang gelas yang telah pecah dan tak ditangani dengan baik. Sheila bercerita tentang anak-anak yang tak mendapatkan aliran cinta sebagaimana layaknya ia membutuhkan pada masa-masa penting perkembangannya.

Saya teringat paket yang saya terima dalam keadaan “pecah” karena tak ditangani dengan baik oleh kurir ekspedisi, meski sudah ada stiker bergambar gelas di kemasannya.

Lalu saya juga teringat pada anak-anak saya yang kadang tidak saya tangani sebagaimana gelas yang mudah pecah itu. Tulisan ini adalah pengingat untuk saya—mungkin juga untuk Anda, para pembaca. Kata Frager, saat kita belajar mencintai, termasuk anak-anak itu, kita juga belajar mengatasi narsisisme kita—sesuatu yang belakangan begitu dirayakan melalui platform media sosial kita. Kita belajar mendahulukan kebutuhan orang lain. Masih kata Frager, ada orang yang harus menunggu jatuh cinta atau menjadi orangtua untuk menyadari dan belajar mendahulukan kepentingan orang lain. Kata Frager, mungkin anak-anak adalah terapi kejut versi Tuhan untuk mengobati egoisme kita.

Jadi, pegang mereka dengan hati-hati. Karena mereka itu mudah pecah. Dan mereka senantiasa menunggu kelembutan pegangan kita.

Read More..

Selasa, 23 Januari 2024

Menulis Pendek, Menulis Panjang


Butuh tenaga ekstra untuk bisa menulis panjang dengan target menulis di kisaran 5000 kata. Tapi saya ingat, jarak 12 ribu kilometer tetap dimulai dari tapak satu dua langkah. Artinya, 5000 kata tetaplah dimulai dari dua tiga kalimat.

Saya tidak terbiasa menulis panjang seperti untuk artikel jurnal yang menuntut minimal 5000-an kata. Jadi ketika mulai kuliah S-3, saya sempat khawatir jika ada tugas makalah yang menuntut minimal panjang tulisan seperti itu. Namun ternyata alhamdulillah, untuk tugas-tugas makalah presentasi dengan minimal 4000 kata, saya bisa mengerjakannya dengan sistem kebut (sehari) semalam. Asal bahan sudah cukup jelas, sistematika disiapkan, proses penulisannya bisa pake sistem balapan.

Begitulah saya mengerjakan tugas makalah presentasi di semester ini. Terjepit di antara berbagai aktivitas, makalah diselesaikan dalam waktu sekitar sehari semalam. Hasilnya tak buruk-buruk amat. Saya berpikir, kok ternyata bisa saya menulis agak panjang? Ya itu tadi, karena tulisan panjang adalah tulisan pendek yang disatukan. Untungnya, saya sudah cukup terbiasa menulis—yang pendek-pendek itu, dahulu, terutama saat masih aktif menulis populer resensi buku di koran-koran dan juga aktif menulis untuk rindupulang.id, blog kesayangan yang beberapa tahun terakhir cukup terlantar.

Jadi mungkin benar apa yang sering saya katakan: menulis itu juga soal keterampilan, seperti memasak atau menyetir kendaraan. Iya terkait juga dengan jam terbang. Saya ingat saat saya pertama kali belajar memasak saat menempuh S-2. Mentor saya teman kelas dari Bangladesh—dan juga YouTube, yang kontennya belum seheboh sekarang. Saya ingat bagaimana kakunya saya memotong-motong bawang. Saya masih menyimpan videonya. Hehehe..

Demikian juga menulis. Mereka yang belum terbiasa menulis, mungkin akan terbata-bata memulai paragraf dan kalimat-kalimat pembuka. Satu paragraf selesai, kebingungan datang untuk melanjutkan paragraf berikutnya. Seperti mobil mogok yang kehabisan bahan bakar. Ya, begitulah, kadang penulis pemula tidak siap dengan bahan mentah, seperti saat saya memasak kare ayam di Utrecht dan lupa tidak membeli jahe untuk membuat masakan saya lebih enak.

Tapi soal keterampilan, sekali lagi, itu soal jam terbang. Saya ingat, dahulu saat masih duduk di bangku sekolah kelas menengah, saya juga rajin menulis catatan harian. Sayang sebagian tak terarsip. Yang tersisa ada catatan harian tahun 1996. Tapi ada juga arsip tulisan saya di era-era itu, termasuk ada juga yang menggambarkan proses kreatifnya, mulai dari mengumpulkan dan merangkum bahan dari berbagai sumber, hingga kemudian saya tuangkan dalam satu tulisan yang kalau saya bayangkan waktu itu hitungannya agak panjang.

Jadi kalau ada orang yang tiba-tiba dituntut untuk menulis panjang, tapi sebelumnya belum terbiasa bahkan untuk menulis yang pendek-pendek, saya bisa membayangkan betapa mumetnya dia itu. Makanya, daripada mumet, saran saya, cobalah untuk menulis yang pendek-pendek dulu, di kisaran 500 kata, itu sudah sangat bagus jika dilakukan secara rutin.

Saya ingat, pada awal 2013 saya pernah mendapat proyek penulisan 40 esai yang masing-masing panjangnya sekitar 400 hingga 500 kata. Saya lakukan tiap hari. Malam menyiapkan bahan, pagi setelah subuh saya tulis. Alhamdulillah berjalan lancar.

Setelah lama tidak aktif menulis, dan dalam beberapa bulan ini dipaksa membaca dan menulis karena saya sekolah lagi, saya bersyukur. Sepertinya rindupulang.id akan senang menyambut saya membuka akun blogger.com, dan memposkan tulisan-tulisan baru yang melulu tidak hanya tentang hal akademik, tapi tulisan-tulisan spontan yang saya tulis sekali duduk semacam ini.

Salam hangat.



Read More..