Judul buku: What is Religious Authority: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah
Penulis: Ismail Fajrie Alatas
Penerbit: Bentang dan Mizan Wacana, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2024
Tebal: lxxvii + 338 halaman
Buku yang ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas ini mengangkat tema otoritas keagamaan dengan tesis baru yang menarik. Bukannya menekankan otoritas keagamaan pada teks-teks keagamaan atau karisma sosok tertentu, buku ini menyatakan bahwa otoritas keagamaan merupakan hasil kerja artikulasi yang dilakukan secara berkelanjutan, yakni bagaimana seorang aktor menerjemahkan sunnah dan merangkai jamaah sehingga ia mendapatkan pengakuan dan kepatuhan tanpa paksaan.
Secara konseptual, buku ini menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif sebagaimana digagas oleh Talal Asad yang tidak hanya mengaitkan Islam dengan kitab suci atau tradisi tekstual, tetapi juga terkait dengan bentuk praktik sosial yang berubah-ubah yang bergerak dengan mencari landasan pada masa lalu fondasional. Karena itu buku ini menolak gagasan Islam yang esensialistik yang bersifat akultural. Buku ini menempatkan Islam sebagai realitas sosiologis, sebagai “hasil dari suatu ikhtiar budi daya lahan sosial yang idealnya terus tumbuh dan berfungsi sebagai realisasi pranata norma-norma yang dahulu pernah ditegakkan oleh Nabi”.
Istilah kerja artikulasi (articulatory labor) menggambarkan kalibrasi aneka unsur pembentuk komunitas Islam yang bersifat konkret, relasional, dengan moda kerja beragam, yang pada satu titik dapat membentuk paradigma artikulasi tertentu. Berbeda dengan “karya/cipta” (work), kerja artikulasi merupakan reproduksi terus-menerus dan berulang yang memanfaatkan infrastruktur dan kerja politik tertentu.
Dengan kerangka konseptual seperti ini, buku ini mengkaji kerja artikulasi Habib Luthfi dalam membangun jamaahnya. Namun sebelum itu Alatas memberi gambaran latar kerja artikulasi Habib Luthfi yang terkait dengan bentuk dan perkembangan komunitas muslim di Nusantara.
Kerja artikulasi dapat berlangsung pada komunitas yang beraneka ragam, seperti tarekat, perdikan, keraton, atau wilayah suci yang di daerah Hadramaut disebut hautha. Alatas menyinggung Dipanagara yang merangkai komunitas dengan menerjemahkan masa lalu kenabian dengan melihat peran Nabi sebagai prototipe mistikus sejati. Namun Dipanagara memadukan kerja artikulasinya dengan cara pandang dunia ruh para leluhur Jawa sehingga melahirkan artikulasi sunnah yang khas.
Alatas membandingkannya dengan beberapa ulama Hadrami yang di antaranya mengembangkan komunitas berbasis teks seperti yang dilakukan ‘Abdallah bin ‘Alawi Al-Haddad (w. 1720) yang kemudian menjadi cukup paradigmatik di Nusantara. Kinerja Haddadiyah dilakukan dengan menerjemahkan Islam yang mudah diakses oleh orang kebanyakan dengan mengobjektifikasi ajaran Nabi dalam teks teologi, fikih, dan wirid yang mudah dipahami. Otoritasnya berkaitan dengan syaikh al-ta’lim (guru ajar) yang dianggap mampu untuk mengajarkan teks dan kurikulum standar.
Ada pula moda kerja artikulasi yang disebut “dinasti kewalian” (manshobah) yang berpusat pada masa lalu kewalian pendiri jamaah. Dinasti kewalian dipimpin oleh munshib turun-temurun yang otoritasnya berkaitan dengan ketersambungan hubungan darah (nasab). Di Indonesia, ada setidaknya 52 haul wali Hadrami yang rutin dilaksanakan sebagai bagian dari kerja artikulasi manshobah.
Habib Luthfi berada di antara moda-moda kerja artikulasi tersebut. Otoritas keagamaan Habib Luthfi tidak terbentuk terutama melalui jalur nasab, karena meski tersambung dengan Ba Alawi di Hadramaut, Habib Luthfi tidak berasal dari keluarga ulama atau wali. Otoritas Habib Luthfi dibangun dengan mobilitas atau rihlah mencari ilmu. Mobilitas yang membelok pada Habib Luthfi ditandai dengan jejak rihlah keilmuan dan spiritualnya yang beragam yang menyerap keanekaragaman sosial-budaya lokal di Nusantara, tak hanya pada jejaring Hadrami. Genealogi Habib Luthfi mula-mula tersambung dengan jaringan non-Ba Alawi melalui adopsi genealogis, ketika ia diangkat sebagai mursyid Naqsyabandi-Khalidi-Syadzili (NKS) oleh gurunya yang berdarah Jawa, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas (w. 1980).
Keragaman dan lokalitas ini berpengaruh terhadap model sunnah yang dikembangkan oleh Habib Luthfi. Pemahaman dan kepekaan Habib Luthfi terhadap kultur yang beragam memperluas ruang gerak Habib Luthfi dengan komunitas dan jamaah yang lebih beraneka. Kita tahu, Habib Luthfi menguasai ragam bahasa kromo, juga bahasa Sunda, meski dalam bahasa Arab komunikatif cukup lemah.
Setelah tinggal di Pekalongan, kerja artikulasi Habib Luthfi berhadapan dengan komunitas jamaah yang lain yang berberbasis munshib atau lainnya. Misalnya dalam berinteraksi dengan jamaah Masjid Al-Raudhah yang berkomitmen secara kaku pada bahasa Arab dan ritual Ba Alawi. Ketegangan terjadi karena Kanzus Shalawat, pusat kegiatan jamaah Habib Luthfi, berdiri tidak jauh dari masjid yang diasuh oleh munshib ketiga Pekalongan, Habib Bagir.
Dengan gaya bertutur yang sangat nyaman dibaca, buku ini mendedahkan infrastruktur kerja artikulasi Habib Luthfi, seperti praktik shuhbah (penyertaan) atau pertemuan rutin bulanan dengan jamaah, penyusunan kitab wirid, relasi dengan aktor-aktor negara atau penguasa atau bahkan Keraton Yogyakarta, juga bagaimana Habib Luthfi membangun otoritas keagamaannya dengan berusaha merekonstruksi jejaring leluhurnya melalui pembangunan makam-makam wali yang diklaim memiliki hubungan nasab.
Nilai penting buku yang ditulis oleh associate professor di New York University ini terletak pada cara pandang baru yang ditawarkan untuk melihat dinamika otoritas keagamaan. Perspektif baru buku ini sangat berharga untuk dijadikan cara memotret keragaman komunitas-komunitas muslim di Nusantara pada khususnya yang memiliki keragaman moda artikulasi dalam mengembangkan dakwah dan komunitasnya masing-masing. Keragaman model penafsiran sunnah dan jamaah umat Islam di Nusantara bagaimanapun harus dilihat sebagai sebuah kekayaan budaya yang harus digali untuk dijadikan dasar dalam mengembangkan ragam dan model penghayatan keislaman yang lebih baik.
Saya yang dibesarkan dalam tradisi pesantren di Madura, misalnya, dapat merasakan betapa kerja-kerja artikulasi para kiai di pesantren sangatlah beragam dan menarik untuk didalami. Tawaran perspektif dan metodologis yang diajukan buku ini sangatlah berharga untuk dilewatkan begitu saja oleh para pengkaji Islam di Indonesia pada khususnya.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 30 Maret 2024.
Sabtu, 30 Maret 2024
Kerja Artikulasi dan Otoritas Habib Luthfi
Jumat, 01 Maret 2024
Objektivitas dan Jarak Kritis
Dari kutipan ini, tampak Alatas menggiring kita untuk sedikit mengesampingkan soal objektivitas atau keberjarakan peneliti dengan subjek yang dia teliti dalam pengertian konvensional. Alatas mengajak kita untuk masuk tidak saja ke ruang refleksi tentang identitas yang semakin kompleks, tapi juga ke dalam ketegangan personalitas dan sosialitas manusia yang mungkin dapat dikatakan merupakan salah satu diskursus filosofis tentang manusia yang lebih luas. Sosialitas dan personalitas tak harus dilihat dalam posisi yang bertentangan. Justru ketegangan di antara keduanya dapat menjadi nilai lebih, termasuk dalam konteks penelitian ilmiah.
Salah satu persoalan dalam penelitian ilmiah adalah soal objektivitas. Peneliti harus dapat mengambil jarak dengan objek material yang akan dia cermati. Bagaimana jika posisi peneliti adalah bagian dari objek yang akan dia teliti?
Masalah ini telah melahirkan perdebatan tentang posisi insider dan outsider dalam penelitian ilmiah dan telah menjadi tema diskusi penting yang terus berkembang. Dalam khazanah studi agama, saya pernah diperkenalkan dengan tulisan Kim Knott yang membahas masalah ini. Knott membuat pembedaan posisi insider dan outsider dalam empat kategori: complete observer (peneliti seutuhnya), observer as paticipant (peneliti sebagai partisipan), participant as observer (partisipan sebagai peneliti), dan complete participant (partisipan seutuhnya).
Belakangan, melalui buku Ismail Fajrie Alatas saya mendapatkan rujukan beberapa sarjana lain mengenai diskursus masalah ini. Alatas mengutip tiga sumber dalam diskusi masalah ini, yakni karya Lila Abu-Lughod (1988) berjudul “Fieldwork of a Dutiful Daughter” dalam buku Arab Women in the Field: Studying Your Own Society, Nathaniel Mackey (1992) berjudul “Other: From Noun to Verb”, Gayatri Spivak (1992) berjudul “Acting Bits/Identity Talk”, dan buku karya Trinh T Minh-Ha (1989) berjudul Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and Feminism.
Alatas mengutip tiga sumber itu dalam bukunya What is Religious Authority (2021) di akhir bab pertama saat menjelaskan problem metodologis terkait subjek yang dia tulis. Buku itu membahas tentang Habib Luthfi, sedangkan Alatas juga adalah seorang muslim Indonesia dari kalangan Ba Alawi—sama seperti Habib Luthfi. Lalu apa kata Alatas?
The extended time I have spent outside Indonesia since I was fourteen and the historical and anthropological training that I have received have created some measure of critical distance to the tradition and culture that I was born into.
Lamanya waktu yang saya habiskan di luar Indonesia sejak berusia 14 tahun serta pendidikan sejarah dan antropologi yang saya peroleh menciptakan jarak kritis dengan tradisi dan budaya tempat saya lahir.
Di sini Alatas menyampaikan tentang jarak kritis yang dapat dia ciptakan dengan objek yang dia teliti yang terbentuk oleh dua faktor: pendidikan sejarah dan antropologi yang dia peroleh, dan waktu yang dia habiskan di luar Indonesia mulai dia berusia 14 tahun.
Yang lebih menarik, di bagian akhir pendahuluan, Alatas menulis:
In my view, the best anthropological research is one that maintains, rather than ignores or suspends, the tension between estrangement and intimacy and uses it to sketch a simultaneously objectifiable and personal, but nevertheless incomplete, picture of human sociality that “arises from within human sociality.”
Bagi saya, penelitian antropologi yang paling baik adalah yang mempertahankan, dan bukannya mengabaikan atau mengesampingkan, ketegangan antara keterasingan dan kedekatan serta menggunakannya untuk membuat sketsa gambaran sosialitas manusia yang dapat diobjektivikasi sekaligus bersifat pribadi. Sketsa tersebut tentu tidak akan pernah lengkap karena ia “muncul dari dalam sosialitas manusia” itu sendiri.
Lalu bagaimana tentang jarak kritis yang terbentuk melalui proses pendidikan? Saya percaya bahwa proses pendidikan secara umum akan dapat membentuk sikap kritis untuk bersikap objektif atau memupuk kemampuan mengambil jarak dengan objek yang sedang diamati. Ini adalah kemampuan khas manusia. Tanpa pendidikan akademik pun, kemampuan mengambil jarak ini sudah dimiliki oleh manusia. Melalui proses pendidikan yang intensif, kemampuan ini akan semakin kuat.
Karena itu, ketika kemarin ada yang mempertanyakan kepada saya “…kamu mau meneliti pesantren atau kiai di Madura, kira-kira bagaimana kamu bisa mengambil jarak dan bersikap objektif? Jangan-jangan nanti penelitiannya hanya melegitimasi hal tertentu dari apa yang sudah mapan di pesantren di Madura selama ini…”, saya santai saja.
Saya pernah menulis tentang hal-hal yang saya merupakan bagian di dalamnya. Saya pernah menulis hal-hal yang memungkinkan saya mengalami bias personal dalam tulisan saya. Tapi nyatanya saya tidak selalu terjerembab ke dalam sikap buta dan bias sepenuhnya. Saya tetap bisa mengambil jarak—dengan batas-batas tertentu. Seperti tulisan saya tentang sastra pesantren, yang dibilang bias oleh Ariel Heryanto (2014: 72-73), tapi juga mendapatkan apresiasi oleh Ariel karena ada catatan kritis yang saya kemukakan di sana.
Tapi komentar tentang atas sikap objektif itu tentu tak bisa saya lewatkan begitu saja. Komentar itu memancing pertanyaan lebih jauh: kalau Alatas mengemukakan dua unsur yang berperan untuk dapat menciptakan jarak kritis agar dapat bersikap objektif secara proporsional, lalu apa kira-kira faktor lain yang dapat berperan untuk menjaga jarak kritis tersebut?
Mari, bantu saya untuk menjawab pertanyaan ini lebih lanjut.
Keterangan: kutipan terjemahan dari buku Ismail Fajrie Alatas diambil dari terjemahan versi Penerbit Bentang/Mizan (2024).
Label: Diari BIB, Reflection