Makam KH Abdullah Sajjad (bendera merah putih) dan K M Khazin Ilyas |
Peran pesantren dalam perjuangan kebangsaan Indonesia sangatlah nyata. Namun, sumber-sumber yang menegaskan hal ini masih belum banyak tersiar secara luas melalui dokumen tertulis yang mudah diperoleh masyarakat umum. Akibatnya, orang-orang yang sangat terbatas akses informasinya atas dunia pesantren sering hanya menempatkan pesantren sebagai dunia-kecil yang berkutat pada bidang keagamaan murni.
Bahkan, saat belakangan media memberitakan aksi terorisme yang di antaranya melibatkan lulusan pesantren, citra pesantren dalam kaitannya dengan perjuangan kebangsaan jadi terbalik. Semangat yang diajarkan pesantren seolah tak sejalan dengan kehidupan kebangsaan yang di antaranya berupa pengayoman atas seluruh masyarakat Indonesia yang beragam.
Sejarah peran pesantren dalam perjuangan khususnya yang bersifat lokal dan masih tercerai-berai itu kiranya penting untuk digali, didokumentasikan, dan kemudian disiarkan agar sejarah perjuangan kebangsaan Indonesia menjadi lebih utuh.
Di Sumenep pada khususnya dan Madura pada umumnya, salah satu pesantren yang tak boleh dilewatkan dalam kaitannya dengan perjuangan kebangsaan ini adalah Pesantren Annuqayah yang dahulu lazim disebut Pesantren Lukguluk. Perjuangan kebangsaan Annuqayah yang didirikan pada tahun 1887 sebenarnya sudah dicatat dalam buku Satu Abad Annuqayah yang terbit terbatas pada tahun 2000 (yang menjadi bahan utama tulisan ini).
Nama salah satu kiai pesantren ini telah tercatat sebagai salah satu nama jalan di kota Sumenep. Beliau adalah KH Abdullah Sajjad. KH Abdullah Sajjad adalah putra pendiri Pesantren Annuqayah yang berasal dari Kudus, Kiai Muhammad Syarqawi (w. 1910). Pada masa Agresi Militer Belanda tahun 1947, beliau yang saat itu baru menjadi Kepala Desa Guluk-Guluk memimpin Barisan Sabilillah menghalau laju pasukan Belanda yang bergerak dari arah Surabaya ke Sumenep. Di lapangan, Sabilillah dipimpin oleh ponakannya, yakni Kiai M Khazin Ilyas (w. 1948), yang dengan sengit memimpin langsung pertempuran di Dusun Orai, Pamoroh, Pamekasan, bersama saudaranya, Kiai Moh Ashiem Ilyas (1997), dan juga sepupunya, Kiai Ja’far Husain (w. 1368 H).
Berkat pelawanan yang gigih, laju pasukan Belanda yang melewati jalur tengah yang menghubungkan Pamekasan-Sumenep ini tertahan sampai beberapa bulan. Singkat cerita, setelah melalui siasat dan tipu daya, pada hari Selasa, 3 Desember 1947, KH Abdullah Sajjad meninggal di tangan tentara Belanda di lapangan Kemisan, Guluk-Guluk, setelah sekitar empat bulan mengungsi ke pedalaman Desa Karduluk, Pragaan.
Keterlibatan kiai-kiai Annuqayah pada perjuangan kebangsaan saat itu juga dilakukan secara berjejaring dengan tokoh-tokoh nasional. Pada tahun 1942, Kiai Moh Ashiem Ilyas dan Kiai Moh Amir Ilyas (w. 1996) yang menempuh pendidikan di Tebuireng juga berlatih kemiliteran dengan pasukan Hizbullah dan sempat bertempur di Sidoarjo selama dua pekan.
Kiai M Khazin Ilyas pernah mengikuti pendidikan kemiliteran bersama pasukan Peta (Pembela Tanah Air) di Jawa Barat. Beliau juga menjabat sebagai wakil ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo yang untuk cabang Sumenep diketuai oleh Kiai Djauhari Chotib (w. 1971), dari PP Al-Amien, Prenduan.
Dari sumber-sumber lain yang masih berbentuk sejarah lisan, kita bisa meneguhkan bagaimana perjuangan Annuqayah dalam ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan ini sangatlah nyata. Saat ini, masih ada tokoh-tokoh yang juga bertempur langsung pada masa Agresi Belanda itu. KH Ahmad Basyir, misalnya, yang tak lain adalah putra KH Abdullah Sajjad dan sekarang menjadi Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Annuqayah, pada tahun 1947 juga turut bertempur di lapangan.
Selain terlibat dalam pertempuran, jauh sebelum kemerdekaan RI, pada tahun 1933, Pesantren Lukguluk mendirikan lembaga pendidikan formal yang sudah menggunakan sistem berjenjang (kelas) bernama Madrasah Salafiyah Annuqayah. Inilah cikal bakal nama Annuqayah yang sekarang menjadi sebutan/nama pesantren ini. Madrasah yang saat itu terdiri dari 5 jenjang ini digagas oleh Kiai M Khazin setelah terilhami oleh madrasah formal di Pesantren Tebuireng, Jombang.
Yang menarik, KH Moh Mahfoudh Husainy, salah satu tokoh pendidikan di Annuqayah yang meninggal tahun 2009, pernah mengemukakan pandangan bahwa dibukanya lembaga pendidikan formal ini adalah bentuk perjuangan kebangsaan Annuqayah yang saat itu menilai bahwa keberhasilan perjuangan kebangsaan dicapai dengan gerakan pendidikan sebagaimana dicontohkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa dan juga Budi Utomo.
Pandangan Kiai Mahfoudh ini penting untuk digarisbawahi saat mencermati peran Annuqayah saat ini dalam melanjutkan semangat perjuangan kebangsaan melalui ikhtiar pendidikan pada khususnya dan pengabdian masyarakat pada umumnya. Dengan kerangka pikir seperti ini, tak heran jika upaya pendidikan Annuqayah sejak dahulu dapat kita lihat dengan jelas. Untuk hal ini, kiai-kiai Annuqayah tak ragu belajar dan merangkul hal-hal di luar pesantren dalam rangka pendidikan dan semangat kebangsaan.
Pada tahun 1945, tak lama setelah proklamasi, tercatat bahwa Kiai Ilyas Syarqawi (w. 1959) langsung menanggapi pencanangan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan menggunakannya sebagai bahasa pengantar dalam pengajian kitab kuning di pesantren. Beberapa tahun setelah itu, Kiai Mahfoudh menggagas dimasukkannya pelajaran Bahasa Inggris ke dalam kurikulum Madrasah Salafiyah Annuqayah.
Berbagai catatan sejarah lokal yang memiliki semangat serupa dengan uraian singkat di atas, yakni tentang semangat perjuangan kebangsaan pesantren, sangat mungkin kita temukan di tempat lain. Bagaimanapun, tokoh agama di pesantren dari dulu hingga sekarang juga kerap berperan sebagai tokoh perubahan sosial yang di antaranya memperlihatkan etos kebangsaan yang luar biasa.
Upaya untuk menggali sejarah lokal seperti ini sangatlah penting untuk terus didorong oleh pihak-pihak yang berwenang di Madura, mulai dari pengurus publik (pemerintah), ilmuwan/akademisi, maupun orang pesantren sendiri. Catatan sejarah tersebut pasti akan sangat berharga untuk membangun cermin utuh identitas kebangsaan Indonesia yang akan menjadi modal besar dalam melangkah mengisi ruang kemerdekaan dan melanjutkan perjuangan para pahlawan bangsa.
Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 25 Agustus 2014, dengan sedikit koreksi setelah disiarkan atas dasar masukan dari K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien (di tulisan semula, atas dasar buku Satu Abad Annuqayah yang diterbitkan PP Annuqayah pada tahun 2000, saya menyebut KH Idris Jauhari sebagai ketua BPRI cabang Sumenep, sedang yang benar adalah KH Djauhari Chotib).