Rabu, 22 Februari 2006

Pembalasan Si Pengantin

Ternyata,‭ ‬jalan pulang untuk bertobat tak cukup mudah ditempuh.‭ ‬Iblis telah tersebar ke sekian banyak tempat.‭ ‬Ia menarik,‭ ‬menggiring,‭ ‬menguntit,‭ ‬dan mengepung,‭ ‬agar kita tetap merasa hangat dalam pelukannya.‭ ‬Iblis tahu betul setiap kali ada anak buahnya yang mencoba berusaha mengambil jalan lain atau kabur dari kelompoknya.

Demikianlah.‭ ‬Si Pengantin telah menetapkan keputusannya:‭ ‬menjadi istri yang baik,‭ ‬menjaga toko kasetnya,‭ ‬menemani hari-hari suaminya,‭ ‬melepas masa lalunya yang kelabu.‭ ‬Si pengantin ingin memulai sesuatu yang baru,‭ ‬catatan baru yang indah dalam episode hidupnya.‭ ‬Entah berapa lama ia harus berpikir keras untuk membuat keputusan itu.‭ ‬Entah seteguh apa hati dan tekadnya sehingga ia cukup berani untuk kabur dari lingkaran gelap yang telah ia hidupi sekian lama.

Keputusannya yang bulat itu lalu akan berlanjut di sebuah kapel kecil di perbatasan negeri.‭ ‬Tempatnya cukup terpencil,‭ ‬tandus,‭ ‬jauh dari ingar bingar dan pusat kota.‭ ‬Bangunannya sederhana,‭ ‬dari papan kayu yang disusun rapi dan kokoh.‭ ‬Tempat itu seperti menyimpan keheningan dan kekhidmatan.‭ ‬Cocok untuk sebuah langkah awal suatu pertobatan.

Dia belum betul-betul masuk ke pintu pertobatannya,‭ ‬ketika dalam sesi gladi yang dilakukan sehari sebelum resepsinya,‭ ‬iblis-iblis itu datang seketika,‭ ‬dengan rentetan salak senapan yang tak terkira.‭ ‬Para iblis itu tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengantarkan mereka yang hadir di kapel itu ke alam baka.‭ ‬Si Pengantin pun terbujur telentang di lantai.‭ ‬Perutnya yang membuncit semakin jelas terlihat di antara gaun pengantin putih yang ia kenakan,‭ ‬yang telah bersimbah darah.

Tapi mungkin memang benar,‭ ‬Tuhan Maha Pengampun.‭ ‬Tuhan telah mencatat niat pertobatan Si Pengantin.‭ ‬Dengan cara yang tak terjelaskan nalar,‭ ‬Tuhan telah mengirim malaikat untuk menyelamatkan Si Pengantin.‭ ‬Tuhan menahan roh kehidupan Si Pengantin untuk lepas meninggalkan raganya.‭ ‬Memang tak cepat.‭ ‬Dua tahun.‭ ‬Saat kemudian Si Pengantin menemukan dirinya terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit,‭ ‬dengan infus dan peralatan medis.‭ ‬Dengan perut yang tak lagi buncit.‭ ‬Dengan janin yang telah raib.

Si Pengantin masih ingat segalanya.‭ ‬Jalan pertobatan yang hendak ditempuhnya telah diputus.‭ ‬Para iblis itu telah mengacaukan niat sucinya.‭ ‬Para iblis yang adalah teman-teman dari balik halaman masa lalunya.‭ ‬Para iblis yang diam-diam menghidupkan kembali sosok-iblis-dalam-dirinya.‭ ‬Para Iblis yang telah mengundang kembali Si Ular Hitam Dari Afrika,‭ ‬Black Mamba,‭ ‬untuk keluar dari sarang lamanya yang pengap.

Si Pengantin menemukan kuldesak,‭ ‬jalan buntu yang berujung di titik dendam,‭ ‬yang menagih untuk segera dilunasi.‭ ‬Si Pengantin memang tak hendak menagih dendam dengan impas.‭ ‬Dia hanya ingin riwayat para iblis keparat itu tamat.‭ ‬Dia hanya ingin mereka tahu bahwa ia tulus dengan pertobatannya,‭ ‬dan bahwa Tuhan telah merestuinya,‭ ‬sehingga Tuhan sendiri turun tangan untuk menyelamatkannya dan memberi jalan untuk balas dendamnya.‭ ‬Karena itu,‭ ‬ia sangat sadar bahwa perjalanannya menuntaskan dendam adalah juga perjalanan spiritual,‭ ‬yang mungkin tak jauh berbeda nilainya dengan pertobatan.

Tentu ia tak dapat menghindar dari pembantaian.‭ ‬Karena melawan para iblis,‭ ‬tak boleh ada ragu untuk mengayun samurai,‭ ‬memotong leher dan lengan,‭ ‬mencongkel mata,‭ ‬atau menusuk jantung.‭ ‬Satu persatu,‭ ‬Si Pengantin membuat perhitungan,‭ ‬mengantar mereka semua ke ranjang peristirahatan mereka yang terakhir.‭ ‬Satu persatu,‭ ‬Si Pengantin mengakhiri riwayat mereka dalam kematian yang indah.

Si Pengantin melukis hamparan salju putih dengan darah,‭ ‬di antara butir-butir salju yang berderai dihembus angin,‭ ‬dengan latar Fuji yang indah,‭ ‬di halaman belakang Pondok Daun Biru.‭ ‬Ada iringan musik yang berkisah tentang bunga yang bermekaran di antara ladang pembantaian,‭ ‬yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan,‭ ‬sehingga melantunkan aura spiritual yang mendalam.‭ ‬Aura spiritual yang juga dapat ditemukan dalam lukisan seorang gembala yang sedang sendiri,‭ ‬merenungi jalan hidup penuh misteri yang digariskan untuknya.

Si Pengantin menghamburkan sereal di dapur yang dicat warna-warni.‭ ‬Sereal itu tak ia hamburkan sendiri.‭ ‬Ia hanya melesakkan pisau ke jantung seorang iblis-curang yang menembaknya seketika,‭ ‬saat ia pura-pura membuatkan sereal untuk anaknya.‭ ‬Padahal ia tak ingin menghabisi iblis-curang itu di depan anaknya.‭ ‬Ia tak ingin anak itu mendendam,‭ ‬dan kemudian juga menjadi iblis seperti ibunya.

Si Pengantin sungguh disayang Tuhan.‭ ‬Ia tak perlu membunuh salah satu iblis itu dengan tangannya sendiri.‭ ‬Dua iblis saling berbunuhan,‭ ‬karena sifat tamak yang tak sanggup mereka pendam.‭ ‬Dan Tuhan betul-betul menyayangi orang-orang yang bertobat.‭ ‬Kuburan yang dibuat untuknya dia tinggalkan sepi tanpa penghuni.‭ ‬Mungkin dahulu Tuhanlah yang menuntunnya untuk belajar pada Sang Suhu,‭ ‬tentang bagaimana mengoyak papan dengan kepalan tangan.

Si Pengantin berduel dalam karavan sempit yang penuh dengan barang-barang yang berantakan.‭ ‬Si Pengantin membuktikan ketangguhannya bermain samurai yang dia dapat dari seorang Empu.‭ ‬Setelah cukup tegang berjibaku,‭ ‬Si Pengantin membalaskan dendam Sang Suhu dengan sisa satu kelopak mata iblis yang ia injak tanpa ampun.

Perburuan iblis terus berlanjut.‭ ‬Daftar iblis bersisa satu nama.‭ ‬Si Pengantin tahu,‭ ‬iblis yang satu ini adalah Raja Iblis.‭ ‬Dan untuk melawan dan menaklukkan Raja Iblis,‭ ‬yang dibutuhkan tak hanya nyali dan ketangkasan olah tubuh.‭ ‬Karena berburu Raja Iblis sangat mungkin akan mengantarkannya ke salah satu bilik dirinya sendiri.‭ ‬Karena pertempuran paling hebat memang adalah pertempuran menghadapi diri sendiri dan menundukkan hawa nafsu.‭ ‬Karena Raja Iblis diam-diam adalah sosok yang dicinta,‭ ‬sehingga ia juga menitipkan anak-anaknya untuk dibesarkan,‭ ‬dirawat,‭ ‬dan dijaga.‭ ‬Di titik ini,‭ ‬Si Pengantin harus bersitegang dengan dilema.

Sebenarnya,‭ ‬Si Pengantin telah menjawab dilema terbesar dalam dirinya dengan jalan pertobatan yang telah dipilihnya itu.‭ ‬Si Pengantin tak ingin anaknya tumbuh dewasa dengan mengetahui yang sebenarnya,‭ ‬bahwa bapaknya adalah seorang Raja Iblis.‭ ‬Si Pengantin tak ingin anaknya menjadi penerus Raja Iblis.‭ ‬Tapi untuk memilih jalan itu,‭ ‬Si Pengantin memang harus menghimpun segenap kekuatan hatinya untuk dapat memutuskan untuk meninggalkan lelaki yang diam-diam dicintainya itu.

Berdiri di hadapan Raja Iblis di sebuah medan duel memaksanya untuk kembali ke halaman depan gerbang pertobatannya,‭ ‬beberapa tahun sebelumnya.‭ ‬Di situ,‭ ‬Si Pengantin merasa berada di sepotong senja penuh bimbang,‭ ‬saat dia harus memutuskan ke manakah dia akan pulang.‭ ‬Konon,‭ ‬di senja hari,‭ ‬setan-setan memang tengah berpesta,‭ ‬berkeliaran mencari-cari mangsa.‭ ‬Si Pengantin buru-buru membuat rumah darurat di senja itu,‭ ‬demi menyelamatkan calon anaknya yang akan segera menyaksikan dunia.

Bayangan senja itulah yang lebih dulu menyerangnya,‭ ‬bersama dengan pertanyaan-pertanyaan Raja Iblis yang membangkitkan semua kenangannya tentang dilema di senja penuh bimbang yang mencekam itu.

Balas dendam memang bisa seperti belantara,‭ ‬yang dapat membawanya ke arah yang tak pernah diduga.‭ ‬Dan akhirnya,‭ ‬Si Pengantin memang harus kembali memutuskan.‭ ‬Membuat jawaban di antara dua pilihan yang sebenarnya tak jauh berbeda.‭ ‬Si Pengantin harus bersikap dingin,‭ ‬tegar,‭ ‬dan kuat,‭ ‬untuk menetapkan pilihan.‭ ‬Dengan kepedihan yang menyayat,‭ ‬ia pun mengakhirinya dengan jurus Tapak Lima Langkah Mematikan.

Si Pengantin pun pulang di pagi yang cerah,‭ ‬ke rumah barunya.‭ ‬Si Pengantin pun menapaki jalan takdirnya yang baru.


‭* ‬Mengenang insomnia,‭ ‬awal Maret‭ ‬2005--ditemani gerimis.

Read More..

Menyelamatkan Islam dari Ekstremisme

Judul buku : The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists
Penulis : Khaled Abou El Fadl
Penerbit : HarperSanFrancisco, New York
Cetakan : Pertama, Oktober 2005
Tebal : 320 halaman



Beberapa peristiwa yang sering dikaitkan dengan latar kekerasan agama, seperti pengeboman WTC, bom Bali, dan semacamnya, hingga tingkat tertentu telah cukup berhasil mencitrakan Islam sebagai agama yang identik dengan terorisme dan ekstremisme. Sentimen anti-muslim mencapai level yang cukup mengkhawatirkan. Ini membuat banyak kalangan muslim mengambil sikap defensif berhadapan dengan klaim dan tudingan yang memojokkan Islam.

Khaled Abou El Fadl dalam buku ini menyatakan sikapnya yang tak cukup percaya bahwa sikap demikian ini akan dapat menghidupkan kembali semangat pesan moral Islam yang sejati. Bagi Abou El Fadl, jalan ke arah itu adalah dengan melakukan semacam introspeksi dan reformasi ke dalam. Termasuk di antaranya memetakan kondisi umat Islam terkini dengan berbagai tantangan yang dihadapinya.

Untuk maksud yang demikian Abou El Fadl menulis buku terbarunya ini. Profesor Hukum Islam dari UCLA tersebut dalam buku ini memberikan pemetaan yang cukup jernih dan gamblang tentang dua arah kecenderungan atau kelompok pemikiran kaum muslim yang menurutnya akan cukup mewarnai wajah Islam di masa depan, yaitu muslim puritan dan muslim moderat.

Gerakan kaum muslim puritan saat ini dimotori oleh kelompok Wahhabi dan Salafi yang memanfaatkan terjadinya krisis otoritas keagamaan dalam Islam, setelah kolonialisme berhasil menyingkirkan peran ulama tradisional dengan berbagai sistem yang mendukungnya. Abou El Fadl menguraikan secara cukup detail bagaimana dua kelompok ini lahir dan berkembang sejak abad ke-18.

Ideologi Wahhabi—yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Semenanjung Arab dan menguat ketika berkolaborasi dengan kekuasaan keluarga Al Sa’ud yang menjadi cikal bakal negara Arab Saudi—saat ini telah menyebar begitu rupa ke berbagai pelosok Dunia Islam. Ini didukung dengan kekayaan finansial mereka yang menguasai sumber-sumber minyak serta kendali atas dua kota suci umat Islam, Mekah dan Madinah.

Dalam persebarannya, Wahhabisme menggunakan bendera Salafisme. Salafisme menolak untuk terikat pada khazanah para generasi ulama terdahulu, menolak berbagai mazhab, dan menyeru untuk langsung mengacu pada Alquran dan Sunnah. Bagi mereka, ini adalah cara untuk menjaga autentisitas Islam. Dalam menafsir sumber-sumber primer tersebut, mereka cenderung memperkecil peran manusia dan memperbesar peran teks. Bagi mereka, makna teks sudah ditentukan oleh Pengarang teks, sehingga pembaca teks hanya bertugas untuk memahami dan mematuhinya saja. Karena itu, pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab pada suatu perbuatan yang mengatasnamakan otoritas agama atau Tuhan bagi kelompok ini dipandang sebagai pertanyaan yang keliru.

Kelompok moderat, yang menerima khazanah tradisi dan memodifikasi beberapa aspek darinya untuk memenuhi tujuan moral iman, percaya bahwa kehendak Tuhan tak bisa sepenuhnya ditangkap oleh manusia yang terbatas dan fana. Peran manusia dalam membaca maksud Tuhan cukup besar, sehingga manusia turut memikul tanggung jawab atas hasil pembacaannya itu. Karena itu, kaum moderat percaya bahwa sikap menghormati pendapat orang lain penting untuk dijunjung tinggi, asal memang dilandasi oleh sikap tulus dan tekun.

Kaum puritan menurut Abou El Fadl saat ini sebenarnya termasuk kelompok minoritas dalam Dunia Islam. Cuma saja, karena mereka memiliki semangat yang kuat serta dukungan finansial yang mencukupi, gaungnya kemudian menjadi cukup terdengar di berbagai pelosok dunia.

Kaum moderat, yang senyatanya merupakan mayoritas, saat ini berkewajiban untuk menyelamatkan reputasi dan semangat Islam yang sejati. Muslim moderat, menurut Abou El Fadl, pertama harus dapat memahami secara baik tentang Islam dan Syariah sehingga cukup memiliki legitimasi untuk berbicara dan mendefinisikan Islam. Muslim moderat juga harus sadar bahwa mereka tengah mempertahankan Islam dari serangan gencar tafsir-tafsir kaum puritan yang menggerogoti pesan moral Islam. Jika kaum puritan lantang menyerukan tindakan yang dapat menjurus pada kekerasan, muslim moderat harus lebih bersemangat untuk mengajak menebarkan perdamaian.

Buku ini mungkin dapat disebut sebagai kajian pertama yang berusaha memberikan penggambaran yang cukup jelas tentang dua kelompok Islam yang berperan penting belakangan ini. Buku ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama memaparkan peta umum yang menjadi panggung pergulatan kaum moderat dan kaum puritan. Bagian kedua memetakan hal-hal yang disepakati serta tujuh tema besar yang menjadi titik kontroversi di antara kedua kelompok tersebut, seperti masalah hukum dan moralitas, interaksi dengan kaum non-muslim, jihad dan peperangan, serta peran kaum perempuan. Secara lebih khusus, Abou El Fadl memberikan banyak catatan kritis tentang bagaimana sebenarnya puritanisme yang cenderung mengarah ke ekstremisme itu memuat sejumlah inkonsistensi di dalam dirinya sendiri.

Buku terbaru Khaled Abou El Fadl ini semakin menegaskan produktivitas dan perhatiannya terhadap isu-isu penting kaum muslim saat ini. Jika dibandingkan dengan karya sebelumnya, yang bisa dibilang sebagai karya besarnya, Speaking in God’s Name (edisi Indonesia diterbitkan dengan judul Atas Nama Tuhan, Serambi, 2004), karya ini lebih bersifat populer dan berusaha menyorot isu dan kecenderungan aktual saat ini, yakni persoalan terorisme (ekstremisme) yang sering dikaitkan dengan Islam. Meski bersifat populer, kedalaman dan ketajaman argumen Abou El Fadl masih jelas terlihat, yang juga memperlihatkan keluasan wawasannya terhadap khazanah Islam klasik.

Nilai kontekstual buku ini terletak pada seruan Abou El Fadl untuk menyelamatkan Islam dari ekstremisme serta bagaimana menghadirkan agama sebagai gugus kekuatan cinta dan semangat humanisme untuk mengatasi nestapa umat manusia saat ini.


Read More..