Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Seberapa lama sebenarnya dapur telah menjadi bagian dari peradaban manusia? Tak dapat disangkal bahwa dapur menjadi salah satu tahapan perkembangan peradaban manusia yang cukup penting. Saat hidup secara nomaden, manusia memenuhi kebutuhan makanannya dengan cara berburu. Saat api belum ditemukan, manusia makan makanan mentah atau makanan yang tak diolah. Api kemudian menjadi babak baru peradaban, yang juga menjadi cikal bakal lahirnya dapur. Selain api, penemuan alat semacam bejana yang memungkinkan munculnya teknik memasak yang lebih canggih dan lebih rumit juga menjadi tanda bagi perkembangan peradaban manusia. Konon, itu terjadi kira-kira antara tujuh hingga dua belas ribu tahun yang lalu.
Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Saat ini peradaban kita telah melangkah begitu jauh. Memasak, yang merupakan kegiatan utama dalam ruang dapur, telah menjadi satu bidang dengan pengetahuan dan diskusi yang begitu mendalam. Dapur dan memasak, di sisi lain, kadang tak hanya berkaitan dengan soal pemenuhan kebutuhan nutrisi, tetapi bisa juga menjadi isyarat gengsi. Sementara ada sekelompok orang yang hingga kini masih seperti berada di periode Zaman Batu, yakni bahwa mereka masih berada di tahap pemenuhan kebutuhan dapur tanpa terlalu memedulikan kualitas dan selera, ada sekelompok orang lainnya yang lebih peduli untuk memenuhi “kebutuhan dapur” binatang piaraannya.
Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa peradaban dapur telah melahirkan banyak produk kebudayaan? Mulai dari peralatan memasak, aneka resep, dan berbagai ukuran takaran untuk mengatur komposisi resep agar lebih eksak? Jika ke toko buku, kita tak hanya akan menemukan buku-buku tentang resep makanan—seperti juga tersaji secara rutin di rubrik-rubrik koran atau tabloid. Kita juga akan menemukan desain interior untuk dapur-dapur modern.
Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa satu sendok teh itu sama dengan lima mililiter? Mungkin itu sudah terlalu teknis, ilmiah, atau akademis. Atau bahkan mungkin itu adalah sesuatu yang hanya dikenal oleh pemilik peradaban dapur “modern”. Kalau begitu pertanyaannya saya ganti dengan pertanyaan praktis yang berkaitan dengan dapur tradisional saja: tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian cara membuat perapian di tungku tanah liat dengan menggunakan kayu bakar?
Ah, itu gampang. Tinggal ambil kayu bakar, sedikit disiram minyak tanah, ditambah dengan semacam kertas, lalu tinggal disulut dengan korek api. Tungku pun akan mengepul.
Sebentar dulu, jangan keburu senang atau merasa hebat. Setelah perapian dibuat, jika memang bisa, tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bedanya cara menggoreng telur dadar, keripik pisang, melinjo, atau rengginang?
Ah, itu gampang. Tinggal goreng aja.
Jangan bilang gampang. Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa menggoreng itu juga ada ilmunya, ada takarannya? Kalau mau menggunakan ukuran yang lebih eksak, masing-masing menu yang akan digoreng membutuhkan derajat kepanasan yang berbeda. Jika tidak memperhatikan hal ini, bisa-bisa hasil gorengan bapak-bapak dan saudara sekalian akan gagal—atau setidaknya terasa amburadul. Kalau bapak-bapak dan saudara sekalian ingin lebih jelas, coba tanya istri, saudara, atau anak perempuan bapak dan saudara sekalian.
Ya. Wawasan peradaban dapur memang mungkin lebih dikuasai oleh kaum perempuan. Waktu mereka bergaul bersama masakan dan segala tetek bengeknya relatif lebih lama. Mengapa bapak-bapak tidak sesekali mencoba bergabung di sana, membantu mereka? Apakah bapak-bapak dan saudara sekalian merasa bahwa dapur adalah produk kebudayaan yang sepele, remeh, dan tak menarik—bagian dari peradaban primitif?
Terkait dengan ini, saya punya pengalaman menarik yang agak lucu juga. Suatu saat saya pernah bertemu dengan sebuah warung makan di wilayah kos-kosan mahasiswa yang memberi embel-embel semacam slogan unik pada nama warungnya. Warung dekat rel kereta api itu bernama Warung Teteg Plato, dan di bawah namanya tertulis kata-kata: “Makan dulu, baru mikir”. Orang mungkin akan berpikir itu kata-kata Plato (427-347 SM), filsuf Yunani Kuno murid Sokrates (469-399 SM). Lepas dari apakah benar itu dikutip dari Plato atau tidak, kata-kata itu seperti ingin mengingatkan kita, terutama bapak-bapak dan saudara sekalian, agar tak begitu saja menyepelekan peradaban dapur. Bagaimana bisa mau bekerja, bagaimana bisa mau berpikir, jika perut kosong?
Saya kira kata-kata itu dari satu sisi mengingatkan kita untuk bisa lebih menghargai orang-orang yang membesarkan dan menghidupkan peradaban dapur itu, orang-orang yang membuat dapur mengepul dan berproduksi, yakni terutama kaum perempuan. Memang mungkin bapak-bapak dan saudara sekalian adalah orang-orang yang menyuplai bahan-bahan untuk terlaksananya peradaban dapur. Tetapi kaum perempuan, mereka bersentuhan langsung dan mengelola peradaban dapur. Bahkan, tak jarang, kaum perempuan juga membantu menyuplai bahan-bahan dapur.
Sementara itu, dari penuturan kelompok feminis kita diberi tahu bahwa sejauh ini kaum perempuan sering diperlakukan dengan kurang baik dan atau kurang dihargai oleh kaum laki-laki—bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian—baik itu di lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat luas. Salah satu bentuknya, mungkin, adalah dengan menyerahkan sepenuhnya urusan dapur kepada mereka, atau dengan terus mengasumsikan bahwa bagaimanapun perempuan itu hanya akan pulang ke dapur. Akibatnya, kadang potensi besar yang mereka miliki tak dapat dikembangkan sepenuhnya. Pendidikan bagi mereka kadang tak dianggap penting.
Saya enggan untuk memperdebatkan soal pembagian kerja seperti dalam masalah ini. Poin yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini adalah bagaimana kita bisa melihat dapur sebagai sebuah suatu produk peradaban dengan segala permasalahan yang mungkin kita temukan di sana. Baru-baru ini saya membaca sebuah buku komik menarik yang bertutur tentang pangan, tentang bagaimana ada politik-ekonomi pangan yang bisa berujung pada sebentuk penindasan atau bahkan penjajahan terselubung. Dalam konteks seperti itu, mungkin perempuan adalah salah satu korban utamanya. Bukankah para pemilik kapital kebanyakan adalah kaum lelaki? Tetapi saya belum tuntas membaca buku itu. Jadi saya belum bisa cerita panjang lebar.
Oke. Bapak-bapak dan saudara sekalian. Sekarang mari kita kembali ke dapur. Sekarang sudah saatnya sarapan. Kita simpan dulu persoalan-persoalan ini ya. Kapan-kapan kita bicarakan lagi. Sekarang kita makan dulu, biar tidak sakit dan bisa berpikir lebih jernih. Jangan lupa, sehabis makan nanti piring dan perabot kotor lainnya dicuci ya sampai bersih. Sesekali tidak apa-apa kan? Biar tahu rasa, kata seorang saudara saya dengan nada yang khas.
Rabu, 24 Oktober 2007
Dapur dan Peradaban
Label: Diary, Gender Issues, Philosophy
Kamis, 04 Oktober 2007
Sampai Di Manakah Kita?
Yulis, tak terasa Ramadan telah memasuki sepertiga yang terakhir. Entah seperti apa rasa lapar dan dahaga yang kita jalani tiga pekan ini membentuk kita saat ini. Adakah yang berubah dengan diri kita dengan itu semua? Yulis, sampai di manakah kita saat ini?
Tahun demi tahun telah berlalu. Tiga tahun terakhir telah berlalu pula. Ramadan datang dan pergi. Pertemuan, perpisahan, suka dan duka, tangis dan tawa, sedih dan gembira, harapan yang redup dan semangat yang menyala, hari-hari biasa, hari-hari istimewa, semua telah kita lewati. Lalu apa yang kita peroleh dari itu semua? Sampai di manakah kita? Di titik manakah aku saat ini, di titik manakah kita saat ini, dalam sulur waktu yang telah ditetapkan Semesta padaku, pada kita?
Yulis. Di penghujung Ramadan ini Kakak ingin mencoba berhitung tentang semuanya. Hutang-hutang Kakak, borok-borok Kakak, tapak jejak Kakak. Adakah masa depan dapat menyisakan cahaya untuk Kakak, untuk kita? Adakah modal Kakak sekarang yang tak seberapa dapat melunasi semuanya?
“Kak, apakah kebaikan itu dapat melunasi dosa kita yang berlepotan?” tanyamu kemarin lusa, di sebuah percakapan telepon jelang berbuka.
“Tuhan Maha Pengampun. Perbuatan baik dapat membasuh keburukan yang kita perbuat. Tentu jika kita tulus melakukannya,” jawabku, sambil mengingat potongan ayat yang menegaskan hal itu.
“Yulis, dalam bentuk yang lebih detail dan lebih luas, Kakak sering gundah saat bertanya: apakah kita pernah merasakan nikmatnya berpuasa? Apakah kita pernah merasakan nikmatnya mencintai Tuhan, mencintai Nabi, mencintai orang tua dan keluarga, mencintai guru, mencintai sesama, mencintai kekasih kita?” Aku terdiam, mendesah sejenak, dan kembali terdiam. Di ujung telepon, Yulis juga terdiam.
“Yulis, pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi, bersama dengan rekam jejak amal perbuatan Kakak di hari-hari yang telah berlalu. Kakak seperti mencoba menghimpun sesuatu yang cukup bernilai dan layak untuk dihitung sebagai “kebaikan”. Tapi Kakak sering sedih dan kecewa, karena tak menemukan apa-apa,” lanjutku.
“Sudahlah Kak, jangan terlalu berkecil hati begitu,” Yulis segera memotong kata-kataku. “Kita masih punya hari ini, juga hari esok. Yang terpenting, saat ini kita mesti bersyukur karena telah diberi anugerah untuk ingat bahwa berhitung, atau evaluasi, atau refleksi, atau—katakanlah—audit internal, sangat kita butuhkan dalam menjalani hari-hari kita.”
“Iya, Yulis. Kakak patut bersyukur bahwa Kakak telah dipertemukan dengan orang-orang yang dapat menjadi cermin hati untuk memperbaiki diri, sehingga Kakak tak senantiasa lupa untuk sesekali bertanya: sampai di manakah kita saat ini? Apa kita sedang berada di sebuah tikungan, tanjakan, atau belantara liar?”
Beduk magrib sudah ditabuh saat Yulis memotong kata-kataku sebelumnya. Tapi kami masih menuntaskan pembicaraan kami—meski tak pernah bisa purna. Masing-masing kami masih menyimpan berbagai kegundahan, tentang hari yang lalu, tentang hari mendatang. Tapi masa tak peduli itu semua. Ia akan terus bergerak di antara makna dan hampa yang kita lalui tanpa terasa.
Label: Diary
Senin, 01 Oktober 2007
Malam Penuh Bintang di Halaman Belakang
Dini hari, aku kembali menyaksikan malam yang penuh bintang di halaman belakang. Kubayangkan, aku seperti duduk di balai-balai rumahmu, Yulis, di antara pepohonan dan sawah luas yang membentang di sekeliling. Kau bilang tak ada balai-balai di halaman. Tapi kelak aku pasti akan meletakkan balai-balai di halaman belakang ini, tempat kita nanti sesekali menghabiskan malam sambil menyaksikan bintang-bintang.
Yulis, kau tahu cahaya terang di ufuk timur itu, yang bergerak dari dasar garis langit dan terlihat seperti baru keluar dari peraduannya. Itu bukan bintang. Itu Venus, Yulis. Konon Venus adalah benda langit yang paling terang jika dilihat dari bumi, selain matahari dan bulan. Konon, ada yang bilang bahwa perempuan itu berasal dari sana. Entah mengapa, aku tak tahu pasti. Apa karena muasal nama Venus berhubungan dengan dewi kecantikan Romawi? Dalam sistem tata surya, planet yang berjuluk “bintang pagi” itu adalah planet paling panas, melebihi Merkurius. Temperatur permukaannya mencapai 460 derajat celcius. Jaraknya sekitar 41 juta kilometer dari bumi. Ya, 41 juta kilometer, Yulis. Itu artinya, jika kita—aku dan kau, Yulis—jalan-jalan ke sana dengan berkendara cahaya, maka kita akan menempuhnya sekitar 137 detik. Dua menit 17 detik.
Di arah timur agak ke tenggara, dengan posisi yang cukup meninggi dari halaman belakang rumah kita, yang tak kalah terang itu namanya Sirius. Pelajar yang menekuni astronomi mengenalnya dengan nama Alpha Canis Majoris. Ia menampakkan wujudnya dari horison di timur sejak jelang tengah malam tadi, dan terus bergerak meninggi. Yulis, aku sulit membayangkan bahwa kita dapat bertamasya ke sana, meski dengan cahaya. Dari halaman belakang rumah kita, Sirius itu berjarak sekitar 81,4 triliun kilometer. Jika dengan cahaya, kita akan menempuhnya selama hampir sembilan tahun. Ya, sembilan tahun, Yulis. Jika kita jadi berkendara cahaya ke sana, entah sudah seperti apa wajah lucu ponakan-ponakanmu. Entah juga bagaimana nanti ibu dan yang lain akan menatap kita dengan sedikit heran, menyaksikan raut usia kita yang seperti sedikit tertahan.
Yulis. Dari halaman belakang rumah kita, hamparan bintang dan benda-benda langit lainnya itu seperti mengejek kepongahan kita, yang kadang lupa diri bercampur takabur, merasa bahwa diri kita adalah segalanya dan orang lain tak punya apa-apa. Padahal, apa sih kita ini? Bahkan, jika berkendara dengan cahaya, mungkin usia kita tak akan cukup untuk sampai tiba di Antares, yang tadi malam selepas tarawih kulihat bersinar temaram kemerahan di ufuk barat daya, sedikit di bawah Jupiter yang tampak lebih terang. Yulis, kau tahu Antares itu berapa jaraknya dari halaman belakang rumah kita? Bintang yang diameternya lebih besar tiga ratus kali ketimbang matahari itu berjarak sekitar 3,7 kuadriliun kilometer dari sini. Artinya, ditempuh selama sekitar 400 tahun jika kita berkendara cahaya ke sana!
“Akan tetapi, katanya bintang-bintang juga dapat memberi rasa tenteram.” Tiba-tiba kau kubayangkan berkata pelan sambil tetap menatap ke arah Venus. “Yulis kemarin sempat membaca buku yang Kakak kirimkan terakhir, yang bercerita tentang bagaimana Nabi naik ke Langit melesat bersama cahaya kilat, setelah beliau dirundung oleh serentetan kejadian yang menyedihkan—istri dan pamannya tercinta meninggal dunia, di tengah upaya dakwahnya yang menghadapi tantangan berat. Yulis pikir, Nabi mungkin sekali merasa kehilangan, sangat terpukul dan sedih. Namun, ketika Nabi naik ke Langit, Yulis pikir Nabi kemudian menyaksikan bintang-bintang dari jarak yang lebih dekat, melewati atau bahkan mungkin singgah di bintang-bintang itu, dan betul-betul dapat merasakan keagungan Penciptanya.”
“Ya, mungkin.”
“Dan di saat merasakan keagungan Pencipta bintang-bintang itu, Nabi tak lagi sedih dan berkecil hati. Hatinya tenteram, karena sadar bahwa ia menjalankan misi sucinya atas titah Sang Maha Pencipta,yang selalu berada bersamanya.” Yulis melanjutkan. Aku melirik sedikit. Aku melihat senyum manis di ujung kata-katamu, dengan mata yang bercahaya.
Angin pagi berembus pelan di halaman belakang, seperti menyapa kita yang terkagum-kagum memikirkan bintang-bintang itu. Apakah angin ini dikirim dari bintang-bintang itu? Cahaya bulan yang masih cukup terang memoles rasa takjub dengan suasana yang meneduhkan dan begitu indah. Bulan akan terus melanjutkan perjalanannya ke arah barat. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar lantunan pengeras suara yang memutar ayat-ayat suci. Ayat-ayat itu bercerita tentang alam semesta, tentang unta yang dicipta, bumi yang dihampar, langit yang membentang, dan gunung yang menjulang. Ayat-ayat itu seperti meneruskan bisikan pelan bintang-bintang.
“Kak, apakah di bintang-bintang itu ada kehidupan yang lebih tenteram?” Tiba-tiba kau bertanya. Tatapanmu masih tak mau lepas dari bintang-bintang itu.
“Entahlah, Yulis. Tapi sepertinya Kakak sudah cukup tenteram hidup di sini. Kakak tak terpikir bahwa bintang dapat menjadi rumah yang lebih indah daripada di sini.”
“Apa Kakak tak lagi rindu pulang?”
“Yulis, Kakak sudah menemukan tempat untuk pulang. Kakak menemukan banyak bintang di sini. Tak hanya di malam ini. Tak hanya di halaman belakang ini. Bintang-bintang itu tinggal di hati Kakak. Bintang-bintang yang tak hanya mengajarkan Kakak untuk mengubur rasa congkak dan menerbitkan semangat. Bintang-bintang yang menyejukkan, teramat indah, dan selalu memancarkan sinar terang.”
Aku menjawab pelan, dengan tempo yang melambat. Dan aku menghentikan kata-kataku di situ. Yulis diam, tak melanjutkan bertanya. Suara binatang malam masih terdengar dari sekitar, di antara pematang dan rimbun semak dan pepohonan. Yulis mengubah posisi duduknya, menggenggam erat tanganku, sambil terus menatap Venus yang bergerak menaik.
Label: Celestial Bodies, Diary