![]() |
Achmad Gazali, Ph.D., sedang memaparkan riset-riset di bidang biologi di hadapan mahasiswa dan dosen Universitas Annuqayah pada 12 Mei 2025 |
Terkadang para ilmuwan yang bertemu dalam sebuah perjamuan intelektual diikat oleh sesuatu yang terkesan sepele. Tentu saja kesan sepele akan muncul bagi orang yang masih awam atau masih tidak tahu lebih dalam. Yang sering terjadi, hal yang remeh itu akan menjadi luar biasa setelah didalami dan hadir di meja kehormatan perjamuan para ilmuwan.
Itulah salah satu poin yang saya tangkap saat menyimak paparan seorang peneliti dari National Agriculture and Food Research Organization (NARO) Jepang, Achmad Gazali, Ph.D., kemarin. Gazali, yang juga menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama Jepang, memaparkan riset-riset yang digelutinya di Jepang mulai menempuh jenjang doktoral di Gifu University hingga bekerja di NARO sebagai peneliti post-doctoral.
Di antara riset yang didalami Gazali di Jepang adalah tentang wolbachia. Wolbachia adalah salah satu genus bakteri yang hidup sebagai parasit pada hewan artropada. Wolbachia menjadi cukup terkenal setelah diteliti dan dicoba untuk pencegahan penyakit.
Di Indonesia, wolbachia pernah digunakan sebagai upaya pencegahan penyakit akibat serangan nyamuk demam berdarah. Caranya, telur nyamuk Aedes Aegypti yang sudah disusupi wolbachia disebar di habitat alaminya. Wolbachia yang sudah menyusup ke dalam nyamuk ini kemudian memanipulasi perkembangbiakan nyamuk tersebut dan menghambat replikasi berbagai patogen dalam nyamuk tersebut, termasuk virus dengue. Ini pertama kali dilakukan di Kota Yogyakarta mulai tahun 2016. Pada saat itu, kasus demam berdarah mencapai 1.700 kasus. Setelah uji coba pelepasan nyamuk wolbachia, pada tahun 2023 hanya ada 67 kasus demam berdarah.
Bertempat di Universitas Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, kemarin Gazali memaparkan beberapa risetnya baik yang berkaitan dengan wolbachia maupun lainnya. Sebagaimana dapat dibaca pada laman Google Scholar, di antara riset Gazali tentang wolbachia berjudul "Autophagic chemicals effect to Atg8 and rice stripe virus relative expressions, and Wolbachia relative density in Laodelphax striatellus (Hemiptera: Delphacidae)" yang dimuat di Turkish Journal of Zoology pada 2022.
Gazali bercerita bahwa wolbachia telah menarik minat para ilmuwan dunia sehingga sejak tahun 2000, setiap dua tahun diadakan acara Wolbachia Conference. Bulan April lalu, Wolbachia Conference diadakan di Okinawa, Jepang, selama satu minggu.
Saya membayangkan, pada konferensi tersebut para ilmuwan yang adalah para pencinta wolbachia berkumpul dan berbagi informasi mutakhir tentang makhluk kecil yang tak terlihat mata itu. Adanya kegiatan rutin dua tahunan untuk membahas bakteri tersebut menunjukkan minat yang besar dan kesadaran para ilmuwan tentang nilai pentingnya wolbachia baik bagi pengembangan ilmu maupun untuk hal-hal praktis demi kemaslahatan umum.
Adanya kegiatan rutin untuk membincang wolbachia ini juga menunjukkan pentingnya komunitas ilmuwan dalam pengembangan ilmu. Sebuah bidang ilmu menjadi berkembang di antaranya jika ditopang oleh komunitas ilmuwan yang solid dan konsisten mendalami bidang-bidang yang menjadi minat dan perhatian bersama. Infrastrukturnya dapat berupa jurnal ilmiah dan juga pertemuan ilmiah seperti konferensi yang benar-benar dikelola dengan baik dan serius.
Ilmuwan biologi misalnya ada yang meminat wolbachia. Mereka sepakat untuk membuat acara rutin obrolan ilmiah secara berkala. Tulisan ilmiah yang diangkat dari penelitian mereka juga dapat menemukan ruangnya baik itu di ajang konferensi maupun di jurnal ilmiah. Reputasi konferensi dan jurnal juga terbangun dengan konsistensi dan keseriusan para anggota komunitasnya.
Saya jadi terpikir: bagaimana dengan bidang yang lain, termasuk bidang-bidang yang masuk dalam rumpun ilmu humaniora, termasuk juga bidang studi keagamaan? Seberapa banyak tersedia pertemuan ilmiah dan jurnal-jurnal yang serius yang dapat mempertemukan minat dan perhatian para ilmuwan di bidang humaniora dan keagamaan tersebut? Sekadar mengangkat contoh dan refleksi: seberapa besar tema “pesantren” atau “Madura” mempunyai daya tarik minat studi bagi para ilmuan terkait sehingga secara kumulatif terlihat dalam ketersediaan forum dan infrastruktur ilmiah lainnya?
Saya teringat salah satu petikan dalam disertasi yang ditulis oleh Ahmad Zainul Hamdi (2015) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Pergeseran Islam Madura: Perjumpaan Islam Tradisional dan Islamisme di Bangkalan, Madura, Pasca-Reformasi”. Pada halaman pertama, Mas Inung, panggilan akrabnya, menulis bahwa “Islam Madura tampaknya bukan topik yang menarik bagi kalangan akademisi” (hlm. 1). Menurut Mas Inung, yang pernah menjadi Direktur Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mulai Januari 2023 hingga Desember 2024, ada dua hal yang menyebabkan Madura tidak banyak mendapat perhatian. Pertama, karena Madura sering kali dianggap hanya sebagai pelengkap dari pembicaraan tentang Jawa. Kedua, karena terbatasnya sumber daya alam dan ketiadaan prospek ekonomi Pulau Madura (hlm. 3-4).
Dengan situasi tersebut, mungkin dapat dikatakan bahwa tema Madura dianggap tidak terlalu penting. Apakah tema Madura bisa disebut kalah dengan tema wolbachia? Hehehehe..
Demikian juga tema pesantren. Saya tidak tahu, forum ilmiah dan jurnal ilmiah yang mana yang secara konsisten dan cukup bereputasi diselenggarakan untuk membicarakan tema pesantren, sebuah lembaga keagamaan yang telah banyak berperan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia.
Sebagai refleksi bersama, sebagai orang yang meminati dan berkhidmat pada ilmu dan pengetahuan, kita tidak cukup hanya bergerak sendiri-sendiri. Kita perlu membangun infrastruktur dan komunitas ilmiah pada bidang yang kita minati, agar bidang tersebut dapat berkembang dan memberi manfaat untuk umat.
Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar