HOW TO AVOID A CLIMATE DISASTER
Solusi yang Kita Miliki dan Terobosan yang Kita Perlukan
Penulis: Bill Gates
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2021
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-06-5284-9
Bencana iklim sudah di depan mata dan terjadi di mana-mana. Badai, kebakaran hutan, kenaikan permukaan laut, krisis pangan, dan juga pengungsi iklim, adalah sebagian contoh bencana iklim yang bisa saja semakin parah. Kenaikan suhu global setidaknya 1 derajat Celcius sejak era praindustri sudah memicu dampak yang cukup terasa. Perkiraan kenaikan suhu hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad ini menuntut langkah konkret bagi kita untuk mengantisipasi dampak yang lebih berat.
Bill Gates, pendiri Microsoft, melalui buku ini turut urun rembug untuk menyetop pemanasan global dan menangkal bencana iklim yang mungkin terjadi. Ide yang diusulkan adalah dengan menghentikan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Bill Gates mengajak kita untuk bergerak menuju nol emisi.
Mengapa harus nol? Memang, Gates mengakui bahwa nol yang dimaksud adalah “dekat nol netto”, karena untuk nol emisi, kita semua harus benar-benar lepas dari bahan bakar fosil—sesuatu yang belum terbayang untuk saat ini atau dalam waktu dekat. Visi menuju nol harus ditanamkan dengan kuat karena kita berkejaran dengan waktu. Apalagi jejak karbon yang dihasilkan sekarang sekitar seperlimanya masih akan terjebak di atmosfer dalam 10 ribu tahun ke depan.
Gates menegaskan bahwa harus ada langkah untuk menuju nol emisi. Kita memiliki beberapa modal berharga: ambisi dan cita-cita, dan banyak orang muda dan pemimpin yang peduli pada isu lingkungan. Namun langkah konkret harus dirumuskan yang juga melibatkan terobosan-terobosan baru demi memperkuat daya untuk menangkal bencana iklim yang mungkin datang.
Dalam menyusun langkah konkret itu, Gates bekerja sebagai teknokrat sekaligus inovator. Gates menganalisis secara jernih dan runtut peta jalan menuju nol emisi. Dasarnya adalah data—data yang jelas dan relevan.
Di antara pokok gagasan Gates adalah bahwa kunci peta jalan menuju nol emisi ada pada energi atau listrik. Meski menurut data Breakthrough Energy listrik menyumbangkan 27 persen emisi gas rumah kaca dari total 51 miliar ton per tahun, namun aktivitas utama manusia lainnya, seperti pembuatan barang (yang menyumbangkan emisi 31 persen), juga tak lepas dari listrik.
Gates membahas panjang lebar kemungkinan pengembangan energi ramah lingkungan dan beberapa tantangan yang dihadapi. Termasuk di dalamnya kemungkinan pengembangan energi nuklir.
Salah satu tantangan pengembangan energi hijau adalah bahwa riset di bidang energi bersih saat ini masih sangat minim, baik yang dilakukan oleh negara maupun korporasi. Dari sudut bisnis, industri energi membutuhkan biaya modal yang besar sehingga perubahan atau transisi teknologinya tidak bisa cepat. Dari sudut politik, hukum dan kebijakan di bidang energi yang ada saat ini dibuat bukan untuk mengatasi masalah bencana iklim dalam konteks menyeluruh.
Beberapa sumber energi alternatif ramah lingkungan, seperti tenaga surya dan angin, menurut Gates, tidak memberi jaminan kepastian ketersediaan yang baik. Padahal, pasokan listrik, terutama dalam konteks bisnis, membutuhkan jaminan ketersediaan yang pasti. Tenaga surya dan angin juga bermasalah dengan soal teknologi penyimpanan (batere) dan juga distribusinya ke wilayah yang lebih luas.
Visi transisi energi menuju sumber yang ramah lingkungan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antaranya terkait fakta bahwa saat ini sebagian penduduk dunia keluar dari jurang kemiskinan dengan ditopang oleh akses dan penggunaan energi fosil murah, seperti yang terjadi di Tiongkok. Tiongkok dan mungkin beberapa negara berkembang akan sulit untuk segera beralih ke sumber energi hijau dalam waktu dekat. Namun Gates menegaskan bahwa negara yang lebih awal membangun perusahaan dan industri nol karbon kemungkinan akan memimpin ekonomi dunia di masa mendatang.
Tawaran konkret yang diajukan Gates terangkum dalam tiga unsur pokok: kebijakan, teknologi, dan pasar. Harus ada intervensi kebijakan dari pemerintah, seperti dukungan dalam anggaran riset energi, juga usaha memperluas pasokan inovasi teknologi, dan upaya agar inovasi tersebut dapat diserap oleh masyarakat dan dunia usaha secara luas.
Tiga tawaran ini menuntut keterlibatan banyak pihak dan juga banyak disiplin ilmu, baik sains dan teknologi bidang energi, politik, ekonomi, dan mungkin juga humaniora. Merajut kolaborasi dari banyak pihak dan lintas ilmu ini tentu juga menjadi tantangan tersendiri.
Untuk mendorong kerja sama ini, Gates mengemukakan bahwa tiap pihak mesti juga memandang dari sudut pandang kepentingan diri sendiri. Pandangan altruistik mungkin dianggap kurang cukup meyakinkan untuk mendorong kerja sama pada bidang yang cukup rumit ini.
Jika dicermati secara mendalam, tampak bahwa buku ini ditulis dengan perspektif pengusaha dan inovator teknologi. Kelebihannya, proposal solusi Gates penuh perhitungan detail dan menimbang faktor risiko dan sisi negatif. Namun, kekurangannya, Gates kurang memberi porsi pada dimensi politis tatanan energi yang ada saat ini, baik pada tingkat negara maupun dalam konteks global. Padahal, masalah konflik antara negara dan korporasi yang terkait dengan energi misalnya dapat juga menjadi penghambat signifikan dalam perumusan kebijakan energi bervisi hijau.
Buku ini dapat menjadi bahan berharga untuk mendorong pembicaraan yang lebih intens dan multi perspektif tentang upaya bersama mengantisipasi bencana iklim global. Setidaknya, semua pihak mau untuk menaruh perhatian dan mau membicarakannya bersama-sama. Tanpa upaya bersama, rasanya sulit untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.
Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 18 Desember 2021.
Sabtu, 18 Desember 2021
Tawaran Konkret Solusi Bencana Iklim
Kamis, 16 Desember 2021
Sebuah Percakapan Singkat tentang Pengembangan Literasi Digital Mahasiswa
Mengapa mahasiswa perlu memiliki dan mengembangkan literasi digital?
Kita hidup di era digital. Era digital ini telah memberikan pengaruh yang sangat luas dan mendalam bagi kehidupan manusia, baik pada tataran kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan pada tataran eksistensial.
Apa yang dimaksud dengan era digital?
Era digital adalah suatu periode waktu Ketika informasi begitu mudah dan cepat diperoleh dan disebarluaskan. Penyebabnya adalah semakin masifnya teknologi digital yang digunakan oleh manusia, bahkan hingga ke wilayah pelosok. Teknologi digital itu pun juga berkembang dengan cepat, sehingga era digital memberikan dampak perubahan yang cepat dan luas. Secara kebahasaan, KBBI menjelaskan arti kata “digital” sebagai “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”. Namun, secara asal Bahasa, kata ini berasal dari kata Latin “digitalis” yang berarti “jari”. Di era digital, manusia telah berubah menjadi “manusia jari” yang memusatkan aktivitasnya saat menggali informasi dengan menggerakkan jarinya pada sebuah perangkat digital.
Apa saja dampak atau pengaruh era digital dalam kaitannya dengan pembicaraan kita pagi ini?
Tema diskusi ini sudah memperlihatkan satu hal: bahwa era digital mendorong lahirnya industry 4.0, yakni sebuah model pengelolaan industri yang memanfaatkan sistem otomatisasi berbasis computer secara lebih menyeluruh sehingga keputusan-keputusan tertentu dibuat secara otomatis oleh mesin pintar. Secara lebih luas, dampak atau pengaruh era digital bisa dijelaskan secara lebih luas. Yang pertama, pada tataran yang paling mudah terbaca, kita mengalami banjir informasi yang belum pernah dialami sebelumnya. Sekitar 25 tahun yang lalu, kita, termasuk atau terutama pelajar/mahasiswa, akses untuk mendapatkan informasi relatif sulit. Saat ini, kita bahkan mengalami banjir informasi. Jutaan berita atau informasi disebarkan melalui perangkat digital. Kedua, pada tataran yang lebih jauh, banjir informasi dan teknologi digital yang semakin massif ini membentuk cara baru dalam berinteraksi, termasuk dalam kaitannya dengan cara menggali informasi. Dengan kemudahan akses tersebut, manusia cenderung menjadi bersikap instan dan dangkal dalam mendapatkan informasi. Nicholas Carr, penulis buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (2011) menjelaskan bahwa internet telah menurunkan kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam serta menggerus kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan merenung—hal-hal yang sangat mendukung kreativitas dan inovasi. Internet mendorong cara berpikir yang dangkal, serba instan, cepat, dan massal. Di satu bagian, Carr menggambarkan kecenderungan ini dengan metafor yang menarik: “yang sedang kita alami adalah pembalikan dari sejarah awal peradaban: kita berevolusi dari pengolah pengetahuan pribadi menjadi pemburu dan peramu di belantara data elektronis”. Ketiga, menurunnya kemampuan membaca secara intensif ini pada gilirannya berpotensi untuk menyesatkan manusia dengan penyebaran informasi yang disalahgunakan. Berita palsu atau pembingkaian untuk kepentingan tertentu belakangan menjadi hal yang cukup sering kita temukan.
Kalau dirangkum secara singkat, bagaimana gambaran dampak era digital ini?
Ada tiga poin. Pertama, ketakterbendungan arus informasi. Kedua, kedangkalan muatan informasi. Ketiga, kecenderungan untuk mengacaukan pola hubungan masyarakat.
Kalau demikian, lalu apa yang perlu kita lakukan, utamanya terkait dengan pelajar/mahasiswa sebagai insan Pendidikan?
Apa yang tergambar dalam tema ini sudah tepat, yakni bahwa kita perlu membekali pelajar/mahasiswa dengan literasi digital.
Apa itu literasi digital?
Merangkum dari berbagai sumber, sebuah buku yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam kaitannya dengan Gerakan LIterasi Nasional menjelaskan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi ini, literasi digital berarti memiliki lapisan atau tingkatan, mulai dari level sederhana, yakni pemanfaatan secara dasar seperti menyerap informasi, hingga level kreatif yakni mencipta informasi.
Jadi, jika ingin mengembangkan literasi digital, apa yang harus kita lakukan?
Kita sedang berhadapan dengan suasana budaya yang menyeluruh dan membentuk keseharian kita. Jadi, upaya untuk mengembangkan literasi digital harus juga dilakukan secara utuh. Yang pertama, dari sudut beberapa lapis makna literasi digital itu, kita harus menanganinya satu per satu. Secara sederhana, ada tiga lapis, yakni menyerap informasi, mencipta informasi, dan menyebarkan informasi. Keterampilan terkait tiga hal ini perlu diberikan kepada mahasiswa kita dengan satu rencana yang rapi dan tertata. Di era digital seperti sekarang ini, literasi digital harus diperlakukan atau dipandang sebagai keterampilan dasar, sama seperti keterampilan membaca pada Pendidikan dasar. Karena jika pelajar/mahasiswa kita tidak memiliki keterampilan dasar ini, maka dampak buruk era digital akan sulit untuk dihindari.
Selain itu, apa hal lain yang harus dikerjakan?
Secara umum, masalah atau tantangan yang muncul terkait dampak era digital ini juga berakar pada kemampuan berpikir sebagai salah satu keterampilan dasar. Literasi digital pada akhirnya adalah soal kemampuan berpikir. Katakanlah, kemampuan berpikir kritis. Beberapa tahun yang lalu, sebuah data mengemukakan tentang krisis kemampuan matematika dasar pada siswa/pelajar kita, yang pada satu sisi bisa menunjukkan kemampuan berpikir pelajar kita yang masih bermasalah.
Apakah dua hal ini cukup untuk mengembangkan literasi digital?
Dua hal ini terkait secara langsung dengan literasi digital. Selain itu, di era digital dan terus berkembangnya model industri berbasis komputasi, mahasiswa kita juga perlu dibekali dengan wawasan global. Artinya, mahasiswa didorong untuk berpikir bukan hanya pada tingkat wilayah/regional sekitarnya semata, tapi harus selalu diajak berpikir dalam konteks konstelasi dunia. Kita tahu, globalisasi adalah bagian dari dampak era informasi yang dipercepat dengan era digital saat ini.
Apa ada strategi yang bersifat lebih konkret?
Sementara, yang tergambar dalam pikiran saya, pada tingkat yang paling sederhana adalah berupa pendampingan peningkatan keterampilan membaca. Mahasiswa didampingi untuk meningkatkan keterampilan membaca atau menyerap informasi. Kalau bisa sesuai dengan bidang atau minat keilmuannya, itu tentu lebih baik.
Wah, kok strateginya terkesan sederhana ya?
Ya, mungkin tampak klasik, dan sederhana. Tapi ini hal mendasar. Dan kita sejauh ini belum selesai dengan hal-hal yang mendasar seperti ini. Jadi tetap harus dikerjakan, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kalau dipaksa dilewatkan, jalan yang ditempuh berikutnya bisa kurang sempurna atau bahkan bermasalah. Kita mungkin akan melihat produk pemikiran mahasiswa yang dangkal, atau mereka di era industri ini tidak mampu menjadi knowledge worker yang keahliannya ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan mendasar. Untuk lebih detailnya, nanti kita diskusikan lebih lanjut ya. Terima kasih.
Pengantar diskusi di STIT Aqidah Usymuni Sumenep pada tanggal 30 September 2021.
Read More..
Label: Literacy
Minggu, 20 Juni 2021
Membangun Dunia dengan Asumsi Baik Sangka
Judul buku: Humankind: Sejarah Penuh Harapan
Penulis: Rutger Bregman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2021
Tebal: xxiv + 444 halaman
ISBN: 978-602-06-4919-1
Saat ini dunia dikelola di atas pandangan dasar yang suram. Dunia bisnis, pendidikan, juga negara, ditata dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat dasar egois dan digerakkan oleh kepentingan pribadi.
Adam Smith, ahli ekonomi pencerahan, dalam karya klasiknya, The Wealth of Nations (1776), menjelaskan bahwa roda ekonomi berputar bukan karena dorongan kemanusiaan, tapi karena rasa cinta individu pada diri sendiri. Karena itu, egoisme jangan diredam.
Buku ini mengajukan argumen yang berbeda, yakni bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia itu memiliki naluri untuk bekerja sama, bukan bersaing. Manusia itu cenderung menaruh kepercayaan pada sesama, bukannya saling curiga.
Rutger Bregman, sejarawan muda dari Belanda yang menulis buku ini, menggambarkan betapa pandangan suram bahwa hakikat manusia itu bersifat durjana begitu dominan. Persepsi keliru ini utamanya terbentuk karena kita setiap hari mengonsumsi berita di berbagai media. Berita, menurut Bregman, cenderung mengangkat hal-hal yang negatif sehingga akhirnya membentuk persepsi bahwa manusia itu bersifat dasar buruk.
Bukan hanya berita, dari sisi ilmiah, banyak teori atau penemuan ilmiah yang menegaskan sisi muram manusia. Penelitian Philip Zimbardo pada 1971 menemukan bahwa manusia biasa berubah menjadi monster jika berada dalam situasi tertekan. Penelitian Milgram pada 1961 menunjukkan bahwa manusia patuh berbuat jahat saat berada dalam tekanan otoritas.
Untuk membongkar pandangan yang sudah mendarah daging ini, Bregman merangkum dan menelaah kembali beberapa penelitian mutakhir di bidang sejarah, humaniora, dan sains secara kritis. Pertama, Bregman membahas kemunculan homo Sapiens dan bagaimana ia bisa bertahan hingga kini.
Berdasar beberapa penelitian dari perspektif evolusioner, Bregman menyimpulkan bahwa manusia tidak dibentuk oleh gen egois seperti digagas Richard Dawkins. Jenis homo yang bertahan adalah yang ramah. Keramahan dan kerja sama melahirkan kecerdasan yang jauh lebih dahsyat ketimbang genius individual yang egois seperti Neanderthal.
Bregman membahas penyebab sifat baik manusia yang berubah menjadi jahat. Menurut Bregman, paling tidak ada dua pokok penyebab manusia menjadi jahat, yakni empati dan kekuasaan. Empat itu tak sepenuhnya baik. Empati bisa membutakan, membuat sifat baik manusia digusur oleh sifat buruk. Sebuah penelitian psikologis atas tentara Nazi mengungkapkan bahwa mereka bisa berperang dengan luar biasa bukan karena daya tarik ideologi Nazi, tapi karena persahabatan (Kameradschaft).
Sementara itu, kekuasaan cenderung membuat orang kehilangan sifat baik dan kebersahajaannya –sesuatu yang mungkin membuat dia terpilih sebagai pemimpin. Dari beberapa riset, Bregman menulis bahwa kekuasaan itu seperti obat bius yang mematikan kepekaan seseorang pada orang lain.
Bregman menjajaki kemungkinan membangun dunia dan lembaga-lembaga masyarakat dengan pandangan berbaik sangka. Prasangka baik atas sifat dasar manusia ini adalah sebuah harapan atau optimisme atas masa depan sejarah dunia.
Ada beberapa contoh konkret praktik lembaga yang menurut Bregman dikelola dengan asumsi sifat baik manusia. Di antaranya adalah pengelolaan dua penjara di Norwegia (Halden dan Bastøy) yang tak biasa karena dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi –tak ada sel dan jeruji di sana.
Bregman menunjukkan bahwa dua penjara yang dibangun dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik itu justru lebih berhasil dan efektif dalam mengembalikan para narapidana pada kehidupan normal di masyarakat. Setelah dua tahun keluar dari Bastøy, misalnya, hanya 16 persen yang kembali dipenjara sesudah dua tahun –sedangkan di Amerika, angkanya mencapai 60 persen.
Gagasan reformasi yang diajukan Bregman diakuinya tidak mudah untuk diterima. Selalu ada alasan yang dikemukakan untuk berpegang bahwa manusia itu jahat. Selain itu, membela sifat baik manusia bisa menantang kekuasaan. Asumsi bahwa sifat manusia itu dasarnya adalah baik menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda dengan yang lazim dipraktikkan saat ini.
Ide besar yang digagas buku ini menarik untuk dicermati lebih lanjut dan dikontekstualisasikan dengan situasi masyarakat kita. Reformasi kelembagaan di masyarakat kita sangat pantas untuk mempertimbangkan perspektif baru yang diajukan buku ini.
Selain gagasan dasar yang ditawarkan, kelebihan buku ini terletak pada kekayaan data dan argumentasinya yang dibangun secara kritis di atas banyak penelitian ilmiah mutakhir. Ketajaman analisisnya berpadu dengan gaya bertutur yang renyah dan nyaman dicerna. Namun sayang, edisi terjemahan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks yang dapat memudahkan pembaca untuk mencari subjek penting tertentu secara lebih cepat.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Juni 2021.