Kamis, 05 Oktober 2023

Memori dan Legitimasi dan Pencarian Umat Islam Masa Kini

Catatan Membaca The First Muslims (2007) karya Asma Afsaruddin


Buku karya Asma Afsaruddin, The First Muslims: History and Memory (Oxford: OneWorld Publication, 2007), ini berusaha menyajikan peta perebutan makna sejarah dan ajaran Islam oleh umat Islam masa kini. Secara garis besar, buku ini memuat dua bagian. Bagian pertama, buku ini menyajikan secara singkat sejarah dan pemikiran tiga generasi muslim awal yang juga dikenal dengan sebutan al-salaf al-shalih. Kedua, buku ini memaparkan beberapa butir pemikiran umat Islam masa kini yang dibagi dalam dua kelompok besar tentang beberapa isu pokok yang banyak diperbincangkan. Dua kelompok itu disebut kelompok islamis dan kelompok modernis.

Bagian yang pertama merupakan titik tolak yang menjadi landasan perdebatan dari dua kelompok yang dituturkan di bagian kedua. Pergulatan sejarah umat Islam di tiga generasi awal dipandang telah melahirkan memori dan menjadi basis legitimasi bagi aneka penafsiran sikap keagamaan yang muncul saat ini, termasuk yang dikemukakan oleh kelompok islamis dan kelompok modernis.

Dengan menyadari pentingnya pemaparan fase sejarah tiga generasi awal tersebut, buku ini menyandarkan rujukannya pada sumber-sumber klasik berbahasa Arab baik berupa biografi atau sejarah, tafsir, adab, dan sebagainya. Terkait sumber rujukan ini, Asma sejak awal menegaskan bahwa klaim kaum revisionis yang cenderung meragukan beberapa sumber Islam awal dapat tertolak, sebagian juga karena adanya rujukan dan manuskrip terkini yang memperkuat posisi sumber-sumber klasik tersebut.

Asma memaparkan bagian pertama ini dalam delapan bab, meliputi periode kehidupan Nabi Muhammad saw, khulafa’ al-rasyidun, masa sahabat, tabi’un, dan tabi’ al-tabi’in, dalam 147 halaman (dari total 199 halaman bagian isi). Dengan ruang pembahasan yang singkat, Asma memberi penekanan pada penggalan sejarah yang penting seperti tentang Konstitusi Madinah, isu-isu kunci dalam kepemimpinan setelah Rasul, perubahan tata kehidupan bermasyarakat setelah meluasnya wilayah Islam, dan sebagainya.

Konstitusi Madinah misalnya memuat term jihad militer tapi dalam arti bertahan. Perjanjian itu juga memaknai ummah tidak saja beranggotakan komunitas muslim tapi juga umat Yahudi dan juga Kristen. Menarik dicatat bahwa sejauh terkait konflik Nabi dengan suku Yahudi di Madinah, yang mengemuka menurut Asma adalah lebih terkait dengan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh suku Yahudi tersebut. Tak ada sentimen Yahudi yang mengemuka. Ini juga terbukti dalam kisah seorang perempuan Yahudi yang berusaha meracun Nabi tapi kemudian terbongkar. Nabi tidak menjadikan kasus ini untuk mengangkat sentimen Yahudi di kalangan umat Islam.

Pada masa khulafa’ al-rasyidun, beberapa khalifah mengambil keputusan yang cukup menarik diperbincangkan dan menjadi cermin tentang bagaimana para sahabat membaca norma Islam sepeninggal Nabi. Abu Bakar misalnya memutuskan untuk memerangi pada pembangkang yang tidak mau membayar zakat di masa kepemimpinannya. Keputusan ini diprotes oleh sebagian sahabat karena tak ada teks yang tegas yang dapat melegitimasi keputusan tersebut. Namun Abu Bakar kemudian menjelaskan landasan keputusannya dengan baik. Dari poin ini, menurut al-Jahiz, Abu Bakar menunjukkan bahwa untuk mengikuti ajaran Islam diperlukan kedalaman pemahaman dan pengetahuan yang dapat melampaui permukaan teks. Hal serupa juga terjadi pada masa Umar bin al-Khaththab, misalnya ketika Umar menangguhkan hukuman bagi pencuri saat wilayah kekuasaannya mengalami masa paceklik. Sementara ada sumber yang menggambarkan Umar bersikap diskriminatif terhadap kelompok agama lain, Asma menolak dengan menyatakan bahwa sumber tersebut baru muncul pada abad ke-9, dan apalagi banyak fakta sejarah lain yang menunjukkan sikap toleran Umar dalam pendudukan di beberapa wilayah seperti Yerusalem, yang jauh lebih baik daripada penguasa Bizantium sebelumnya.

Tarik menarik antara semangat egalitarianisme Islam yang dibangun sejak awal kelahirannya terus terjadi pada masa tabi’un. Jika pada masa pemerintahan Bani Umayyah suku Arab tampak dominan dan superior, pada era Abbasiyah hal itu bisa dikatakan tidak terlihat lagi. Berbagai unsur warga wilayah kekuasaan Islam yang multi-etnis berpartisipasi aktif dalam tata pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Namun, pada saat yang sama, pada era Abbasiyah ini mulai muncul pemaknaan jihad sebagai aktivitas militer. Pada masa ini, jihad juga kadang dimaknai sebagai qital (pertempuran).

Bagian kedua buku ini kemudian memetakan pandangan kelompok islamis dan modernis masa kini dalam menyikapi beberapa masalah, seperti negara Islam, syariah, posisi perempuan, dan jihad. Menurut Asma, pembacaan kaum modernis jauh lebih berhasil dalam berusaha bercermin dari pemikiran dan praktik kaum al-salaf al-shalih daripada kaum islamis. Kaum modernis lebih adaptif dalam soal penerapan hukum Islam, terbuka dalam membincang konsep kenegaraan, toleran terhadap kelompok minoritas, dan juga membuka ruang partipasi publik bagi kaum perempuan. Kaum islamis yang terpengaruh dengan doktrin takfir akhirnya cenderung gagal menampilkan teladan wajah Islam yang tecermin dari generasi al-salaf al-shalih.

* * * * *

Kesan dan pertanyaan yang pertama muncul setelah membaca buku ini terkait ruang kosong yang dilewatkan oleh Asma pada fase sejarah setelah periode tabi’ al-tabi’in. Jika tujuan menulis buku ini tidak sekadar berbicara tentang umat Islam awal, tapi juga kaitannya dengan umat Islam masa kini, maka seorang diasumsikan bahwa umat Islam masa kini semata merujukkan sikap dan pandangannya pada periode tiga generasi muslim awal sebagaimana yang dibahas Asma dalam buku ini.

Menurut saya, sikap dan pandangan umat Islam masa kini bisa saja juga terbentuk oleh peristiwa, memori, atau warisan dari periode yang tidak dibahas Asma. Misalnya, periode yang melibatkan terjadinya peristiwa Perang Salib pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13. Mungkin benar, bahwa perujukan pada periode generasi al-salaf al-shalih lebih banyak terkait dengan soal legitimasi. Namun penyikapan kaum muslim saat ini tidak hanya tentang legitimasi, tapi bisa juga terbentuk dari apa yang oleh Karen Armstrong dalam The Holy War (2001) disebut sebagai krisis identitas, seperti yang juga melatari peristiwa Perang Salib, sehingga kaum islamis misalnya oleh Asma disebut lebih menempatkan Islam sebagai ideologi politik semata.

Apakah dengan demikian berarti Asma berasumsi bahwa peristiwa Perang Salib, misalnya, tidaklah signifikan dalam pembentukan sikap dan pandangan kaum islamis dan modernis?

Pembacaan terhadap titik sejarah yang dianggap penting, seperti Perang Salib, penting juga untuk menelusuri pembentukan cara pandang diri kaum islamis dan modernis, atau pembentukan identitas. Beberapa sejarawan menulis pemaparan sejarah juga kadang dari perspektif pencarian makna identitas ini, seperti Tamim Ansary yang menulis Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes (2009), atau Tariq Ramadan yang menulis In the Footsteps of the Prophet (2006).

Selanjutnya, jika dibandingkan dengan buku Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005), mungkin akan lebih baik jika secara khusus Asma juga memberi porsi untuk menjelaskan sedikit latar kemunculan kelompok islamis ini, terutama dalam konteks tatanan sosial-politik dunia. Di buku The Great Theft, misalnya, Abou El Fadl secara khusus menjelaskan cukup panjang lebar kelahiran kaum puritan baik di era awal maupun di masa kini, sebelum kemudian menguraikan satu persatu doktrin atau pemahaman keagamaan mereka.

Pertanyaan yang menarik dan mungkin cukup menantang adalah jika uraian Asma dihubungkan dalam konteks Islam di Indonesia, baik itu menyangkut perujukan pada memori sejarah, legitimasi, dan klaim autentisitasnya secara doktrinal, maupun juga pada identifikasi dan pengelompokan kecenderungan pemikiran yang berkembang saat ini.

Wallahu a’lam.




Read More..

Senin, 04 September 2023

Simulakra Amerika


Setelah tiga minggu keliling Amerika mengikuti kegiatan dan bertemu dengan tokoh agama dan tokoh pendidikan dengan berbagai latar, kami disodorkan sebuah pertanyaan yang cukup menggugah: apakah ada persepsi dan pandangan Anda yang berubah tentang Amerika?

Apakah ini pertanyaan untuk mencuci otak kami? Apakah ini pertanyaan untuk menarik kami ke perahu mereka? Tapi bukankah saya menemukan bahwa ternyata “mereka” sangatlah beragam?

Pertanyaan itu muncul pada sesi evaluasi di hari terakhir dari rangkaian tiga pekan kegiatan IVLP bertajuk Faith Based Education. Sesi evaluasi ini dihadiri oleh pejabat dari Department of State Amerika sebagai penanggung jawab. Namanya Karl Asmus. Asmus, yang berdarah Jerman dan sebelumnya pernah bekerja untuk Angkatan Darat Amerika, waktu itu bertugas di Biro Pendidikan dan Kebudayaan, bagian yang mengelola kegiatan IVLP. Dia terbang dari Washington DC khusus untuk sesi evaluasi ini sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dari Washington, dengan penerbangan langsung, dia butuh waktu hampir tujuh jam untuk tiba di Portland, Oregon, kota terakhir kegiatan kami.

Itu pertanyaan paling penting yang diajukan di sesi evaluasi tersebut. Lainnya lebih bersifat teknis atau turunan dari pertanyaan pokok itu. Bagi saya, ini pertanyaan reflektif yang membuat saya harus memeras semua pengalaman tiga minggu ini dalam satu kesan yang mungkin memang bernilai paling penting. Saya bersama delapan rekan peserta kegiatan lainnya tak punya waktu yang banyak untuk berpikir menyusun jawaban. Jawabannya memang lebih bersifat spontan.

Bagi saya, tiga pekan kegiatan yang cukup padat itu memang cukup berhasil mengubah pandangan saya tentang Amerika. Sebelumnya, saya tidak punya perhatian atau minat khusus untuk mempelajari Amerika secara mendalam. Orang-orang Amerika yang saya kenal pertama adalah para relawan dari Volunteer in Asia (VIA) yang bertugas di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk mulai tahun 1983 hingga 1997. Itu pun saya tidak kenal dekat. Rentang waktu itu adalah masa kanak-kanak dan remaja saya. Kebetulan saya tidak mengikuti kegiatan kursus Bahasa Inggris yang dikelola oleh mereka. Setelah itu, saat menempuh jenjang magister di Utrecht, Belanda, pada tahun 2009, ada teman kelas saya dari Amerika. Namun saya tidak cukup akrab.

Pandangan saya tentang Amerika adalah kesan yang saya tangkap di media dan pandangan umum lainnya yang berkembang. Amerika adalah negara adikuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya juga menonton film-film Hollywood, termasuk American Beauty (1999)—yang dinobatkan sebagai film terbaik Academy Award tahun 2000 dan menyabet empat piala Oscar lainnya—yang menggambarkan kesuraman keluarga suburban Amerika. Juga film-film Oliver Stone yang banyak mengangkat realitas politik Amerika—di antaranya Born on the Fourth of July (1989), Platoon (1986), JFK (1991), Nixon (1995). Saya juga membaca buku-buku Noam Chomsky—juga film-film dokumenternya—yang bersikap sangat kritis terhadap kondisi masyarakat dan pemerintah Amerika. Salah satu terjemahan buku Chomsky pernah saya ulas cukup panjang di Harian Kompas, dulu, saat saya masih mahasiswa di Yogyakarta. Buku terjemahan karya Chomsky lainnya pernah saya ulas di Harian Jawa Pos.

Kisah-kisah fiksi yang saya baca ada juga yang berlatar Amerika, seperti In Cold Blood karya Truman Capote, To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, Impian Amerika karya Kuntowijoyo, Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma, atau beberapa cerita pendek berlatar Amerika karya Umar Kayam.

Pengalaman tiga minggu di bulan September 2017 itu benar-benar membuat saya mengalami langsung pertemuan sosial-budaya dengan Amerika. Minat dan perhatian saya untuk membaca atau mempelajari hal yang terkait Amerika pun bertambah—persis seperti yang dahulu terjadi setelah saya menempuh studi magister di Eropa. Pulang dari Amerika, beberapa buku atau tulisan tentang Amerika yang sebelumnya diabaikan menjadi menarik perhatian. Dengan situasi ini, persepsi populer sebelumnya yang mungkin bisa dibilang cukup awam tentang Amerika akhirnya disusun ulang berdasarkan narasi pengalaman tiga minggu tersebut.

Saya jadi teringat istilah simulakra yang dilontarkan oleh filsuf posmodern Jean Baudrillard. Saya berpikir bahwa persepsi saya—mungkin juga orang lain—tentang Amerika lebih banyak dibentuk oleh citra media. Dunia simulasi media meleburkan yang nyata dan yang fantasi, yang asli dan yang palsu, juga nilai, fakta, tanda, citra, dan kode.

Simulakra Amerika dalam benak saya akhirnya dihadapkan dengan pengalaman tiga pekan yang di antaranya mengantarkan pada pokok kesimpulan yang mungkin cukup sederhana: bahwa realitas Amerika terlalu beragam untuk diringkus dalam penyederhanaan titik kesimpulan yang cenderung tunggal. Pengalaman langsung meneguhkan pentingnya kesadaran akan keragaman dan perlunya keterbukaan dan kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih berimbang—bukan hanya berdasar citra media. Perjumpaan yang saya alami selama tiga minggu mempertemukan saya dengan fakta keragaman yang kuat—tak jauh berbeda dengan keragaman umat Islam di berbagai belahan dunia. Ini terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat akar rumput Amerika, tapi juga pada tingkat elite masyarakat. Bahkan juga pada lapis pengurus publik atau pemerintahan. Keragaman itu misalnya tampak dalam penyikapan terhadap hal-hal yang terkait umat Islam dan isu-isu Islam pada umumnya.

Pentingnya kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih terbuka dan berimbang ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Imam Jamal Rahman saat ia bertutur tentang penolakan warga Amerika atas usulan pembangunan masjid dan pusat antariman di Ground Zero di kota New York. Rahman mengemukakan data yang mengungkapkan bahwa 61 persen warga Amerika yang menolak itu ternyata secara pribadi tak punya kenalan seorang muslim satu orang pun. Perjumpaan dan interaksi langsung nyatanya menjadi faktor yang cukup penting dalam peluang untuk mengubah stigma dan mengunci atau membuka jendela empati dan solidaritas.

Memang kita hidup di zaman dominasi media. Media gencar menyuplai persepsi dan pengetahuan dengan berbagai bentuknya. Benarlah bahwa pengetahuan kita pada tingkat yang paling sederhana paling banyak bukanlah pengetahuan langsung, melainkan pengetahuan dari sumber otoritas seperti media atau juga dari penyimpulan yang kita buat. Namun saya jadi mengerti bahwa pengetahuan langsung bisa menggugah dan mengusik pengetahuan lapis kedua yang kita peroleh dari media. Perjumpaan bisa mendorong pada tumbuhnya minat dan perhatian, yang kemudian dapat menjadi titik awal bagi pemahaman baru.

Saya sadar bahwa dalam situasi apapun, kita mesti bersikap kritis pada sumber-sumber informasi yang kita dapatkan. Chomsky sudah lama mengingatkan kita tentang kesadaran yang dibentuk menurut kepentingan politik tertentu—manufacturing consent. Perspektif kritis ini penting ditekankan untuk menghindari distorsi informasi yang bisa muncul dari media maupun pengalaman langsung.

Pengalaman kunjungan tiga pekan di Amerika ini pada satu sisi memberi saya peneguhan tentang beragam sumber persepsi dan pengetahuan kita. Antara simulakra, citra media, sumber otoritas, pengalaman dan perjumpaan langsung, penyimpulan berdasar pengalaman dan informasi, dan sebagainya.

Jadi, apakah setelah kunjungan tiga pekan itu pandangan saya tentang Amerika mengalami perubahan? Saya pikir iya. Pandangan saya tentang Amerika telah berubah. Bahkan mungkin juga yang berubah adalah pandangan saya tentang dunia. Namun saya berharap bahwa perubahan itu adalah perubahan yang mengarah pada sesuatu yang lebih baik, perubahan yang memperluas cakrawala saya, yang mungkin dapat menyelamatkan saya dari cara berpikir yang sempit dan tunggal.

Pamekasan, Desember 2020


Tulisan ini diambil dari buku kumpulan esai pengalaman Amerika yang saya terbitkan dengan judul Potret Pendidikan dan Agama di Amerika: Catatan Kegiatan IVLP 2017 Faith Based Education (Instika Press, 2020). Buku ini dapat dibeli di sini, dan isinya dapat diintip di sini.

Read More..

Sabtu, 01 April 2023

Rekonstruksi Kesadaran Keberagamaan: Perspektif Makrohistoris dan Mikrohistoris


Abstrak

Kelahiran setiap agama pada mulanya selalu berupaya untuk mewujudkan kedamaian bagi semesta. Agama lahir untuk meredam kekerasan, egoisme, dan nafsu rendah dan sifat-sifat kebinatangan. Namun demikian, dalam konteks agama Islam misalnya, visi agama untuk menyebarkan kedamaian dan kasih sayang bagi semesta itu kurang mendapatkan titik tekan dari umat pemeluknya. Ada semacam keterputusan epistemologis yang terjangkit dalam konstruksi kesadaran keberagamaan umat Islam. Keterputusan epistemologis ini terjadi tidak hanya dalam level pemaknaan segi-segi ajaran keberagamaan, tapi lebih jauh lagi sudah relatif cukup meresap dalam perilaku dan pola pikir kehidupan beragama sehari-hari, bahkan dalam bentuk yang sederhana. Tulisan ini hendak menelusuri titik epistemologis keterputusan visi Islam ini dengan melihat dari sisi makrohistoris dan mikrohistoris. Bagian pertama dilakukan dengan mencermati titik-titik sejarah krusial yang menjadi landasan berpikir umat Islam untuk mengejawantahkan ajaran agamanya. Bagian kedua berkaitan dengan dimensi subjektif keberagamaan, yakni berhubungan dengan “dunia kecil” yang membentuk subjektivitas seseorang. Misalnya, lingkungan sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dengan mencermati melalui dua perspektif epistemologis tersebut, tulisan ini menawarkan model pembacaan dimensi normatif dan historis untuk merawat visi Islam yang damai.

Tulisan selengkapnya bisa dibaca di sini.

Read More..