Pernahkah Anda berkomunikasi dengan seseorang yang tak Anda kenal? Di mana? Seberapa lama? Untuk urusan apa? Bagaimana rasanya?
Saat media komunikasi sekarang semakin beragam dan juga semakin mempermudah kita, beberapa orang kadang melupakan hal-hal yang sebenarnya cukup mendasar dalam berkomunikasi. Bagi saya, komunikasi secara sederhana adalah upaya untuk menjalin hubungan dengan orang lain baik—bisa untuk keperluan yang hanya singkat atau bahkan untuk urusan yang akan berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagai sebuah upaya menjalin relasi, tentu saja ada dimensi etis di situ.
Karena itu, menurut saya, hal yang penting dilakukan dalam menjalin komunikasi agar tetap berada dalam kerang etis adalah memperkenalkan diri. Saat hendak berhubungan dengan orang lain, sewajarnya pertama kali kita saling memperkenalkan diri jika memang salah satu atau keduanya belum saling kenal.
Dalam bentuk komunikasi langsung, yakni yang berlangsung secara tatap muka, hal ini mungkin bukan lagi hal yang perlu diingatkan. Tapi seiring dengan semakin bermacamnya media komunikasi, saya sering mengalami berkomunikasi dengan anonim atau dengan entah siapa. Itu bisa terjadi dalam pesan pendek atau sms, panggilan telepon, email, atau di jejaring sosial di internet.
Komunikasi anonim ini terjadi misalnya saat tiba-tiba ada nomor telepon baru yang menelepon dan langsung saja bicara pada poin utamanya. Padahal, saya masih belum kenal orang ini sehingga kadang saya masih butuh waktu untuk berpikir tentang arah atau topik pembicaraan si penelepon dan kaitannya dengan saya.
Ada pula bentuk komunikasi anonim yang lain. Si penelepon atau orang yang sms kadang hanya menyebut kelompok tertentu sehingga identitas spesifik si penelepon menjadi tak begitu jelas. Misalnya: “Saya pengurus xxx, Pak,” katanya di seberang. Ya, saya tahu bahwa xxx itu lembaga atau organisasi yang memang saya kenal. Tapi komunikasi ‘kan pada dasarnya juga bersifat personal meskipun sedang mewakili lembaga atau organisasi.
Dalam jalur komunikasi yang berlangsung di internet, komunikasi anonim cenderung semakin sering saya jumpai. Di Facebook, akun-akun anonim dengan nama organisasi, lembaga, atau perkumpulan, sering saya jumpai. Hal yang membuat saya kesal adalah bila akun-akun semacam itu, termasuk akun email (organisasi/lembaga/perkumpulan), menghubungi saya dan di dalam pesan yang dikirim tak ada nama orang yang mengirim.
Sekali lagi, saya memang sudah tahu lembaga atau organisasi itu. Tapi ‘kan yang mengirim pasti orang, bukan lembaga atau organisasi. Mengapa tidak dicantumkan?
Saya pernah menegur sebuah email yang dikirim dari akun organisasi/perkumpulan yang di situ tak tercantum nama orang yang mengirimkannya. Saya merasa tak nyaman. Komunikasinya terasa tidak manusiawi. Saya seperti berkomunikasi dengan “makhluk halus”. Akhirnya saya menyampaikan unek-unek saya itu. Saya sampaikan bahwa sebaiknya si pengirim mencantumkan nama sehingga saya tahu saat itu sedang berbicara dengan siapa.
Kadang saya terpikir bahwa pengirim email dari akun lembaga atau organisasi atau perkumpulan yang tak mencantumkan nama orang pengirimnya terkesan enggan untuk bertanggung jawab. Bukankah tanggung jawab merupakan salah satu dimensi etis dalam berkomunikasi?
Namun kadang saya tidak berani berpikiran terlalu jauh seperti itu, yakni bahwa si pengirim itu orang yang tak mau bertanggung jawab. Saya berpikir mungkin ini terjadi semata lantaran kekhilafan atau ketidaktahuan saja. Mungkin si pengirim lupa. Atau ini sebentuk sikap awam saat seseorang menggunakan media komunikasi baru dan kesadarannya masih belum menjangkau hal teknis yang ternyata juga terkait dengan dimensi etis itu.
Jadi, pesan moral dari pengalaman saya ini ada dua. Pertama, jika mau berkomunikasi dengan orang yang sekiranya belum mengenal kita, awalilah dengan perkenalan singkat sebelum masuk ke pokok pembicaraan. Kedua, jika menggunakan akun lembaga atau organisasi atau perkumpulan dalam berkomunikasi, jangan lupa untuk mencantumkan nama Anda sebagai orang yang mengirimkan pesan dengan akun tersebut. Kedua hal ini penting untuk mengingatkan kita bahwa ada dimensi etis dalam komunikasi sehari-hari—meski itu sifatnya sederhana—yang semestinya senantiasa kita jaga.
Wallahu a’lam.
Jumat, 12 Februari 2016
Berkomunikasi dengan Anonim
Label: Daily Life, Ethics
Minggu, 07 Februari 2016
Upaya Mengatasi Literalisme
Judul buku: Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 344 halaman
ISBN: 978-979-21-4345-4
Dalam salah satu bukunya, Jalaluddin Rakhmat pernah mengungkapkan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa 70 persen waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Lalu apa jadinya jika komunikasi yang berlangsung antarmanusia itu justru gagal?
Kegagalan dalam berkomunikasi pada dasarnya merupakan kegagalan untuk memahami. Jika kegagalan itu terjadi pada tingkat perseorangan atau dalam hal-hal biasa mungkin dampaknya tidak akan terlalu terasa. Namun apa jadinya jika kegagalan memahami itu terkait dengan hal-hal penting seperti yang tertuang dalam teks-teks otoritatif, yakni teks yang memiliki kewenangan luas, seperti teks terkait otoritas agama atau otoritas politik?
Buku karya F. Budi Hardiman ini menyajikan pemikiran yang bersifat metodologis tentang seni memahami yang dikemukakan oleh para filsuf hermeneutik modern. Ada delapan filsuf yang disajikan di sini, yakni Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. Kedelapan filsuf ini menyajikan gagasannya tentang apa itu memahami, bagaimana langkah-langkahnya, dan apa saja titik masalah pentingnya.
Istilah “seni” dalam judul buku ini merujuk pada Schleiermacher (w. 1834) yang memaksudkan “seni” di sini sebagai “kepiawaian”. Menurut Schleiermacher, upaya memahami itu ada yang sifatnya spontan dan ada pula yang memerlukan upaya tertentu. Upaya di sini dibutuhkan karena sering kali kita menghadapi situasi yang memuat kesalahpahaman.a
Apalagi dalam konteks kehidupan masyarakat modern yang ditandai dengan kemajemukan. Kesalahpahaman itu menurut Schleiermacher disebabkan oleh prasangka (Vorurteil) saat orang hanya mau menggunakan sudut pandangnya sendiri di hadapan orang lain. Pada titik ini, hermeneutik juga berarti seni mendengarkan, yakni upaya untuk menangkap perspektif orang lain.
Schleiermacher dianggap sebagai pelopor hermeneutik modern karena ia berhasil melepaskan hermeneutik dari disiplin spesifik, seperti teologi, hukum, dan filologi. Sebelumnya, hermeneutik berkembang sebagai bidang khusus.
Hermeneutik Schleiermacher bersifat psikologis karena tujuan utamanya adalah untuk mengungkap dan menghadirkan kembali secara utuh maksud si penulis. Dalam pengertian ini, memahami adalah juga berempati. Namun begitu, Schleiermacher juga menekankan pentingnya interpretasi gramatis dalam proses memahami yang harus dilakukan serentak dengan interpretasi psikologis.
Jika Schleiermacher berhasil membangun dasar bagi hermeneutik universal, Dilthey (w. 1911) meletakkan hermeneutik sebagai salah satu metode ilmiah, khususnya bagi ilmu sosial-kemanusiaan. Dilthey menerobos dominasi positivisme dengan menyatakan bahwa ilmu sosial-kemanusiaan memerlukan metode yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam, yakni hermeneutik. Menurut Dilthey, dalam ilmu sosial-kemanusiaan, kita mendekati objek dengan melibatkan diri untuk memahami makna, bukan dengan cara berjarak sebagaimana dalam menghadapi objek ilmu-ilmu alam.
Jika dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey memahami berada di ranah kognitif, Heidegger (w. 1976) membawa hermeneutik ke wilayah ontologi. Menurutnya, memahami adalah cara Dasein (manusia) bereksistensi. Ia terkait dengan “kemampuan seseorang dalam menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”. Sebelum masuk dalam wilayah kognitif, ada pra-struktur memahami yang akan mengarahkan proses memahami seseorang.
Sementara itu, Habermas (l. 1929) memberi misi emansipatoris dalam tindakan memahami. Habermas memfokuskan pembahasannya pada teks abnormal, yakni jenis teks yang sebenarnya bahkan tidak bisa dipahami oleh si pembuat teks. Teks abnormal ditemukan dalam kasus psikopatologis dan perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Kedua kasus ini merupakan hasil dari bentuk “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”. Karena itu, hermeneutik kritis berupaya untuk membebaskan subjek agar ia dapat meraih otonominya.
Derrida (w. 2004) membawa tindakan pemahaman dalam situasi radikal. Dengan metode dekonstruksi, Derrida menghidupkan perspektif yang berubah-ubah sehingga makna suatu teks tak pernah dapat distabilkan dan diguncang dari dalam.
Sisi menarik gagasan yang diuraikan dengan sangat bernas di buku ini terletak pada kerangka yang dibuat oleh penulisnya yang merupakan dosen di STF Driyarkara, Jakarta. Menurut Budi Hardiman, berbagai pemikiran hermeneutik dari para filsuf ini adalah sebuah upaya untuk mengatasi literalisme. Pemaknaan literal atas teks-teks otoritatif dapat mendorong lahirnya praktik radikalisme dan ekstremisme agama maupun juga sikap antidemokratis dalam politik.
Budi Hardiman mengutip Karen Armstrong yang memberi contoh penafsiran literal kaum Yahudi. Orang Yahudi berpendapat bahwa Allah telah menjanjikan Kanaan (Israel modern) untuk mereka sehingga kebijakan opresif atas orang Palestina memperoleh pembenaran.
Problem penafsiran literal dalam agama juga dijumpai dalam Kristen dan Islam. Kaum literalis berpegang pada asumsi bahwa teks suci membawa kebenaran yang sifatnya siap pakai dan tak perlu dipahami dengan cara lain yang mungkin rumit. Literalisme percaya bahwa makna harfiah sifatnya final, sedangkan hermeneutik berupaya untuk melihat teks dalam model intertekstual dan mempertimbangkan berbagai faktor lain dalam teks dan di luar teks secara lebih luas.
Pemikiran hermeneutik yang disajikan buku ini menarik dan bermakna penting karena pada tingkat mendasar tindakan memahami adalah upaya untuk menjangkau orang lain dan merawat hubungan antarmanusia yang lebih bermartabat dan lebih baik. Dengan demikian, buku ini adalah tentang kehendak untuk menjalin hubungan etis dengan orang lain.
Memang, posisi metodologis hermeneutik dalam kajian agama masih diperdebatkan karena ia dianggap bersumber dari perspektif sekuler. Namun demikian, dalam kaitannya dengan teks keagamaan, pemikiran hermeneutik yang tersaji di buku ini bagaimanapun dapat membantu memperkaya dan mempertajam misi profetis agama sekaligus menjaganya dari penyimpangan akibat godaan kekuasaan dan bentuk penyelewengan lainnya.
Versi yang sedikit berbeda dimuat di Harian Jawa Pos, 7 Februari 2016, dengan judul "Sebuah Seni Mendengarkan Orang Lain."
Kamis, 04 Februari 2016
Membentuk Karakter di Sekolah
Judul Buku: Pendidikan Karakter di Sekolah: Sebuah Pengantar Umum
Penulis: Paul Suparno, SJ
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-979-21-4367-6
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep pendidikan karakter menjadi tema paling hangat dan menonjol. Perubahan kurikulum sebagai bagian penting dari upaya perbaikan mutu pendidikan juga dikaitkan dengan pendidikan karakter. Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertengahan 2015 lalu meluncurkan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang isinya berkesinambungan dengan program pendidikan karakter yang dicanangkan beberapa tahun sebelumnya.
Buku yang ditulis oleh mantan rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini berusaha untuk memberikan pemahaman yang cukup lengkap tentang pendidikan karakter di sekolah. Pembahasannya meliputi latar situasi dan landasan sehingga pendidikan karakter menjadi penting, pengertian pendidikan karakter, siapa saja yang perlu dilibatkan di sekolah, model pelaksanaan dan contohnya di sekolah, dan juga penilaiannya.
Di bagian awal, Paul Suparno menegaskan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk diseriusi jika kita mencermati situasi dan persoalan bangsa serta tantangan globalisasi. Pada tingkat yang mendasar, berbagai persoalan bangsa seperti pelaku korupsi yang tak kunjung jera, konflik dan tindak kekerasan di masyarakat, kepekaan pada kaum pinggiran, dan sebagainya, sangat terkait dengan pendidikan karakter (hlm 14-20).
Sementara itu, tantangan globalisasi menghadirkan tantangan yang berat. Masyarakat dituntut untuk punya daya saing yang lebih baik. Arus informasi justru cenderung lebih banyak merusak mental generasi muda. Pada tingkat yang cukup jauh, globalisasi yang di antaranya dicirikan dengan arus informas yang semakin cepat bahkan dapat mendorong sikap instan sehingga daya juang dan kerja keras sulit terbentuk.
Dengan melihat pada struktur dasar hakikat manusia yang kaya dimensi, Paul Suparno menegaskan peran penting pendidikan untuk menyiapkan generasi yang berkarakter. Melalui proses pendidikan di sekolah, siswa dibantu untuk mengalami, memperoleh, dan memiliki sejumlah karakter yang diinginkan (hlm. 29).
Paul Suparno menyatakan bahwa faktor penentu pendidikan karakter itu banyak sehingga semua pihak di sekolah harus terlibat, mulai dari siswa, guru, karyawan, pengelola dan pengambil kebijakan, orangtua, dan juga masyarakat.
Kelebihan buku ini di antaranya terletak pada kesederhanaan dan kejelasannya dalam memaparkan pendidikan karakter di sekolah. Pada bagian selanjutnya, Paul Suparno menjelaskan model-model pendidikan karakter yang bisa dilaksanakan di sekolah. Kesimpulannya, Paul Suparno menegaskan bahwa pendidikan karakter harus dilaksanakan secara utuh, yakni tidak hanya melalui pemaparan di dalam kelas, tapi juga melalui program, kegiatan (baik ekstra maupun kokurikuler), dan situasi (seperti aturan, dsb) yang ada di sekolah (hlm. 93).
Paul Suparno juga menguraikan berbagai bentuk pelaksanaan pendidikan karakter melalui pelajaran di kelas. Pendidikan karakter bisa masuk lewat isi bahan pelajaran, juga lewat metode mengajar dan sikap dalam belajar, juga dalam praktik materi tertentu.
Selain uraian yang cukup teperinci, buku ini juga memberi contoh konkret bentuk-bentuk pendidikan karakter yang mungkin dilakukan di sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. Dalam memberi contoh, Paul Suparno berangkat dari contoh nilai atau karakter tertentu yang kemudian diturunkan dalam bentuk program atau kegiatan di sekolah (hlm. 139-154).
Buku ini penting dibaca tidak saja oleh para guru dan kepala sekolah, tapi juga para calon guru dan pendidik pada umumnya. Pemahaman yang baik yang diperoleh dari buku ini diharapkan dapat lebih meningkatkan mutu pendidikan karakter sehingga mutu kehidupan masyarakat menjadi semakin baik. Bagaimanapun, tujuan mendasar pendidikan sangat terkait dengan keberhasilan pendidikan karakter. Bila pendidikan karakter terabaikan, berarti salah satu fokus utama proses pendidikan tak mencapai hasilnya, yakni membentuk pribadi manusia yang kuat dan beradab sehingga mampu menjawab tantangan zaman.
Versi yang sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 4 Februari 2016.
Baca juga:
>> "Meradikalkan" Revolusi Mental di Sekolah