Ternyata, hubungan interaktif antara seorang guru dengan siswa-siswanya sangatlah erat. Hubungan ini adalah merupakan suatu relasi dalam bentuk kontrak belajar yaitu belajar mengajar bagi seorang guru dan belajar ilmu pengetahuan bagi seorang siswa.
Tentunya sebagai seorang siswa, demikian juga guru, masing-masing memiliki tanggung jawab dan tugas-tugas yang harus dipenuhinya. Tanggung jawab dan tugas ini sangat menentukan sukses tidaknya proses belajar mengajar di suatu sekolah. Di samping itu, tanggung jawab ini tidak saja bersifat horisontal (sosial-masyarakat), tetapi juga bersifat vertikal. Dengan demikian beban moral seorang guru dan siswa sangat berat, karena ini akan dipertanggung jawabkannya di masyarakat, dan kepada Allah SWT.
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menulis bahwa tugas/tanggung jawab seorang siswa yang harus dipenuhi adalah membersihkan jiwa. Beliau mengambil contoh pendekatan dengan ibadah shalat. Shalat, demikian tulisa beliau, merupakan ibadah lahiriah, karena itu harus membersihkan beberapa anggota tubuh dulu dengan berwudlu’. Demikian juga dengan menuntut ilmu, sebelumnya kita harus membersihkan batin kita dari sifat-sifat yang tidak terpuji, karena mencari ilmu itu pada hakikatnya adalah ibadah batiniah (Ihya’ Ulumuddin, I/49).
Pandangan semacam ini memang merupakan suatu hal yang patut untuk dibenarkan. Karena kalau kita mempelajari tentang strategi dakwah Rasulullah saw, memang banyak didasarkan kepada kebersihan hati (sopan santun, tatakrama, dll). Sehingga dengan itu beliau dapat mengemban misi kerasulannya dengan penuh sukses.
Mengenai hal ini buku-buku lain yang berbentuk buku-buku klasik seperti buku Ta’limul Muta’allim, juga banyak menekankan tatakrama terhadap guru dalam belajar. Bulan Juli yang lalu di Surabaya diadakan pertemuan antar ulama, yang membahas masalah eksistensi buku tersebut dengan beberapa tinjauan. Dalam pertemuan itu para ulama memutuskan beberapa keputusan. Di antara beberapa keputusan itu, ada satu keputusan yang sangat menarik mengenai buku itu. Yaitu karena memandang pentingnya buku tersebut, para ulama akan mengusulkan agar buku tersebut dijadikan materi pelajaran di sekolah sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar siswa (AULA, edisi Agustus 1994).
Dari semua itu kita tidak dapat menolak untuk menerima urgensitas tatakrama itu dalam dunia pendidikan. Sebab, bagaimanapun juga seorang siswa yang bertanggung jawab akan berpegang teguh kepada konsep ini dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Juga, dia harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang siswa yang hakiki.
Sementara itu mengenai hal tanggung jawab seorang guru, Imam Ghazali lebih menekankan kepada sikap yang menyejukkan dalam menyikapi siswa, karena dengan itulah komunikasi antara siswa dan guru akan lebih akrab. Bahkan, hubungan ini diumpamakan sebagai seorang anak dan ayahnya (Ihya’ Ulumuddin, I/55).
Tapi, jika suatu saat terjadi seorang guru bersikap kasar terhadap siswanya, tidak berarti dia telah menyalahi apa yang digariskan Imam Ghazali. Bisa jadi hal itu karena kesalahan dari siswa itu sendiri, yang telah bertindak melampaui batas, sehingga dengan terpaksa sang guru bersikap demikian.
Di samping itu guru harus dapat bersikap yang bijaksana, edukatif, dan prospektif, sehingga siswa juga dapat berperan aktif dalam proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan nanti akan tercipta siswa-siswa yang dinamis, dan kreatif dalam menyikapi masalah-masalah di lingkungannya.
* * *
Dari beberapa uraian di atas, telah jelas tugas dan tanggung jawab ang mendasar bagi seorang siswa dan guru ang kami kutip dari buku Ihya’ Ulumuddin. Jika hal itu memang dijalankan dengan baik dan konsisten, kemungkinan besar proses belajar mengajar akan menghasilkan sebagaimana yang diharapkan. Insya Allah.
Tulisan ini dipublikasikan di “Fokus”, Majalah Dinding Kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah edisi II, 17 September 1994.
Sabtu, 17 September 1994
Tanggung Jawab
Label: Education, School Corner
Langganan:
Postingan (Atom)