Jumat, 29 Desember 2000

Melucuti Hak Istimewa Sekolah

Judul Buku : Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah
Penulis : Ivan Illich
Penerjemah : A. Sonny Keraf
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2000
Tebal : xii + 166 halaman


Benarkah sekolah adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang pendidikan bagi masyarakat? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat tak berpendidikan?

Ivan Illich melalui buku yang semula berjudul Deschooling Society ini jelas-jelas mengatakan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalistik. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme ini juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan) sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi cukup massif.

Struktur masyarakat industri menurut Illich telah menyeret kesadaran masyarakat kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, mobilitas pribadi dengan frekuensi aktivitas yang banyak, dan seterusnya. Inilah fenomena ketika kebutuhan-kebutuhan non-material dalam spektrum masyarakat kapitalis telah diubah menjadi permintaan terhadap barang, yang tentu saja berada dalam jaringan sistem kapitalisme.

Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan ini menurut Illich merupakan suatu bentuk pelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungannya dengan lembaga sekolah.

Di Meksiko misalnya kaum miskin dirumuskan sebagai orang yang tidak menempuh pendidikan sekolah tiga tahun, dan di New York orang miskin adalah orang yang berpendidikan di bawah dua belas tahun. Patokan-patokan kemiskinan dibuat oleh teknokrat dengan sesuka hatinya, dengan melulu menggunakan perspektif mereka—suatu perspektif yang bias kaum borjuis.

Pada level internasional, kewajiban bersekolah di suatu negara dan pencapaian pelaksanaannya dalam masyarakat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan peringkat kemajuan negara. Jadilah masyarakat dibagi ke dalam kutub-kutub berseberangan yang dalam konteks global menciptakan sistem kasta internasional.

Padahal, menurut Illich, sekolah dalam lingkungan kapitalis sama sekali tidak mengembangkan kegiatan belajar atau mengajarkan keadilan, sebab sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket untuk memperoleh sertifikat. Sertifikat ini nantinya akan digunakan sebagai alat legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia.

Hal ini terjadi karena sekolah adalah lembaga yang dibangun atas dasar anggapan bahwa kegiatan belajar adalah hasil dari kegiatan mengajar. Guru dianggap sebagai pengawas, pengkhotbah, sekaligus ahli terapi untuk memberi petuah-petuah moral. Jadilah guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga berfungsi sebagai ideolog, hakim, dan dokter, yang memerkosa masa depan peserta didik.

Kehadiran sekolah juga telah membatasi usia seseorang dengan tingkat pendidikan yang dapat diikutinya. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan orang tua dibagi dan dipaket untuk tingkat pendidikan tertentu. Seorang anak-anak menurut Illich melewati suatu proses konflik yang tidak manusiawi ketika oleh sistem masyarakat diharuskan masuk dalam lembaga sekolah. Anak-anak terpaksa melewati masa kecilnya dengan kurang bahagia.

Kondisi pendidikan yang sedemikian itu bagi Illich telah mengabaikan motivasi tiap individu bagi aktivitas pendidikan yang diikutinya, dan memasukkan individu ke dalam struktur mekanis kebutuhan industri terhadap posisi-posisi tertentu masyarakat kapitalis. Pendidikan hanya menjadi pelayan kapitalisme.

Untuk itu, Illich mengusulkan bahwa lembaga pendidikan (formal) baru yang ideal adalah lembaga yang bertolak dari asumsi motivasi pribadi untuk belajar, serta adanya ketersediaan dan akses terhadap sarana bagi semua orang yang ingin belajar dan mengajar.

Usul Illich tersebut berpusat pada upaya pemanfaatan jaringan-jaringan sumber daya pendidikan untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Berbagai fasilitas umum yang dapat digunakan sebagai perangkat pendidikan harus dibuka aksesnya bagi semua orang yang ingin belajar: perpustakaan, laboratorium, museum, teater, pabrik, dan sebagainya. Birokrasi ketat harus dienyahkan sehingga jasa referensial yang dimiliki sarana-sarana itu dilepas untuk kepentingan pendidikan seluas-luasnya.

Orang-orang yang memiliki keterampilan khusus dimanfaatkan secara baik dengan menghapuskan persyarakatan kelembagaan serta membiarkan mereka mengolah dan mempertukarkan keterampilannya dalam suatu komunitas yang lebih terbuka. Seorang pemilik keterampilan tertentu tak boleh diasingkan sehingga menjadikan suatu keterampilan tertentu menjadi langka.

Peserta didik juga diberi kesempatan untuk memperluas hubungan-hubungan sosial dengan sesamanya (teman sebaya). Mereka tidak hanya dikumpulkan dan dipertemukan di sekolah, tetapi diberi kesempatan pula untuk menjalin kontak dengan individu lain yang memiliki minat dan kecenderungan yang serupa. Di sinilah makna penting dari komunitas atau organisasi di luar sekolah yang menampung minat dan hobi yang bersifat khusus.

Lebih jauh lagi, peserta didik dibebaskan dari harapan-harapan yang terlalu berlebihan dengan menggantungkan masa depannya kepada jasa-jasa profesi manapun (sekolah). Peserta didik sebaiknya lebih dibebaskan menurut motivasi dan keinginannya untuk membentuk lingkungan belajar dan arah belajar yang diinginkan sehingga otonomi individu benar-benar terjaga.

Kritik dan pemikiran Ivan Illich ini menarik terutama dalam konteks pembangunan suatu bangsa. Sudah saatnya untuk disadari bahwa otoritas pendidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga sekolah, tetapi juga berada dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Karena itulah, pemberdayaan pendidikan sebenarnya dapat dilakukan di mana saja, asal semua sumber daya tersebut dibebaskan seluruhnya demi dikelola bagi kepentingan pendidikan.

Revolusi Budaya yang diinginkan Illich adalah dengan melepas mitor sekolah dan lembaga sosial lainnya yang berperan terlalu dominan dalam kehidupan masyarakat saat ini, sehingga akhirnya mendikte laju kehidupan individu dan membelenggu aktivitas dan otonomi masyarakat.


Read More..

Rabu, 20 Desember 2000

Menulis Artikel

Dalam pengertian yang cukup mendasar, menulis adalah upaya untuk menuturkan pengalaman-acak yang kita lewati sehari-hari melalui bahasa tulisan. Pengalaman ditata sedemikian rupa sehingga menjadi runtut, terfokus, dan dapat dipahami oleh orang lain. Yang dimaksud pengalaman di sini tak  hanya menyangkut “aktivitas harian yang bergerak”, tetapi termasuk juga “pengalaman berpikir”, seperti membaca, merenung, dan semacamnya.

Tulisan ini kurang lebih sebenarnya juga adalah upaya untuk menuturkan pengalaman saya, yakni pengalamana kepenulisan saya. Secara khusus, tulisan ini akan terfokus pada pengalaman menulis artikel.

Sebagai titik berangkat, saya akan memulai dari kesimpulan yang saya dapatkan bahwa dalam pengertian tertentu, menulis dapat dilihat sebagai suatu langkah percobaan untuk melihat sejauh mana penguasaan seseorang terhadap tema yang hendak ditulisnya itu. Hasil pembacaan yang bersifat tekstual maupun non-tekstual terhadap suatu permasalahan akan terbukti bila seseorang telah mampu menuliskannya secara baik. Persoalannya adalah, bagaimana menulis, dalam hal ini menulis artikel, yang baik itu?

Pertanyaan menggoda ini memang (akan) selalu hinggap dalam benak setiap orang yang ingin menulis. Mohamad Sobary, seorang penulis esai yang cukup tangguh, pernah menyatakan bahwa menulis itu ibarat berenang. Artinya, kalau ingin bisa berenang, seseorang harus langsung nyemplung ke dalam air. Menulis juga demikian. Akan sangat abstrak dan absurd kiranya jika kita hanya membicarakan tentang teknik penulisan artikel tanpa pernah mengalami rumitnya liku penulisan artikel itu sendiri.

Dengan bertolak dari pengalaman sendiri itulah, pada tahapan selanjutnya mesti dilakukan evaluasi dan pembandingan dengan pengalaman orang lain. Jadi, teknik penulisan (artikel) bukanlah semacam “adi-teori” yang sudah mapan, tetapi lebih merupakan suatu ajang bersama untuk saling berbagi pengalaman dalam menulis. Dari beberapa bahan bacaan dan pembicaraan yang pernah saya alami, memang pada akhirnya ditemukan beberapa kunci pokok dalam penyusunan suatu tulisan (artikel). Satu persatu, beberapa pokok soal yang bisa disebutkan adalah sebagaimana berikut ini.

Pertama, yang paling penting dalam hal menulis adalah menemukan ide. Ide, adalah suatu barang yang paling berharga bagi seorang penulis. Sayangnya, tak ada seorang penulis pun yang memiliki kiat khusus untuk memperoleh ide untuk suatu tulisan. Mungkin, ide memang mirip dengan ilham yang dibisikkan Tuhan entah melalui siapa. Akan tetapi, yang pasti adalah, bahwa ide atau ilham haruslah diusahakan untuk ditangkap melalui pelbagai cara: jalan-jalan, nonton film atau pertunjukan, surfing atau chatting di internet, pembicaraan di telepon entah dengan siapa, atau obrolan di angkringan dengan teman. Unsur terpenting dalam soal pencarian ide adalah adanya kepekaan intuitif seseorang terhadap realitas yang dihadapi. Pada titik ini, seorang penulis (artikel) harus cukup cerdas untuk dapat melampaui realitas faktual yang dihadapi, untuk kemudian menyeberanginya hingga tiba ke dataran yang lebih dalam.

Ini berarti, seorang penulis artikel tidak sekedar berusaha menyajikan suatu factual knowledge saja, melainkan juga berusaha menyajikan suatu conceptual knowledge. Bekal penguasaan teoritik untuk dijadikan sebagai pisau pembedah realitas-faktual (factual knowledge) merupakan syarat yang cukup penting untuk dapat menemukan gagasan-gagasan segar sekaligus cara pandang (angle) yang menarik dan khas terhadap realitas-faktual itu. Berpadulah kemampuan menemukan ide itu dengan kemampuan untuk menemukan sudut pandang sekaligus titik fokus dari tulisan yang hendak disajikan itu. Sekali lagi, penguasaan teoritik dan kekayaan perspektif keilmuan akan cukup menentukan ruang kreatif yang berada dalam diri si penulis.1

Menulis memang seperti sebuah pergulatan untuk menyajikan kelebat pikiran yang melintas dalam benak seseorang dengan suatu penyajian yang berisi, padat, tapi tidak kehilangan daya komunikatif. Untuk menjaga keruntutan tulisan, penulis akan sangat dibantu dengan pembuatan outline (kerangka). Outline ini berisi pokok-pokok dan sisi-sisi pemikiran yang hendak disampaikan kepada pembaca dengan tetap mengacu kepada fokus pembahasan tertentu. Jadi, butir-butir gagasan yang akan diangkat itu disistematisasikan terlebih dahulu dalam sebuah kerangka.

Setelah seseorang menemukan ide sekaligus angle dan fokus dari tulisan yang akan digarapnya, langkah selanjutnya adalah memulai menulis. Persoalan pertama dalam memulai menulis adalah mengawali tulisan. Dalam teknik penulisan dikenal istilah lead atau kalimat pembuka sebuah tulisan. Ada banyak jenis lead yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, antara lain dengan gaya menyentak, menggelitik rasa ingin tahu, meringkas isi tulisan, dengan kutipan, dengan pertanyaan, dan sebagainya.2 Rumusan teoritik bagi teknik penyusunan lead ini adalah: buat si pembaca ingin terus melanjutkan tulisan Anda!

Teknik memulai tulisan ini sebenarnya juga terkait erat dengan teknik penyajian tulisan itu sendiri. Menulis pada dasarnya juga merupakan sebuah bentuk komunikasi (dengan pembaca). Karena itu, pertimbangan terciptanya suatu komunikasi yang baik juga harus dipikirkan baik-baik. Segmen pembaca yang mana yang menjadi sasaran harus ditentukan lebih dulu. Yang jelas, umumnya tulisan yang baik akan selalu enak dibaca setiap orang meski dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Di sinilah kemampuan seorang penulis ditantang untuk dapat menyajikan tulisan yang enak dibaca (alias komunikatif) tanpa harus mengurangi muatan tulisan yang hendak disampaikan. Tentu saja, pemilihan pola kalimat dan pemilihan kata (diksi) juga turut menentukan. Penulis-penulis tertentu akan sangat kelihatan memiliki diksi yang khas.

Berkait pula dengan masalah teknik penyajian tulisan, masalah tata bahasa juga perlu menjadi perhatian. Tata bahasa terkadang juga terkait dengan logika bahasa, selain juga menyangkut hal yang agak teknis. Aspek logika bahasa inilah yang perlu dijaga, agar kalimat-kalimat yang ditulis mudah dipahami pembaca. Terkadang, karena menyalahi tata bahasa, kalimat yang kita buat menjadi ambigu dan disalahpahami.

Pada titik inilah kita menyadari bahwa dalam sebuah tulisan, apalagi artikel, pasti memuat hukum-hukum logika yang berusaha dibangun untuk membantu memperkuat argumen yang diajukan—eksplisit ataupun implisit.

Juga, patut diingat bahwa dalam hal penyajian tulisan, penajaman atau pendalaman fokus tulisan atau sudut pandang tulisan harus tetap dijaga keajegannya. Jangan sampai tulisan terkesan bersifat dangkal tanpa suatu pendalaman atau penajaman yang berarti. Lebih parah lagi bila sebuah tulisan terkesan kehilangan atau terlepas dari fokus atau sudut pandang yang diancangkannya. Keruntutan argumen dan keruntutan penyajian fakta dan data cukup memainkan peran yang berarti dalam hubungannya dengan keterfokusan tulisan.

Selain penajaman titik fokus tulisan, jangan pula dilupakan sisi-sisi penunjang tulisan yang lain. Usahakan tulisan (apalagi artikel) tidak kering dibaca sehingga membuat pembaca kegerahan. Tulisan harus diselingi dengan gaya bahasa yang lancar mengalir seperti arus sungai yang tenang, atau kalau perlu diselingi dengan anekdot.

Bila tulisan sudah selesai disusun, akan lebih baik bila dilakukan pengecekan berdasarkan prinsip keruntutan, proporsionalitas, diksi dan tatabahasa, serta gaya bahasa penyajian. Jangan sampai menggunakan satu kata tertentu yang berulang begitu banyak tanpa keperluan yang mendesak. Proses pengecekan akan menjadi cukup sempurna bila dilakukan oleh orang lain—syukur-syukur oleh orang yang dipandang lebih tahu. Orang lain biasanya cenderung lebih peka melihat kesalahan daripada diri kita sendiri.

Wallahualam.

 

Catatan:

1.     Ignas Kleden pernah menggambarkan bagaimana Goenawan Mohamad melalui esai-esai dalam rubrik Catatan Pinggir-nya di Tempo mampu mengolah secara baik unsur factual knowledge yang identik dengan kewartawanan Goenawan dengan unsur conceptual knowledge yang identik dengan kepenyairannya. Lihat, Ignas Kleden, “Eksprimen Seorang Penyair,” kata pengantar untuk buku karya Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet. III, 1996, h. vii-xxi.

2.     Tentang lead, bisa dilacak lebih lanjut dalam Bambang Bujono dan Toriq Hadad (Ed.), Seandainya Saya Wartawan Tempo, Penerbit ISAI dan Yayasan Alumni Tempo, Jakarta, Cet. II, 1997, h. 34-49. Buku ini sebenarnya cukup bagus untuk menjadi kawan berbagi pengalaman, karena buku ini awalnya menjadi semacam resep bagi wartawan majalah Tempo dalam mengelola penerbitannya, hingga akhirnya dibredel oleh pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994.

 

Read More..

Kamis, 14 Desember 2000

Metamorfosis Sang Penyelamat

Judul Buku: Wajah Baru Etika dan Agama
Penulis: I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W.
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2000
Tebal: 279 halaman


Carut-marut kehidupan sosial di berbagai pelosok negeri ini seringkali diidentifikasi sebagai akibat kelumpuhan etika dan agama untuk ikut menuntaskan problem-problem sosial. Karena itu, menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini, diam-diam ada beberapa kelompok yang menaruh harapan kepada etika dan agama untuk mempertegas perannya dalam membangun kehidupan sosial yang beradab.
Akan tetapi, secara internal keduanya ternyata mengidap beberapa keakutan paradigmatis untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Dengan kenyataan ini, maka hal yang harus segera dilakukan adalah pembenahan internal menyangkut paradigma dan cara aplikasi etika dan agama dalam kehidupan masyarakat global saat ini.
Akar penyebab keakutan paradigmatis yang dialami etika dan agama itu ternyata terdapat dalam pola pikir warisan modernitas. Kebenaran universal yang dicita-citakan modernisme serta upaya untuk menciptakan pribadi-pribadi yang otonom malah melahirkan gejala yang bertentangan. Universalitas kebenaran moral justru cenderung mendikte apa yang sesungguhnya dinilai “baik” dan “bermoral”, birokrasi modern menenggelamkan individu dalam privatisme-impersonal yang mengabaikan tanggung jawab serta ikatan emosional kehidupan bermasyarakat.
Sementara itu, agama yang idealnya menjadi rujukan sistem nilai untuk menciptakan kedamaian justru menjadi pemicu konflik sosial berkepanjangan. Akhirnya, kekerasan sosial disakralkan oleh legitimasi religius sehingga yang terjadi sebenarnya adalah demoralisasi agama. Agama kemudian menjadi simbol infantilisme, seperti telah lama diperingatkan oleh Sigmund Freud.
Kehadiran gerakan (dan aliran pemikiran) Postmodernisme dalam pengertian tertentu sebenarnya merupakan kritik pedas terhadap paradoks modernitas yang telah melenceng dari cita-cita pencerahan. Keyakinan akan universalitas kebenaran ternyata menjadi legitimasi untuk melakukan imperialisme nilai kepada masyarakat lain.
Untuk itu, Jurgen Habermas misalnya berusaha mengembalikan modernisme ke dalam cita idealnya semula. Sebagai penerus Mazhab Frankfurt, ia kemudian mengajukan pemaknaan baru terhadap rasionalitas, yakni sebagai suatu ‘adaptasi terus-menerus bahasa terhadap pemahaman yang berkembang makin luas berkat dialog’. Dialog di sini berarti kesediaan untuk saling mengoreksi dan memperluas worldview masing-masing kelompok. Bentuk aplikasi paling nyata dari pemaknaan Habermas terhadap rasionalitas-komunikatif ini dapat ditemukan dalam usaha-usaha untuk melakukan dialog antar-agama yang belakangan cukup ramai dibicarakan.
Menghadapi berbagai paradoks modernitas, maka agama menurut penulis buku ini seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern.
Paradigma modern yang cenderung membuat manusia mengelak dari tanggung jawab moral serta kecenderungan materialisme sehingga menghilangkan komitmen terhadap nilai dan mengakibatkan kekosongan batin patut dikritik oleh agama dengan mengajukan alternatif pemecahan untuk memberi makna eksistensial yang lebih dalam bagi kehidupan manusia.
Demikian pula paradigma modern mesti diberi kesempatan untuk memberi kritik kepada agama. Formalisme-dogmatis dalam memaknai wahyu yang mengabaikan makna historisitas dan kebebasan manusia serta simbolisme elemen-elemen keagamaan untuk kepentingan tertentu akan dapat terungkap melalui dialog agama dengan ilmu-ilmu sosial produk modernisme.
Buku ini mengingatkan bahwa etika dan agama adalah sandaran perkembangan peradaban manusia. Karena itu, keduanya harus terus diupayakan untuk dapat menunjukkan perannya secara baik dalam kehidupan, terutama dengan mengembalikan keduanya kepada ‘situasi primordial’ yang mengutamakan kerendahhatian, tanggung jawab, pengorbanan diri, dan kepekaan manusiawi.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 13 Desember 2000.

Read More..

Selasa, 05 Desember 2000

Anatomi Massa Partai Terlarang

Judul Buku: Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Penulis: Arbi Sanit
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 2000
Tebal: xiv + 252 halaman


Meski memiliki catatan kelam berkenaan dengan pembantaian massal di pertengahan dekade 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak meninggalkan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Dari catatan sejarah terungkap bahwa partai yang menurut Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 ini resmi dilarang keberadaannya di Indonesia merupakan partai yang cukup akrab dengan kalangan masyarakat desa. Kemampuannya membujuk dan mengorganisasi massa merupakan suatu kelebihan yang diakui banyak pihak, sehingga pada Pemilu 1955 PKI masuk dalam empat partai besar selain PNI, NU, dan Masyumi.

Buku yang semula merupakan skripsi karya Arbi Sanit ini mencoba menelusuri kondisi sosiologis yang berlangsung di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memungkinkan PKI mampu bekerjasama dengan baik dengan kelompok petani dan kaum abangan. Kedua kelompok ini, petani dan abangan, adalah simpatisan utama yang memberikan suaranya untuk PKI pada Pemilu 1955. Dalam studi yang lebih merupakan studi literatur ini Arbi Sanit mencoba menjawab pertanyaan: mengapa petani dan abangan mendukung PKI? Bagaimana hubungan dan kerjasama antara kedua elemen sosial ini berlangsung?

Menurut Arbi Sanit, pilihan kelompok petani dan abangan untuk mendukung PKI muncul karena konstuksi obyektif yang menjadi background sosio-kultural masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesadaran kelas (sosial) sebagaimana diteorikan Karl Marx yang mestinya menjadi acuan teoritik PKI sama sekali belum terbentuk. Bagi petani, PKI lebih nampak memberi harapan yang besar bagi usaha perbaikan hidup mereka yang tertekan.

Watak PKI yang radikal dan revolusioner menambah ketertarikan para petani. Di dalam struktur masyarakat pedesaan yang cenderung ketat dan tertutup hal ini berarti memberi peluang besar bagi mereka untuk melangsungkan mobilitas sosial. Sejak awal abad ke-19 orientasi nilai masyarakat pedesaan telah banyak dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam perusahaan dan pabrik milik pemerintah kolonial Belanda. Orientasi kuat terhadap kekayaan materi menjadi perangsang yang besar bagi ketertarikan masyarakat pedesaan terhadap PKI. PKI mengkampanyekan diri sebagai partai yang peduli dengan nasib petani, terutama menyangkut masalah pertanahan dan upah buruh serta upaya memerangi kelompok borjuis di pedesaan.

Kelompok borjuis pedesaan oleh PKI diasosiasikan kepada kelompok santri yang memang banyak menguasai tanah dan bidang perdagangan. Kelompok santri yang secara ideologis cenderung memihak kepada partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) diperhadapkan dengan kelompok petani yang masih belum memiliki basis ideologis. Kehadiran PKI bagi masyarakat pedesaan seakan-akan datang untuk menjadi media penegasan identitas mereka di hadapan kelompok santri. Apalagi masyarakat pedesaan memang cukup lemah dalam berorganisasi, sehingga mereka butuh pihak ketiga untuk membantu mereka.

Konflik ideologis masyarakat pedesaan antara kaum santri dan abangan ini semakin menguat menjelang Pemilu 1955. Iklim kebebasan berorganisasi dimanfaatkan oleh partai-partai untuk memperkuat basis politik di pedesaan yang secara obyektif memiliki jumlah pemilih yang besar. Walhasil, penegasan identitas kelompok semakin mengental. Masing-masing kelompok semakin terikat secara ideologis kepada kelompoknya.

Sebenarnya PKI memanfaatkan petani hanya lebih dalam rangka menjadikannya sebagai medan penggalangan dan pengawetan massa. Masalah para petani dan masyarakat pedesaan yang sebenarnya tidak dicarikan penyelesaian yang baik dan tepat. Daya kritis masyarakat pedesaan yang rendah dimanfaatkan PKI untuk “mengelabuhi” mereka dengan simbol-simbol tertentu. Pembagian tanah melalui land reform yang diperjuangkan PKI misalnya sebenarnya bukan jalan pemecahan terbaik bagi petani. Kondisi petani yang belum mampu mengelola tanah yang lebih luas dari satu hektar sama sekali diabaikan—bahkan oleh petani sendiri.

Buku ini menarik dan penting untuk dikaji karena tema yang diangkat terkait dengan bagian sejarah gelap bangsa Indonesia. Diskusi tentang PKI selama Orde Baru diharamkan, sehingga yang berkembang hanyalah penilaian-penilaian sepihak terhadap PKI. Melalui buku ini, Arbi Sanit cukup berhasil memetakan anatomi kekuatan massa PKI secara proporsional dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang kental. Juga tentang bagaimana keduanya melakukan interaksi sehingga melahirkan kondisi sosial-politik tertentu pada kehidupan bangsa ini.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 4 Desember 2000.



Read More..

Senin, 04 Desember 2000

Menakar Tawaran Ekonomi Islam

Judul Buku: Islam dan Tantangan Ekonomi
Penulis: Dr. M. Umer Chapra
Penerbit: Gema Insani Press Jakarta bekerja sama dengan Tazkia Institute
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxvi + 370 halaman


Dalam pentas dunia, umat Islam tidak hanya terlihat “kalah” di dalam persaingan-persaingan ideologi dunia, akan tetapi secara empiris juga berada dalam keterpurukan kehidupan sosial-ekonomi, politik maupun budaya yang mengenaskan. Negara-negara Islam kebanyakan masih berada dalam level kategori Negara Dunia Ketiga yang terutama lemah secara ekonomi.

Buku ini mencoba mengatakan dan memberi tawaran bahwa sebenarnya Islam memiliki konsep yang cukup mampu bersaing dengan ideologi-ideologi dunia. Bahkan, secara tegas dikatakan bahwa ideologi-ideologi sekuler, yakni sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, dan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) terbukti secara empiris telah gagal memenuhi cita kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, baik secara spiritual maupun material.

Menurut Dr. M. Umer Chapra, penulis buku ini, ketiga sistem ekonomi tersebut lahir dari rahim ideologi sekuler yang menampik peran agama dalam kehidupan sosial. Kapitalisme sebagai sistem yang pertama kali muncul di Eropa menurut Chapra dibangun di atas Pandangan Dunia Pencerahan yang percaya pada superioritas akal manusia, merayakan kebebasan, dan menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang tak bertujuan. Akibatnya, tak ada lagi kesakralan kolektif yang dimiliki sistem moral agama. Tak ada lagi mekanisme filter dalam sistem kapitalisme, kecuali prinsip utilitarianisme atau pragmatisme yang kesemuanya dikembalikan kepada keputusan masing-masing individu.

Individu dalam kapitalisme menempati posisi penting. Individu bebas mengaktualisasikan seluruh potensi ekonomi yang dimilikinya. Menurut kapitalisme, kepentingan individu bersifat simetri dengan kepentingan umum. Pasar dianggap memiliki mekanisme sendiri—yang disebut “tangan-tangan gaib (invisible hand)—yang menjaga keharmonisan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.

Asumsi seperti inilah yang menjadikan sistem kapitalisme gagal memenuhi cita-cita kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Bila produksi atau distribusi produk tertentu sepenuhnya berada pada genggaman kekuasaan individu, tentu tak ada jaminan bahwa distribusi atau produksi tersebut sebenarnya dibutuhkan secara sosial, sehingga prinsip efisiensi dan keadilan sebenarnya telah diabaikan. Dengan demikian, tulis Chapra dengan mengutip E.F. Schumacher, kapitalisme telah melembagakan individualisme dan meniadakan tanggung jawab sosial.

Secara empiris kapitalisme sebenarnya telah hancur ketika terjadi Depresi Besar pada tahun 1930-an. Sebagai gantinya, dilakukan sejumlah revisi terhadap kapitalisme yang akhirnya melahirkan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State).

Konsep Negara Kesejahteraan lahir untuk mengimbangi sistem ekonomi dengan tetap melibatkan individu sekaligus negara dalam kegiatan perekonomian. Negara menjadi penengah untuk mencapai kesejahteraan dengan memberikan subsidi-subsidi tertentu. Akan tetapi, keseimbangan ekonomi yang stabil sulit terjaga ketika belanja sektor pemerintah meningkat dan tidak dibarengi dengan pengurangan klaim-klaim atas sumber daya, sehingga anggaran negara defisit, meski pajak telah maksimal.

Sementara itu, sistem sosialisme memiliki asumsi adanya keharmonisan antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Individu tidak dipercaya mengurus masalah kehidupan ekonominya sendiri, sehingga negaralah yang kemudian memegang kendali. Persoalannya adalah betapa rumitnya negara untuk mengetahui kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Dari mana dan cukupkah informasi dan tenaga pemerintah yang diperlukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat?

Pada sisi yang lain, sosialisme ternyata juga tidak memiliki mekanisme filter terhadap kebijakan pemegang pemerintahan. Pemerintah sebagai pembuat keputusan ekonomi tidak dapat dikontrol sehingga rentan melahirkan pola pemerintahan diktator.
Dari kegagalan sejumlah sistem ekonomi tersebut di atas, Chapra menawarkan Islam sebagai teori dan sistem ekonomi yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Sistem ekonomi Islam menurut Chapra berakar pada syariat yang terumuskan dalam maqashid asy-syariah sebagai sasaran dan strategi ekonomi.

Pandangan dunia ekonomi Islam berkaitan dengan tiga prinsip fundamental, yakni tauhid (keesaan), khilafah (perwakilan), dan `adalah (keadilan). Tauhid berarti bahwa alam raya diciptakan secara sadar oleh Tuhan dengan suatu tujuan tertentu. Khilafah berarti manusia sebagai ciptaan Tuhan dibekali dengan kemampuan mental dan spiritual serta fisik yang memungkinkannya hidup dan mengemban misi Tuhan dalam penciptaan alam raya. Secara fitrah manusia itu baik dan mulia dan mampu menjaga kebaikan dan kemuliaannya itu.

Karena itu, sebagai khalifah, manusia harus dapat memanfaatkan sumber daya alam raya dengan cara efisien dan adil sehingga kemakmuran manusia seluruhnya dapat tercapai. Hal ini juga berarti bahwa manusia harus tetap mengingat prinsip persaudaraan universal, yakni bahwa manusia adalah bersaudara sesamanya, sehingga prinsip persamaan perlakuan di depan hukum juga harus dijunjung tinggi.

Dari pandangan dunia Islam tersebut, maka pada tataran praktis, sistem ekonomi Islam menurut Chapra harus mereorganisasi keseluruhan sistem yang saling memperkuat menyangkut beberapa elemen: (1) mekanisme filter yang secara sosial disepakati, (2) sistem motivasi individu yang seimbang, (3) restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh, dan (4) peran positif pemerintah.

Mekanisme filter dalam Islam memiliki dua lapis. Pertama, filter moral, dan kedua, filter harga. Filter moral berkaitan dengan preskripsi normatif dalam menentukan skala preferensi yang sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan sesuai dengan prinsip keadilan. Filter moral ini didasarkan kepada ajaran-ajaran Tuhan, karena diasumsikan bahwa preskripsi moral yang diberikan Tuhan telah disesuaikan dengan hakikat kodrat kemanusiaan.

Dimensi keimanan dalam Islam menjadi sistem motivasi sosial untuk memanfaatkan seluruh sumber daya ekonomi dalam terang pertimbangan jangka panjang yang jernih. Perspektif jangka panjang dalam Islam ini ditegaskan dengan kepercayaan terhadap adanya pertanggungjawaban di Hari Akhir, sehingga setiap individu termotivasi untuk memenuhi tuntutan kemaslahatan umum.

Restrukturisasi ekonomi yang menyeluruh harus dilakukan agar mekanisme filter dan sistem motivasi yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam dapat diterapkan secara baik. Karena itu, dalam proses restrukturisasi ini dibutuhkan upaya-upaya untuk mengingatkan kembali pertimbangan faktor manusia sebagai pelaku sekaligus sasaran kegiatan ekonomi, menangani konsentrasi kekayaan yang berlebihan, dan membenahi semua institusi sosial.

Sementara itu, negara dalam sistem ekonomi Islam dituntut berperan aktif. Negara harus dapat mencerminkan aktualisasi tujuan dan nilai-nilai Islam. Negara harus memenuhi kewajiban moral membantu mewujudkan kesejahteraan yang berimbang.

Di akhir buku ini, ternyata Chapra sendiri masih mencium adanya kemungkinan hambatan pelaksanaan bangunan teoritik yang dijelaskan panjang lebar ini ketika akan diterapkan dalam tataran praktis. Keinginan untuk mengaktualisasikan visi Islam dan keterbatasan sumber daya yang dihadapi oleh umat Islam menjadi penghambat yang tidak mudah diselesaikan.

Ada sejumlah catatan yang bisa dikemukakan terhadap uraian-uraian Chapra dalam buku ini. Pertama, uraian teoritik yang dikemukakannya cenderung dikaitkan dengan Negara Islam, sehingga semangat Islam yang ada di balik teori-teori yang diuraikannya itu terasa problematis untuk diterapkan pada sebuah negara yang plural. Kedua, karena berbicara pada level makro-ekonomi, maka pemikiran ekonomi Islam Chapra dalam buku ini lebih banyak berorientasi pada teori ekonomi yang terikat dengan sistem negara. Artinya, uraian Chapra tentang ekonomi Islam yang berorientasi kerakyatan (diperjuangkan secara kultural) masih kurang dominan. Ketiga, dalam menguraikan kelemahan-kelemahan kapitalisme, Chapra sama sekali tidak menyinggung penelitian Max Weber tentang kaitan Etika Protestan dengan kelahiran kapitalisme. Bila pikiran Weber diapresiasi, tentu ada kemungkinan kedekatan kapitalisme awal dengan etos atau nilai-nilai agama.

Terlepas dari ketiga hal tersebut, buku ini tetap menarik karena mencoba menggali kemungkinan kekayaan khazanah kebudayaan lain (Islam) untuk tampil dalam ajang sistem ekonomi dunia, dengan tidak semata-mata berkaca pada pengalaman dunia Barat. Apalagi, uraian Chapra dalam buku ini tidak semata bersifat teoritik, tetapi juga dilengkapi dengan aplikasi praktis dalam bidang perencanaan pembangunan. Lebih jauh, buku ini dapat pula dilihat sebagai usaha melakukan islamisasi ilmu ekonomi—meski masalah islamisasi ilmu ini juga masih debatable. Karena itu, buku ini sebenarnya layak diapresiasi bagi mereka yang peduli dengan upaya-upaya perbaikan ekonomi umat Islam yang menghadapi tantangan begitu berat.

Read More..

Sabtu, 02 Desember 2000

Meruntuhkan Etnosentrisme

Judul Buku: Ras dan Sejarah
Penulis: Claude Lévi-Strauss
Penerjemah: Nasrullah Ompu Bana
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: x + 130 halaman


Globalisasi yang terjadi di berbagai lini kehidupan telah memungkinkan terjadinya pertemuan dan kontak-kontak kultural antar-kebudayaan. Kota-kota metropolis menjadi tempat interaksi manusia yang berasal dari ras yang berbeda. Sayangnya, dalam interaksi sosial sehari-hari, seringkali muncul sentimen-sentimen apriori yang dilekatkan kepada ras tertentu.

Claude Lévi-Strauss, empu antropolog-budaya beraliran strukturalis dari Prancis, dalam buku ini menceritakan sebuah anekdot yang cukup menarik tentang prasangka rasial. Beberapa tahun setelah ditemukannya Amerika, orang-orang Spanyol mengutus komisi penyelidik ke wilayah Antilla Raya untuk meneliti apakah penduduk pribumi memiliki nyawa atau tidak. Namun sayang, para penyelidik kulit putih itu akhirnya tertawan oleh penduduk pribumi. Penduduk pribumi kemudian menenggelamkan mereka, untuk menyelidiki apakah mayat orang-orang kulit putih itu dapat membusuk atau tidak.

Dalam buku ini Lévi-Strauss melakukan gugatan-gugatan ilmiah atas berbagai prasangka kultural yang bercorak rasialis atau etnosentris itu. Gugatan tersebut terutama dilakukan dengan membongkar asumsi-asumsi dasar ilmu antropologi (budaya) yang cenderung meneguhkan rasialisme dan etnosentrisme itu, terutama dengan teori evolusi kebudayaan.

Menurut Lévi-Strauss, ilmu antropologi selama ini telah mengaburkan pengertian biologis ras dan fenomena-fenomena sosiologis dan psikologis kebudayaan manusia. Kebudayaan modern dianggap telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, sementara kebudayaan arkais yang disebut primitif dianggap masih berada dalam kategori “barbar”. Kategorisasi kebudayaan arkais tersebut pada dasarnya merupakan reaksi sepihak terhadap kebudayaan lain yang terdengar asing dengan memasukkannya dalam wilayah kehidupan binatang. Atribut “barbar” atau “liar” digunakan seakan-akan untuk mencabut status kemanusiaan mereka.

Etnosentrisme yang berlebihan ini menginginkan pengingkaran realitas berupa keanekaragaman kebudayaan yang melampaui jumlah ras manusia, dengan menumpangnindihkan fakta-fakta biologis dengan fakta-fakta kebudayaan. Padahal, keanekaragaman kebudayaan adalah kenyataan yang tak terbantahkan, yang berada di antara kehendak masyarakat untuk mempertahankan kekhasan kebudayaan yang dimilikinya dan kehendak untuk tetap menjaga keselarasan kebudayaan mereka.

Lévi-Strauss telah mempelajari berbagai bentuk kebudayaan arkais dengan pendekatan antropologi-struktural. Dengan pendekatan ini, Lévi-Strauss merekonstruksi struktur kode-kode kultural yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat arkais sehingga akhirnya ia menemukan hubungan ekuevalensi formal, isomorfisme, dan aturan-aturan transformasi yang terjadi di antara berbagai tingkatan kode yang berbeda.

Dalam penelitiannya itu terungkap bahwa bahkan dalam suatu kebudayaan tertentu pun terdapat suatu diversifikasi internal yang terjadi akibat keberagaman kelompok masyarakat yang membentuk kebudayaan itu sendiri.

Penilaian terhadap kebudayaan lain pada dasarnya tidak dapat dilakukan kecuali bila tetap berada dalam bingkai relativisme. Karena itu, tak aneh bila pada akhirnya penilaian-penilaian semacam itu berakhir dengan sikap yang bercorak superioristik dan tidak lain merupakan wujud intervensi kebudayaan tertentu untuk menghegemoni kebudayaan lain.

Karena itu, Lévi-Strauss menawarkan suatu pembacaan struktural terhadap fenomena kemajuan kebudayaan. Menurut Lévi-Strauss, tak ada kebudayaan yang benar-benar berdiri sendiri. Suatu kebudayaan harus berkoalisi dengan kebudayaan yang lain sehingga ia membangun rangkaian sejarahnya secara kumulatif. Sejarah kebudayaan Eropa setidaknya telah membuktikan hal itu. Eropa, menurut Lévi-Strauss, pada awal masa Renaisans adalah tempat pertemuan dan bercampurnya pengaruh yang beragam: Yunani, Romawi, Jerman, dan Anglo-Sakson; pengaruh Arab dan Cina. Konsekuensinya, tidak ada suatu peradaban dunia dalam pengertian absolut karena ia selalu mencakup koeksistensi kebudayaan.

Dengan mengakui karakter kebudayaan yang demikian, Lévi-Strauss menegaskan bahwa satu-satunya tuntutan yang bermanfaat dalam konteks ini adalah terjadinya keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk-bentuk yang merupakan kontribusi setiap individu bagi kemuliaan yang lebih tinggi terhadap orang lain.

Buku ini menarik karena secara cukup baik mematahkan argumen-argumen ilmiah yang selama ini dibangun oleh ilmu antropologi untuk menegaskan etnosentrisme atau superioritas kultural tertentu. Karena itu, pada akhirnya, pesan yang terangkum dari buku ini adalah perlunya pandangan yang setara terhadap berbagai ekspresi kebudayaan dunia. Selanjutnya, kerjasama antar-kebudayaan perlu ditingkatkan karena kemajuan kebudayaan sebenarnya sangat ditentukan oleh fungsi suatu koalisi antar-kebudayaan.

Pemaparan argumen yang didasarkan atas penelitian-penelitian antropologis memang cukup membantu pembaca untuk memahami gagasan Lévi-Strauss. Akan tetapi, bahasanya yang agak rumit—seperti biasa ditemukan dalam buku-buku pemikiran tradisi Prancis, khususnya yang berasaldari aliran strukturalis—mungkin akan membuat pembaca harus sedikit mengerutkan dahi. Akan tetapi, tulisan Jean Pouillon di akhir buku ini cukup membantu mengantarkan pembaca yang masih awam dengan pemikiran Lévi-Strauss.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 1 Desember 2000.

Read More..