Senin, 30 Oktober 2000

Kesaksian atas Carut-Marut Kehidupan

Judul buku: Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Harian Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxxiv + 156 halaman


Tradisi mengantologikan sejumlah karya sastra ternyata masih marak dilakukan oleh banyak kalangan, termasuk Harian Kompas—koran nasional dengan jumlah pembaca terbesar di Indonesia. Harian Kompas sendiri belakangan memang berusaha mengintensifkan divisi penerbitannya, yakni untuk menerbitkan buku-buku yang bersumber dari Harian Kompas sendiri. Tradisi mengantologikan cerpen adalah tradisi penerbitan yang “paling tua” di Harian Kompas. Sejak 1992 Kompas tiap tahun (kecuali tahun 1998) menerbitkan kumpulan cerpen terbaik.
Cerpen pilihan Kompas tahun 2000 ini diantologikan dengan judul Dua Tengkorak Kepala, yaitu mengambil dari judul cerpen pilihan terbaik dalam antologi ini, yakni karya Motinggo Busye. Cerpen ini menampilkan potret tragedi kehidupan masyarakat Aceh selama dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Cerpen yang merupakan cerpen terakhir karya Motinggo Busye ini—sebelum ia meninggal dunia—mengisahkan tokoh bernama Ali yang tewas dalam pembantaian militer dan dikubur secara massal di Desa Dayah Baureuh.
Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang semakin mempertebal kesan pembaca.
Cerita tentang Aceh juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya berjudul Telepon dari Aceh. Cerpen ini berkisah tentang sekeluarga pejabat Orde Baru yang korup yang sedang makan-makan bersama di sebuah restoran, hingga kemudian menerima interlokal dari Aceh. Interlokal itu mengabarkan tentang kematian saudara bungsu istri pejabat itu. Setibanya di rumah, di luar kemudian terjadi hujan darah—darah korban kekerasan militer yang dikirim dari Aceh.
Selain tentang tragedi Aceh, profil kehidupan mahasiswa yang lekat dengan simbol reformasi di Indonesia juga tak lepas dari pengamatan cerpenis Kompas. Cerpen Harris Effendi Thahar misalnya, berjudul Darmon, berkisah tentang profil seorang aktivis pergerakan mahasiswa bernama Darmon. Dalam cerita ini digambarkan sosok Darmon yang secara fisik sama sekali tidak necis, bahkan kelihatan tidak intelek, ternyata memiliki kadar pengetahuan dan kepedulian sosial yang cukup tinggi. Seorang pegawai yang kebetulan bertemu dengan Darmon, lantaran Darmon mengantarkan anaknya, terkejut dan kagum dengan kenyataan itu, Diam-diam si pegawai mengidealkan sosok Darmon yang aktivis itu.
Kisah tentang mahasiswa yang tergolong aktivis reformasi ternyata tidak melulu mengantarkan kepada pujian dan perasaan kagum semata. Jujur Prananto melalui cerpennya yang berjudul Seusai Revolusi tampaknya berusaha menampilkan tipe aktivis mahasiswa yang lain dengan apa yang diceritakan Harris Effendi Thahar. Jujur menyajikan paradoks sosok aktivis mahasiswa yang hanya menjadikan isu reformasi sebagai komoditas politik belaka—tidak didasarkan atas kepekaan dan tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa. Tokoh bernama Hendaru dalam cerpen ini digambarkan kebingungan ketika mengetahui dana organisasinya—yakni organisasi yang menjadi wadah para aktivis mahasiswa—mulai menipis dan mulai kekurangan untuk kegiatan sehari-hari. Apa yang dilakukan Hendaru di akhir cerpen ini adalah sebuah tindakan yang terkesan paradoks: “menjual” proposal kepada sebuah yayasan internasional untuk sebuah isu buruh yang sebenarnya tidak proporsional. Sebuah sindiran yang sepertinya memang patut direnungkan!
Cerpen-cerpen dalam antologi ini pada umumnya memang banyak memberikan kesaksian atas carut-marut kehidupan Indonesia saat ini yang sedang tertimpa krisis multi-dimensional. Fenomena realitas sosial yang begitu beragam dan bersifat tragis dikemukakan dengan sarana cerpen.
Persoalannya adalah, apakah cerpen cukup mampu memberikan alternatif bagi pembaca untuk menemukan “sesuatu yang lain” yang tidak didapatkan dalam berita di koran atau majalah. Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini mengutip Walter Benjamin yang mengatakan: “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat.” Apa yang hendak dikemukakan Goenawan dengan kutipan tersebut adalah bahwa sebenarnya cerpen berhadapan dengan realitas sosial memiliki ruang yang cukup lebar untuk menempatkan dirinya, yakni untuk mengendapkan makna berbagai peristiwa dalam suatu formulasi kisah yang menawan. Seorang penyair, dengan demikian, bergelut dengan berbagai peristiwa faktual untuk kemudian mengantarkan pembaca kepada suatu penghayatan atas fakta melalui makna peristiwa yang bersifat dalam.
Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa secara lebih maksimal.
Beberapa cerpen dalam antologi ini yang mengambil latar kehidupan sosial-politik di Indonesia memang mengalami dilema tersebut di atas. Ketika cerpen ditulis, dan ada tuntutan agar cerpen itu memberikan pesan tertentu kepada pembaca, maka ketika itu cerpen menjadi “kuda tungganggan” gagasan atau pesan yang henak disampaikan itu. Karena itu, tak heran bila dalam pengamatan Goenawan beberapa cerpenis Kompas dalam antologi ini terjebak dalam persoalan ini. Terlepas dari hal itu, pembaca tentu dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap kualitas cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Kumpulan cerpen Kompas tahun 2000 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka: Motinggo Busye, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Prasetyohadi, Harris Effendi Thahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Yanusa Nugroho, Abel Tasman, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Arie MP Tamba, Bre Redana, Nenden Lilis A, A.A., Navis, dan Gus tf Sakai.
Pada umumnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini memang seperti memberi kesaksian atas dinamika kehidupan Indonesia saat ini. Selain potret kehidupan demokrasi yang kental dengan suasana politis, seperti dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala, Telepon dari Aceh, Darmon, atau Seusai Revolusi, cerpen berjudul Usaha Beras Jrangking karya Prasetyohadi, Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba, atau Metropolitan Sakai karya Abel Tasman berusaha menampilkan berbagai gejolak perubahan sosial yang terjadi di tanah air.
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua, cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas faktual di masyarakat.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 29 Oktober 2000.

Read More..

Jumat, 27 Oktober 2000

Eksprimentasi Metodologi Postmodern

Judul Buku‭ :‭ ‬Civil Society versus Masyarakat Madani:‭
Arkeologi Pemikiran‭ “‬Civil Society‭” ‬dalam Islam Indonesia
Penulis‭ :‭ ‬Ahmad Baso
Pengantar‭ ‬:‭ Muhammad A.S.‭ ‬Hikam dan Nurcholish Madjid
Penerbit‭ ‬:‭ ‬Pustaka Hidayah,‭ ‬Bandung
Cetakan‭ ‬:‭ ‬Pertama,‭ ‬Oktober‭ ‬1999
Tebal‭ ‬:‭ ‬402‭ ‬halaman


Perdebatan tentang‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia merupakan salah satu elemen penting dalam wacana demokrasi dan reformasi.‭ ‬Seperti halnya wacana demokrasi dan reformasi,‭ ‬Civil Society‭ ‬diakses oleh berbagai lapisan kalangan intelektual Indonesia.‭ ‬Secara historis,‭ ‬debat masalah‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia sebenarnya telah dimulai cukup lama,‭ ‬yakni bermula sekitar awal‭ ‬1990-an,‭ ‬bersamaan dengan lahirnya ICMI.‭ ‬Frekuensi perbincangan‭ ‬Civil Society‭ ‬menjadi semakin meninggi ketika hampir semua ilmuwan sosial-politik dan—terutama—cendekiawan muslim yang‭ ‬concern‭ ‬terhadap masalah tersebut masuk dalam arena debat ini.

Buku ini adalah sebuah usaha pelacakan‭ ‬arkeologis terhadap hampir semua teks perdebatan‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia.‭ ‬Dengan mengandalkan pada metode penelitian sejarah yang disebut‭ ‬arkeologi,‭ ‬yang dipelopori oleh seorang filsuf postmodern asal Prancis,‭ ‬Michel Foucault‭ (‬1926-1984‭)‬,‭ ‬penulis buku ini mengkaji secara kritis teks-teks yang berhubungan dengan perdebatan‭ ‬Civil Society‭ ‬dalam konteks‭ (‬politik‭) ‬Islam Indonesia.‭ ‬Yang sangat menarik dari buku utuh ini adalah kesimpulan akhir yang diungkap:‭ ‬bahwa debat‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia sama sekali tidak produktif,‭ ‬karena orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya menggunakan ajang perdebatan itu sebagai sarana untuk memperkokoh identitas kelompok,‭ ‬bersifat ideologis,‭ ‬politisasi atas hal-hal yang transenden,‭ ‬pencarian legitimasi dari masa lalu,‭ ‬dan romantisisme kejayaan Islam periode klasik.‭ ‬Selain berbentuk romantisisme yang menyesatkan,‭ ‬debat‭ ‬Civil Society‭ ‬juga hanya sering berisi harapan-harapan dan keinginan tak berdasar,‭ ‬dengan diungkapkan melalui suatu‭ ‬glorifikasi bahasa yang cukup memukau.‭ ‬Corak seperti itulah yang oleh Ahmad Baso disebut sebagai‭ ‬Nalar Melayu,‭ ‬yang tetap tidak berubah sejak abad ke-16.

Bagaimana kesimpulan itu bisa ditarik hingga menjadi sedemikian rupa dan seperti cukup mengejutkan‭? ‬Di sinilah sebenarnya letak kekuatan buku ini,‭ ‬yakni ketika Ahmad Baso menggunakan sebuah metode mutakhir yang digagas oleh Michel Foucault,‭ ‬yakni metode‭ ‬arkeologi‭ (‬pemikiran‭; ‬Bhs.‭ ‬Inggris:‭ ‬Archaeology of Knowledge‭)‬.‭ ‬Metode arkeologi itu sendiri amat dekat dengan tradisi strukturalisme yang juga tumbuh di Prancis,‭ ‬yang berpijak pada asumsi otonomi teks.‭ ‬Teks ketika dilemparkan kepada publik dianggap memiliki otonominya sendiri dari tiga hal:‭ ‬dari sang pengarang,‭ ‬dari konteks budaya awal,‭ ‬dan dari konteks pembaca awal dari teks itu.

Dengan lacakan arkeologis terhadap teks-teks yang‭ ‬begitu banyak itu—yang ditulis oleh Nurcholish Madjid,‭ ‬Muhammad A.S.‭ ‬Hikam,‭ ‬M.‭ ‬Dawam Rahardjo,‭ ‬Fachry Ali,‭ ‬Kuntowijoyo,‭ ‬M.‭ ‬Amien Rais,‭ ‬Abdurrahman Wahid,‭ ‬Bahtiar Effendy,‭ ‬Azyumardi Azra,‭ ‬Muhammad Fajrul Falakh,‭ ‬dan sebagainya—Baso mulai bekerja untuk melihat sejauh mana hubungan dan‭ ‬batas-batas wacana‭ (‬the limits of discourse‭) ‬dari debat‭ ‬Civil Society dalam konteks politik Islam di Indonesia.‭ ‬Selain itu,‭ ‬dari berbagai teks‭ ‬Civil Society‭ ‬yang berserakan itu,‭ ‬Baso mencari dan kemudian menemukan gambaran pola‭ ‬pemikiran macam apa yang akan terbentuk,‭ ‬yang nantinya akan menunjukkan sebuah kecenderungan intelektual di Indonesia.‭ ‬Walhasil,‭ ‬aroma ideologis dan eksklusivitas kelompok dalam debat‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia yang begitu kental‭ ‬itu ternyata dicium Baso‭ ‬sudah sejak awal,‭ ‬yakni mulai dari ihwal penerjemahan‭ ‬Civil Society‭ ‬menjadi‭ ‬Masyarakat Madani‭ ‬atau‭ ‬Masyarakat Sipil.‭

Kelompok yang menerjemahkan‭ ‬Civil Society menjadi‭ ‬Masyarakat Madani‭ ‬terutama adalah kalangan cendekiawan yang tergabung dalam ICMI.‭ ‬Bahtiar Effendy misalnya menulis bahwa penerjemahan‭ ‬Civil Society menjadi Masyarakat Sipil adalah salah kaprah,‭ ‬karena di situ terkesan mempertentangkan sipil dan militer.‭ ‬Dengan istilah Masyarakat Madani,‭ ‬menurut Bahtiar dan kawan-kawannya,‭ ‬Civil Society merupakan konsep yang merujuk pada corak kehidupan Nabi Muhammad di Madinah pada awal perkembangan Islam.‭ ‬Dengan bantuan para sosiolog Barat yang mengkaji Islam,‭ ‬semisal Ernest Gellner,‭ ‬Marshall G.S.‭ ‬Hodgson,‭ ‬dan Robert N.‭ ‬Bellah,‭ ‬Nurcholish Madjid—sebagai salah satu eksponen dari kelompok ini—menjelaskan bagaimana‭ ‬Civil Society lalu dimaknai sebagai masyarakat yang beradab,‭ ‬masyarakat yang sopan.

Nurcholish menjelaskan bahwa semangat dan pengertian‭ ‬Civil Society terkandung dalam makna perkataan‭ ‘‬madinah‭’ ‬yang berarti‭ “‘‬masyarakat sopan,‭ ‬beradab,‭ ‬dan teratur‭’ ‬dalam bentuk negara yang baik‭”‬.‭ ‬Tetapi,‭ ‬apa yang terbayang ketika secara agak mengejutkan,‭ ‬Ahmad Baso lalu mengantarkan pembaca kepada suatu pemahaman bahwa konsep‭ ‬Civil Society-nya Nurcholish malah cenderung memiliki simpul pemikiran bahwa‭ “‬Civil Society dapat,‭ ‬dan sering,‭ ‬punya sisi-sisi buruk‭” ‬dan bahwa‭ “‬kiprah‭ ‬Civil Society yang bebas tak terkekang bukanlah suatu gagasan yang harus disambut hangat,‭ ‬melainkan pikiran yang sungguh mengerikan‭”‬,‭ ‬sehingga akhirnya‭ “‬dalam‭ ‬Civil Society‭ [‬pribadi‭] ‬diakui hak-hak asasinya oleh negara,‭ ‬tapi,‭ ‬sebagai imbalannya,‭ ‬dituntut penunaian kewajiban kepada negara,‭” ‬dan‭ “‬tidak punya makna apa-apa membicarakan‭ ‬Civil Society tanpa negara yang cukup tangguh,‭” ‬dan‭ “‬karena negara kita adalah negara yang sedemikian besar tetapi‭ ‬fragile‭ ‬atau mudah pecah‭” ‬maka‭ “‬hanya militer yang dapat menanggulanginya‭”‬.

Sementara itu,‭ ‬kelompok‭ ‬Masyarakat Sipil‭ ‬yang dipelopori Muhammad A.S.‭ ‬Hikam‭ (‬mewakili kelompok NU‭) ‬lebih memaknai konsep‭ ‬Civil Society dari perspektif Barat.‭ ‬Bagi Hikam,‭ ‬Civil Society mewujud dalam bentuk organisasi atau asosiasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh negara.‭ ‬Kelembagaan‭ ‬Civil Society ini hendak mandiri dari negara karena pada dasarnya‭ ‬Civil Society hendak berusaha mengimbangi hegemoni negara dan memperkokoh posisi dan kemandirian masyarakat.‭ ‬Satu persatu Hikam mengutip pandangan tokoh-tokoh Barat,‭ ‬seperti Jurgen Habermas,‭ ‬Hannah Arendt,‭ ‬Alexis de Tocquevelle,‭ ‬J.S.‭ ‬Mills,‭ ‬Daniel Bell,‭ ‬dan Vaclav Havel,‭ ‬tentang‭ ‬Civil Society,‭ ‬khususnya yang bertolak dari kasus di negara-negara Eropa Timur.

Kritik yang dilancarkan Baso dalam hal ini adalah sikap Hikam—seperti juga orang-orang lain yang terlibat dalam wacana‭ ‬Civil Society ini—yang dengan seenaknya saja mengutip pandangan tokoh-tokoh itu dengan melepaskan‭ ‬historisitas pemikiran yang ikut lahir bersama.‭ ‬Inilah yang oleh Muhammad Arkoun disebut dengan kecenderungan‭ ‬Logosentrisme,‭ ‬ketika pengalaman-pengalaman sejarah yang spesifik disederhanakan begitu saja dengan dikembalikan kepada suatu periode sejarah tertentu—masa kehidupan Nabi Muhammad,‭ ‬misalnya—atau malahan menyikapinya secara ahistoris.‭ ‬Jadinya,‭ ‬kutip-mengutip yang dilakukan hanya digunakan sebagai legitimasi dan tempelan yang kering,‭ ‬tanpa suatu akar epistemologis atau‭ ‬sosiologis yang memadai.‭ ‬Dalam konteks ini,‭ ‬konsep Hikam tentang‭ ‬Civil Society‭ ‬yang dipinjamnya dari para pemikir Barat kemudian mengabaikan perangkat kondisi sosial yang memungkinkan terciptanya‭ ‬Civil Society‭ ‬tersebut,‭ ‬seperti syarat adanya liberalisme ekonomi.

Tidak hanya itu.‭ ‬Aroma ideologis masih tetap saja menggenangi teks-teks Hikam.‭ ‬Misalnya,‭ ‬ketika pada salah satu tulisannya Hikam menyimpulkan bahwa NU pasca-Khittah sangat relevan dengan upaya penguatan‭ ‬Civil Society di Indonesia.‭ ‬Sementara,‭ ‬ketika‭ ‬pada pertengahan‭ ‬1998‭ ‬NU mensponsori pendirian Partai Kebangkitan Bangsa‭ (‬PKB‭) ‬Hikam menulis:‭ “‬Menurut saya,‭ ‬dalam rangka pembentukan format baru di masa depan,‭ ‬perlu dipertimbangkan pendekatan kedua ini‭ [‬yakni‭ “‬yang lebih menekankan kepada masyarakat‭”] ‬agar semakin mendapat tempat di dalam gerakan-gerakan Islam di negeri ini.‭” ‬Nampaknya Hikam mulai bingung ketika kalangan NU sendiri akhirnya harus‭ “‬menyerah‭” ‬dengan hanya menitikberatkan perjuangannya pada level masyarakat dan harus ikut bermain dalam arena kekuasaan‭ (‬negara‭)‬,‭ ‬dengan menulis bahwa‭ ‬Civil Society perlu dipertimbangkan.

Carut-marut dan kebingungan yang dialami cendekiawan Indonesia ini amat jelas menunjukkan betapa dalam wilayah wacana keilmuan‭ (‬epistemologis‭)‬,‭ ‬cendekiawan Indonesia masih belum bisa memiliki status otonom.‭ ‬Status epistemologis sebuah wacana dalam konteks Indonesia masih banyak ditentukan dan diarahkan oleh konstruksi identitas diri yang telah terbentuk sebelumnya,‭ ‬sehingga arah berkembangnya wacana tersebut hanyalah permainan peneguhan politik identitas itu sendiri.‭ ‬Akhirnya,‭ ‬wacana tersebut sama sekali tidak dapat teruji secara ilmiah-filosofis,‭ ‬apalagi secara kontekstual,‭ ‬karena wacana yang dibangun berpijak pada eksklusivisme-ideologis yang secara epistemologis amat rapuh.

Kritik terhadap konstruksi‭ (‬perkembangan‭) ‬keilmuan di tanah air memang sesuatu hal yang cukup penting.‭ ‬Apa yang sebenarnya terjadi di sini dalam waktu beberapa dekade terakhir tentu bukan sekedar krisis ekonomi dan sosial-politik.‭ ‬Tetapi,‭ ‬krisis dalam dunia‭ ‬keilmuan juga menjadi suatu bagian penting yang patut dipikirkan.‭ ‬Dalam salah satu tulisannya,‭ ‬Ignas Kleden mengkritik tidak adanya tradisi diskusi dalam sistem kebudayaan Indonesia.‭ ‬Menurut Ignas,‭ ‬tradisi‭ ‬ngobrol lebih akrab dalam dunia keilmuan kita.‭ ‬Artinya,‭ ‬setiap gagasan yang muncul dalam arena publik tidak pernah selesai dibicarakan secara mendalam.‭ ‬Kesetiaan pada suatu persoalan serta kejernihan dalam menangkap persoalan diabaikan begitu saja,‭ ‬sehingga kerja keilmuan yang dihasilkan hanya semacam cerai-berai pikiran yang ternyata masih cukup membingungkan—dan seringkali ideologis‭ (‬Kleden,‭ ‬1988:‭ ‬xlv‭)‬.

Sejalan dengan hal tersebut,‭ ‬Ahmad Baso sendiri di dalam buku ini juga mengkritik terhadap belum adanya kecenderungan analisis pemikiran Islam yang mengarah kepada sebuah sistem pemikiran yang utuh.‭ ‬Artinya,‭ ‬proyek intelektual yang dikerjakan oleh kelompok cendekiawan cenderung semata-mata merupakan respon sesaat terhadap situasi kontekstual,‭ ‬tanpa mau melanjutkannya dengan kerja-kerja intelektual‭ (‬penelitian‭) ‬yang lebih serius.‭ ‬Apalagi,‭ ‬kecenderungan ini diperparah dengan sikap konsumtivisme-intelektual yang berlebihan‭ (‬tidak pada tempatnya‭) ‬sehingga pemikiran yang lahir kehilangan daya kritisnya serta nyaris tidak menyajikan sesuatu yang baru dalam kancah‭ ‬pemikiran di Indonesia.

‭* * *
Selain kritik terhadap kecenderungan kajian keilmuan‭ (‬keislaman‭) ‬di Indonesia,‭ ‬khususnya tentang perdebatan‭ ‬Civil Society,‭ ‬buku ini juga bisa dilihat sebagai sebuah eksprimentasi metodologis dari sebuah perangkat metodologis yang relatif baru dalam kancah metodologi analisis sosial,‭ ‬yakni metode arkeologi‭ (‬pengetahuan‭)‬.‭ ‬Kiranya,‭ ‬cukup menarik untuk melihat bagaimana sebenarnya metode arkeologi ala Michel Foucault ini lahir,‭ ‬dengan diawali perkembangan aliran strukturalisme di‭ ‬Prancis.

Demam pemikiran Strukturalisme di Prancis yang mewabah pada sekitar akhir‭ ‬1960-an merupakan suatu bentuk ekspresi kekecewaan kaum intelektual Prancis dengan paradigma berpikir kaum Marxis dalam menganalisis kehidupan sosial-politik masyarakat.‭ ‬Huru-hara bulan Mei‭ ‬1968‭ ‬di Prancis yang diikuti respon Partai Komunis Prancis‭ (‬PCF‭) ‬yang kurang berpihak pada‭ ‬“people power‭”‬ untuk menentang berbagai keputusan pemerintah Prancis telah membuat kaum intelektual Prancis yang sebelumnya berada di belakang PCF itu menjadi harus berpikir ulang dengan posisi mereka,‭ ‬terutama berkaitan dengan paradigma perjuangan ala Marxis.‭ ‬Apalagi,‭ ‬ada kabar tidak menyenangkan dari Soviet yang membuka mata mereka akan kekejaman pemerintahan Stalin di Soviet.‭ ‬Pada akhirnya,‭ ‬rangkaian kejadian itu mengantarkan mereka kepada rasa kecewa terhadap cara berpikir kaum Marxis.‭ ‬Menurut mereka,‭ ‬pemikiran Marx harus ditafsirkan ulang‭ (‬Seno Joko Suyono:‭ ‬1997:‭ ‬5-10‭)‬.

Pada bagian yang lain,‭ ‬situasi yang menunjukkan kebangkrutan Marxisme baik secara teoritis maupun praktis ini telah mengubah haluan beberapa intelektual Prancis untuk menekuni pemikiran Strukturalisme yang dikembangkan bertolak dari studi linguistik Ferdinand de Saussure.‭ ‬Fenomena ini didukung oleh proses depolitisasi kampus yang dilakukan pemerintah Prancis.‭ ‬Strukturalisme Saussurian itu sendiri bertujuan untuk menemukan struktur permanen yang aktif yang dipandang mendasari realitas.‭ ‬Kaum strukturalis berpijak pada sistem bahasa,‭ ‬karena mereka percaya bahwa bahasa dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial.‭ ‬Karena menekankan pada struktur,‭ ‬maka cara kerja metode ini menfokuskan pada koherensi internal sebuah realitas sosial‭ (‬teks,‭ ‬bahasa‭)‬.

Teks diasumsikan otonom,‭ ‬sehingga yang diutamakan adalah makna obyektif teks,‭ ‬bukan intensi obyektif dari pengarang.‭ ‬Untuk itu,‭ ‬yang diutamakan dalam pelacakan yang dilakukan kaum strukturalis adalah struktur internal dari teks itu sendiri‭ (‬Ricouer,‭ ‬1977:‭ ‬319‭)‬.‭ ‬Apalagi penulis teks diyakini tidak bisa sepenuhnya bisa mengontrol makna keseluruhan dari teks-teks yang dibuatnya,‭ ‬sehingga penjelasan‭ (‬subyektif‭) ‬dari penulis teks hanya akan mengesankan upaya menyelamatkan diri dari label-label yang tidak menguntungkan bagi dirinya,‭ ‬sementara,‭ ‬teks yang dibuatnya sendiri mengarahkan kesan pembaca kepada‭ ‬sesuatu yang lain.

Dengan bertolak pada asumsi-asumsi pemikiran strukturalisme itu,‭ ‬metode arkeologi Michel Foucault sebenarnya lalu identik dengan sebuah pelacakan sejarah yang berusaha meneliti proses penataan teks-teks sehingga mengarah kepada suatu irama kebenaran tertentu.‭ ‬Inilah yang oleh kaum strukturalis disebut sebagai‭ “‬Kode Tersembunyi‭” ‬dari interaksi sosial.‭ ‬Arkeologi dengan demikian berusaha meneliti gagasan-gagasan yang dilemparkan kepada publik dengan asumsi bahwa ada‭ ‬episteme tertentu di balik semuanya itu.‭ ‬Yang dimaksudkan dengan‭ ‬episteme‭ ‬adalah pengandaian-pengandaian tertentu,‭ ‬prinsip-prinsip tertentu,‭ ‬syarat-syarat kemungkinan tertentu,‭ ‬yang dimiliki setiap zaman yang mendasari konstruksi epistemologis suatu zaman.‭ ‬Jadi,‭ ‬episteme adalah semacam apriori historis tertentu yang menentukan jalannya pemikiran tiap bidang ilmu‭ (‬Bertens,‭ ‬1996:‭ ‬215-216‭)‬.‭ ‬Dengan cara ini,‭ ‬diharapkan bahwa dasar-dasar pembentukan suatu pemikiran dapat ditemukan.‭ ‬Dari suatu perspektif,‭ ‬metode ini seperti hendak membongkar kesucian setiap pemikiran,‭ ‬karena pada dasarnya setiap pemikiran‭ (‬di)tegak(kan‭) ‬di atas suatu‭ ‬episteme tertentu.‭ ‬Dalam konteks ini,‭ ‬metode arkeologi Foucault yang berbasis penelitian‭ (‬kritik‭) ‬sejarah oleh Habermas disejajarkan dengan metode dekonstruksi Jacques Derrida yang‭ ‬mengkritik rasio modernisme dengan bertolak dari kritiknya terhadap Metafisika Kehadiran‭ ‬dalam pemikiran Filsafat Barat‭ ‬(Habermas,‭ ‬1998:‭ ‬254‭)‬.

Fokus penelitian kaum strukturalis pada struktur internal teks seringkali menghadirkan kesalahpahaman ilmuwan sosial lainnya.‭ ‬Dengan hanya meneliti struktur internal teks,‭ ‬kaum strukturalis dianggap menjauh dari realitas sosial-empiris yang bersifat aktual dan lebih konkret.‭ ‬Ahmad Baso juga kurang lebih mengalami hal ini.‭ ‬Akan tetapi haruslah‭ ‬dipahami bahwa dengan mengalihkan fokus perhatiannya dari kenyataan konkret menuju struktur internal teks,‭ ‬kaum strukturalis bukan hendak meninggalkan realitas sosial-empiris sepenuhnya,‭ ‬melainkan langkah ini dilakukan demi menemukan suatu pemahaman yang lebih bersifat asasi terhadap realitas empiris yang terjadi.‭ ‬Bahkan,‭ ‬dalam bagian tertentu,‭ ‬analisis struktural nampak lebih berhasil untuk memperlihatkan aroma ideologis sebuah sistem tertentu,‭ ‬seperti yang pernah dilakukan Roland Barthes ketika meneliti‭ ‬trend gaya hidup sehari-hari di Prancis dalam bukunya,‭ ‬Mythologies.

Ahmad Baso melalui buku ini setidaknya juga telah ikut membuktikan keampuhan metode arkeologi ala‭ (‬pasca)strukturalisme Foucault,‭ ‬terutama dalam membongkar eksklusivisme-ideologis kaum intelektual Indonesia yang terlibat dalam debat‭ ‬Civil Society.‭ ‬Inilah gaya atau‭ ‬prototype sebuah metodologi postmodernisme,‭ ‬sehingga dalam pengertian tertentu buku ini juga menjadi semacam klarifikasi bagi kebingungan debat postmodernisme di Indonesia.‭ ‬Ciri kental pemikiran postmodernisme ternyata juga tak bisa ditinggalkan:‭ ‬ia bersifat dekonstruktif dan nyaris berakhir dengan nihilisme.‭ ‬Mungkin,‭ ‬ini memang adalah sisi lain dari pemikiran postmodernisme itu.‭ ‬Akan tetapi,‭ ‬sejauh mengenai resiko atau bahaya yang‭ ‬juga diusung pemikiran postmodernisme yang cenderung berujung pada nihilisme ini,‭ ‬cukup penting untuk dikutip sepenggal ujaran Foucault pada salah satu karyanya:‭ ‬“...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk,‭ ‬melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya,‭ ‬yang tidak persis sama dengan buruk.‭ ‬Jika segalanya ternyata berbahaya,‭ ‬setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.‭” ‬***



Daftar Pustaka

Bertens,‭ ‬K.,‭ ‬1996,‭ ‬Filsafat Barat Abad XX Jilid II:‭ ‬Prancis,‭ ‬Gramedia,‭ ‬Jakarta.

Habermas,‭ ‬Jurgen,‭ ‬1998,‭ ‬The Philosophical Discourse of Modernity,‭ ‬Cet.‭ ‬X,‭ ‬Penerjemah:‭ ‬Frederick Lawrence,‭ ‬MIT Press,‭ ‬Massachusetts.

Kleden,‭ ‬Ignas,‭ ‬1988,‭ ‬Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,‭ ‬Cet.‭ ‬II,‭ ‬LP3ES,‭ ‬Jakarta.

Ricoeur,‭ ‬Paul,‭ ‬1977,‭ ‬The Rule of Metaphor:‭ ‬Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language,‭ ‬Toronto University Press,‭ ‬Toronto.

Seno Joko Suyono,‭ ‬1997,‭ “‬Tubuh yang Rasis:‭ ‬Telaah Klinis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa‭”‬,‭ ‬Skripsi di Fakultas Filsafat UGM,‭ ‬Yogyakarta.


Read More..

Rabu, 25 Oktober 2000

Anatomi Budaya Bisnis Cina

Judul Buku : Menembus Pasar Cina
Penulis : Yuan Wang, Rob Goodfellow, Xin Sheng Zhang
Penerjemah : J. Soetikno Pr.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2000
Tebal : xviii + 236 halaman (termasuk indeks)



Krisis moneter dan keuangan yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997-1998 telah mengobrak-abrik perekonomian beberapa negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi, nasib Cina (RRC) ternyata begitu baik. Pengaruh krisis moneter dan keuangan tersebut tidak terlalu terasa di sana. Hal ini terjadi, menurut laporan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), karena fundamental ekonomi di Cina sudah cukup kokoh dan kebijakan program reformasi Cina sudah berada pada jalur yang benar.

Terhitung sejak tahun 1978, pertumbuhan ekonomi di Cina memang begitu pesat, sehingga cadangan devisa negara Cina pada tahun 1997 mencapai 140 milyar dolar AS, nomor dua terbesar sesudah Jepang. Kebijakan reformasi yang dilakukan oleh mendiang Deng Xiao Ping telah mampu mendobrak kebekuan pasar di Cina. Selain mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus stabil, arus investasi dari luar juga begitu besar. Bahkan, menurut laporan PBB, arus investasi asing di Cina menempati urutan terbesar kedua sesudah Amerika Serikat.

Situasi ekonomi yang menggairahkan dan stabil serta penduduk yang cukup besar, yakni 1,2 milyar, membuat Cina menyediakan peluang bisnis yang begitu menggiurkan. Karena itu, tak berlebihan bila Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, memperkirakan perekonomian Cina akan lebih besar dibanding Jepang dalam 50 tahun mendatang.

Akan tetapi kondisi sosial-budaya yang khas yang terdapat di Cina ternyata tidak semata-mata menjadi peluang bisnis yang begitu saja memudahkan arus investasi, melainkan juga menuntut suatu pengetahuan yang cukup tentang anatomi budaya bisnis di Cina. Risiko dan tantangan berbisnis di Cina juga cukup besar. Karena itulah, wawasan tentang karakteristik kehidupan bisnis di Cina sangat dibutuhkan.

Buku bagus ini menyediakan ulasan praktis, ringkas, dan jelas tentang struktur sosial-budaya kehidupan bisnis di Cina. Kompleksitas sosio-kultural yang berada di balik aktivitas bisnis diungkapkan secara cukup baik. Buku ini tidak semata-mata terjebak dengan gegabah dalam menjelaskan budaya bisnis Cina yang kompleks hanya dengan memberi penjelasan berdasarkan tradisi (Cina). Buku ini memandang bisnis sebagai ekspresi kehidupan yang dinamis, mengikuti arus dinamika budaya di sana.

Sebelum tahun 1978, aktivitas bisnis bagi masyarakat Cina tidak terlalu dihargai. Pedagang dianggap manusia hina yang licik dan culas serta hanya mengenal keuntungan. Lebih dari itu, pedagang juga dianggap orang yang mudah merongrong stabilitas sosial. Pandangan tertutup semacam ini tumbuh subur karena sejak tahun 1840 Cina menerapkan politik isolasi dalam bidang perdagangan dan budaya.

Baru setelah Deng Xiao Ping menerapkan kebijakan “Liberalisasi Pemikiran” dan Politik Pintu Terbuka sebagai respon terhadap arus globalisasi pada tahun 1978, demam bisnis menjadi kecenderungan yang sangat umum. Bisnis yang menguntungkan dilihat sebagai sarana untuk menjamin penggunaan kekayaan alam dan manusia secara efisien, sementara bisnis yang tidak produktif dianggap sebagai suatu pemborosan.

Kemajuan laju ekonomi Cina didukung oleh semangat kolektif masyarakat yang berwujud kebanggaan nasional dan didasarkan atas kesadaran sejarah bangsa Cina. Spirit kolektivisme ini terus berlanjut dalam setiap aktivitas bisnis di Cina, sehingga hubungan antar-pribadi dalam kegiatan bisnis begitu diperhatikan.

Selain nilai kolektivisme, nilai-nilai lain yang terdapat dalam budaya bisnis Cina adalah pentingnya menjaga kehormatan, adanya hierarki, hormat kepada tradisi, dan prinsip egalitarianisme. Bisnis di Cina amat menekankan kesetiaan, rasa hormat, kepatuhan, dan kepercayaan. Pembentukan jaringan bisnis diciptakan dengan membangun jaringan pertemanan seluas mungkin. Jamuan makan dan pemberian hadiah yang menjadi simbol persahabatan seringkali dilakukan dalam aktivitas berbisnis. Perundingan bisnis atau negosiasi yang kadang dilakukan dalam acara jamuan makan juga digunakan sebagai sarana penjajakan untuk memantapkan kecocokan dan rasa saling percaya.

Karena menekankan kepada hubungan yang bersifat pribadional, maka dalam perundingan dibutuhkan kesabaran yang cukup bila mitra bisnis masih berbicara tentang suatu persoalan secara bertele-tele. Hal semacam ini dilakukan untuk menghimpun informasi sebanyak mungkin tentang sosok kepribadian klien bisnisnya. Selain itu, harus juga diperhatikan agar kedua belah pihak menyisakan ruang untuk kompromi atau konsesi, karena proses tawar-menawar adalah sesuatu yang mesti dilakukan oleh orang-orang Cina. Klien bisnis yang tidak mau melakukan bargaining hanya akan memberi kesan tidak serius dengan negosiasi yang sedang dilangsungkan. Juga, sikap pamer diri menjadi sesuatu yang tabu dalam kegiatan bisnis.

Konsumen bisnis di Cina masih terpengaruh dengan boom demam bisnis yang berlangsung sejak tahun 1978. Secara psikologis, perilaku konsumsi orang Cina kebanyakan dipengaruhi oleh sejumlah kelompok rujukan. Popularitas sebuah produk sering terbentuk karena kuatnya hubungan antar-pribadi yang menggunakan produk itu. Kegiatan yang bersifat “pamer” juga sering dilakukan. Meski begitu, rata-rata mereka masih berpikir seribu kali bila harus berhutang dalam berbelanja. Mereka lebih memilih menabung terlebih dahulu untuk memenuhi keinginan mereka.

Begitulah gambaran ringkas anatomi budaya bisnis di Cina. Untuk berjaga-jaga, ada enam jurus yang patut diperhatikan agar dapat sukses berbisnis di Cina, yaitu patience (kesabaran), power (kekuasaan), predisposition (predisposisi), personnel (personalia), protection (proteksi), dan perspective (perspektif). Kesabaran dibutuhkan karena berbisnis di Cina memerlukan landasan usaha yang kuat. Kekuasaan berkaitan dengan kemampuan penguasaha menyediakan modal yang kuat, termasuk untuk mengembangkan jaringan pertemanan dalam berbisnis. Predisposisi adalah kemampuan untuk membina hubungan personal yang baik dengan mitra bisnis. Personalia berkaitan dengan strategi pemilihan orang yang tepat dalam menjalankan bisnis. Proteksi penting untuk melindungi kegiatan bisnis dari kecenderungan melintasi batas-batas hukum legal yang berlaku. Dan, terakhir, perspektif, berguna untuk mempertinggi kepekaan pelaku bisnis terhadap realitas kultural masyarakat Cina.

Buku ini tidak berbicara terlalu muluk-muluk. Secara umum, usahanya untuk membedah anatomi budaya bisnis masyarakat Cina cukup baik, karena menyentuh berbagai aspek: sejarah, landasan nilai, gaya berunding, manajemen, peran pemerintah, psikologi konsumen, serta strategi promosi dan distribusi. Ketiga penulis buku ini memang sudah dikenal luas sebagai pakar bisnis yang mengetahui latar kebudayaan masyarakat Cina secara mendalam.

Bagi orang-orang yang tertarik untuk menembus pasar Cina yang begitu menggiurkan, atau yang berhubungan dengan komunitas Cina, buku ini tentu akan memberikan sesuatu yang cukup berharga, setidaknya bila mereka memang ingin mencapai kemajuan yang lebih baik dalam berbisnis.

Read More..

Selasa, 17 Oktober 2000

Usaha “Mati-Matian” Memahami Gus Dur


Judul Buku: Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran & Gerakan Gus Dur
Penulis : Tim INCReS
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya kerjasama dengan INCReS, Bandung
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: xxviii + 315 halaman

Judul Buku: Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid
Penulis : Ahmad Syafi`i Ma`arif, Franz Magnis-Suseno, Andree Feillard, dkk.
Editor: Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar-Abdalla
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xviii + 212 halaman


Sisi kontroversial Gus Dur telah banyak mengundang ketertarikan berbagai pihak untuk mengkajinya. Dua buku ini adalah ‘buah’ yang tumbuh dari rasa ketertarikan, kekaguman, dan mungkin juga kejengkelan terhadap sosok kontroversial Gus Dur itu. Buku pertama dihimpun secara khusus oleh Tim INCReS (Institute of Culture and Religion Studies)—sebuah komunitas kaum muda NU di Bandung—melalui wawancara dengan sejumlah tokoh untuk membedah sosok Gus Dur dari berbagai sisi: agama, politik, kebudayaan, ekonomi, gender, dan tasawuf. Buku kedua dihimpun dan diterbitkan oleh LKiS (Lembaga Kajian islam dan Sosial)—sebuah komunitas anak muda NU di Yogyakarta—dengan meminta tulisan secara khusus kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh redaksi LKiS.

Upaya untuk membedah sosok Gus Dur dalam buku yang pertama disajikan secara cukup utuh. Dengan pengantar prawacana oleh K.H. A. Mustofa Bisri dan pascawacana oleh Sinta Nuriyah Rahman (istri Gus Dur), buku ini seperti hendak mengungkapkan sisi-sisi pribadional kehidupan Gus Dur, yang dalam bahasa Tim INCReS disebut jejak-jejak antropologis Gus Dur. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, sosok Gus Dur ditampilkan dan dibedah secara mendalam—ditambah lagi dengan pengantar tentang riwayat pribadi Gus Dur plus pemetaan pemikiran Gus Dur secara ringkas. Bagi kebanyakan penulis yang memiliki kedekatan pribadi secara khusus dengan Gus Dur, pembaca akan menemukan pengalaman-pengalaman pribadi narasumber dengan Gus Dur yang mengagumkan serta cukup mampu memberikan latar dan landasan antropologis bagi sikap dan laku kontroversial Gus Dur.

Di antara narasumber yang diwawancarai yang kebanyakan hasilnya disajikan dalam bentuk esai ini adalah: Djohan Effendi, Franz Magnis-Suseno, Th. Sumartana, MA. Sahal Mahfudz, Muhammad AS Hikam, J. Kristiadi, Fachry Ali, Sarwono Kusumaatmadja, Bondan Gunawan, Simuh, dan Said Aqiel Siradj.

Dalam pengantarnya, K.H. A. Mustofa Bisri mengatakan bahwa kehadiran Gus Dur yang kontroversial, apalagi setelah ia naik sebagai Presiden RI, merupakan ‘pelajaran’ atau ‘pengajaran’ paling keras dari Allah kepada bangsa Indonesia yang tak kunjung bisa berbeda pendapat dan bersikap adil. Dalam perspektif Gus Mus, sisi kontroversial Gus Dur menyatakan bahwa bagi Gus Dur perbedaan pendapat adalah sesuatu yang alamiah. Dobrakan pemikiran Gus Dur yang nyeleneh tiada lain adalah untuk mendidik masyarakat bersikap demokratis (hlm. v-ix).

Keberanian Gus Dur untuk berbeda itu menurut Sarwono Kusumaatmadja didasarkan atas sikap percaya diri yang amat besar yang dimilikinya (hlm. 185), sehingga tidak aneh bila Gus Dur dapat melampaui simbol-simbol agama (Islam) guna meneguhkan visi humanis yang dimilikinya (hlm. 87, 56). Dengan semua itu, Gus Dur dianggap sebagai seorang pembaru di bidang agama (hlm. 96). Meski demikian, Gus Dur tetap berada dalam kerangka fiqh, karena yang dilakukan Gus Dur terutama adalah pembaruan metodologi dalam memahami agama (hlm. 123).

Dalam buku yang kedua, sosok kontroversial Gus Dur dibaca terutama dalam konteks politik dengan berbagai paradigma ilmiah. Greg Barton misalnya pertama-tama melakukan pemetaan terhadap pemikiran Gus Dur, kemudian melakukan penafsiran terhadap tindakan kontroversial Gus Dur, seperti komentar Gus Dur terhadap kasus Aceh, Timor Timur, kerusuhan di Kalbar, kasus Israel, dan sebagainya (hlm. 84-120).

Dalam membaca teks-teks Gus Dur—dalam pengertian fenomena Gus Dur secara umum—para penulis di buku kedua ini—juga pada buku pertama—percaya penuh bahwa pada aras komitmen terhadap nilai sebenarnya tidak ada masalah pada sosok Gus Dur. Dengan asumsi demikian, penulis-penulis di buku ini rata-rata tinggal mencari penjelasan yang dapat memuaskan mereka untuk keluar dari sisi kontroversial sosok Gus Dur.

Franz Magnis-Suseno misalnya mengatakan bahwa 'apapun yang dilakukan Gus Dur, saya mempercayai komitmen utamanya kepada kemajemukan, persatuan, keadilan, dan demokrasi' (hlm 28). Shalahuddin Wahid, saudara kandung Gus Dur, juga mengatakan bahwa 'segala catatan yang serba kontroversial tentang Gus Dur dan sikap inkonsistensinya, seperti diuraikan di atas, tetap tidak mengurangi self image atau jati dirinya sebagai salah satu tokoh yang memperjuangkan terwujudnya demokrasi di Indonesia' (hlm. 61).

Karena itu, pembaca yang mengharapkan suara kritis terhadap sosok kontroversial Gus Dur dari kedua buku ini mungkin akan kecewa—meski tentu tidak semuanya demikian. Secara umum kedua buku ini hanya menghimpun upaya para pakar dan sahabat Gus Dur untuk keluar dari ketidakmengertian mereka terhadap Gus Dur dengan tetap berpegang pada prinsip berbaik sangka.

Akan tetapi, tidak berarti kedua buku ini tidak layak diapresiasi. Dari buku kedua, redaksi LKiS menawarkan dua kemungkinan yang bisa dikombinasikan dalam membaca teks-teks pembaca Gus Dur. Pertama, dengan mendeteksi pandangan dunia (ideologi) para pembaca teks Gus Dur, dan kedua, dengan mencari "suara-suara yang terpendam"—menurut istilah Roland Barthes—yang terlupakan dalam proses pembacaan itu (hlm. ix). Selain itu, kedua buku ini tentu juga cukup mampu menyajikan kisah-kisah pribadi Gus Dur secara lebih terbuka kepada publik, sehingga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh komponen bangsa ini.

Tulisan ini dimuat di www.detik.com 16 Oktober 2000.

Read More..

Kamis, 12 Oktober 2000

Sketsa Dinamis Islam Politik Indonesia

Judul Buku : (Re)politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?
Penulis : Bahtiar Effendy
Editor: A. Suryana Sudrajat
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Juli 2000
Tebal: 387 halaman (termasuk indeks)


Buku ini adalah potret dinamika Islam politik di Indonesia menjelang dan semasa era reformasi. Istilah Islam politik dipergunakan penulis buku ini, Bahtiar Effendy, doktor ilmu politik dari Ohio State University, dengan tanpa hendak terjebak kepada distingsi-diametral antara Islam politik dan Islam kultural. Istilah tersebut mengacu kepada kenyataan bahwa ternyata elemen-elemen sosial umat Islam bersama gugus ajaran agamanya tidak bisa lepas sama sekali dari aktivitas berpolitik.
Untuk kasus Islam di Indonesia, hal ini sudah sudah tercermin sejak awal kemerdekaan hingga di masa reformasi ini. Di awal kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sudah terjadi perdebatan tentang dasar negara: antara pilihan agama (Islam) dan Pancasila. Perdebatan itu terus berlanjut pada sidang Konstituante hingga akhirnya dipotong oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959. Demikian pula pemerintahan Orde Baru yang melakukan depolitisasi Islam untuk kemudian mengajukan sebuah ungkapan yang agak membingungkan: “Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler” (hlm. 190.).
Pada awal dekade 1990-an, sikap pemerintah Orde Baru terhadap elemen Islam politik mulai berubah. Menurut Bahtiar, sikap akomodatif yang mulai terlihat dalam keputusan-keputusan politik Orde Baru itu, seperti diberhentikannya SDSB, lahirnya ICMI dan berdirinya BMI, dilaksanakannya Festival Istiqlal, didasarkan atas dua faktor objektif. Pertama, adanya proses mobilitas sosial-ekonomi pada komunitas Islam sejak awal dekade 1970-an sehingga membuka akses keterlibatan yang tinggi bagi aktivis-aktivis muslim. Hal ini kemudian mengubah konfigurasi struktur sosial masyarakat Indonesia, dan menjadikan umat Islam sebagai bagian dari kelompok kelas menengah. Kedua, adanya pergeseran pemikiran generasi baru Islam, dari cara pandang yang legalistik-formalistik menjadi lebih substansialistik. Dengan pergeseran paradigma berpikir ini, negara (Orde Baru) tidak lagi melihat Islam politik sebagai ancaman (hal. 237).
Era reformasi merubah semua konfigurasi politik nasional secara cukup frontal. Liberalisasi politik termanifestasikan dengan munculnya kembali kekuatan-kekuatan politik yang selama Orde Baru didepolitisasikan. Kemunculan partai-partai Islam—baik dengan asas Islam atau bukan—adalah salah satu fenomena yang muncul. Simbol-simbol politik, yaitu simbol agama “Islam”, menonjol begitu rupa. Bagi Bahtiar, hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Di satu sisi mereka ingin memperoleh dukungan sebesar mungkin, sehingga simbol-simbol agama ditampilkan secara lebih terbuka (hlm. 209).
Memang kemudian ada kekhawatiran apakah fenomena itu menunjukkan munculnya kembali upaya “repolitisasi Islam”. Dengan istilah ini dimaksudkan sebagai semacam rekayasa yang bersifat manipulatif terhadap agama, sehingga sering berkonotasi negatif (hlm. 195). Atau bahkan itu menunjukkan bangkitnya kembali politik aliran dengan konsekuensi mengabaikan aspek substansial dari (Islam) politik. Karena itu, tidak salah misalnya bila dalam pandangan Bahtiar hal tersebut rawan untuk memunculkan pandangan yang bercorak ideologis bagi kelompok partai tertentu (hlm. 203).
Kekhawatiran akan semakin mengentalnya pandangan ideologis semacam ini jelas akan merugikan bagi Islam politik. Bisa-bisa, pengakuan atas keberislaman seseorang kemudian lebih didasarkan kepada ukuran afiliasi sosial-politik yang dipilih, daripada mengacu kepada ajaran Islam itu sendiri. Cita-cita politik Islam lalu dimonopoli oleh kelompok politik tertentu, bukan oleh masyarakat Islam secara keseluruhan.
Paradigma berpikir dan pola pandangan yang menurut Bahtiar bersifat kontraproduktif itu tentu akhirnya akan mereduksi pengertian Islam. Karena itu, Bahtiar menyarankan agar kalangan umat Islam selalu melakukan introspeksi ke dalam terhadap Islam politik, sehingga kemudian dikembangkan pemikiran dan tindakan yang lebih berorientasi inklusivistik, yang melibatkan basis sosio-kultural masyarakat Indonesia yang heterogen. Ini adalah upaya untuk lebih mengharmoniskan elemen keislaman dan elemen keindonesiaan (hlm. 50).
Selain itu, untuk menghindari perlakuan yang terlalu ideologis terhadap Islam, Bahtiar sepakat dengan Kuntowijoyo yang mengajak umat Islam untuk melakukan objektivikasi terhadap negara dan politik. Objektivikasi berarti penerjemahan nilai-nilai internal Islam ke dalam kategori objektif dalam politik, sekaligus pula berarti eksternalisasi atau konkretisasi nilai-nilai internal. Karena menyandarkan pada realitas objektif, maka objektivikasi berusaha menghindari sikap mendominasi (hlm. 26).
Dalam kerangka objektivikasi inilah, peringatan untuk lebih mengembalikan semua perdebatan politik praktis kepada prinsip-prinsip politik sebagaimana yang telah digariskan Islam (seperti keadilan, musyawarah, persamaan, persaudaraan, dan sebagainya) menjadi relevan. Peringatan ini juga dapat menjadi ukuran sejauh mana sebenarnya keberpihakan Islam terhadap politik yang pluralistik di era reformasi ini (hlm. 222).
60 esai Bahtiar yang mengisi buku ini kurang lebih memberikan gambaran dinamika Islam politik sejak Orde Baru hingga era reformasi. Kemasan serta gaya penyampaiannya yang mengalir dan enak dibaca merupakan kelebihan dari buku ini, selain bobot analisis yang ditopang oleh serangkaian perangkat teoritik yang cukup matang. Akan tetapi, karena sifatnya yang merupakan kumpulan tulisan, yakni berasal dari publikasi berbagai media massa dari 1995 hingga 1999, maka pengulangan-pengulangan tidak dapat dihindari. Idealnya, penyunting melakukan seleksi yang cukup kental untuk meminimalisasi pengulangan semacam itu.

Read More..