Judul Buku : Civil Society versus Masyarakat Madani:
Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia
Penulis : Ahmad Baso
Pengantar : Muhammad A.S. Hikam dan Nurcholish Madjid
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Cetakan : Pertama, Oktober 1999
Tebal : 402 halaman
Perdebatan tentang Civil Society di Indonesia merupakan salah satu elemen penting dalam wacana demokrasi dan reformasi. Seperti halnya wacana demokrasi dan reformasi, Civil Society diakses oleh berbagai lapisan kalangan intelektual Indonesia. Secara historis, debat masalah Civil Society di Indonesia sebenarnya telah dimulai cukup lama, yakni bermula sekitar awal 1990-an, bersamaan dengan lahirnya ICMI. Frekuensi perbincangan Civil Society menjadi semakin meninggi ketika hampir semua ilmuwan sosial-politik dan—terutama—cendekiawan muslim yang concern terhadap masalah tersebut masuk dalam arena debat ini.
Buku ini adalah sebuah usaha pelacakan arkeologis terhadap hampir semua teks perdebatan Civil Society di Indonesia. Dengan mengandalkan pada metode penelitian sejarah yang disebut arkeologi, yang dipelopori oleh seorang filsuf postmodern asal Prancis, Michel Foucault (1926-1984), penulis buku ini mengkaji secara kritis teks-teks yang berhubungan dengan perdebatan Civil Society dalam konteks (politik) Islam Indonesia. Yang sangat menarik dari buku utuh ini adalah kesimpulan akhir yang diungkap: bahwa debat Civil Society di Indonesia sama sekali tidak produktif, karena orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya menggunakan ajang perdebatan itu sebagai sarana untuk memperkokoh identitas kelompok, bersifat ideologis, politisasi atas hal-hal yang transenden, pencarian legitimasi dari masa lalu, dan romantisisme kejayaan Islam periode klasik. Selain berbentuk romantisisme yang menyesatkan, debat Civil Society juga hanya sering berisi harapan-harapan dan keinginan tak berdasar, dengan diungkapkan melalui suatu glorifikasi bahasa yang cukup memukau. Corak seperti itulah yang oleh Ahmad Baso disebut sebagai Nalar Melayu, yang tetap tidak berubah sejak abad ke-16.
Bagaimana kesimpulan itu bisa ditarik hingga menjadi sedemikian rupa dan seperti cukup mengejutkan? Di sinilah sebenarnya letak kekuatan buku ini, yakni ketika Ahmad Baso menggunakan sebuah metode mutakhir yang digagas oleh Michel Foucault, yakni metode arkeologi (pemikiran; Bhs. Inggris: Archaeology of Knowledge). Metode arkeologi itu sendiri amat dekat dengan tradisi strukturalisme yang juga tumbuh di Prancis, yang berpijak pada asumsi otonomi teks. Teks ketika dilemparkan kepada publik dianggap memiliki otonominya sendiri dari tiga hal: dari sang pengarang, dari konteks budaya awal, dan dari konteks pembaca awal dari teks itu.
Dengan lacakan arkeologis terhadap teks-teks yang begitu banyak itu—yang ditulis oleh Nurcholish Madjid, Muhammad A.S. Hikam, M. Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Kuntowijoyo, M. Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Bahtiar Effendy, Azyumardi Azra, Muhammad Fajrul Falakh, dan sebagainya—Baso mulai bekerja untuk melihat sejauh mana hubungan dan batas-batas wacana (the limits of discourse) dari debat Civil Society dalam konteks politik Islam di Indonesia. Selain itu, dari berbagai teks Civil Society yang berserakan itu, Baso mencari dan kemudian menemukan gambaran pola pemikiran macam apa yang akan terbentuk, yang nantinya akan menunjukkan sebuah kecenderungan intelektual di Indonesia. Walhasil, aroma ideologis dan eksklusivitas kelompok dalam debat Civil Society di Indonesia yang begitu kental itu ternyata dicium Baso sudah sejak awal, yakni mulai dari ihwal penerjemahan Civil Society menjadi Masyarakat Madani atau Masyarakat Sipil.
Kelompok yang menerjemahkan Civil Society menjadi Masyarakat Madani terutama adalah kalangan cendekiawan yang tergabung dalam ICMI. Bahtiar Effendy misalnya menulis bahwa penerjemahan Civil Society menjadi Masyarakat Sipil adalah salah kaprah, karena di situ terkesan mempertentangkan sipil dan militer. Dengan istilah Masyarakat Madani, menurut Bahtiar dan kawan-kawannya, Civil Society merupakan konsep yang merujuk pada corak kehidupan Nabi Muhammad di Madinah pada awal perkembangan Islam. Dengan bantuan para sosiolog Barat yang mengkaji Islam, semisal Ernest Gellner, Marshall G.S. Hodgson, dan Robert N. Bellah, Nurcholish Madjid—sebagai salah satu eksponen dari kelompok ini—menjelaskan bagaimana Civil Society lalu dimaknai sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat yang sopan.
Nurcholish menjelaskan bahwa semangat dan pengertian Civil Society terkandung dalam makna perkataan ‘madinah’ yang berarti “‘masyarakat sopan, beradab, dan teratur’ dalam bentuk negara yang baik”. Tetapi, apa yang terbayang ketika secara agak mengejutkan, Ahmad Baso lalu mengantarkan pembaca kepada suatu pemahaman bahwa konsep Civil Society-nya Nurcholish malah cenderung memiliki simpul pemikiran bahwa “Civil Society dapat, dan sering, punya sisi-sisi buruk” dan bahwa “kiprah Civil Society yang bebas tak terkekang bukanlah suatu gagasan yang harus disambut hangat, melainkan pikiran yang sungguh mengerikan”, sehingga akhirnya “dalam Civil Society [pribadi] diakui hak-hak asasinya oleh negara, tapi, sebagai imbalannya, dituntut penunaian kewajiban kepada negara,” dan “tidak punya makna apa-apa membicarakan Civil Society tanpa negara yang cukup tangguh,” dan “karena negara kita adalah negara yang sedemikian besar tetapi fragile atau mudah pecah” maka “hanya militer yang dapat menanggulanginya”.
Sementara itu, kelompok Masyarakat Sipil yang dipelopori Muhammad A.S. Hikam (mewakili kelompok NU) lebih memaknai konsep Civil Society dari perspektif Barat. Bagi Hikam, Civil Society mewujud dalam bentuk organisasi atau asosiasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh negara. Kelembagaan Civil Society ini hendak mandiri dari negara karena pada dasarnya Civil Society hendak berusaha mengimbangi hegemoni negara dan memperkokoh posisi dan kemandirian masyarakat. Satu persatu Hikam mengutip pandangan tokoh-tokoh Barat, seperti Jurgen Habermas, Hannah Arendt, Alexis de Tocquevelle, J.S. Mills, Daniel Bell, dan Vaclav Havel, tentang Civil Society, khususnya yang bertolak dari kasus di negara-negara Eropa Timur.
Kritik yang dilancarkan Baso dalam hal ini adalah sikap Hikam—seperti juga orang-orang lain yang terlibat dalam wacana Civil Society ini—yang dengan seenaknya saja mengutip pandangan tokoh-tokoh itu dengan melepaskan historisitas pemikiran yang ikut lahir bersama. Inilah yang oleh Muhammad Arkoun disebut dengan kecenderungan Logosentrisme, ketika pengalaman-pengalaman sejarah yang spesifik disederhanakan begitu saja dengan dikembalikan kepada suatu periode sejarah tertentu—masa kehidupan Nabi Muhammad, misalnya—atau malahan menyikapinya secara ahistoris. Jadinya, kutip-mengutip yang dilakukan hanya digunakan sebagai legitimasi dan tempelan yang kering, tanpa suatu akar epistemologis atau sosiologis yang memadai. Dalam konteks ini, konsep Hikam tentang Civil Society yang dipinjamnya dari para pemikir Barat kemudian mengabaikan perangkat kondisi sosial yang memungkinkan terciptanya Civil Society tersebut, seperti syarat adanya liberalisme ekonomi.
Tidak hanya itu. Aroma ideologis masih tetap saja menggenangi teks-teks Hikam. Misalnya, ketika pada salah satu tulisannya Hikam menyimpulkan bahwa NU pasca-Khittah sangat relevan dengan upaya penguatan Civil Society di Indonesia. Sementara, ketika pada pertengahan 1998 NU mensponsori pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hikam menulis: “Menurut saya, dalam rangka pembentukan format baru di masa depan, perlu dipertimbangkan pendekatan kedua ini [yakni “yang lebih menekankan kepada masyarakat”] agar semakin mendapat tempat di dalam gerakan-gerakan Islam di negeri ini.” Nampaknya Hikam mulai bingung ketika kalangan NU sendiri akhirnya harus “menyerah” dengan hanya menitikberatkan perjuangannya pada level masyarakat dan harus ikut bermain dalam arena kekuasaan (negara), dengan menulis bahwa Civil Society perlu dipertimbangkan.
Carut-marut dan kebingungan yang dialami cendekiawan Indonesia ini amat jelas menunjukkan betapa dalam wilayah wacana keilmuan (epistemologis), cendekiawan Indonesia masih belum bisa memiliki status otonom. Status epistemologis sebuah wacana dalam konteks Indonesia masih banyak ditentukan dan diarahkan oleh konstruksi identitas diri yang telah terbentuk sebelumnya, sehingga arah berkembangnya wacana tersebut hanyalah permainan peneguhan politik identitas itu sendiri. Akhirnya, wacana tersebut sama sekali tidak dapat teruji secara ilmiah-filosofis, apalagi secara kontekstual, karena wacana yang dibangun berpijak pada eksklusivisme-ideologis yang secara epistemologis amat rapuh.
Kritik terhadap konstruksi (perkembangan) keilmuan di tanah air memang sesuatu hal yang cukup penting. Apa yang sebenarnya terjadi di sini dalam waktu beberapa dekade terakhir tentu bukan sekedar krisis ekonomi dan sosial-politik. Tetapi, krisis dalam dunia keilmuan juga menjadi suatu bagian penting yang patut dipikirkan. Dalam salah satu tulisannya, Ignas Kleden mengkritik tidak adanya tradisi diskusi dalam sistem kebudayaan Indonesia. Menurut Ignas, tradisi ngobrol lebih akrab dalam dunia keilmuan kita. Artinya, setiap gagasan yang muncul dalam arena publik tidak pernah selesai dibicarakan secara mendalam. Kesetiaan pada suatu persoalan serta kejernihan dalam menangkap persoalan diabaikan begitu saja, sehingga kerja keilmuan yang dihasilkan hanya semacam cerai-berai pikiran yang ternyata masih cukup membingungkan—dan seringkali ideologis (Kleden, 1988: xlv).
Sejalan dengan hal tersebut, Ahmad Baso sendiri di dalam buku ini juga mengkritik terhadap belum adanya kecenderungan analisis pemikiran Islam yang mengarah kepada sebuah sistem pemikiran yang utuh. Artinya, proyek intelektual yang dikerjakan oleh kelompok cendekiawan cenderung semata-mata merupakan respon sesaat terhadap situasi kontekstual, tanpa mau melanjutkannya dengan kerja-kerja intelektual (penelitian) yang lebih serius. Apalagi, kecenderungan ini diperparah dengan sikap konsumtivisme-intelektual yang berlebihan (tidak pada tempatnya) sehingga pemikiran yang lahir kehilangan daya kritisnya serta nyaris tidak menyajikan sesuatu yang baru dalam kancah pemikiran di Indonesia.
* * *
Selain kritik terhadap kecenderungan kajian keilmuan (keislaman) di Indonesia, khususnya tentang perdebatan Civil Society, buku ini juga bisa dilihat sebagai sebuah eksprimentasi metodologis dari sebuah perangkat metodologis yang relatif baru dalam kancah metodologi analisis sosial, yakni metode arkeologi (pengetahuan). Kiranya, cukup menarik untuk melihat bagaimana sebenarnya metode arkeologi ala Michel Foucault ini lahir, dengan diawali perkembangan aliran strukturalisme di Prancis.
Demam pemikiran Strukturalisme di Prancis yang mewabah pada sekitar akhir 1960-an merupakan suatu bentuk ekspresi kekecewaan kaum intelektual Prancis dengan paradigma berpikir kaum Marxis dalam menganalisis kehidupan sosial-politik masyarakat. Huru-hara bulan Mei 1968 di Prancis yang diikuti respon Partai Komunis Prancis (PCF) yang kurang berpihak pada “people power” untuk menentang berbagai keputusan pemerintah Prancis telah membuat kaum intelektual Prancis yang sebelumnya berada di belakang PCF itu menjadi harus berpikir ulang dengan posisi mereka, terutama berkaitan dengan paradigma perjuangan ala Marxis. Apalagi, ada kabar tidak menyenangkan dari Soviet yang membuka mata mereka akan kekejaman pemerintahan Stalin di Soviet. Pada akhirnya, rangkaian kejadian itu mengantarkan mereka kepada rasa kecewa terhadap cara berpikir kaum Marxis. Menurut mereka, pemikiran Marx harus ditafsirkan ulang (Seno Joko Suyono: 1997: 5-10).
Pada bagian yang lain, situasi yang menunjukkan kebangkrutan Marxisme baik secara teoritis maupun praktis ini telah mengubah haluan beberapa intelektual Prancis untuk menekuni pemikiran Strukturalisme yang dikembangkan bertolak dari studi linguistik Ferdinand de Saussure. Fenomena ini didukung oleh proses depolitisasi kampus yang dilakukan pemerintah Prancis. Strukturalisme Saussurian itu sendiri bertujuan untuk menemukan struktur permanen yang aktif yang dipandang mendasari realitas. Kaum strukturalis berpijak pada sistem bahasa, karena mereka percaya bahwa bahasa dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial. Karena menekankan pada struktur, maka cara kerja metode ini menfokuskan pada koherensi internal sebuah realitas sosial (teks, bahasa).
Teks diasumsikan otonom, sehingga yang diutamakan adalah makna obyektif teks, bukan intensi obyektif dari pengarang. Untuk itu, yang diutamakan dalam pelacakan yang dilakukan kaum strukturalis adalah struktur internal dari teks itu sendiri (Ricouer, 1977: 319). Apalagi penulis teks diyakini tidak bisa sepenuhnya bisa mengontrol makna keseluruhan dari teks-teks yang dibuatnya, sehingga penjelasan (subyektif) dari penulis teks hanya akan mengesankan upaya menyelamatkan diri dari label-label yang tidak menguntungkan bagi dirinya, sementara, teks yang dibuatnya sendiri mengarahkan kesan pembaca kepada sesuatu yang lain.
Dengan bertolak pada asumsi-asumsi pemikiran strukturalisme itu, metode arkeologi Michel Foucault sebenarnya lalu identik dengan sebuah pelacakan sejarah yang berusaha meneliti proses penataan teks-teks sehingga mengarah kepada suatu irama kebenaran tertentu. Inilah yang oleh kaum strukturalis disebut sebagai “Kode Tersembunyi” dari interaksi sosial. Arkeologi dengan demikian berusaha meneliti gagasan-gagasan yang dilemparkan kepada publik dengan asumsi bahwa ada episteme tertentu di balik semuanya itu. Yang dimaksudkan dengan episteme adalah pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, yang dimiliki setiap zaman yang mendasari konstruksi epistemologis suatu zaman. Jadi, episteme adalah semacam apriori historis tertentu yang menentukan jalannya pemikiran tiap bidang ilmu (Bertens, 1996: 215-216). Dengan cara ini, diharapkan bahwa dasar-dasar pembentukan suatu pemikiran dapat ditemukan. Dari suatu perspektif, metode ini seperti hendak membongkar kesucian setiap pemikiran, karena pada dasarnya setiap pemikiran (di)tegak(kan) di atas suatu episteme tertentu. Dalam konteks ini, metode arkeologi Foucault yang berbasis penelitian (kritik) sejarah oleh Habermas disejajarkan dengan metode dekonstruksi Jacques Derrida yang mengkritik rasio modernisme dengan bertolak dari kritiknya terhadap Metafisika Kehadiran dalam pemikiran Filsafat Barat (Habermas, 1998: 254).
Fokus penelitian kaum strukturalis pada struktur internal teks seringkali menghadirkan kesalahpahaman ilmuwan sosial lainnya. Dengan hanya meneliti struktur internal teks, kaum strukturalis dianggap menjauh dari realitas sosial-empiris yang bersifat aktual dan lebih konkret. Ahmad Baso juga kurang lebih mengalami hal ini. Akan tetapi haruslah dipahami bahwa dengan mengalihkan fokus perhatiannya dari kenyataan konkret menuju struktur internal teks, kaum strukturalis bukan hendak meninggalkan realitas sosial-empiris sepenuhnya, melainkan langkah ini dilakukan demi menemukan suatu pemahaman yang lebih bersifat asasi terhadap realitas empiris yang terjadi. Bahkan, dalam bagian tertentu, analisis struktural nampak lebih berhasil untuk memperlihatkan aroma ideologis sebuah sistem tertentu, seperti yang pernah dilakukan Roland Barthes ketika meneliti trend gaya hidup sehari-hari di Prancis dalam bukunya, Mythologies.
Ahmad Baso melalui buku ini setidaknya juga telah ikut membuktikan keampuhan metode arkeologi ala (pasca)strukturalisme Foucault, terutama dalam membongkar eksklusivisme-ideologis kaum intelektual Indonesia yang terlibat dalam debat Civil Society. Inilah gaya atau prototype sebuah metodologi postmodernisme, sehingga dalam pengertian tertentu buku ini juga menjadi semacam klarifikasi bagi kebingungan debat postmodernisme di Indonesia. Ciri kental pemikiran postmodernisme ternyata juga tak bisa ditinggalkan: ia bersifat dekonstruktif dan nyaris berakhir dengan nihilisme. Mungkin, ini memang adalah sisi lain dari pemikiran postmodernisme itu. Akan tetapi, sejauh mengenai resiko atau bahaya yang juga diusung pemikiran postmodernisme yang cenderung berujung pada nihilisme ini, cukup penting untuk dikutip sepenggal ujaran Foucault pada salah satu karyanya: “...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk, melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya, yang tidak persis sama dengan buruk. Jika segalanya ternyata berbahaya, setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.” ***
Daftar Pustaka
Bertens, K., 1996, Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis, Gramedia, Jakarta.
Habermas, Jurgen, 1998, The Philosophical Discourse of Modernity, Cet. X, Penerjemah: Frederick Lawrence, MIT Press, Massachusetts.
Kleden, Ignas, 1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Cet. II, LP3ES, Jakarta.
Ricoeur, Paul, 1977, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, Toronto University Press, Toronto.
Seno Joko Suyono, 1997, “Tubuh yang Rasis: Telaah Klinis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa”, Skripsi di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Read More..