Senin, 04 September 2023

Simulakra Amerika


Setelah tiga minggu keliling Amerika mengikuti kegiatan dan bertemu dengan tokoh agama dan tokoh pendidikan dengan berbagai latar, kami disodorkan sebuah pertanyaan yang cukup menggugah: apakah ada persepsi dan pandangan Anda yang berubah tentang Amerika?

Apakah ini pertanyaan untuk mencuci otak kami? Apakah ini pertanyaan untuk menarik kami ke perahu mereka? Tapi bukankah saya menemukan bahwa ternyata “mereka” sangatlah beragam?

Pertanyaan itu muncul pada sesi evaluasi di hari terakhir dari rangkaian tiga pekan kegiatan IVLP bertajuk Faith Based Education. Sesi evaluasi ini dihadiri oleh pejabat dari Department of State Amerika sebagai penanggung jawab. Namanya Karl Asmus. Asmus, yang berdarah Jerman dan sebelumnya pernah bekerja untuk Angkatan Darat Amerika, waktu itu bertugas di Biro Pendidikan dan Kebudayaan, bagian yang mengelola kegiatan IVLP. Dia terbang dari Washington DC khusus untuk sesi evaluasi ini sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dari Washington, dengan penerbangan langsung, dia butuh waktu hampir tujuh jam untuk tiba di Portland, Oregon, kota terakhir kegiatan kami.

Itu pertanyaan paling penting yang diajukan di sesi evaluasi tersebut. Lainnya lebih bersifat teknis atau turunan dari pertanyaan pokok itu. Bagi saya, ini pertanyaan reflektif yang membuat saya harus memeras semua pengalaman tiga minggu ini dalam satu kesan yang mungkin memang bernilai paling penting. Saya bersama delapan rekan peserta kegiatan lainnya tak punya waktu yang banyak untuk berpikir menyusun jawaban. Jawabannya memang lebih bersifat spontan.

Bagi saya, tiga pekan kegiatan yang cukup padat itu memang cukup berhasil mengubah pandangan saya tentang Amerika. Sebelumnya, saya tidak punya perhatian atau minat khusus untuk mempelajari Amerika secara mendalam. Orang-orang Amerika yang saya kenal pertama adalah para relawan dari Volunteer in Asia (VIA) yang bertugas di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk mulai tahun 1983 hingga 1997. Itu pun saya tidak kenal dekat. Rentang waktu itu adalah masa kanak-kanak dan remaja saya. Kebetulan saya tidak mengikuti kegiatan kursus Bahasa Inggris yang dikelola oleh mereka. Setelah itu, saat menempuh jenjang magister di Utrecht, Belanda, pada tahun 2009, ada teman kelas saya dari Amerika. Namun saya tidak cukup akrab.

Pandangan saya tentang Amerika adalah kesan yang saya tangkap di media dan pandangan umum lainnya yang berkembang. Amerika adalah negara adikuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya juga menonton film-film Hollywood, termasuk American Beauty (1999)—yang dinobatkan sebagai film terbaik Academy Award tahun 2000 dan menyabet empat piala Oscar lainnya—yang menggambarkan kesuraman keluarga suburban Amerika. Juga film-film Oliver Stone yang banyak mengangkat realitas politik Amerika—di antaranya Born on the Fourth of July (1989), Platoon (1986), JFK (1991), Nixon (1995). Saya juga membaca buku-buku Noam Chomsky—juga film-film dokumenternya—yang bersikap sangat kritis terhadap kondisi masyarakat dan pemerintah Amerika. Salah satu terjemahan buku Chomsky pernah saya ulas cukup panjang di Harian Kompas, dulu, saat saya masih mahasiswa di Yogyakarta. Buku terjemahan karya Chomsky lainnya pernah saya ulas di Harian Jawa Pos.

Kisah-kisah fiksi yang saya baca ada juga yang berlatar Amerika, seperti In Cold Blood karya Truman Capote, To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, Impian Amerika karya Kuntowijoyo, Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma, atau beberapa cerita pendek berlatar Amerika karya Umar Kayam.

Pengalaman tiga minggu di bulan September 2017 itu benar-benar membuat saya mengalami langsung pertemuan sosial-budaya dengan Amerika. Minat dan perhatian saya untuk membaca atau mempelajari hal yang terkait Amerika pun bertambah—persis seperti yang dahulu terjadi setelah saya menempuh studi magister di Eropa. Pulang dari Amerika, beberapa buku atau tulisan tentang Amerika yang sebelumnya diabaikan menjadi menarik perhatian. Dengan situasi ini, persepsi populer sebelumnya yang mungkin bisa dibilang cukup awam tentang Amerika akhirnya disusun ulang berdasarkan narasi pengalaman tiga minggu tersebut.

Saya jadi teringat istilah simulakra yang dilontarkan oleh filsuf posmodern Jean Baudrillard. Saya berpikir bahwa persepsi saya—mungkin juga orang lain—tentang Amerika lebih banyak dibentuk oleh citra media. Dunia simulasi media meleburkan yang nyata dan yang fantasi, yang asli dan yang palsu, juga nilai, fakta, tanda, citra, dan kode.

Simulakra Amerika dalam benak saya akhirnya dihadapkan dengan pengalaman tiga pekan yang di antaranya mengantarkan pada pokok kesimpulan yang mungkin cukup sederhana: bahwa realitas Amerika terlalu beragam untuk diringkus dalam penyederhanaan titik kesimpulan yang cenderung tunggal. Pengalaman langsung meneguhkan pentingnya kesadaran akan keragaman dan perlunya keterbukaan dan kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih berimbang—bukan hanya berdasar citra media. Perjumpaan yang saya alami selama tiga minggu mempertemukan saya dengan fakta keragaman yang kuat—tak jauh berbeda dengan keragaman umat Islam di berbagai belahan dunia. Ini terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat akar rumput Amerika, tapi juga pada tingkat elite masyarakat. Bahkan juga pada lapis pengurus publik atau pemerintahan. Keragaman itu misalnya tampak dalam penyikapan terhadap hal-hal yang terkait umat Islam dan isu-isu Islam pada umumnya.

Pentingnya kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih terbuka dan berimbang ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Imam Jamal Rahman saat ia bertutur tentang penolakan warga Amerika atas usulan pembangunan masjid dan pusat antariman di Ground Zero di kota New York. Rahman mengemukakan data yang mengungkapkan bahwa 61 persen warga Amerika yang menolak itu ternyata secara pribadi tak punya kenalan seorang muslim satu orang pun. Perjumpaan dan interaksi langsung nyatanya menjadi faktor yang cukup penting dalam peluang untuk mengubah stigma dan mengunci atau membuka jendela empati dan solidaritas.

Memang kita hidup di zaman dominasi media. Media gencar menyuplai persepsi dan pengetahuan dengan berbagai bentuknya. Benarlah bahwa pengetahuan kita pada tingkat yang paling sederhana paling banyak bukanlah pengetahuan langsung, melainkan pengetahuan dari sumber otoritas seperti media atau juga dari penyimpulan yang kita buat. Namun saya jadi mengerti bahwa pengetahuan langsung bisa menggugah dan mengusik pengetahuan lapis kedua yang kita peroleh dari media. Perjumpaan bisa mendorong pada tumbuhnya minat dan perhatian, yang kemudian dapat menjadi titik awal bagi pemahaman baru.

Saya sadar bahwa dalam situasi apapun, kita mesti bersikap kritis pada sumber-sumber informasi yang kita dapatkan. Chomsky sudah lama mengingatkan kita tentang kesadaran yang dibentuk menurut kepentingan politik tertentu—manufacturing consent. Perspektif kritis ini penting ditekankan untuk menghindari distorsi informasi yang bisa muncul dari media maupun pengalaman langsung.

Pengalaman kunjungan tiga pekan di Amerika ini pada satu sisi memberi saya peneguhan tentang beragam sumber persepsi dan pengetahuan kita. Antara simulakra, citra media, sumber otoritas, pengalaman dan perjumpaan langsung, penyimpulan berdasar pengalaman dan informasi, dan sebagainya.

Jadi, apakah setelah kunjungan tiga pekan itu pandangan saya tentang Amerika mengalami perubahan? Saya pikir iya. Pandangan saya tentang Amerika telah berubah. Bahkan mungkin juga yang berubah adalah pandangan saya tentang dunia. Namun saya berharap bahwa perubahan itu adalah perubahan yang mengarah pada sesuatu yang lebih baik, perubahan yang memperluas cakrawala saya, yang mungkin dapat menyelamatkan saya dari cara berpikir yang sempit dan tunggal.

Pamekasan, Desember 2020


Tulisan ini diambil dari buku kumpulan esai pengalaman Amerika yang saya terbitkan dengan judul Potret Pendidikan dan Agama di Amerika: Catatan Kegiatan IVLP 2017 Faith Based Education (Instika Press, 2020). Buku ini dapat dibeli di sini, dan isinya dapat diintip di sini.

Read More..