Selasa, 05 Mei 2020

Agama dan Urgensi Literasi Sains


Judul buku: Memahami Sains Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim
Penulis: Nidhal Guessoum
Penerbit: Qaf, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2020
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-602-5547-68-3


Saat wabah corona merajalela ke seluruh pelosok dunia, sering kali kita berjumpa dengan mitos-mitos yang bertebaran di berbagai media. Contohnya, bahwa infeksi virus corona dapat disembuhkan dengan mengonsumsi bawang putih, atau bahwa jika kita bisa menahan napas selama 10 detik tanpa batuk maka berarti kita tidak terpapar virus tersebut.

Mitos-mitos tersebut menyebar terutama melalui media sosial sehingga ketika dicerna oleh orang awam, hasilnya bisa beraneka rupa: ketakutan yang berlebihan, gelisah, dan semacamnya. Mitos semacam ini relatif mudah menyebar karena terkait dengan rendahnya literasi sains masyarakat.

Literasi sains yang rendah, menurut penulis buku ini, Nidhal Guessoum, dapat mengganggu kebijakan publik yang terkait dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup, pangan, energi, dan sebagainya. Pengendalian wabah corona saat ini misalnya tentu akan lebih mudah andaikan kita memiliki tingkat melek sains yang cukup baik. Faktanya, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat menurut data penelitian tahun 2008 tingkat melek sains di kalangan orang dewasa hanya mencapai sekitar 28%.

Menurut Guessoum, tingkat literasi sains terkait dengan pelajaran sains di tingkat sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi dan juga sumber informasi sains informal seperti di koran, buku populer, internet, atau museum. Bagaimana dengan faktor agama, seperti Islam?

Guessoum menjelaskan bahwa kaum muslim beranggapan Islam itu tidak punya masalah dengan sains. Namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir perspektif antisains berbasis agama mulai muncul. Beberapa pemuka Islam menolak pengetahuan sains dengan dasar tafsir literal atas al-Qur’an. Mereka juga lalu menempatkan sains dalam skema konspiratif: bahwa sains digunakan Barat untuk menyuburkan pandangan dunia materialistis.

Buku ini disusun oleh Guessoum sebagai bimbingan untuk kaum muda muslim agar bisa memahami sains modern secara proporsional. Setelah menguraikan pentingnya literasi sains, Guessoum memberikan gambaran singkat sejarah sains mulai era kuno hingga modern. Secara khusus, Guessoum juga menjelaskan ciri sains modern yang berbasis pada observasi dan eksperimen, berbasis pada matematika, serta profesionalisasi dan institusionalisasi kegiatan sains.

Dalam menempatkan sains modern dan agama, Guessoum menegaskan bahwa segala sesuatu yang ditemukan dan dirumuskan oleh saintis yang kemudian disebut dengan fakta alam atau hukum sains itu hanyalah pendekatan bertahap dan progresif menuju hukum alam sejati (yakni hukum Tuhan). Dengan argumen ini, Guessoum menempatkan sains sebagai usaha objektif yang bersifat ilmiah yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama—bahkan bisa mendukung.

Dalam kaitannya dengan Islam, Guessoum juga bersikap kritis terhadap berkembangnya literatur i’jaz ‘ilmi (mukjizat sains dalam al-Qur’an dan sunnah) belakangan ini dan juga konsep sains sakral yang digagas oleh Seyyed Hossein Nasr. Yang pertama menurut Guessoum muncul lebih karena kaum muslim kalah mental di bidang sains dan mencari kepercayaan dirinya pada kitab suci, dan yang kedua muncul karena Nasr memandang naturalisme metodologis dalam sains secara negatif. Memang betul bahwa sains modern perlu dikritik. Tapi usulan sains tradisional ala Nasr justru mengorbankan karakter objektif sains yang sudah mapan.

Guessoum mendukung sains modern yang berkembang berdamping bersama agama—demikian juga sebaliknya. Dari sains, kaum beragama bisa menemukan jalan lain mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Selain itu, sains dapat mengangkat martabat manusia melalui ilmu dan juga membantu kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi yang lain, agama dapat ikut meneguhkan kaidah-kaidah etis dalam praktik sains sehingga dapat membantu menekan ekses negatif sains modern dan mengarahkannya ke jalan yang lebih baik.

Buku yang ditulis oleh guru besar Fisika dan Astronomi ini sangat penting dan bisa mengilhamkan untuk masyarakat Indonesia. Kemampuan sains pelajar Indonesia berdasarkan laporan PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 78 negara yang diteliti—persis di bawah Kazakhstan dan Azerbaijan. Buku ini bisa menginspirasi upaya peningkatan melek sains dan juga bisa menjadi titik tolak diskursus agama dan sains yang lebih kontekstual, agar sains maupun agama dapat lebih mudah berkontribusi dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan seperti wabah corona saat ini.


Tulisan ini dimuat di Jawa Pos Minggu, 3 Mei 2020.


Read More..

Jumat, 31 Januari 2020

Menanam Gus Dur di Hati Kita


"Menanam Gus Dur di hati kita." Itu adalah frasa yang disebutkan Mas Inung (Zainul Hamdi) di acara Gusdurian Pamekasan 28 Januari lalu. Menurut beliau, membahas gagasan dan pemikiran Gus Dur itu jauh lebih mudah daripada menanam Gus Dur di hati kita. Kalau berhasil, itu bisa menjadi jalan keluar untuk penyelesaian masalah-masalah bangsa.

Dr Abdul Wahid Hasan membahas Gus Dur dari sisi spiritualitasnya—tema yang menjadi penelitian disertasinya. Spiritualitas adalah akar kekuatan kepribadian Gus Dur yang kemudian mewujud dalam sosok humanis dan perjuangan-perjuangannya.

Saya yang sejak awal hadir ke forum ini dengan niat untuk ngalap berkah dari Gusdurian senior seperti Mas Inung dan Pak Wahid, serta Gusdurian lain yang berasal dari berbagai unsur, berbicara sekadarnya tentang bagaimana Gus Dur merawat kebhinnekaan terutama dalam jalur politik selama menjadi presiden RI. Saya menyampaikan ulang beberapa gagasan pokok Mas Ahmad Suaedy dalam disertasinya yang telah diterbitkan oleh Gramedia. Menurut Mas Suaedy, Gus Dur mempraktikkan model kewarganegaraan bhineka yang bisa dikatakan dipadukan dari konsep kewarganegaraan multikultural yang berpendekatan sosiologis dan kewarganegaraan yang berperspektif budaya. Dalam perspektif ini, semua kelompok warga dipandang setara. Tidak seperti pada waktu sebelumnya. Pemerintah mendefinisikan beberapa kelompok masyarakat sebagai musuh yg kemudian direpresi, seperti kelompok separatis, komunis, atau fundamentalis.

Untuk menerjemahkan kesetaraan, keadilan haruslah diperjuangkan . Karena kesetiaan pada negara mestinya akan terbit jika keadilan sudah diwujudkan.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak Gusdurian Pamekasan untuk bisa menerjemahkan gagasan Gus Dur dalam memperjuangkan kebhinnekaan ini dalam konteks lokal, yakni Pamekasan pada khususnya. Salah satu yang sedang dikerjakan Gusdurian Pamekasan saat ini adalah upaya untuk mengkaji ulang konsep Gerbang Salam di Pamekasan yang ditengarai kadang digunakan sebagai alat politik yang tidak mencerminkan makna kesetaraan sebagaimana di atas. Katanya ide proyek kajian ini diinisiasi oleh Kiai Habibullah Bahwi dari Sumberanyar. Saya pikir, kalau perspektif kewarganegaraan bhineka digunakan sebagai perspektif untuk membedah, mungkin menarik.

Acara keren ini dihadiri oleh banyak elemen pegiat kantong kantong budaya di Pamekasan, menunjukkan bahwa sosok Gus Dur bisa menjadi magnet bagi unsur masyarakat yang beragam.

Sukses terus Gusdurian Pamekasan.

Sumber foto : Taufiq, ketua Gusdurian Pamekasan.


Read More..