Judul Buku : Teologi Dialog Islam-Barat: Pergumulan Muslim Eropa
Penulis : Tariq Ramadan
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Maret 2002
Tebal : 322 halaman
Hidup sebagai kelompok minoritas memang selalu mengundang konflik identitas personal yang diam-diam terjadi secara massif. Kadangkala, rasa inferiority complex timbul, diiringi dengan sikap-sikap tidak dewasa yang malah semakin merugikan dan membatasi ruang gerak mereka.
Buku ini, yang berjudul asli To be a European Muslim: A Study of Islamic Sources in the European Context, merupakan hasil refleksi kritis penulisnya, Tariq Ramadan, selama hidup dan mengamati pergumulan identitas kaum muslim di kawasan Eropa. Komunitas muslim Eropa mulai muncul pada sekitar Perang Dunia Kedua, ketika kawasan Eropa secara sosial-ekonomi berantakan dan membutuhkan banyak tenaga kerja murah. Arus imigrasi mengalir deras dari kawasan Asia, Afrika Utara, dan Turki ke negara-negara Eropa, terutama Inggris, Jerman, dan Prancis. Di penghujung milenium, umat Islam di Eropa Barat sudah mencapai jumlah antara 12 hingga 15 juta jiwa.
Konflik identitas yang dihadapi mereka di lingkungannya menyangkut pilihan subjektif apakah mereka adalah seorang muslim atau seorang warga negara di Eropa. Pertanyaannya, mungkinkah ada identitas jalan tengah yang mampu menyelamatkan mereka dari tuduhan sebagai seorang fundamentalis atau orang yang terasing dari ajaran agama Islam?
Hal penting yang digarisbawahi Tariq Ramadan, penulis buku ini yang merupakan cucu Hasan Al-Banna dan tinggal di Prancis, dalam buku ini adalah adanya kenyataan bahwa seringkali kaum muslim Eropa merespons persoalan konflik identitas mereka secara emosional dan penuh ketakutan sehingga justru memperumit identifikasi masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan mereka cenderung reaktif dan defensif sehingga kadang-kadang merusak citra diri kaum muslim sendiri.
Berangkat dari keprihatinan itulah, Tariq Ramadan dalam buku ini berusaha untuk mengkonstruksi semacam “teologi dialog” yang bercorak positif, tidak protektif tapi bersifat kontributif bagi komunitas baru kaum muslim di Eropa. Untuk menjawab persoalan tersebut, Tariq dalam buku ini mencoba menggali kembali sumber-sumber utama ajaran Islam baik yang bersifat teologis maupun yuridis yang berhubungan dengan soal persoalan tersebut.
Salah satu pokok ajaran Islam yang cukup penting yang dibahas oleh Tariq adalah bahwa keberadaan seorang muslim di muka bumi ini harus merupakan keberadaan yang aktif, dengan melibatkan diri dalam semua urusan manusia. Ini adalah refleksi dari keberimanan seorang muslim itu sendiri, seperti tampak dalam banyak ayat al-Qur’an yang selalu mengaitkan iman dengan perbuatan baik (amal saleh) (bandingkan, Q., s. Ali Imran/3: 110). Lebih jauh lagi, kalimat syahadat (persaksian keberislaman) menurut Tariq bukan sekedar pernyataan biasa, tetapi juga mengandung konsep mendalam tentang pemberian amanah yang menuntun jalan hidup seseorang maupun masyarakat.
Untuk itulah, Tariq juga menekankan pentingnya pemikiran-pemikiran baru yang berbasis pada aktivitas ijtihad (atau fatwa) untuk mengarahkan keberimanan seorang muslim kepada suatu bentuk Teologi Islam yang aktif-positif. Bagian pertama buku ini merupakan usaha Tariq untuk memberikan landasan pemikiran terhadap hal tersebut, yakni ketika Tariq menguraikan historisitas perkembangan khazanah keilmuan Islam. Ilmu-ilmu keislaman pada dasarnya adalah upaya untuk memelihara agar iman selalu intens, sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan Nabi Saw dalam setiap situasi sejarah.
Pada salah satu uraian dalam bagian pertama buku ini Tariq mencatat beberapa prinsip penting yang terdapat di dalam prinsip-prinsip metodologi hukum Islam (ushul fiqh). Di antaranya prinsip al-mashlahat (pertimbangan manfaat umum), ketentuan pertanggungjawaban setiap tindakan manusia, serta adanya beberapa hal menyangkut hukum yang pemutusannya diserahkan pada ijtihad manusia sendiri.
Salah satu konsep hukum Islam yang mengatur legalitas eksistensi seorang muslim di tengah komunitas masyarakat tercermin dalam konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Dua konsep ini sebenarnya memang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tapi merupakan hasil klasifikasi ijtihad ulama klasik. Dar al-Islam (wilayah Islam) adalah wilayah geografis tempat diberlakukannya hukum Islam, dan atau berada di bawah naungan pemerintahan muslim. Dar al-harb (wilayah perang) secara umum didefinisikan sebagai wilayah sistem pemerintahan yang “tidak islami”.
Tariq jelas-jelas mengkritik model pembagian yang sangat dikotomis itu. Konstruksi dunia kontemporer sudah sedemikian kompleks sehingga persoalan tersebut tidak dapat disederhanakan begitu saja. Bahkan terkadang, dari definisi tersebut di atas, muncul paradoks: di negara yang disebut dar al-harb komunitas muslim justru lebih menikmati kebebasan mengekspresikan ajaran keberagamaannya ketimbang di wilayah dar al-Islam.
Logika konflik yang diusung dalam gambaran dwipolar itu telah menjebak umat Islam dalam suatu cara berpikir yang tidak positif. Tariq mengajukan suatu cara pandang baru: Barat bersama negara-negara yang dipengaruhinya saat ini adalah pusat dunia, sedang yang lain adalah periferi. Dengan cara pandang demikian, ketika seseorang hidup di dunia Barat (pusat), maka ia tidak harus mundur ke visi lama dua kutub dengan mencari-cari musuh, melainkan harus mencari mitra yang bersedia dan bertekad memilih produk budaya Barat untuk meningkatkan kontribusi positif terhadap dunia, menolak penyimpangannya yang merusak, meningkatkan kebajikan dan keadilan dalam dan melalui persaudaraan manusia, untuk semua umat manusia apapun ras, asal, atau agama mereka. Di Barat, mereka (kaum muslim) harus memberi kesaksian (membuktikan kebenaran), mereka harus menjadi saksi atas siapa mereka sebenarnya dan atas nilai-nilai (positif) yang mereka percayai.
Dengan mempertimbangkan uraian tersebut, Tariq mengaitkan posisi komunitas muslim di Eropa dengan konsep dar al-da`wah. Dar al-da`wah mengacu kepada situasi Nabi sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hidup sebagai minoritas dan dituntut untuk mempertunjukkan (mempersaksikan) keyakinan agamanya kepada masyarakat Mekah.
Untuk memperjelas uraiannya, Tariq menjelaskan bahwa ada lima unsur pokok yang menjadi bagian dari identitas seorang muslim, yakni iman dan spiritualitas yang diyakininya, kepatuhan melaksanakan ibadah dan perintah agama, perlindungan hak sosial, politik dan ekonomi, kebebasan untuk beribadah atau memberi kesaksian terhadap kebenaran agamanya, serta partisipasi aktif dalam masyarakat. Ketika kelima hal ini ada, maka seorang muslim bertanggung jawab untuk bertindak memastikan keamanan mereka atau memperbaiki situasi mereka maupun masyarakat secara menyeluruh.
Jalan tengah yang diusahakan Tariq Ramadan untuk merumuskan identitas seorang muslim di tengah-tengah dunia global yang plural ini adalah bagian dari usaha pembuktian bahwa Islam dapat (dan seharusnya) tampil sebagai rahmat bagi semesta (rahmat li al-`alamien). Hal ini menjadi penting untuk dipikirkan dan diagendakan mengingat kecenderungan akhir-akhir ini yang menunjukkan adanya sikap-sikap defensif dan protektif yang berlebihan dalam menyikapi berbagai bentuk ancaman dan rongrongan terhadap identitas dan ajaran agama.
Ini tidak saja dialami oleh komunitas muslim minoritas seperti di Eropa. Tapi, sebagai umat mayoritas pun komunitas muslim kadang-kadang masih bersikap tidak dewasa dan proporsional menyikapi pluralitas sosial di masyarakat, sehingga secara ironis memunculkan sikap-sikap yang justru mencitrakan sesuatu yang negatif. Sikap percaya diri berlebih memang kadang berpotensi melahirkan perilaku totaliter.
Kelebihan buku ini terletak pada uraiannya yang khas, yang menggali kembali etos sejarah nilai Islam dalam tradisi keilmuan yang dibangunnya sepanjang zaman, berhadapan dengan problem pluralitas agama dan sosial. Etos yang termuat dalam lembar sejarah ini belakangan memang kurang begitu diperhatikan, akibat keterjebakan komunitas muslim ketika membaca warisan sejarah dan tradisi keilmuan yang dimilikinya. Pendasaran kepada nilai-nilai yang terkandung dalam fakta sejarah memang kemudian menjadikan argumen yang disusun menjadi cukup kuat.
Teologi Dialog yang direkomendasikan buku ini pada akhirnya memang tidak saja menuntut dialog intens intra-agama untuk membangun keberimanan yang positif, tetapi juga ajakan untuk memberdayakan diri melalui kemandirian politik dan finansial, serta pemilihan agenda-agenda mengakar yang berorientasi ke depan.
Tulisan ini dimuat di www.attin.org 1 Desember 2002.
Senin, 02 Desember 2002
Mengembangkan Teologi Islam Positif
Senin, 18 November 2002
Bahasa, Yang Menjelma Jendela
Bulan ini bulan bahasa. Di bulan ini, orang-orang memperingati kekuatan serangkaian bunyi dan aksara, yang dulunya sanggup menyatukan bangsa, mengantarkan warga menuju gerbang kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia. Tapi itulah sejarah, yang kini mungkin sudah tak lagi bertuah, bahkan bagi orang-orang yang mengaku sebagai pewaris sah darah juang para pahlawan. Sekarang adalah tahun 2002, suatu anak tangga yang retak-retak di awal milenum ketiga; bukan lagi Oktober 1928, yang udaranya dipenuhi bara gelora yang sanggup menggerakkan dan menghimpun kekuatan bangsa.
Saat ini, masihkah kita bisa berharap pada kekuatan bahasa, untuk kembali mengantarkan bangsa ini ke sebuah ruang masa depan yang lebih bermakna? Adakah bahasa masih dapat menyisakan kekuatannya ketika sekian lama ia dipecundangi dan dilumuri dengan ambisi dan ketidakjujuran yang seringkali malah dibangga-banggakan? Otoritarianisme Orde Baru sepanjang lebih dari 30 tahun telah memerkosa bahasa sedemikian rupa, sehingga setiap kata diabsahkan tafsirnya dalam suatu kamus tunggal penguasa. Rakyat tak lagi berdaya menentukan makna, menjiwai bahasa.
Tapi reformasi terbukti tidak sekonyong-konyong menyediakan ruang yang melegakan bagi unit-unit bahasa untuk mementaskan kejernihannya. Reformasi masih juga tak kunjung bersih dari asap sisa pembakaran, halimun, atau juga endusan nafas angkuh yang selalu mencari celah untuk berselingkuh. Bahasa yang hanya menjadi sebentuk jargon malah tak dapat dibendung kehadirannya. Spanduk-spanduk, pamflet, salebaran, dari yang bernada membujuk hingga yang provokatif (dari level biasa hingga yang berbau ancaman) terpampang di tempat-tempat umum, disebar untuk menggalang kekuatan politik massa.
Dengan kata lain, belum ada ruang publik yang sanggup menampung pengungkapan bahasa yang dapat memaparkan lempeng ketajaman logika yang tertata dan disepuh permata ketulusan. Pertanyaannya, di manakah dimensi itu kini berada, di antara sejumlah harapan dan keinginan yang selalu terintangi oleh sekian bencana? Ke arah mana sebenarnya para elit bangsa sedang berpikir, sadar atau tidak, tentang bahasa dalam kerangka masa depan bangsa?
Hal yang cukup mendesak saat ini adalah bagaimana memosisikan kembali bahasa dalam kesadaran kolektif bangsa sebagai sebuah media penghantar menuju kemenyatuan aras rasional yang jernih dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Sudah cukup lama bangsa ini menjadikan bahasa tidak sebagai jendela, tapi sebagai sekat yang semakin mengentalkan komunalisme, fanatisme, dan jargonisme. Masyarakat dirintangi untuk dapat menikmati kejernihan tatanan bahasa yang sanggup membuka mata dunia, membelah akal majal yang selama ini hanya menerpurukkan bangsa dalam perasaan saling dendam.
Bahasa yang menjelma jendela adalah bahasa yang membebaskan, ungkapan polos rakyat bawah yang memiliki kejujuran dan ketulusan, tuturan kaum ilmuwan yang berpegang pada prinsip dasar epistemologis pengembangan pengetahuan, bahwa titik akhir suatu ilmu adalah prinsip etis yang indah dan bermoral. Bahasa yang menjelma jendela adalah bahasa yang sanggup merobohkan dinding pembatas kelompok, mempertemukan dalam satu ruang perjamuan kemanusiaan, meleburkan hasrat jahat dan mengangkat niat bulat demi mengecap nikmat yang hakikat.
Di bulan bahasa ini, kita diajak bersama-sama mengail kembali kearifan sejarah dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Bersama ini pula, seluruh komponen bangsa diseru untuk melepas atribut partikular kediriannya untuk menyatu dalam satu rombongan besar kebangsaan. Lalu, bahasa, yang menjadi latar peristiwa sejarah ini, kita kembalikan dalam kefitriannya yang paling dasar: sebagai bentuk cara berpikir yang relatif steril dari sesat pikir, kontradiksi, dan ketidakmasukakalan. Bersama inilah, kita semua berharap agar cara berkomunikasi kita semakin dipulihkan, dengan mengandalkan kejernihan nalar dan kejujuran suatu niatan. Bukan cuma dalam level komunikasi sosial sehari-hari, tapi juga dalam soal pengembangan ilmu, pemilihan opsi keputusan publik, juga media massa.
Masa depan bangsa ini, di antaranya, mungkin saja terselip di antara baris-baris aksara, baik yang meluncur di antara lisan orang-orang, atau yang terpahat di pagina-pagina terbitan buku, harian atau mingguan. Memulai berbenah dari titik paling rendah, di antara jejak langkah sejarah dan masa depan yang cerah, adalah sebentuk pertanggungjawaban kita sebagai anak bangsa.
Selasa, 05 November 2002
Antara Representasi dan Simulasi
Judul buku : Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi dan Simulasi
Penulis : Ratna Noviani
Penerbit : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan CCSS Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2002
Tebal : 157 halaman
Kritik Marx tentang eksploitasi kelas pekerja dan kaum proletar yang berada dalam asuhan sistem ekonomi kapitalisme akhir-akhir ini sudah tidak lagi mencukupi untuk mewadahi arus perubahan sosial di masyarakat. Seiring dengan pergeseran model kapitalisme yang kini tidak lagi berpusat pada aras produksi, melainkan pada level konsumsi, sejumlah teoritisi sosial menggenapi kritik Marx dengan memberi sejumlah peringatan perihal terkekangnya konsumen dalam menentukan aktivitas konsumsi sehari-hari. “Ketertindasan” konsumen ini memang nyaris tak terlihat oleh pandangan biasa, sebab argumen yang dibangun berlindung di balik dalih kebebasan individual.
Pada titik inilah, perbincangan mengenai iklan menjadi signifikan, karena dalam konteks ini, di satu sisi iklan adalah motor penggerak roda sistem ekonomi yang menjaga keseimbangan antara produksi massal berbasis industri dengan konsumsi masyarakat, dan di sisi lain iklan menjadi motif pendorong aktivitas konsumsi yang mampu mendefinisikan suatu barang dalam kerangka kebutuhan pribadi seseorang.
Dari sisi teori-teori komunikasi, dijelaskan bahwa ada dua perspektif teoritis dalam mendedahkan fenomena iklan, yang merujuk pada tiga kata kunci: realitas, representasi, dan simulasi. Perspektif pertama menerangkan bahwa iklan muncul dengan menghadirkan kembali (representasi) realitas sosial. Dalam prosesnya, iklan tidak semata-mata merepresentasikan realitas, tapi juga memberi perspektif baru, memilah, dan menonjolkan segi-segi tertentu dari realitas yang diangkat. Sementara menurut perspektif kedua, yang dalam hal ini merujuk pada sosok filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard, justru iklan menjadi salah satu mesin pencipta dunia hiper-realitas yang terdiri dari citra-citra yang saling mengkait, sehingga menjebak masyarakat hidup dalam realitas semu. Inilah Era Simulasi, ketika teknologi informasi, media massa, dan komputerisasi melahirkan efek citra, simulakra, dan rimba tanda yang mengantar masyarakat dalam sebuah taman impian.
Buku ini adalah sebuah kajian kritis terhadap dua perspektif teoritis tersebut, yang berkeyakinan bahwa sebenarnya memahami fenomena iklan tidak harus terjebak ke dalam titik ekstrem salah satu cara pandang tersebut di atas. Dengan mengambil contoh lima buah iklan yang pernah cukup populer (yakni iklan Sampoerna A Mild versi Waktunya Unjuk Gigi, Clear Menthol versi Siapa Takut?, wanita-wanita Lux, Sari Ayu versi Mentari Pagi Bromo, dan iklan Majalah Tempo versi Bangunlah!), buku ini berkesimpulan bahwa iklan tidak hanya bersifat pasif menyerap citra, tetapi juga aktif berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga konteks sosial dari kehadiran suatu iklan juga dapat mengemuka. Di sinilah lalu terjadi dialektika antara citra dan realitas dalam panggung realitas yang dihadirkan iklan itu sendiri.
Ambil saja contoh iklan Sampoerna A Mild versi Waktunya Unjuk Gigi. Iklan yang diluncurkan pada tahun 1998 ini menjadi semacam seruan kepada masyarakat untuk ikut menunjukkan partisipasi nyata dalam proses reformasi sosial-politik yang tengah berlangsung (inilah aspek representasinya). Semboyan Bukan Basa Basi yang melekat pada A Mild, yang semula merujuk pada kadar tar dan nikotin A Mild yang rendah, lalu dapat ditafsirkan sebagai pernyataan serta ajakan untuk berbuat yang lebih nyata. Ada semacam usaha penciptaan citra bahwa Sampoerna A Mild juga memiliki sense of crisis dan peduli dengan proses perubahan sosial. Kalimat "Waktunya Unjuk Gigi" di satu sisi menggambarkan terbukanya pintu kebebasan yang sebelumnya tak diperoleh—tapi nyatanya sebelum reformasi juga ada beberapa suara kritis yang menentang rezim (inilah aspek simulasinya). Pun di sini tampak nuansa ideologis yang berusaha ditampilkan A Mild, bahwa mereka memiliki semacam emosi nasionalisme.
Tapi juga tak jarang proyeksi visi ideologis yang muncul dari suatu iklan justru berpihak pada status quo yang kurang menguntungkan bagi proses transformasi sosial yang bernuansa egaliter. Ini terlihat dalam iklan sabun Lux maupun tata rias Sari Ayu yang meneguhkan konstruksi sosial atas peran domestik kaum perempuan. Dalam kedua iklan tersebut, sosok perempuan ditonjolkan sisi domestiknya, serta kurang diberi ruang untuk mengekspresikan peran sosialnya.
Studi yang dilakukan buku ini pada akhirnya menerbitkan beberapa hal penting. Berkait dengan perkembangan teoritik, buku ini berusaha mensintesakan dua arus teori yang mencermati fenomena iklan, yang dicontohkan dengan baik dalam kasus lima iklan tersebut di atas. Berkait dengan arah perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat yang bertumpu pada perkembangan kapitalisme, buku ini menjadi semacam seruan kepada khalayak agar secara kritis dapat mencermati dan memosisikan iklan dalam proporsi yang tepat, sehingga masyarakat tidak masuk dalam jejaring budaya konsumsi yang hedonistik. Meski kelima iklan yang dikaji di buku ini terbilang "basi", tapi relevansi buku ini tetap kuat karena memang buku kajian tentang iklan di Indonesia yang bersifat empiris masih amat minim.
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 November 2002.
Senin, 04 November 2002
Letters from Palmerah
Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999 (Letters from Palmerah: Indonesia under the Mehong Politics 1996 - 1999); By Seno Gumira Ajidarma; Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, April 2002; xxii + 287 pp
Although the reform drive in Indonesia has been going on for four years, everyone is curious if Indonesia has really changed for the better.
Is Indonesia still trapped by the mehong politics so that the ongoing reform is nothing but reformehong? The political show by the political elite has only disappointed the public and to a certain extent has lent apathy, or even pessimism, to part of the community.
This book is a collection of editorial-like letters that Seno wrote in Jakarta Jakarta magazine between 1996 and 1999. These letters have some interesting aspects.
First, his choice to write an editorial in the form of a letter seems to suggest a more liquid form of communication generating a greater personal and humanitarian touch on the part of the readers. Perhaps, Seno saw something wrong in the communications involving all national elements. He may have seen the result is only a fawning attitude or a mentality fraught with revenge and animosity.
Second, given the fact that the readers of Jakarta Jakarta were mostly young executives who the New Order regime had alienated from the political realm, these letters in a certain sense could serve as an interesting medium of political education as they were intended for the middle-class people.
Sometimes, the letters very explicitly show this direction, especially when the writer uses words like yuppies and the like.
The next interesting aspect of these letters is they are conveyed in a good and interesting narrative flow, interspersed with sarcasm, worries, reflection, wisdom, comedy or a ridicule of our political life.
When Seno put under his spotlight the never-ending violent communal conflicts, he took the viewpoint of how the community got themselves trapped in the prison or labyrinth of animosity.
He described how people were no longer masters of themselves and willingly allowed themselves to be the slaves of unconsciousness called animosity, ambition or revenge. At this point, Seno made a conclusion that the reform was yet to produce a significant change, particularly in the political culture of everyday life.
Indeed, political ideology has found its freedom of expression. Unfortunately, it still came from a hypocritical and arrogant cultural tradition. Comically, Seno poses a question: While someone's mental crisis can be addressed by a psychologist or a witch doctor, what about a mentally ailing nation?
The acute ailment that this nation is afflicted with seems to be slowly leading it towards destruction. In the other part of the book, he also gives his warning that if you have an excessive desire to put down conflicts and anarchy for the sake of orderliness, the result will often be another form of anarchy.
Seno has touched the nation's political culture, an aspect of life which is yet to undergo substantial changes. It is true that it is now rare to find physical or militaristic repression of the New Order regime, but a conspiracy of oppression, which the illegal product of power that colludes with ignorance and deception, is not rare to find.
While the political elite are busy vying for power, the little people have been duped. While in fact these little people are the reform and development heroes, they have been turned into mere commodities.
In one of the letters, Seno rhetorically asks: "Do you know who has built Indonesia? They have no seats. They are the people that have been sacrificed."
In this context, the perspective of a political education intended to improve the political intelligence of the people and encourage their political participation has assumed great importance for a discussion. Seno criticizes the elite on the political stage because they provide little education to the people. Their speeches are rarely based on the clarity of their mind and a well-arranged thinking system. Their words sometimes resemble curses smacking of trash, provocations or an outburst of their personal emotion or the emotion of their own group.
His letters are good to read and observe. They will encourage us to reflect together upon the process of changes now under way in this country and ensure that in this way the victims of changes and reform, already quite big in number, will not just vanish.
The Jakarta Post, November 3, 2002.
Minggu, 27 Oktober 2002
Kembalinya Seorang Penulis
Judul Buku: Kumpulan Kolom dan Artikel Selama Era Lengser
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar: A. Mustofa Bisri
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, September 2002
Tebal: xx + 240 halaman
Gus Dur adalah sosok multidimensional. Secara objektif ini dapat dilihat dari berbagai posisi “formal” yang pernah digelutinya, mulai dari komentator bola, juri Festival Film Indonesia, aktivis LSM, kolumnis, kiai, hingga Presiden RI. Tapi figur Gus Dur secara mendasar memiliki basis identifikasi sebagai seorang intelektual yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan (Islam, khususnya pesantren) yang kental. Lebih dari itu, Gus Dur juga adalah seorang yang intens menuangkan gagasannya dalam tulisan. Esai-esai Gus Dur sudah banyak muncul sejak tahun 1970-an. Bahkan di era itu Gus Dur aktif menulis tulisan panjang di Jurnal Prisma, sebuah jurnal ilmu sosial terkemuka.
Tapi dalam era reformasi, sejak Gus Dur terserang stroke di awal 1998 hingga terus menduduki kursi kepresidenan pada Oktober 1999 sampai akhirnya dilengserkan pada bulan Juli 2001, tulisan-tulisan Gus Dur raib dari media. Buku ini menandai kembalinya seorang penulis bernama Abdurrahman Wahid yang lekat dengan sejumlah ciri pemikiran dan style tulisannya.
Meski buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel, buku ini tetap menarik diapresiasi, lantaran memiliki satu sisi unik dan kontekstual. Sekitar separuh bagian dari buku ini adalah kolom-kolom yang berisi refleksi Gus Dur terhadap perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia. Dengan racikan yang kurang lebih seirama dengan gaya Gus Dur yang kontroversial, Gus Dur mengangkat ke permukaan beberapa sisi sejarah Indonesia yang selama ini dibiarkan tanpa peluang untuk dikritisi. Bahkan, pada beberapa bagian Gus Dur mencoba memberikan pemikiran spekulatif perihal keterkaitan beberapa segi sejarah tersebut dengan perilaku sosial-politik bangsa Indonesia saat ini.
Perihal berdirinya Kerajaan Majapahit, misalnya, Gus Dur mengemukakan bahwa penuturan sejarah selama ini tidak memberi penjelasaan mengapa Raden Wijaya, pendiri kerajaan besar di nusantara ini, membelot dari mertuanya, Kertanegara, raja Singosari. Gus Dur menduga kuat bahwa bisa jadi ada motif agama yang mendasari pertentangan ini, karena Raden Wijaya dalam merintis Majapahit dibantu oleh Angkatan Laut Cina yang nota bene beragama Islam. Pertanyaan besarnya adalah mengapa faktor agama selama ini diabaikan dalam setiap penjelasan sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara. Apakah demi merawat mitos persatuan dan kesatuan bangsa ini justru berpaling dari realitas kesejarahan yang dimilikinya?
Faktor agama ini juga berhasil diendus Gus Dur dalam peristiwa Perang Bubad, yang melibatkan Kerajaan Sunda dan Majapahit. Pecahnya pertempuran tersebut menurut Gus Dur bukanlah kehendak Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, tapi lebih karena rekayasa sayap kaum muslim di Majapahit yang tidak menghendaki menyatunya dua kerajaan tersebut. Sebagaimana dimafhumi, rencananya rombongan Kerajaan Sunda itu mau menyerahkan puteri Sunda untuk dikawinkan dengan Hayam Wuruk. Kelompok muslim di Majapahit tidak menghendaki hal itu, karena dapat berdampak tersumbatnya saluran islamisasi, dan menguatnya ajaran-ajaran Bhirawa (campuran agama Budha dan Hindu).
Ada juga uraian tentang bagaimana Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang mengurungkan niatnya untuk membalas dendam terhadap menantunya, Sutawidjaya, yang lalu lebih memilih membangun masyarakat secara kultural di daerah Lamongan. Gus Dur mengapresiasi hal ini dengan cara menggambarkan pola hubungan periferal-pusat yang tidak simetris untuk pengembangan Islam tanpa merugikan agama Hindu dan Budha yang sedang berkuasa. Semacam perjuangan kultural.
Refleksi Gus Dur tentang beberapa segi sejarah bangsa ini menuntut kita bersama untuk lebih arif memosisikan keragaman warisan kultural kita secara lebih jujur dan kritis. Variabel pluralisme sosial yang memengaruhi jalannya sejarah perkembangan kehidupan masyarakat nusantara mesti diapresiasi secara terbuka, bukan dengan malah menutup-nutupinya atas dalih jargon kosong persatuan dan kesatuan. Ini penting demi mengharapkan munculnya kejernihan analisis sejarah yang mampu mengakomodasi fakta objektif masyarakat nusantara yang betul-betul kaya budaya. Di sisi lain, Gus Dur seperti memprovokasi para sejarawan untuk membaca ulang sejarah dalam bingkai ketulusan yang objektif dan kritis.
Dalam separuh bagian lainnya dari buku ini, Gus Dur memberi pengamatan terhadap sejumlah peristiwa sosial-politik aktual. Perihal kasus WTC 11 September misalnya, secara kritis Gus Dur mengingatkan betapa kadang kita bersikap hipokrit: mengutuk terorisme macam itu, tapi membiarkan terorisme dalam bentuk lain bergentayangan di hadapan kita, seperti pengabaian terhadap berbagai konflik etnis, atau berbagai kejahatan kemanusiaan yang lain.
Tema lain yang diulas Gus Dur dalam buku ini adalah tentang ekonomi kerakyatan, dinamika NU, juga soal-soal keislaman. Perspektif kritis, mendalam, dan khas (kultural) keindonesiaan tampak begitu kental dalam ulasan-ulasannya. Tentang relasi NU dan Muhammadiyah, misalnya, Gus Dur mengemukakan bahwa pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana mengapresiasi perkembangan kedua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia itu dengan memerhatikan laju pencapaian budaya yang berhasil ditanamkan kepada warganya, bukan melulu melalui capaian formal kelembagaan.
Yang sedikit mengganggu dari buku ini adalah kesalahan ketik yang masih berserakan di sana-sini. Juga ada beberapa pengulangan pembahasan serta sistematika jalinan tulisan (kolom) yang kurang runtut sehingga kurang mengenakkan pembaca.
Terlepas dari hal tersebut, kehadiran kembali Gus Dur dalam kancah kepenulisan di Indonesia ini di sisi lain juga menggelitik beberapa politisi atau intelektual, yang selama ini membiarkan refleksinya mengapung dalam genangan pemikiran yang beku, tanpa mau berbagi dengan publik dalam suatu ruang dialog yang kritis.
Senin, 19 Agustus 2002
Indahnya Jalan Para Ilmuwan
Al-ilm nûr, ilmu adalah cahaya. Demikian sebuah ungkapan menyatakan. Tapi kini, ungkapan semacam ini sudah tidak memiliki pamor lagi. Orang lebih terpesona pada gemerlap kehidupan dunia, dan dalam konteks ini, orang lebih terpikat kepada stabilitas pemikiran-yang-stagnan. Ada segudang alasan tentang mengapa orang-orang tidak tertarik pada cahaya pengetahuan. Ada yang beranggapan bahwa pemikiran dan pengetahuan (teoritis) itu tidak memiliki kegunaan dalam hidup keseharian. Ada yang karena tidak sudi dengan karakter berpikir yang selalu menelorkan sikap “subversif”. Ada juga yang karena tertular penyakit malas menyusuri alur pemikiran, lalu menyerahkan semuanya kepada “para perompak akal”.
Buku ini adalah saksi keprihatinan atas akal majal yang kini melanda berbagai komunitas muslim di penjuru dunia. Penghargaan terhadap pengetahuan dan jalan terjal yang dilaluinya tak tampak mengemuka. Bahkan banyak yang lantas sudi menghamba kepada dogmatisme atau solipsisme. Untuk itulah, esai-esai dalam buku ini ditulis demi menyegarkan kembali pikiran umat Islam tentang etos dan penghargaan Islam terhadap ilmu serta kekayaan khazanah keilmuan yang dimilikinya di masa lalu. Penuturan yang dilakukan Dr. Khaled M. Abou El Fadl, penulis buku ini, terbilang unik. Dia seakan-akan melakukan suatu dialog imajiner dengan buku-buku Islam klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu, seolah dia berada dalam suatu Konferensi Buku Islam. Konferensi itu sendiri terselenggara untuk menelaah kondisi umat Islam kontemporer yang terpangkas dari tradisi intelektual mereka.
Penggunaan simbol “buku” di sini terlihat betul-betul mewakili lambang kecermatan berpikir. Dengan buku orang akan lebih leluasa melakukan analisis logis-kritis terhadap setiap gagasan yang dipasarkan ke publik. Dengan buku orang dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran yang lebih maju dan kompleks. Dengan buku pula, peradaban-peradaban menyongsong perhelatan kemajuan.
Peradaban Islam sendiri sebetulnya juga berkembang dari sebuah teks (buku) suci, yakni Alquran. Dan semua orang tahu betapa dari satu teks suci itu, lahir lembaran-lembaran teks yang lain. Sejarah juga telah menunjukkan bagaimana etos keilmuan dalam Islam begitu dijunjung tinggi. Sejarah menuturkan bahwa beberapa ilmuwan Islam klasik harus rela menjadi sasaran despotisme rezim, diasingkan, dikenai tuduhan plagiarisme, dikhianati oleh murid-muridnya sendiri, bahkan mendekam di penjara, demi mempertahankan komitmen dan kesetiaan mereka terhadap kebenaran yang mereka peroleh dengan gigih itu.
Berseberangan dengan gambaran ini, beberapa komunitas umat Islam saat ini justru tenggelam dalam lautan dogma, sikap apologetis, atau kemalasan. Pemikiran jernih dan tertata, yang memiliki silsilah argumentasi dan bertanggung jawab, gagasan dengan landasan yang tulus, sudah cukup sulit dijumpai lahir dari komunitas muslim. Sebagiannya lagi lebih suka mempermegah bangunan-bangunan ketimbang memugar pikiran mereka yang pejal, atau memeriahkan euforia politik dengan bendera partai-partai, kongres, atau kampanye yang hanya dipenuhi dengan janji-janji kosong. Memang pilihan langkah mereka semacam ini didasarkan pada harapan untuk menorehkan kembali tinta emas sejarah dengan memberi peran lebih besar terhadap Islam dalam ranah sosial. Memang impak sosial yang muncul dapat berupa semakin banyaknya forum untuk berekspresi, “berdialog”. Tapi, bila lebih dicermati, yang sering terjadi sebenarnya malah hanyalah monolog yang dilumuri indoktrinasi—dan, ironisnya, orang-orang masih saja menyebutnya dialog. Selain itu, mereka nyaris melupakan elemen penting dari setiap sejarah perubahan, bahwa partisipasi luas masyarakat yang didasari atas sikap kritis, kejernihan dan ketulusan berpikir, tidak kalah pentingnya untuk dikedepankan di antara jejal pemikiran yang tersumpal oleh nalar-nalar gombal.
Esai-esai segar dalam buku ini tidak saja menyajikan sejarah heroik para ilmuwan Islam, tapi juga mengingatkan kita bersama tentang beberapa segi dari seni bernalar yang nyaris tak dipedulikan. Misalnya tentang bagaimana kita harus senantiasa sabar dan tekun dalam menyusun noda-noda ketidaktahuan kita tentang sesuatu hal, bagaimana akal dan hati saling bantu dalam menuntaskan kompleksitas persoalan, atau tentang bagaimana membaca suatu teks secara lebih kritis dan bervisi moral. Dalam beberapa bagian, penulis buku ini juga mengingatkan kita akan pentingnya seni berpikir dalam suatu atmosfer yang jernih, sistematis, terarah, dan tekun.
Melalui inilah, penulis buku ini berharap agar kemunduran Islam, terutama dalam hal penguasaan medan wacana pengetahuan di antara gugus peradaban dunia pemikiran saat ini, dapat terpulihkan. Sebagaimana ilmu adalah cahaya, maka cahaya yang mulai redup dalam komunitas muslim itu hendak dinyalakan kembali, melalui sebuah kilas-balik permenungan di antara lorong-cahaya-masa-lalu-yang-gemilang.
Kesimpulan yang didapat dari suatu proses berpikir memang kadang terlalu mengejutkan bagi sebagian orang. Tetapi itu sebenarnya tak lain adalah risiko yang mesti dihadapi dari suatu proses yang berlandaskan pada niat baik untuk menyelamatkan indahnya perhiasan-kemanusiaan-kita-yang-fitri—bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale). Memang jalan penyelamatan yang harus ditempuh pemikir atau ilmuwan itu penuh onak dan duri, tapi hakikat perjalanan itulah yang betul-betul mampu menganugerahkan kebahagiaan. Seringkali, kebahagiaan itu kita temukan di antara keringat, darah, dan air mata yang bercucuran bersama permata ketulusan.
Bersama esai-esai reflektif dalam buku ini, mari ulurkan tangan, jemput masa depan dalam pelukan cahaya terang pengetahuan. Mari bersama-sama merasakan, betapa indahnya jalan para ilmuwan! Wallahualam.
ketika aksara ternyata memendam kuasa
kenapa kita biarkan ia liar berkelana?
Agustus 2002
Tulisan ini adalah pengantar editor untuk buku Musyawarah Buku karya Khaled Abou El Fadl (Penerbit Serambi). Versi bahasa Inggris berjudul Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam.
Label: Religious Issues
Minggu, 18 Agustus 2002
Kontra Wacana Islam Liberal
Judul buku : Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya
Penulis : Adian Husaini, M.A., dan Nuim Hidayat
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2002
Tebal : 234 halaman
Seperti kata Hegel, realitas memang tersusun dari proses dialektis. Begitu pula arus sebuah gagasan sering mengalami dialektika, terutama ketika berjumpa dengan realitas sosial tertentu. Kelahiran gagasan Islam Liberal di Indonesia terhitung sejak awal tahun lalu misalnya mula-mula dipicu oleh keprihatinan berkembangnya pemikiran keagamaan yang eksklusif dan tertutup sehingga diduga kuat menstimulasi lahirnya tindak kekerasan atas nama agama. Dari situ, hingga saat ini, pemikiran Islam Liberal di Indonesia lantas tersosialisasi begitu kuat dan menjadi suatu diskursus publik yang meriah.
Buku ini menarik terutama karena berusaha menghadirkan sebuah wacana tandingan terhadap berbagai agenda pemikiran yang diusung oleh kelompok pendukung Islam Liberal. Memang selama ini telah terjadi sejumlah diskusi publik di media massa dan forum-forum diskusi antara pendukung pemikiran Islam Liberal dan para penentangnya—termasuk yang juga melibatkan penulis buku ini. Tapi kehadiran buku ini memiliki nilai yang cukup signifikan karena secara lebih sistematis menyajikan sejumlah uraian dan argumen yang relatif komprehensif tentang berbagai pemikiran yang bersifat kontra Islam Liberal.
Penelusuran buku ini dimulai dari perspektif sejarah dalam konteks Indonesia. Menurut buku ini, benih-benih pemikiran Islam Liberal telah tersemai cukup lama di Indonesia. Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Prof. Dr. Harun Nasution yang terbit pada awal dekade 1970-an misalnya pada bagian tertentu menyajikan beberapa gagasan yang seirama dengan pemikiran Islam Liberal saat ini. Demikian pula Nurcholish Madjid, yang merintis Yayasan Paramadina dan berbagai lembaga di bawah binaannya, menjadi salah satu tonggak pemikiran Islam Liberal di Indonesia. Bahkan Greg Barton memasukkan nama Ahmad Wahib (meninggal tahun 1973), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid dalam kelompok pemikir Islam Liberal di Indonesia.
Perluasan dan sosialisasi wacana Islam Liberal ini belakangan didukung kuat oleh komunitas yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal yang menggunakan jejaring berbagai media untuk menyebarkan ide-idenya, mulai dari radio, koran, hingga milis di internet. Beberapa media massa yang aktif meluncurkan gagasan-gagasan Islam Liberal antara lain adalah Kompas, Republika, Jawa Pos, Koran Tempo, dan Majalah Tempo. Sejumlah buku yang menjelaskan gagasan Islam Liberal juga telah terbit dan dibaca luas oleh masyarakat Indonesia.
Ada tiga persoalan utama yang dibidik kedua penulis buku ini, yang merupakan agenda pemikiran kelompok Islam Liberal, yakni masalah teologi pluralis, penolakan terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia yang menurut penulis buku ini berujung pada pengebirian syariat Islam, dan upaya penghancuran terhadap apa yang oleh kalangan pendukung Islam Liberal disebut sebagai “Islam fundamentalis” atau “Islam militan”.
Maraknya tulisan-tulisan di media massa yang mengajak dikembangkannya teologi pluralis-inklusif yang banyak dimotori oleh kalangan intelektual muda menurut penulis buku ini secara tidak sadar telah berakibat pada penghancuran akidah Islam. Terjadi proses pengaburan yang nyaris tak disadari menyangkut konsep Tauhid Islam, yang seperti berakhir pada pemikiran tentang penyamaan agama-agama. Di sini terlihat bahwa penulis buku ini masih meyakini diktum “di luar Islam tak ada keselamatan”. Sementara kelompok Islam Liberal menyoroti doktrin keselamatan ini terutama dari perspektif filsafat perennial, yang membidik ihwal spiritualitas dan keberagamaan dari sisi esoteris.
Sementara itu, penolakan besar-besaran terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia oleh buku ini dilihat dalam spektrum yang lebih luas: konspirasi global yang didukung oleh kekuatan politik, ekonomi, dan media, yang luar biasa demi merawat citra negatif umat Islam. Dimunculkan kesan seakan Indonesia akan berantakan gara-gara syariat Islam, dan bahwa penerapan syariat Islam hanya akan mendiskriminasikan kelompok agama lain. Secara kritis penulis buku ini mempertanyakan, tidakkah penerapan sistem hukum saat ini yang nota bene berasal dari hukum kolonial juga bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain?
Persoalan terakhir yang diulas buku ini adalah soal upaya penyingkiran kelompok yang disebut “Islam fundamentalis” atau “Islam militan”. Problematik persoalan ini terletak pada soal stigma negatif yang telah dan selalu dirujukkan kepada kelompok ini, sehingga orang kebanyakan terlanjur berpikir apriori dan tidak simpatik. Bahkan dalam Pidato Kebudayaan Cak Nur di TIM pada tahun 1992 stigmatisasi ini sudah bermula, dengan menyamakan bahaya fundamentalisme dengan narkotika.
Kehadiran buku ini setidaknya cukup memberi titik terang terhadap sejumlah soal yang diperdebatkan dalam wacana Islam Liberal. Di sini masyarakat dapat dengan leluasa mencermati silsilah argumentasi mereka secara lebih cermat. Pada sisi yang lain, hal yang mengemuka dari buku ini adalah soal pembongkaran stigma kelompok “Islam fundamentalis”, sehingga mereka dapat diperlakukan secara lebih adil dalam proses transaksi wacana di Indonesia. Cara seperti ini akan lebih arif ketimbang melakukan kekerasan di wilayah publik. Cuma sayangnya, buku ini tidak secara sistematis membangun argumen-argumen yang kontra terhadap Islam Liberal, dan lebih hanya merespons beberapa poin pemikiran Islam Liberal yang bersifat polemis.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 18 Agustus 2002.
Minggu, 11 Agustus 2002
Mengurai Perselingkuhan Sejarah Ide
Judul Buku: The Archaeology of Knowledge: Menggugat Sejarah Ide
Penulis: Michel Foucault
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2002
Tebal: 306 halaman
Sebagai salah seorang filsuf posmodern, Michel Foucault (1926-1984) dikenal dengan berbagai pemikirannya yang cukup kontroversial. Yang unik dari filsuf yang banyak bekerja dalam ranah sejarah ini adalah tema-tema yang dia pilih, mulai dari sejarah kegilaan, sejarah penjara, rumah sakit, hingga sejarah seksualitas.
Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1969 ini merupakan refleksi penulisnya atas tiga buku yang telah ditulis sebelumnya, yakni Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, dan The Order of Things. Buku ini berusaha memberikan pertanggungjawaban metodologis atas pisau analisis yang digunakan dalam tiga buku tersebut, yakni metode yang disebut analisis arkeologis.
Secara harfiah arkeologi berarti ilmu purbakala, yang mempelajari kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda-benda peninggalan. Di tangan Foucault, arkeologi memang masih menjadi semacam alat gali sejarah yang digunakan untuk menguraikan lintasan sejarah ide-ide sehingga pada akhirnya membentuk suatu sistem pemikiran tertentu. Tetapi, lebih dari itu, di tangan Foucault arkeologi menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mendedahkan perselingkuhan rezim-kebenaran-yang-nyaris-tidak-kehilangan-legitimasi-ilmiahnya.
Sebagai sebuah perangkat penelitian yang berkaitan erat dengan sejarah, ada filosofi mendasar yang unik dan jauh berbeda dengan pandangan sejarah konvensional. Dalam konteks analisis arkeologis ini, Foucault menolak progresivitas sejarah, kontinuitas, dan juga totalisasi subyek sejarah. Kecenderungan penerimaan konsep semacam ini menurut Foucault adalah usaha untuk mengingkari perbedaan-perbedaan yang ada dalam pergolakan masyarakat sepanjang sejarah.
Desentralisasi subyek yang dilakukan Foucault dalam penelitian sejarah arkeologisnya ini lebih memberi tempat pada diskontinuitas yang selanjutnya didudukkan secara positif. Sejarawan tidak perlu menghindari atau bahkan mengingkari diskontinuitas sejarah, karena dari situlah sebenarnya ditemukan bagaimana suatu sistem gugus pemikiran bergeser ke sistem yang lain.
Dengan dasar asumsi seperti tersebut di atas Foucault kemudian lebih tertarik untuk menguraikan regularitas suatu praktik diskursif, aturan-aturan apa saja yang mewadahi suatu praktik wacana sehingga mengarahkan suatu pemikiran. Untuk menjelaskan hal ini Foucault menemukan tiga konsep penting, yaitu positivitas, apriori historis dan arsip. Positivitas adalah ruang lingkup komunikasi di antara para ilmuwan, pengarang, pemikir dan bahkan orang pada umumnya sehingga memungkinkan terjadi dialog-tanpa-terencana-dan-tanpa-disadari antar berbagai pernyataan. Suatu positivitas dimungkinkan oleh suatu aturan main yang disebut apriori historis, yang diandaikan begitu saja dalam suatu diskursus. Semua ini akan menghasilkan sistem pernyataan, sistem pembentukan pernyataan dan sistem transformasi pernyataan yang oleh Foucault disebut arsip.
Dari ketiga dasar konseptual pembentukan suatu wacana itu, Foucault mencatat pentingnya “pernyataan” (statement, enonce) yang menjadi unit elementer setiap gugus diskursif. Dalam praktik penelitian arkeologis, Foucault memang mengabaikan unsur “pengarang” dalam setiap pernyataan. Yang lebih penting bagi Foucault adalah bagaimana fungsi penyampaian suatu pernyataan sehingga membentuk suatu formasi teks menjadi sistem kode yang eksis, saling bertaut, dan akhirnya mengarahkan pada suatu gugus pemikiran tertentu. Berbagai gugus pemikiran ini lambat-laut membentuk titik-titik diskursif dan jalinan inter-referensial yang pada akhirnya mengantarkan kepada suatu corak epistemologis tertentu. Soal siapa yang berbicara dan menyampaikan suatu “pernyataan” menjadi kurang penting, karena yang memberikan titik diskursif suatu “pernyataan” itu bagi Foucault bersifat relatif, dan maka dari itu ruang yang ditempati “pembicara” suatu “pernyataan” ibarat ruang lowong yang dapat diisi oleh siapa saja yang dianggap berkompeten. Dengan pandangan ini, Foucault tidak enggan meneliti data-data sejarah yang selama ini disepelekan, seperti pamflet, surat perjanjian, data pemeriksaan dokter dan sipir penjara, dan sebagainya.
Sistem gagasan memang kadang hadir dengan suatu konspirasi tingkat tinggi yang nyaris tak terlihat. Dengan analisis arkeologisnya ini, Foucault terbukti telah cukup berhasil mengangkat segi-segi bisu dalam sejarah peradaban, subyek-subyek yang dibungkam kehadirannya dan terpinggirkan dalam sejarah. Di sinilah tampak segi penting dari buku ini yang menyajikan suatu perangkat metodologis yang cukup tajam untuk membedah realitas sosial yang timpang. Buku ini tidak saja berhasil menunjukkan kekurangan penelitian sejarah (pemikiran, sosial) yang telah ada, tapi juga cukup berhasil memberi tawaran alternatif berupa proposal metodologis bagi suatu horison pemikiran yang lebih adil dan berimbang.
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 11 Agustus 2002.
Selasa, 30 Juli 2002
Menulis Itu Indah
Menulis itu apa sih?
Menulis itu sebenarnya adalah bentuk lain dari komunikasi. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita kebanyakan berkomunikasi dengan cara lisan, yakni dengan berbicara. Tapi saat ini komunikasi lisan tidak cukup. Berbagai penemuan teknologi informasi, dari yang paling elementer dan sederhana—penemuan kertas di Cina pada tahun 1275, atau mesin cetak di Jerman pada tahun 1450 yang juga dikenal dengan Revolusi Gutenberg—hingga ke yang canggih—telepon, komputer, internet—telah mengubah cara-cara berkomunikasi kita sehari-hari.
Lantas apa bedanya menulis dengan berbicara?
Menulis itu menuntut hal yang lebih dari sekedar berbicara, yang dibutuhkan agar menghasilkan sebuah tulisan yang baik. Hal yang paling mendasar dalam menulis adalah kecermatan berpikir. Menulis membutuhkan kecermatan yang betul-betul terjaga, terutama dalam mengungkapkan alur pikiran dan argumen secara sistematis, sehingga gagasan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik. Sebuah tulisan membuka kesempatan yang leluasa bagi orang lain untuk menelaahnya secara lebih kritis, dan, lebih jauh lagi, mengembangkannya dalam suatu sistem pemikiran yang lebih kompleks. Juga, sebuah tulisan dapat dengan mudah melintasi ruang dan waktu. Hanya dengan tulisan kita dapat dengan efektif mengapresiasi sosok dan karya para tokoh dan pemikir di abad-abad terdahulu dan atau yang berada di belahan benua lain.
Apakah menulis juga memiliki beberapa kegunaan untuk menunjang aktivitas ilmiah...?
Ya, benar. Dalam aktivitas kita mencari ilmu atau belajar, ada sejumlah keterampilan dasar yang amat berperan: mencatat, menyimak, membaca, dan menulis. Dalam konteks ini menulis adalah semacam puncak aktivitas belajar, semacam upaya penjajakan dan penjinakan gugus-gugus pengetahuan kita dalam suatu simpul-aksara-yang-tertata. Ada ungkapan bahasa Arab yang menyatakan: al-`ilm shayd, wa al-kitâbah qayduh. Ilmu itu ibarat burung, dan tulisan adalah sangkarnya. Hasil kita membaca buku, menyimak penjelasan guru, atau berdiskusi, dapat dengan mudah terbang meninggalkan ingatan kita bila kita tidak mencatat atau menulisnya secara rapi. Dengan demikian, dari sisi lain, menulis adalah latihan memeriksa penguasaan kita tentang sesuatu tema.
Lebih jelasnya, gimana...
Jadi begini. Misalkan kita diminta menulis tentang tema pengembangan ilmu di pesantren di era globalisasi, maka kita dituntut untuk memungut dan mengoleksi satu-persatu pengetahuan kita tentang tema itu, untuk kemudian disusun dalam suatu bentuk tulisan. Kita menelaah bagaimana pesantren (sejarah dan perkembagannya), bagaimana (arah dan strategi) pengembangan ilmu yang saat ini dibutuhkan, bagaimana era globalisasi (kelahiran dan pengaruhnya), dan seterusnya... Dan di dalam menulis itu sendiri tentu dibutuhkan keterampilan tertentu yang tidak dapat diperoleh begitu saja tanpa usaha keras.
Apakah dalam menulis ada semacam langkah-langkah atau tahapan tertentu yang harus dilalui?
Ya, betul. Langkah awal menulis adalah menentukan tema, sesudah itu mengumpulkan bahan-bahan tulisan dan menyusun kerangka tulisan. Kemudian kita memulai menulis. Setelah selesai, kita memeriksa (mengedit) tulisan kita.
Bisa dijelaskan lebih detail?
Menentukan tema adalah langkah pertama yang cukup penting. Tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki tema aktual, signifikan, dan menghadirkan sesuatu yang baru. Kalau ditanya bagaimana kiat menemukan tema memang cukup sulit menjawabnya, karena sebagaimana ilham, tema kadang datang berkelebat di pikiran kita tanpa kita sempat menyapanya. Tapi secara sederhana, tema untuk suatu tulisan dapat kita temukan bila kita peka membaca realitas sekitar kita, baik itu bacaan, hasil pengamatan, atau perjumpaan kita dengan hal-hal. Sesudah kita memastikan tema tulisan kita, kita lalu memburu bahan-bahan yang kiranya diperlukan dan berkaitan dengan tulisan yang dimaksud. Kita membongkar kembali arsip-arsip di pikiran, rak perpustakaan, atau para informan, dan mengangkatnya kembali ke permukaan. Dari bahan yang terkumpul itu kita lalu bisa mereka-reka kerangka tulisan (sistematika).
Bukannya sesudah menentukan tema kita menyusun kerangka, lalu mencari bahan?
Bisa saja begitu, terutama kalau kita sudah memiliki kerangka yang agak jelas. Tapi, dengan mencari bahan terlebih dahulu, kadang ada dimensi baru dari pengembangan tema yang tiba-tiba kita temukan. Begitu. Bila kerangka sudah cukup pasti, kita bisa segera menuangkan gagasan kita dalam pahatan-pahatan aksara. Tahap terakhir adalah memeriksa hasil tulisan kita demi menghindari berbagai kesalahan yang amat mungkin terjadi.
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa menulis dengan baik?
Kembali lagi ke awal, bahwa pada dasarnya menulis itu adalah suatu bentuk komunikasi. Dari sini kita mendapatkan suatu prinsip umum, bahwa sebuah tulisan yang baik itu adalah tulisan yang dapat mengomunikasikan gagasan kita kepada orang lain dan ditangkap (terpahami) dengan baik. Untuk mencapai keterampilan yang piawai dalam menulis, tak ada jalan lain kecuali latihan menulis setiap hari.
Latihan setiap hari?
Ya, latihan setiap hari. Dalam latihan ini kita dapat memerhatikan beberapa hal. Pertama, melalui latihan ini kita mencoba agar bentuk komunikasi kita dalam menulis ini menjadi cair, tidak kaku, tidak gagu. Ini bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Kita menulis kegiatan kita saban hari, dari bangun tidur hingga alam mimpi. Setiap hari kita mesti berjumpa dengan pengalaman menarik, yang bila dituliskan akan menjadi lebih menarik. Cara seperti ini biasa ditemukan dalam aktivitas kita menulis catatan harian. Dalam latihan ini kita diajak menggunakan kosakata yang sudah menggunung di pikiran kita secara lebih tepat—bahkan, dalam momen tertentu, demi menghasilkan tulisan yang lebih segar, kita dituntut menggali timbunan kosakata yang jarang digunakan sehingga kosakata yang ditampilkan bisa lebih kaya dan beragam. Bisa saja kita tahu dan paham tentang sebuah kosakata, tetapi karena tidak pernah digunakan, kita mengabaikannya begitu saja sehingga kemudian ia aus ditelan usia—padahal, masalah pilihan kata dalam mengungkapkan sesuatu detail peristiwa amat berperan, karena elemen dasar suatu gagasan adalah kata.
Kalau yang ini sudah dikuasai, terus bagaimana..?
Bila cara pengungkapan kita melalui tulisan sudah mulai mengalir, maka selanjutnya kita juga mesti memerhatikan alur pikiran dalam tulisan. Menulis itu adalah sebongkah pemikiran yang memiliki titik-titik pemikiran tertentu. Kita harus bisa menjaga kesinambungan titik-titik pemikiran dalam tulisan kita, jangan sampai ada alur yang tiba-tiba terputus, lantas disambung dengan titik yang tidak sesuai. Alur pikiran ini terwujud dalam hubungan-antar-kalimat-yang-padu serta hubungan-antar-alinea-yang-utuh. Dalam hal ini kita juga mesti memerhatikan tata logika tulisan kita: penguraian suatu hal, penjelasan kausalistis, induksi atau deduksi, dan sebagainya.
Wah, sepertinya menulis memang membutuhkan kecanggihan tata logika pikiran kita ya...
Bukan cuma itu. Dalam jenis tulisan yang bersifat ilmiah, tulisan juga dituntut argumentatif! Artinya kita dituntut secara terampil meyakinkan orang melalui alur pikiran-pikiran yang disajikan, sehingga akhirnya gagasan kita dapat diterima. Di sini tulisan kita tidak hanya harus memiliki sistem yang logis, tapi juga jernih.
Bagaimana kita menjaga logika dan kejernihan tulisan? Sepertinya cukup sulit...
Tidak juga. Logika dan kejernihan tulisan kita dijaga oleh kerangka tulisan. Agar lebih aman, kita bisa mengembangkan dan memecahnya dalam unit-unit pikiran yang lebih detail, lalu menentukan dan memilah, mana yang elementer, mana yang sekunder, dan seterusnya.
Bila tulisan sudah rampung, mengapa kita harus memeriksanya kembali? Apa saja yang diperiksa?
Memeriksa tulisan itu sesuatu yang wajar, sebagaimana kita adalah makhluk yang bisa saja khilaf. Hal-hal yang periksa bisa menyangkut kesetiaan alur pikiran pada sistematika awal yang kita rancang (alur argumen), pengulangan gagasan, kesinambungan antar-kalimat dan antar-alinea, pemakaian suatu kata yang terlalu sering (repetisi), pemakaian kata yang kurang tepat, kesalahan ketik, dan semacamnya.
Selain berlatih dengan keras, adakah cara lain untuk belajar menulis dengan baik?
Ada, yakni dengan mengamati cara orang lain menulis. Terutama penulis-penulis favorit kita. Dari orang lain yang sudah berhasil, kita bisa belajar cara mereka mengembangkan tema, menyusun kata, mengikat makna, dan menyusun wacana. Dengan cara ini, kita memperkaya teknik dan keterampilan kita dalam menulis, tanpa kemudian harus mengekor kepada orang lain.
Betapa asyik bila kita dapat menulis dengan baik...
Ya, alangkah indahnya menjadi penulis. Karena dengan menulis, kita tidak hanya hidup dalam sejengkal sulur usia kita, tapi lebih jauh lagi, kita berusaha hidup beribu tahun lagi...
Juli 2002
Label: Literacy
Senin, 08 Juli 2002
Dehumanisasi Masyarakat Akibat McDonaldisasi
Judul buku: Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis terhadap Gelombang McDonaldisasi
Penulis : George Ritzer
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2002
Tebal: xxii + 412 halaman
Paradoks modernitas telah tercium cukup lama di penginderaan beberapa intelektual kritis. Salah satunya adalah Max Weber, ketika dia menyatakan bahwa rasionalitas-birokratis yang dipuja modernisme justru rentan berubah wujud menjadi kerangkeng yang menutup nalar manusia itu sendiri.
Dengan bertolak dari pandangan Weber itu, George Ritzer, penulis buku ini, berusaha mencermati dan mengkritisi fenomena McDonaldisasi. Ritzer menerangkan bahwa istilah McDonaldisasi yang digunakan di buku ini mengacu kepada sejumlah fenomena, ketika berbagai prinsip-restoran-cepat-saji hadir untuk mendominasi lebih banyak sektor kehidupan di Amerika dan belahan dunia lain. Fenomena McDonald ini hanya sebuah kasus, yang menjadi representasi beroperasinya model rasionalisasi dan birokratisasi dalam masyarakat yang dimulai di awal abad ke-20.
Dengan acuan teori Weber tersebut, Ritzer menemukan empat dimensi McDonaldisasi. Sekilas terbentuk kesan bahwa McDonald menyediakan prinsip efisiensi, daya prediksi, daya hitung, dan kontrol melalui teknologi non-manusia dalam kesatuan sistem operasionalnya. Orang-orang lalu terpikat, jatuh cinta, dan akhirnya berbiak di dalam keempat komponen yang merupakan dasar sistem rasional tersebut.
Keterpikatan dan keterjebakan masyarakat dalam selera McDonald ini menurut Ritzer tidak terjadi secara serta-merta. Ada sejumlah momentum yang mendahului menyatunya kehidupan masyarakat dunia dengan sistem bisnis waralaba yang didirikan pada tahun 1953 ini. Bangunan dasar epistemologisnya, seperti kata Weber, adalah birokratisasi yang merupakan perpanjangan tangan rasionalisasi. Bentuk rasionalitas yang dianut di sini adalah rasionalitas formal, yang akan membuat orang menjadi memiliki sejumlah kecil pilihan sarana bagi pencapaian tujuan akhir. Jadinya, pilihan masyarakat diarahkan kepada proses homogenisasi yang dianggap sebagai suatu bentuk pilihan optimal.
Seiring dengan itu, manajemen ilmiah dipergunakan sebagai prinsip produksi. Dalam proses produksinya diambil contoh sukses sistem perakitan mobil. Beberapa unsur mekanis dalam produksi terbukti efisien dan memiliki daya kontrol yang cukup baik. Bahkan Ritzer juga memasukkan tragedi holocaust Nazi sebagai salah satu bentuk pengantar proses McDonaldisasi, karena holocaust itu pun bekerja dengan prinsip rasionalisasi.
Adapun kerangkeng-besi-rasionalitas yang dibawa dalam proses McDonaldisasi masyarakat ini terletak dalam beberapa segi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya proses rasionalisasi dan birokratisasi itu ternyata justru membelenggu dan menolak sifat dasar kemanusiaan. Orang akhirnya hanya bergerak dari suatu institusi-institusi yang telah terasionalisasi dan tak memiliki ruh kemanusiaan. Pun, irasionalitas yang mendekam dalam sistem rasional ini berarti bahwa sistem rasional itu merupakan sistem yang akhirnya tidak beralasan dan mengingkari kemanusiaan.
Dalam kasus McDonald Ritzer menyebutkan bagaimana sebenarnya prinsip efisiensi yang menjadi alasan pilihan McDonaldisasi masyarakat menjadi tidak rasional. Secara kritis, Ritzer mempersoalkan: efisien buat siapa? Efisien bagi pelanggan, atau siapa? Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa ATM akan lebih efisien. Padahal, tidak jarang ATM menjadi tidak efisien karena antrean yang tak terhindarkan. Dalam kasus ATM ini menjadi jelas bahwa definisi efisien lalu hanya bermakna bagi pihak pengelola bank, dengan memperkecil jumlah pegawai di bank dan digantikan dengan sejumlah mesin ATM itu.
Belum lagi dengan sejumlah ancaman lingkungan yang menjadi efek negatif McDonald. Prinsip persamaan mutu yang begitu dipercaya konsumen menuntut produsen untuk hanya menggunakan bahan mentah dengan kualitas yang sama. Akibatnya, penggunaan zat-zat kimia berlebihan tak terelakkan sehingga akhirnya justru merusak kualitas tanah. Belum lagi kandungan lemak, kolesterol, garam, dan gula, yang tak seimbang dan kurang menguntungkan bagi kesehatan konsumen.
Buku ini awalnya memang adalah sebentuk keprihatinan atas proses dehumanisasi masyarakat akibat proses McDonaldisasi itu. Dengan beberapa perspektif kritis yang diulas begitu tuntas dalam buku ini, pembaca diharapkan mendapat semacam peringatan agar bujukan McDonaldisasi ini jangan sampai membutakan daya kritis kita. Itu semua agar kehidupan kita terselamatkan dari unsur-unsur yang tidak manusiawi yang mengintai dan mengancam dari semua lini kehidupan.
Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 7 Juli 2002.
Sabtu, 22 Juni 2002
Metamorfosis Kaum Sarungan
Judul Buku : NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam
Penulis : Mujamil Qomar
Pengantar: Azyumardi Azra
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2002
Tebal: 367 halaman
Stigma bahwa kalangan NU adalah masyarakat yang kolot, berpikiran tertutup dan jumud, saat ini sudah menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan. Buku yang semula disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memberikan kesaksian secara lebih rinci tentang bagaimana perubahan itu terjadi, terutama pada ranah epistemologis. Buku ini menelaah dinamika pemikiran Islam di bidang sosial keagamaan pada sembilan tokoh NU. Kesembilan tokoh itu dipilih berdasarkan kecenderungan karya pemikirannya yang dianggap melampaui label tradisional yang biasa dilekatkan kepada orang NU. Kesembilan tokoh itu adalah Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Said Agiel Siradj, Masdar Farid Mas'udi, Sjechul Hadi Permono, Muhammad Tholchah Hasan, Abdul Muchith Muzadi, dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.
Dalam studinya ini, Mujamil Qomar menunjukkan bahwa terjadinya arus perubahan itu dipicu oleh beberapa aspek. Antara lain adalah pilihan NU untuk kembali ke Khittah 1926 semakin mempertegas identitas dan aras perjuangan kultural NU, sehingga mampu menghidupkan kembali kantong-kantong intelektual yang sebelumnya terabaikan akibat terlalu berkonsentrasi pada isu sosial-politik. Ini terjadi secara meluas, tidak hanya di kota-kota besar saja.
Situasi yang demikian kemudian membuka kesempatan bagi bertemunya dasar-dasar pemikiran tradisional yang mereka kuasai secara baik dengan berbagai pemikiran yang bersifat metodologis dan berbau modern. Perjumpaan inilah yang pada titik tertentu melahirkan gagasan-gagasan yang nyaris berbeda dengan tradisi pemikiran NU sebelumnya.
Berdasarkan uraiannya, kesembilan intelektual NU tersebut oleh Mujamil Qomar dipetakan dalam lima tipe pemikiran, yakni antisipatif (Muhammad Tholchah Hasan), eklektik (Masdar Farid Mas'udi dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh), divergen (Abdurrahman Wahid, Said Agiel Siradj, dan Sjechul Hadi Permono), integralistik (Ali Yafie), dan responsif (Achmad Siddiq dan Abdul Muchit Muzadi).
Liberalisme pemikiran kesembilan tokoh ini memang telah merambah berbagai medan pemikiran, mulai dari soal membangun teologi inklusif-pluralis, fikih yang berkeindonesiaan, kesetaraan gender, perluasan pengertian ahlussunnah, dan sebagainya. Bahkan, ada yang sampai menyentuh pada beberapa konsep kunci di level metodologis. Masdar F. Mas'udi misalnya, yang memberikan pemaknaan baru terhadap konsep zakat, mendasarkan uraiannya pada dekonstruksi konsep qath`iy dan zhanniy. Menurut Direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) ini, yang qath’iy (bersifat pasti, tidak berubah) itu adalah nilai kemaslahatan dan keadilan yang merupakan jiwa hukum itu sendiri, sedang yang zhanniy (tidak pasti dan bisa berubah) adalah seluruh ketentuan normatif yang pada dasarnya adalah upaya penerjemahan yang qath’iy tersebut. Konsep ini juga digunakan Masdar untuk menafsir ulang beberapa segi dari fikih perempuan dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.
Pemikiran yang bersifat terbuka juga tampak dari pemaknaan ulang Said Agiel Siradj terhadap konsep ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Menurut Said Agiel aswaja adalah suatu bentuk metode berpikir, dan bukan merujuk pada mazhab tertentu, sehingga konsep tersebut memecah dikotomi-bipolar antara Sunni-Syi`ah atau Sunni-Mu`tazilah. Sementara para pemikir lainnya yang menggagas corak teologi inklusif tidak saja hanya berhenti pada level wacana, tapi juga konsisten dengan aksi-aksi nyata di lapangan. Dalam konteks ini, Gus Dur menjadi lokomotif yang mengomandani berbagai pemikiran dan aksi inklusif-pluralis tersebut.
Efek menggeloranya pemikiran liberal di kalangan NU ini hingga sekarang telah meninggalkan pengaruh yang cukup luas. Metamorfosis yang cukup signifikan ini pada satu sisi memang menjanjikan arah perubahan yang masih belum tertebak. Tapi yang pasti, kecenderungan lahirnya pemikiran-pemikiran yang melintas-batas dan kritis ini patut disambut dengan baik, dengan harapan akan dapat memberi warna yang lebih beragam terhadap dinamika pemikiran Islam di Indonesia.
Rabu, 19 Juni 2002
Genealogi Rasisme Kelas Menengah Eropa
Judul buku : Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa
Penulis : Seno Joko Suyono
Penerbit : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lanskap Zaman, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2002
Tebal : xx + 528 halaman
Dunia saat ini adalah sebuah perkampungan global yang memungkinkan terjadinya interaksi lintas-peradaban. Dalam pergaulan macam itu kadang mendekam sejumlah stereotip-apriori bercorak narsistik yang bila menyeruak ke permukaan dapat mencederai hubungan-hubungan sosial dalam bentuk kekerasan.
Seno Joko Suyono dalam buku ini mengajukan sebuah paparan yang cukup orisinil berkaitan dengan pemikiran Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf postmodern dari Perancis yang keluasan bidang kajiannya merambah dari masalah seks dan kekuasaan, relasi kuasa-pengetahuan, fenomena kegilaan, hingga soal sejarah penjara. Seno mengajukan sebuah tesis menarik, bahwa inti pemikiran Foucault adalah individualisasi, yakni dasar-dasar pembentukan diri masyarakat Eropa modern sehingga mayoritas mereka memiliki sikap-sikap, tindakan-tindakan, dan sentimen tertentu terhadap kelompok masyarakat lain.
Pisau analisis yang digunakan Foucault untuk membedah proses pembentukan individu Eropa modern adalah metode arkeologi dan genealogi. Metode arkeologi diarahkan kepada pencarian episteme setiap zaman, sehingga di antara berbagai cabang ilmu yang ada mengalunkan suatu irama kebenaran yang satu sama lain identik. Metode genealogi beranjak dari sekedar penelitian terhadap formasi diskursif ke medan formasi non-diskursis bercorak institusional semacam rumah sakit, penjara, barak tentara, atau bengkel kerja, yang bertujuan untuk melacak konspirasi kekuasaan yang bermain dalam proses pembentukan tubuh.
Bermodal ketajaman dua pisau analisis tersebut, Foucault mulai menguliti lembar sejarah satu-persatu. Jalan sejarah yang ditempuh Foucault untuk menemukan konstruksi proses individualisasi ini ditempuh melewati kawasan sejarah antagonis, yakni areal-areal sejarah yang sebelumnya dikubur kekuasaan.
Temuan awal Foucault yang dibaca oleh Seno dalam buku ini adalah episteme masyarakat Eropa di awal abad ke-18 yang saat itu tengah beralih dari wacana bahasa ke narasi klinis. Bila sebelumnya berbagai cara kerja ilmu dikuasai logika ilmu bahasa, maka sejak awal abad ke-18 narasi klinis menuntun berbagai disiplin ilmu lain. Ini tidak lepas dari sebuah penemuan revolusioner dalam ilmu kedokteran, ketika ditemukan teknologi otopsi, yang selanjutnya mengubah definisi pasien menjadi lebih sebagai suatu pathological fact, diikuti dengan konsolidasi dasar-dasar rezim disiplin melalui katalogisasi dan klasifikasi simptom, unsur pengawasan dokter terhadap pasien yang begitu ketat, dan penataan ruang arsitektural yang efektif bagi pengawasan. Sejalan dengan itu, muncul impian-impian kesehatan publik kalangan kelas menengah untuk menciptakan sebuah kota yang teratur dan tertata rapi, sehat, dan bersih sesuai dengan cita rasa moral kelas sosial mereka.
Mulailah episteme narasi klinis ini menancapkan gugus-gugus diskursifnya ke berbagai ruang institusional masyarakat. Pencairan epistemologis dari narasi klinis ini pertama kali disambut dengan dikukuhkannya model penghukuman penjara. Para poros inilah proses pembentukan individu Eropa modern melalui prosedur eksternal mulai menapakkan jejaknya. Penjara disebut Foucault sebagai institusi tempat transformasi individu bermatriks klinis karena dalam penjara berkembang jenis penghukuman yang mengarah pada terapi individu ala klinis. Teknologi disiplin berwajah baru ini bekerja baik dengan investigasi biografis atau dengan inspeksi terhadap segenap aktivitas si terhukum. Di sini penjara kemudian memutus kemungkinan pemaknaan kriminalitas sebagai ekspresi pembangkangan politik kalangan bawah terhadap kekuasaan, dengan menonjolkan sisi kriminalitas an sich dan anonimitas unsur politik kekuasaan. Mengikuti pola narasi klinis, penjara memeriksa dengan identitas impersonal, jaringan pendokumentasian dan efek obyektifikasi serta stigmatisasi yang begitu dalam pada tiap individu.
Sementara itu, dari jalur prosedur internal, individu Eropa modern dibentuk dengan definisi baru seksualitas. Di bawah bayang-bayang episteme narasi klinis, seksualitas semata-mata dimaknai dalam konteks pembentukan tubuh yang steril, sehat, disiplin, tunduk, dan berguna. Di sini terjadi penciutan besar-besaran makna seksualitas, tidak seperti etika seksual Yunani Kuno yang menghubungkan seksualitas dengan kemampuan individu untuk mengontrol dan memperimbang berbagai hasrat seksual secara baik dan terukur, sesuai dengan kondisi wajar tubuh masing-masing. Berbagai kontrol seksual dilakukan secara ketat lewat suatu alasan yang berdasar pada suatu basis ‘ilmiah’ yang bersifat klinis. Inilah perselingkuhan antara kekuasaan (pouvoir), pengetahuan (savoir), dan seksualitas (sexualite) untuk menundukkan tubuh, mengendalikan populasi dan demi mencetak sumber daya warga yang sehat.
Dari seluruh uraiannya ini, Foucault lalu menunjukkan proses body-molding techniques yang membentuk individu Eropa modern. Dengan tempaan teknologi disiplin dan implikasi bio-politik tubuh yang begitu kuat, terbit anggapan di kalangan kelas menengah Eropa bahwa tubuh mereka adalah tubuh yang terproteksi, berdayaguna, serta terpelihara dari segala bahaya dan kontak yang tidak perlu. Juga bahwa tubuh mereka memiliki keunggulan heriditas di masa depan. Pada titik inilah, secara tidak sadar, muncul stereotip-stereotip kalangan individu Eropa yang dihadiahkan kepada kelompok masyarakat lain (the other), suatu bentuk rasisme yang menyusup tanpa aksi represif atau kekerasan fisik tapi memiliki impak yang cukup luar biasa.
Perspektif rasisme yang cukup unik dan aneh ini begitu menarik untuk dikaji karena rasisme di sini justru secara diam-diam merasuk lalu dikukuhkan oleh struktur epistemologis masyarakat. Di sinilah kemudian salah satu ujaran Foucault menjadi relevan untuk dikutip: “...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk, melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya, yang tidak persis sama dengan buruk. Jika segalanya ternyata berbahaya, setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.”
Penggalian terhadap pemikiran filsuf yang meninggal karena AIDS ini disampaikan dengan gaya bertutur yang segar dan tak bosan dibaca. Buku utuh yang awalnya adalah skripsi di Fakultas Filsafat UGM ini memang layak dibaca dan dikaji, sehingga dapat memberi inspirasi bagi penelitian lebih lanjut.
Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 16 Juni 2002.
Sabtu, 15 Juni 2002
Menjegal Fenomena Ritualisme
Konteks kebebasan yang tumpah-ruah semenjak bergulirnya reformasi telah memungkinkan terbukanya peluang berbagai arus pemikiran untuk dialirkan ke seluruh ruang publik. Tidak hanya pemikiran atau praksis sosial-politik saja yang menikmati angin segar ini, tapi juga berbagai pemikiran di bidang keagamaan pun memperoleh kesempatan untuk memperbarui kembali ajaran-ajaran keagamaannya. Hal ini dari suatu perspektif juga tidak lepas dari usaha untuk menguatkan peran agama dalam proses perubahan Indonesia di masa depan.
Tapi ternyata konteks yang sedemikian kondusif bagi progresivitas peran sosial agama di masa depan itu terbentur dengan kecenderungan menguatnya fenomena ritualisme. Menurut sebuah penelitian yang diadakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta yang dilakukan di 16 provinsi dan melibatkan 2000 responden (Tempo, 30 Desember 2001) tentang penghayatan keberagaman umat Islam di Indonesia, terungkap kesimpulan bahwa semakin saleh seseorang “menghayati” agama, semakin tinggi sikap intoleransi terhadap kelompok lain.
Data dari penelitian itu menunjukkan bahwa memang di satu sisi terjadi peningkatan kesalehan ritual yang cukup signifikan: 77,1% dari responden mengaku selalu melaksanakan salat lima waktu, dan 81,4% selalu berpuasa di bulan Ramadan. Tapi anehnya, hampir 87% kaum muslimin itu mengaku punya kelompok yang tidak disukai dan tidak bisa menerima partisipasi kelompok yang tidak disukai itu jika sampai aktif di tengah masyarakat.
Kecenderungan ritualisme yang terbaca dari hasil penelitian tersebut secara nyata telah menyuburkan lahan sikap eksklusif di kalangan umat beragama. Dari sini kemudian muncul pertanyaan mendasar berkaitan dengan watak pembebasan dan karakter transformatif agama yang erat dengan sifat inheren agama yang bersifat humanistik. Berkaitan dengan problem tersebut, tulisan berikut mencoba untuk menyodorkan dua perspektif sebagai upaya menjegal meluasnya kecenderungan ritualisme dalam masyarakat beragama (baca: Islam) Indonesia. Pertama, melihat kembali hakikat ibadah (ritual) dalam agama, dan kedua, pemikiran tentang semakin mendesaknya penguasaan ilmu-ilmu sosial-humaniora untuk menajamkan perspektif, pengayaan wawasan, serta pemahaman obyektif tentang realitas sosial yang dihadapi umat.
* * *
Ritus menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 959) berarti tata cara dalam upacara keagamaan. Aspek ritual adalah sesuatu yang mesti ditemukan dalam berbagai sistem institusi sosial (negara, partai politik, organisasi sosial), termasuk agama. Akan tetapi, dalam suatu sistem institusi agama, aspek ritual ini memiliki posisi yang khas dan unik.
Nurcholish Madjid dalam Islam Doktrin dan Peradaban (1992: 57-71) memosisikan ibadah sebagai institusi iman. Agama pada level yang paling mendasar merupakan suatu sistem kepercayaan (iman). Ritus atau ibadah di sini menurut Nurcholish berfungsi untuk memperkuat iman, memberikan kesadaran yang lebih tinggi tentang implikasi keberimanan itu dalam wujud dan implikasi yang lebih konkret, yakni amal perbuatan. Pada titik inilah ibadah kemudian menjadi semacam penghubung antara iman yang abstrak dan amal yang konkret. Berdasarkan hal tersebut, maka ibadah dapat disebut sebagai pelembagaan iman.
Dalam konteks keberimanan, ibadah di sini juga berfungsi untuk menjaga stabilitas relatif iman itu sendiri. Hadits Nabi yang begitu terkenal mengungkapkan bahwa iman itu senantiasa bertambah dan berkurang kadarnya secara relatif. Intensionalitas iman ini tentu berbanding lurus dengan kompleksitas variabel kehidupan yang turut memengaruhi iman seseorang: pendidikan keluarga, kebudayaan lokal yang membesarkannya, afiliasi sosial-politik, atau arus perjumpaan kultural dengan individu dan kultur yang beragam (konteks global). Di sinilah ibadah berfungsi untuk terus menyegarkan iman dalam kesadaran keberimanan tiap individu.
Sebagai tempat bertemunya dimensi iman dan amal, ibadah di sini tentu saja tetap mengacu kepada hakikat tawhid atau pengesaan terhadap Tuhan yang pada satu sisi berarti pengakuan keagungan Zat Yang Mahakuasa dan pada sisi yang lain berarti keberserahan manusia pada Zat Yang Mahakuasa itu. Implikasinya, penghambaan yang pantas hanyalah untuk Tuhan, lain tidak. Dalam konteks inilah setiap individu harus cermat dan waspada terhadap berbagai bentuk penghambaan terselubung, termasuk penghambaan-pada-diri-sendiri, yang bila disandarkan pada landasan iman tertentu akan mencederai keagungan makna iman itu sendiri.
Kembali lagi kepada kaitan ibadah dengan amal, ibadah juga memiliki efek solidaritas. Agama itu sendiri pada dasarnya memang memiliki dimensi solidaritas yang mampu mempertautkan beragam ranah diferensiasi sosial. Tetapi ibadah karena pada satu sisi juga mengacu kepada konkretisasi menuju amal, maka hal itu berarti adanya tuntutan ketulusan makna ibadah tersebut yang terwujud dalam bentuk solidaritas kemanusiaan yang dalam.
Dalam sebuah surah Alquran yang seringkali dikutip, yakni Surah al-Ma`un, digambarkan bagaimana Allah mengancam orang-orang yang taat melaksanakan salat tapi abai terhadap nasib kaum yatim dan miskin. Abdullah Yusuf Ali dalam terjemahan surah tersebut, yakni dalam buku The Meaning of The Holy Qur’an: Complete Translation with Selected Notes (1997: 671), memberikan catatan bahwa surah ini berbicara tentang ibadah sejati, yang menuntut landasan iman serta cinta yang bersifat praksis dan bernilai guna, serta ketulusan. Sementara Nurcholish Madjid mencatat bahwa surah ini menegaskan bahwa tiadanya keinsafan sosial merupakan indikasi kepalsuan dalam beragama, dan bahwa kegiatan ibadah seperti salat justru dikutuk bila tidak melahirkan keinsafan sosial.
Beberapa perspektif dari uraian di atas tentang ibadah secara jelas membuka mata kita bersama betapa sebenarnya ibadah tidak dapat dilihat semata-mata dari dirinya sendiri. Bahkan ternyata bila dikaitkan dengan aspek iman atau amal, ibadah menuntut kesadaran mendalam akan makna dan nilai kemanusiaan yang mesti diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Kelekatan yang tak terhindarkan antara ibadah dan amal di sini pada gilirannya menuntut adanya suatu langkah dan proses konkretisasi yang setia kepada komitmen iman itu sendiri, demi meminimalkan distorsi pemahaman dan praksis amal. Pada titik inilah perspektif kedua yang berkaitan dengan fenomena ritualisme ini, yakni semakin perlunya kolaborasi ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora, menjadi penting untuk dibicarakan.
Pemikiran ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran realitas sosial yang tanpa sengaja terlepas dari komitmen iman akan mewujud sebuah perilaku sosial yang diam-diam berseberangan dengan cita-cita luhur iman itu sendiri. Dari sisi yang lain, ritualisme dalam praktiknya seringkali duduk berdampingan dengan nalar formalistik. Ritualisme pada sisi ini kadang-kadang terjadi karena kebuntuan nalar agama (yang sempit dan terkungkung) membaca kompleksitas dinamika sosial sehingga nalar ritualistik yang berkembang berjalan seiring dengan nalar formalistik: bahwa pemecahan yang mungkin adalah kembali kepada teks agama secara “otentik” (baca: tekstual). Konsekuensi paling buruk dari hal ini adalah diterimanya kembali nalar eksklusivistik berhadapan dengan carut-marut problem sosial.
Menyikapi hal ini pentinglah kiranya disiplin ilmu-ilmu keagamaan memperkaya diri dengan menjadikan dirinya sebagai disiplin interdisipliner. Agama sebagai sistem iman yang bercorak teologis-transendental juga mesti berbenturan dengan formasi sosial, politik, ekonomi, budaya, atau iptek, yang pada akhirnya mengharuskan agama untuk mengambil sikap terhadap berbagai problem hidup sehari-hari tersebut. Untuk itulah “bantuan” ilmu-ilmu sosial-humaniora menjadi penting untuk memberikan perspektif kritis terhadap perkembangan agama itu sendiri.
Contoh sederhana yang bisa diajukan di sini adalah karya Asghar Ali Engineer, seorang pemikir muslim India, dalam buku The Origin and Development of Islam: An Essay on Its Socio-Economic Growth. Dalam buku ini Asghar mengkaji sejarah awal perkembangan Islam dari perspektif sosial-ekonomi. Asghar memaparkan bagaimana kepentingan-kepentingan ekonomis maupun politis berperan dalam meneguhkan beberapa aspek ajaran Islam. Salah satu hal yang menarik yang terungkap dari buku ini adalah betapa sebenarnya penolakan para bangsawan elit Mekah terhadap kehadiran Islam pada waktu itu lebih berdasar pada keterancaman kepentingan ekonomi mereka, lantaran beberapa ajaran Islam yang mengritik ketimpangan sosial-ekonomi ketika itu.
Pemaknaan ulang yang dapat melahirkan dan menyegarkan kembali kesadaran dan komitmen iman yang membebaskan ini memang ternyata dapat saja lahir dari kolaborasi semacam ini, sehingga berbagai amal yang menjadi mata rantai iman dan ibadah itu tetap memiliki sifat padu, koheren, dan tidak kontradiktif.
* * *
Dua cara pandang yang disodorkan penulis dari uraian di atas adalah bertolak dari struktur kepercayaan dan struktur kognitif (intelektual) agama. Dalam praktiknya, kedua cara pandang tersebut masih membutuhkan dukungan dari sisi agama yang lain, yakni dari struktur institusional agama. Struktur institusional yang dimaksudkan di sini adalah medan yang menjadi sarana sosialisasi nilai-nilai dan ajaran agama. Artinya, kedua cara pandang tersebut mesti dileburkan secara internal ke dalam nalar kesadaran para pemeluk agama itu sendiri, melalui suatu sistem pendidikan dan pewarisan nilai keagamaan yang tertata, strategis, dan berkelanjutan.
Meminjam istilah yang digunakan Abd A’la (Kompas, 11 Januari 2002), saat ini dibutuhkan suatu sistem “pendidikan agama yang mencerahkan”. Pelbagai segi dari sistem pendidikan agama ini mesti dibenahi, mulai dari masalah content, metodologi, serta kemendalaman penyerapan sisi kognitif, afektif, dan konatif. Tentu saja agenda ini bukan suatu kerja enteng yang dapat diselesaikan dalam waktu semalam. Keterlibatan dan kepedulian semua pihak untuk memberikan suatu teladan pewarisan nilai yang inklusif dan humanistik amatlah dibutuhkan, mulai dari tingkat keluarga, hingga pemuka agama.
Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 14 Juni 2002.
Minggu, 19 Mei 2002
Sisi Lain Liberalisme Ekonomi Indonesia
Judul Buku : Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992
Penulis : Rizal Mallarangeng
Pengantar : Dr Muhammad Chatib Basri
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan : Pertama, Maret 2002
Tebal : xxx + 269 halaman
Rezim Orde Baru memang adalah sebuah pemerintahan sentralistik, totaliter, dan nyaris merengkuh setiap segi kehidupan masyarakat. Tetapi, yang menarik, pada pertengahan dekade 1980-an, terjadi pendobrakan terhadap model sentralistik dalam bidang perekonomian. Semenjak itu, secara diam-diam, praktik-praktik ekonomi Indonesia bercorak liberalistik.
Buku ini adalah studi serius terhadap liberalisasi ekonomi di Indonesia pada periode 1986-1992. Yang membedakan studi ini dengan kajian-kajian yang lain terletak pada dimensi yang dibidik. Studi ini berusaha mengeksplorasi peran gagasan dalam rentang historisitas proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Rizal Mallarangeng, penulisnya, memperkenalkan istilah “komunitas epistemis liberal”, yakni institusi yang menjadi semacam infrastruktur gagasan, variabel perantara yang memainkan peran penting dalam mengejawantahkan gagasan menjadi kebijakan.
Perspektif ini dipergunakan Mallarangeng dalam seluruh uraiannya, termasuk ketika di awal bagian memotret kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru. Kelahiran Orde Baru dibarengi dengan semangat untuk membuka diri ke luar, mendorong langkah-langkah liberalisasi, menyehatkan mekanisme pasar, dan membuka pintu bagi perdagangan dunia. Adalah sekelompok intelektual yang kemudian dikenal dengan Mafia Berkeley, di antaranya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, yang menjadi pemasok dan pendorong gagasan mengenai hal ini, setelah sebelumnya melakukan kritik habis-habisan terhadap kebijakan ekonomi Soekarno yang terlalu mendasarkan diri pada pertimbangan politik, bukan rasionalitas ekonomi. Dan jelas, Soeharto bersama rezim Orde Baru mengakomodasi pemikiran-pemikiran kelompok ini.
Tetapi, Peristiwa Malari 1974 yang menelan banyak korban telah mengubah arah kebijakan Indonesia kembali dalam bentuknya yang sentralistik. Ini juga tidak lepas dari kritik para penentang kelompok Widjojo, seperti Muhammad Hatta, Soedjatmoko, atau Mochtar Lubis. Pasca-Malari, sentralisme ekonomi bertahan didukung oleh meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas.
Ketergantungan terhadap sektor migas ini akhirnya justru menggoyahkan gagasan sentralisme ekonomi, ketika sejak 1981 harga minyak dunia anjlok. Ditambah lagi utang negara yang semakin membengkak. Pada saat itulah, kelompok Widjojo kembali menabur gagasan liberalisasi ekonomi. Yang menarik, tidak hanya kelompok lama (Widjojo dkk) yang mendukung gagasan ini yang notabene pernah atau sedang berada dalam lingkaran kekuasaan, tapi juga “orang luar” yang terdiri dari para ekonom, intelektual, peneliti, penulis, dan wartawan, sehingga lebih leluasa memasarkan gagasan-gagasan mereka. Merekalah kelompok komunitas epistemis liberal, yang di antaranya adalah Anwar Nasution, Kwik Kian Gie, Pande Raja Silalahi, Jakob Oetama, dan Nono Anwar Makarim.
Terhitung sejak tahun 1985, muncul beberapa kebijakan yang mengarah kepada semangat liberalisasi ekonomi. Seperti penghapusan dinas bea-cukai, pemangkasan sistem perizinan, reformasi sektor perbankan, atau kebijakan-kebijakan investasi yang memberi angin segar kepada investor asing. Beberapa tahun kemudian, terasa beberapa dampak liberalisasi, seperti menurunnya peran regulasi negara dan diambil alih oleh pasar, serta pertumbuhan pesat ekspor non-migas yang semakin meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Beberapa kenyataan tersebut pada sisi lain ternyata semakin memperlebar konstituen pendukung kebijakan ekonomi liberal.
Namun memasuki dekade 1990-an, ekonomi liberal Indonesia mengalami kelelahan deregulasi. Kritik bertubi terhadap liberalisasi kembali muncul. Ini dibarengi dengan tuduhan lahirnya monster baru yakni para konglomerat yang sebagian besar adalah keturunan Tionghoa yang justru semakin memperlebar kesenjangan sosial. Demikian pula mulai merebaknya gejala kroniisme. Dalam situasi demikian, Soeharto yang kekuasaannya sudah cukup mapan mengambil langkah-langkah individual melangkahi para pembantu ekonominya, yang semua itu dilakukan demi melanggengkan kursi kekuasaannya.
Buku yang diangkat dari disertasi Mallarangeng di The Ohio State University ini menunjukkan betapa segugus gagasan dapat mengubah jalan suatu peradaban. Dalam konteks Indonesia, kajian ini telah membuka dan memperkaya perspektif baru tentang ekonomi politik liberalisasi, yang pada gilirannya dapat diharapkan menjadi dasar-dasar pertimbangan pemikiran untuk memulihkan kembali ekonomi Indonesia yang saat ini lantak berantakan.
Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 19 Mei 2002.
Kamis, 18 April 2002
Menggairahkan Wacana Filsafat Islam
Judul Buku: Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis
Penulis : Oliver Leaman
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, September 2001
Tebal: xxiv + 224 halaman
Arus perkembangan tradisi keilmuan di Indonesia memang masih menunjukkan suatu catatan yang kurang menggembirakan. Ditambah lagi dengan krisis multidimensional yang menerpa bangsa Indonesia sehingga semakin memecah konsentrasi seluruh komponen bangsa terhadap pembangunan dasar-dasar tradisi ilmiah dalam tubuh bangsa ini.
Disiplin ilmu filsafat adalah bagian dari bidang kajian ilmu yang selama ini masih betul-betul terbengkalai dan diabaikan. Hal ini terjadi tidak lepas dari masih adanya stigma negatif terhadap ilmu filsafat. Ada yang menganggap filsafat sebagai sesuatu yang tidak berguna, karena berbincang tentang realitas secara terlalu abstrak.
Dalam kerangka pikir membangun dasar peradaban yang rasional, lebih maju, dan menjunjung tradisi ilmiah, maka kehadiran buku Pengantar Filsafat Islam ini menunjukkan maknanya yang signifikan. Buku ini adalah buku pertama yang diterbitkan Mizan yang masuk dalam Seri Filsafat Islam.
Seperti dijelaskan Haidar Bagir dalam pengantar buku ini, penerbitan buku Seri Filsafat Islam ini dimaksudkan agar masyarakat sadar betapa filsafat yang tidak lain adalah sebagai induk pengetahuan dapat berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Lebih lanjut Bagir menjelaskan bahwa saat ini sedang terjadi krisis persepsi di tubuh bangsa ini yang menyebabkan komponen-komponen bangsa kehilangan arah menangkap substansi persoalan yang dihadapi bangsa. Ini terbukti dengan sering munculnya pandangan-pandangan yang atomistik, simplifistik, terpecah-pecah, dan superfisial.
Secara lebih spesifik dikatakan oleh Jamaluddin Al-Afghani—seorang intelektual Islam dari Mesir—bahwa kemunduran umat Islam saat ini salah satunya disebabkan karena gagalnya umat Islam menguasai tradisi intelektual dan hikmah (filsafat). Akibatnya, umat Islam hanya menjadi konsumen yang tidak kritis terhadap berbagai produk kebudayaan lain.
* * *
Buku ini adalah buku pengantar yang memperkenalkan pemikiran filsafat Islam secara tematik. Oliver Leaman, penulis buku ini yang merupakan Profesor Filsafat di Liverpool John Moores University, adalah nama yang sudah cukup akrab dalam bidang kajian filsafat Islam. Pendekatan tematik yang dipilih Leaman untuk menguraikan filsafat Islam dalam buku ini dimaksudkan kurang lebih untuk mencapai pemaparan yang komprehensif terhadap persoalan-persoalan filsafati yang digeluti dalam pemikiran filsafat Islam, seperti epistemologi, ontologi, politik, etika, mistisisme, dan filsafat bahasa.
Pada bagian awal buku ini Leaman menelusuri kerangka pikir umat Islam dahulu kala sehingga dapat menerima kontak kebudayaan dengan warisan tradisi filsafat Yunani. Umat Islam secara prinsipil mengakui sifat ajaran Islam yang sudah lengkap, bahkan untuk menghadapi berbagai masalah yang akan muncul di masa mendatang. Akan tetapi, tumbuh kesadaran bahwa ternyata masih begitu banyak informasi teoritik lain yang bersifat netral menurut ukuran agama, yang tidak saja penting untuk diketahui secara luas, tapi juga untuk dikuasai. Sikap seperti ini menurut Leaman dapat tumbuh karena saat itu umat Islam tampil dengan penuh percaya diri dan bisa menghadapi identitas kebudayaan lain dengan tangan terbuka.
Menilik dari sejarah perkembangan awalnya, maka dalam kajian filsafat Islam kemudian banyak ditemukan kontroversi seputar eksistensi filsafat Islam itu sendiri: apakah ia tidak sekedar filsafat Yunani dalam bahasa Arab, dan hanya berperan sebagai penyambung peradaban Yunani. Menyikapi hal ini, dalam uraian bab kedua Leaman menjelaskan bahwa filsafat Islam kebanyakan tumbuh dari rangkaian isu teoritis yang muncul dalam pikiran yang sering bersentuhan langsung dengan perselisihan teologi dan keagamaan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok ajaran Islam tetap menjadi rujukan, yang pada akhirnya cukup mewarnai corak khas filsafat Islam.
Hal ini akan menjadi lebih jelas misalnya bila masuk ke dalam bidang filsafat yang lebih spesifik, seperti epistemologi. Epistemologi Islam—bila kita sepekat menyebutnya demikian—memiliki pandangan yang khas menyikapi objek ilmu atau pengetahuan. Pengetahuan, dalam kerangka Epistemologi Islam, bukan melulu percobaan bebas-nilai untuk mencerap objek luaran seperti pandangan kaum positivis pada umumnya, tetapi memiliki sisi ibadah yang dijalankan untuk suatu tujuan. Dasar perlakuan terhadap alam sebagai objek pengetahuan adalah asumsi bahwa alam merupakan karya cipta ilahi.
Konsekuensi dari pandangan semacam ini adalah bahwa dalam sistem Epistemologi Islam tidak diakui adanya semangat mencari pengetahuan demi pengetahuan, karena hanya pengetahuan yang bermanfaatlah yang layak dimiliki.
Cara pandang lain yang cukup khas dalam sistem filsafat Islam adalah dalam hal melihat hakikat pengetahuan. Dengan mengacu kepada Kitab Suci Al-Qur’an, dikatakan bahwa ada dua bidang pengetahuan, yakni yang nampak dan yang gaib. Yang nampak ini adalah wilayah dan objek kajian sains, sedang yang gaib adalah wilayah wahyu dan hanya dapat dihampiri melalui potensi hati (qalb) yang ada pada diri manusia.
Kedekatan corak pemikiran filsafat Islam dengan ajaran-ajaran agama (Islam) yang dimilikinya merupakan ciri khas yang cukup jelas. Selain dalam bidang epistemologi, mistisisme Islam juga dapat menunjukkan hal ini. Dalam mistisisme Islam, ada sebuah konsep kunci, yakni tentang manusia sempurna (al-insan al-kamil). Berbeda dengan konsep Ubermensch-nya Nietzsche yang lebih bersifat sekuler, manusia sempurna dalam filsafat Islam adalah sosok yang memperlihatkan semua kualitas kebajikan moral, yang pada gilirannya, melukiskan sifat-sifat Allah pada derajat yang paripurna.
Hal semacam ini juga akan terlihat pada tema-tema yang lain, seperti ontologi, etika, politik, dan sebagainya.
* * *
Kehadiran buku ini, yang merupakan buku pertama dari serangkaian buku-buku seri filsafat Islam lainnya yang diterbitkan oleh Mizan, patut disambut dengan baik. Filsafat Islam adalah bagian dari khazanah keilmuan dari sebuah agama yang melahirkan beragam arus pemikiran. Kelahiran filsafat Islam itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari kemestian sejarah setelah Islam berjumpa dengan berbagai tradisi keilmuan peradaban lain.
Kesadaran sejarah semacam inilah yang dapat menunjukkan pentingnya kajian filsafat pada umumnya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Filsafat selalu berusaha menerbitkan kesadaran untuk menerima berbagai perbedaan pemikiran dengan kepala dingin, tidak emosional, dan berusaha mencari penyelesaian yang rasional dan produktif. Selama ini, bangsa Indonesia telah kehilangan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan damai. Malah, beragam kekayaan perbedaan yang ada hanya menyumbangkan tindak kekerasan, bukannya memperkaya perspektif.
Bahasa Leaman menyajikan uraiannya cukup enak dibaca, karena memang buku ini ditujukan kepada pembaca awam—bahkan Leaman menulis dengan asumsi bahwa pembaca tidak harus berpegang pada satu agama (Islam).
Terbitnya buku ini pula semakin menunjukkan semangat dan komitmen Penerbit Mizan untuk menjadi mitra bangsa Indonesia menemukan butir-butir perspektif kritis dan bijak yang diabaikan dan berlalu tanpa arti, serta untuk menggairahkan wacana kritis filsafat Islam pada khususnya.
Tulisan ini dimuat di www.attin.org 17 April 2002.