Rabu, 30 Juli 2008

Senja Kala Keluarga dan Belenggu Transisi Budaya: Ulasan atas Novel "Belenggu" karya Armijn Pane


Setiap gugus kebudayaan pada dasarnya selalu berada dalam situasi dinamis. Di satu sisi, ia berjumpa dan bergaul dengan gugus kebudayaan yang lain. Di sisi yang lain, ia mengalami pergesekan internal di antara berbagai elemen di dalam untuk menafsirkan kembali nilai-nilai dan fondasi kebudayaannya. Sudut pandang semacam ini menegaskan bahwa kebudayaan bukan semata produk atau sesuatu yang diciptakan, tetapi lebih merupakan proses atau kata kerja sehingga ia sangat berkaitan dengan agenda dayacipta masyarakat. Merujuk pada tipologi Sutan Takdir Alisjahbana, kebudayaan ditandai dengan tiga aspek pokok, yaitu aspek ekspresif dalam seni dan agama, aspek progresif dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi, dan aspek organisasional dalam politik, yaitu dalam kekuasaan dan solidaritas (Kleden, 1988: 166-181). Melalui ketiga aspek inilah dayacipta kebudayaan selalu tampak bergerak dalam proses perubahan.


Perubahan dalam kebudayaan melibatkan proses tawar-menawar yang mengharuskan setiap individu dalam masyarakat bergulat dengan warisan kebudayaan yang dimilikinya untuk menatap tantangan masa depan dengan penuh keberanian. Karena kebudayaan adalah juga paradigma kultural (cultural paradigm) bagi seseorang yang akan sangat menentukan bentuk dan sudut pandangnya melihat persoalan di sekitar, tak jarang transformasi dan transisi kebudayaan memperlihatkan sebuah pergolakan dan kontroversi yang intens. Intensitas itu terjadi karena manusia sebagai subjek kebudayaan pada titik yang sama berada di dalam paradigma-kultural lama yang melingkupinya, sementara ia juga dituntut untuk dapat mengambil jarak agar dapat melihat paradigma baru yang dinegosiasikan itu secara lebih jernih. Sampai di sini, transformasi dan transisi kebudayaan itu pada tingkat tertentu kemudian dapat mengantarkan subjek kebudayaan pada situasi krisis yang mengguncang paradigma-kulturalnya yang lama (Kleden, 1988: 185-189).


Guncangan budaya dan krisis paradigmatis tersebut menjadi salah satu tema yang muncul dalam karya sastra modern. Karya sastra modern menjadi saksi yang mendokumentasikan pergulatan para subjek kebudayaan menghadapi perubahan. Karya sastra jenis ini di Indonesia sudah muncul sejak awal perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Tineke Hellwig, dalam karyanya yang meneliti citra perempuan dalam sastra Indonesia, memulai ulasannya dengan mengupas tiga karya sastra yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia, yakni Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Merantau ke Deli (Hamka, 1939), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940). Ketiga penulis terkemuka ini menurut Hellwig termasuk generasi awal yang mengenyam pendidikan Barat, yang juga terlibat dalam perdebatan tentang modernitas dan modernisasi di Indonesia. Karena itulah, dalam karya-karya mereka terdapat refleksi dan diskusi tentang pengaruh modernitas yang mulai masuk ke Indonesia atau tabrakan-tabrakan yang keras antara apa yang disebut sebagai “modern dan tradisional”, “Barat dan Timur”, “kodrat dan hak asasi”, dan terutama “individualitas atau independensi dan ketergantungan” (Swastika, 2004).


Dalam konteks kesenian dan kebudayaan, Denys Lombard (2005: 199-201) menggambarkan periode Indonesia sebelum kemerdekaan ini dalam Nusa Jawa: Silang Budaya dalam satu bab yang diberi judul “Kebimbangan dalam Estetika”. Dalam bab tersebut, Lombard memberikan sebuah pemaparan yang cukup utuh tentang berbagai ranah kebudayaan Indonesia yang mengalami “kebimbangan” menghadapi pengaruh pandangan-dunia Barat, mulai dari seni rupa, seni musik, seni pertunjukan, hingga kesusastraan. Menurut Lombard, berbagai paham Barat yang mulai berkenalan dengan—terutama—kaum intelektual Indonesia sebenarnya menunjukkan gejala runtuhnya “asas keselarasan yang dahulu mempersatukan manusia dan lingkungannya” seperti tergambar dalam pandangan-dunia Timur pada umumnya. Berbagai isme, mulai dari naturalisme, realisme, hingga eksistensialisme, menempatkan tugas pujangga tidak lagi untuk memberikan suatu bagan yang koheren dan citra global pada berbagai hal yang dapat menggambarkan atau bahkan memperkuat keselarasan dan keterkaitan hakiki antara makrokosmos dan mikrokosmos. Isme-isme itu memosisikan pujangga untuk “melihat” dan membeberkan hal-hal “sebagaimana adanya”, untuk menjadi “saksi”, menyelidiki secara cermat, menganalisis dan memerikan realitas. Penemuan realisme ini tergambar dari ciri roman Balai Pustaka yang pertama—dan roman Poedjangga Baroe—yang tampil sebagai roman bertesis, yang dibangun berdasarkan suatu bagan, dan “tokoh-tokohnya masih merupakan stereotip yang dengan susah payah ditempeli tanda-tanda lahir suatu individualitas”.


Dalam konteks kesusastraan dan kondisi sosial Indonesia menjelang kemerdekaan, novel Belenggu karya Armijn Pane (1908-1970) memiliki keistimewaan tersendiri. Jakob Sumardjo (2000: 530-534) menjelaskan bahwa latar belakang sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 itu menulis novel Belenggu ini disebabkan oleh politik penerbitan Balai Pustaka yang enggan memberikan pengalaman intelektual kepada para pembacanya. Armijn Pane tidak puas karena novel-novel yang terbit sebelumnya “tidak bersifat intelektual”. Menurut Armijn Pane tugas pengarang adalah melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan struktur kepribadian mereka masing-masing, sehingga novel kemudian menurut pendapatnya selayaknya berupa realisme kejiwaan. Menulis adalah tindakan objektif sehingga pengarang harus menjaga agar subjektivitasnya tak menyelusup ke dalam karyanya.


Gagasan Armijn Pane, yang pernah mendapat penghargaan Anugerah Seni pada tahun 1967 dari pemerintah karena karya-karyanya dan jasa-jasanya dalam bidang sastra terutama dalam bidang Sastra Indonesia Modern, terbilang sangat maju dan cukup berbeda dengan arus utama zamannya, sehingga tak heran jika Belenggu ditolak oleh Balai Pustaka dan akhirnya diterbitkan oleh penerbit swasta dengan minat intelektual, Dian Rakyat. Selain filosofi kepenulisannya yang berbeda, novel Belenggu juga mengangkat tema yang pada saat itu terbilang tabu, yakni masalah perselingkuhan dalam keluarga. Perselingkuhan waktu itu dipandang sebagai masalah pribadi dalam kehidupan rumah tangga yang tak pantas dibicarakan secara terbuka—berbeda dengan sekarang, ketika gosip masalah rumah tangga oleh media massa dapat disulap dan ditampilkan dengan label “hiburan”.


Ada tiga tokoh utama yang menjadi pusat cerita novel ini. Yang pertama adalah dokter Sukartono (Tono), seorang dokter yang sangat mencintai pekerjaannya dan memiliki kepedulian kemanusiaan yang cukup tinggi sehingga dia dikenal sebagai dokter dermawan dan penolong. Tokoh kedua adalah Sumartini (Tini), istri Tono. Ia seorang perempuan modern yang tak ingin terkungkung dalam belenggu kehidupan domestik keluarga dan memiliki banyak aktivitas sosial di luar rumah. Di sisi yang lain, ia merasa diabaikan oleh suaminya yang waktunya banyak tersita mengurusi pasien. Tokoh ketiga adalah Nyonya Eni, alias Siti Rohayah (Yah), alias Siti Hayati. Yah adalah perempuan korban kawin paksa yang karena frustrasi kemudian hidup sebagai bungaraya—tapi ia juga gemar membaca. Ia teman lama Tono yang secara diam-diam mencintainya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa ketiga tokoh utama novel ini berasal dari kelompok sosial yang dapat disebut kaum intelektual.


Ketiga tokoh utama ini berinteraksi dalam ketegangan atmosfer perselingkuhan yang digambarkan sejak bagian pembuka novel ini. Kisah dalam novel ini diawali dengan penggambaran keretakan hubungan Tono dan Tini, yang dilukiskan dengan cara menyajikan Tono yang baru pulang menangani pasien dan tengah kebingungan mencari-cari bloknot yang berisi pesan telepon dari para pasien. Mestinya Tini yang bertugas mencatat dan menyimpan bloknot itu di dekat pesawat telepon. Tapi Tono tak menemukannya. Pada bagian ini digambarkan Tono yang kesal, dan di bagian yang lain kemudian ditegaskan perasaan Tini yang tak sudi menjadi “budak suruhan penjaga telepon” (hlm. 17, 62).


Selanjutnya, cerita berlanjut pada benih perselingkuhan yang kemudian terjadi antara Tono dan Rohayah. Dengan menyamar sebagai pasien yang pura-pura sakit dan perlu ditolong, Rohayah memanggil Tono untuk mengobatinya. Saat pertama kali bertemu, Tono tak ingat bahwa perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Nyonya Eni dan tinggal di sebuah hotel itu adalah teman lama yang memang mendamba cintanya sejak dahulu.


Pada pertemuan pertama, Tono memang berhasil selamat dari jebakan Nyonya Eni. Tono tak tergoda. Akan tetapi, situasi kritis yang tengah dihadapi ikatan pernikahan Tono dan Tini memungkinkan perselingkuhan berlanjut dengan nyaris mulus. Tono, yang mengharapkan sosok seorang istri yang dapat melayani dan mendukung profesinya sebagai seorang dokter, tak menemukan itu pada Tini. Sebaliknya, pada sosok Rohayah, Tono menemukan pemenuhan atas harapan-harapannya akan seorang istri yang “berlutut, membukakan tali sepatu” atau “menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah” (hlm. 17, 33).


Jika Tono mewakili gagasan tentang pernikahan dalam paradigma “konvensional”, dalam novel ini Tini ditampilkan memiliki pandangan yang berseberangan. Menurut Tini, sebagai istri, perempuan juga berhak untuk “menyenangkan pikiran, menggembirakan hati” karena dia “manusia juga yang berkemauan sendiri”. Tini mengibaratkan istri yang hanya tinggal di rumah sebagai “barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih, sekali setahun dijemur diluar”. Tini menolak situasi yang demikian. Dia menegaskan, “Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki” (hlm. 53). Di bagian yang lain, dalam dialog melalui surat dengan sahabatnya bernama Tati, Tini menemukan pertanyaan-pertanyaan kritis serupa.


“Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu” (hlm. 71).


Pikiran-pikiran Tini dan berbagai gagasan yang ditampilkan dalam novel ini dapat dikatakan cukup maju untuk sebuah pandangan beraroma feminisme di zamannya. Salah satu diskusi cukup hangat yang bersifat filosofis tentang eksistensi perempuan dalam pernikahan adalah negosiasi yang mesti dihadapi perempuan antara tuntutan aspek personal-eksistensial seperti gagasan Tini atau Tati di atas dan aspek sosial pernikahan untuk dapat memenuhi harapan “masyarakat” (baca: laki-laki). Eko Bambang Subiantoro (2002: 7-18) memaparkan bagaimana dalam pernikahan dan atau keluarga dalam masyarakat patriarki terjadi sublimasi identitas dan eksistensi diri perempuan pada laki-laki. Karlina Supelli (2003: 12-21) menunjukkan bagaimana makna hidup bagi perempuan setelah masuk ke dalam keluarga lebih sebagai hidup untuk memenuhi harapan masyarakat, masuk ke kawasan the generalized other, mengubur “diri” dalam sosialitas “fungsi”. Gugatan Tini dan Tati di atas kurang lebih mirip dengan penggambaran Simone de Beauvoir (1908-1986), filsuf Prancis terkemuka dan tokoh feminis, saat menggambarkan takdir perempuan dalam keluarga yang terjebak dalam rutinitas domestik yang nyaris tak bermakna. Beauvoir bahkan mengibaratkannya dengan kutukan Sisifus—sosok yang dipopulerkan oleh Albert Camus (1913-1960) untuk menggambarkan absurditas hidup.


Her home is thus her earthly lot, the expression of her social value and of her truest self. Because she does nothing, she eagerly seeks self-realization in what she has… Few task are more like the torture of Sisyphus than housework, with its endless repetition: the clean becomes soiled, the soiled is made clean, over and over, day after day (Beauvoir, 1989: 451).

(Rumahnya menjadi takdir perempuan di dunia, ekspresi nilai sosialnya dan dirinya yang sejati. Karena tidak melakukan apa-apa, dengan bersemangat perempuan mencari pewujudan dirinya pada apa yang dia miliki… Beberapa tugas lebih seperti penderitaan Sisifus daripada pekerjaan rumah, dengan pengulangan tanpa akhir: barang yang bersih menjadi kotor, yang kotor dibersihkan, begitu terus-menerus, hari demi hari).


Alur novel ini cukup dapat ditebak. Pada akhirnya Tono dan Tini tak kuasa mempertahankan bahtera keluarga mereka. Keduanya bercerai. Tini berangkat ke Surabaya dan mengabdikan diri pada sebuah panti asuhan yatim piatu. Namun demikian, Tono akhirnya juga tak mendapatkan Rohayah dan harus rela menerima kesendiriannya, karena Rohayah sendiri memutuskan untuk pergi ke Kaledonia Baru tanpa pamit.


Dengan bertolak dari semangat realisme kejiwaan, Armijn Pane dalam novel ini mencoba bersikap “objektif”. Tak ada penilaian moral atas perselingkuhan yang dilakukan antara Tono dan Rohayah. Tak ada isyarat atau penjelasan tentang pihak mana yang dipandang benar atau pihak mana yang patut dipersalahkan (Kleden, 1988: 205). Padahal, dalam bingkai kultur masyarakat patriarki, dalam kasus perselingkuhan perempuan sering kali dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam yang harus menanggung kesalahan—apalagi perempuan yang memang hidup sebagai “perempuan panggilan” seperti Rohayah. Pilihan Armijn Pane untuk tak memberi penilaian moral atas kasus perselingkuhan ini jelas berseberangan dengan arus utama semangat kepenulisan di zamannya. Seperti dicatat oleh Lombard (2005: 201), pada waktu itu para penulis “pada dasarnya masih sangat dihantui oleh pikiran bahwa karya mereka harus menyampaikan suatu amanat, harus memberikan pelajaran moral, harus mendidik”.


Tak terjebak pada sikap menghakimi yang kadang bersifat apriori seperti itu, fokus uraian Armijn Pane dalam novel ini justru terletak pada situasi batin ketiga tokoh utamanya itu. Pada titik inilah kita dapat menemukan keistimewaan lain novel ini. Monolog atau komunikasi intrapersonal yang bersifat reflektif di antara ketiga tokohnya digali dan tersaji begitu intens, sehingga situasi transisi dan guncangan budaya yang dialami masyarakat Indonesia ketika itu menjadi tergambar lebih jelas—terutama dari perspektif perempuan. Pergulatan batin para tokoh yang dipaparkan dalam novel ini cukup menarik untuk dicermati lebih mendalam.


Paling tidak ada dua titik fokus yang bisa diambil untuk melihat lebih dekat pergulatan batin tokoh-tokoh utama novel ini. Yang pertama berkaitan dengan substansi pergulatan itu digambarkan, sehingga dari situ pada tingkat tertentu dapat terlihat “pesan terselubung” yang ingin disampaikan penulis. Gugatan-gugatan Tini, kegelisahan Rohayah dan juga Tono pada taraf tertentu memperlihatkan kadar perenungan yang mendalam dan berani. Dalam bingkai transisi kebudayaan, refleksi yang dilakukan para tokoh utama dalam novel ini tak lain adalah negosiasi untuk menghadapi senja kala keluarga yang tak mampu memenuhi harapan para tokohnya masing-masing.


Pada titik inilah makna judul novel ini menjadi dapat lebih dimengerti. Dalam novel ini, para tokohnya digambarkan berada dalam belenggu arus transisi. Tini, yang mulai berkenalan dengan ide emansipasi, terbelenggu dalam perjuangannya sebagai aktivis sosial yang justru menjauhkannya dari Tono. Sementara itu, Tono dibelenggu oleh angan-angannya—demikian Armijn Pane mengistilahkannya—tentang sosok ideal seorang istri dokter yang mestinya dapat membantu dan mendukung profesi suaminya. Sedangkan Rohayah berada dalam proses transisi dari belenggu masa lalunya yang kelam. Masing-masing tokoh dalam novel ini terikat dengan kepentingan nilai subjektifnya yang terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidupnya.


Jika mau disebut sebagai “pesan terselubung” yang ingin disampaikan Armijn Pane, maka itu adalah ihwal belenggu subjektivitas yang menempatkan masing-masing karakter dalam ruang sempit yang mengerdilkan pikirannya (Dahana, 2008: 65). Belenggu subjektivitas itu secara sosiologis tampak sebagai sesuatu yang wajar, karena proses transformasi dan transisi kebudayaan memang membentuk situasi sosio-kultural yang cukup kompleks. Ide-ide baru yang berkaitan dengan kebebasan dan pembebasan, seperti halnya emansipasi, pada titik tertentu dapat memunculkan situasi serupa euforia. Euforia adalah perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan (Tim KBBI, 2001: 310). Bersentuhan dengan gagasan dan paradigma baru, subjek kebudayaan bisa saja larut dalam euforia yang bisa mengantarkannya ke berbagai wilayah penjelajahan personal-eksistensial yang tak tertebak. Seperti itulah kira-kira yang dialami Tini. Petualangannya dengan euforia gagasan emansipasi harus dibayar dengan keretakan kehidupan keluarganya. Dalam situasi seperti ini, euforia dapat menjadi jenis belenggu yang lain—selain belenggu obsesi dan belenggu masa lalu.


Tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama dua tokoh perempuan, yakni Tini dan Rohayah, memperlihatkan sikap berani yang cukup menarik diamati. Keputusan mereka untuk lepas dari ikatan keluarga dan cinta—Tini yang bersikeras untuk bercerai dan Rohayah yang memutuskan untuk melanjutkan petualangannya di saat kemungkinan untuk menjalin kehidupan berkeluarga dengan Tono mulai terbuka—seperti menegaskan bahwa keduanya adalah sosok yang kuat, mandiri, dan berani menanggung risiko. Dalam perspektif pemikiran Beauvoir, keputusan tindakan kedua perempuan dalam novel ini seperti ingin menunjukkan bahwa mereka bukanlah jenis kelamin kedua (the second sex) yang tak berdaya dan takut dengan pilihan kebebasannya (Swastika, 2004). Sedang mengenai Tono, Armijn Pane menggambarkan di akhir kisah bagaimana dia menatap masa depannya dan kesadarannya untuk lepas dari belenggu subjektivitasnya.


Diapun insaf, sekali-sekali manusia itu akan merasa terbelenggu semangatnya dan pikirannya, tetapi hal itu hanya untuk sementara waktu saja, sebagai tempat perhentian sebelum sampai ke masa yang baru, ketika belenggu zaman dahulu terlepas sama sekali, matapun dapat memandang dengan leluasa ke zaman yang akan datang (hlm. 148).


Dalam kisah pergulatan batin para tokoh novel ini menghadapi belenggunya masing-masing, kita dapat merasakan perasaan bimbang, “rusuh”, pedih, dan dilema yang mengombang-ambingkan mereka. Hal ini turut menegaskan kadar akut problem yang mereka hadapi. Dalam situasi disharmoni, Tono dan Tini kadang merindukan keintiman keluarga seperti yang mereka lihat pada sahabat-sahabat di sekitar mereka. Dalam beberapa bagian novel ini digambarkan tentang bagaimana harapan-harapan, kerinduan, dan kebimbangan itu muncul (hlm. 57, 72, 77-78, 89-90). Akan tetapi, nyatanya Tono dan Tini tetap saja terbelenggu dengan subjektivitas dan egoisme mereka—tak ada yang mau mengalah.


Khusus mengenai Tini, diceritakan bahwa puncak kegelisahan Tini terjadi saat ia berjumpa dengan Hartono yang mengunjungi suaminya, Sukartono, yang kebetulan sahabat lamanya. Sementara itu, Hartono adalah mantan kekasih Tini. Dalam pertemuan itu, terjadi perbincangan mendalam tentang bagaimana keduanya menghadapi belenggu masa lalu dan obsesi mereka masing-masing. Di akhir perjumpaan, Armijn Pane menggambarkan:


Tini menganjurkan tangannya, hendak berjabat tangan. Dijabat oleh Hartono, terasa padanya tangan Tini dingin dan lenyap. Didalam hati Hartono, seolah-olah hidup, berkembang. Katanya dengan gembira: “Selamat tinggal Pop, sama-sama berani hidup, kehidupan baru. Mari kita pikul beban kita, mari kita buang belenggu semangat kita.”

…Tini tersenyum: “Benarlah, masing-masing manusia mempunyai beban, marilah kita pakai beban itu untuk alas gedung baru.” (hlm. 116).


Titik balik Tini untuk mengambil keputusan yang menentukan, yakni bercerai dengan suaminya, semakin menguat saat ia mengunjungi Rohayah tak lama setelah ia bertemu dengan Hartono. Di sana, Tini terlibat dalam dialog yang cukup mendalam dengan Rohayah. Tini, yang semula berniat melabrak perempuan yang merebut hati suaminya itu, luluh saat berhadapan langsung dengan Rohayah. Bahkan akhirnya Tini seperti berintrospeksi dan memberi pengakuan atas kekurangan yang dimilikinya dalam hidup berumah tangga (hlm. 135).


Demikianlah. Dalam kaitannya dengan belenggu yang mengikat ketiga tokoh utama novel ini, akhir novel ini memperlihatkan cara mereka mengatasi problem transisi budaya dan belenggu subjektivitas yang menderanya. Pilihan eksistensial ini sungguh terasa amat sulit, karena memang membutuhkan keberanian yang tak sedikit. Keberanian ketiga tokoh utama ini untuk melepaskan belenggunya sepertinya tak jauh berbeda dengan keberanian Armijn Pane untuk mengangkat tema yang kontroversial di zamannya ini dan untuk memilih alur dan gaya penyajian novel ini, seperti yang dia tulis di bagian pengantar novel ini:


Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru (hlm. 5).


Titik fokus kedua yang dapat digunakan untuk melihat pergulatan batin para tokoh dalam novel ini adalah berkaitan dengan alasan mengapa pergolakan eksistensial dan transisi budaya yang dialami para tokoh utama dalam novel ini digambarkan dengan cara yang mirip dengan monolog. Monolog, jika mengacu pada teori komunikasi, merupakan sebentuk komunikasi intrapersonal. Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang. Seseorang berbicara kepada dirinya sendiri, bertanya kepada dirinya, dan dijawab oleh dirinya sendiri. Komunikasi intrapersonal ini terjadi karena adanya perangsang internal dari subjek dan juga perangsang eksternal dari lingkungan sekitar (Effendi, 1993: 57-58). Nah, pertanyaannya, mengapa Tini, Rohayah, dan juga Tono dalam novel ini digambarkan lebih banyak membicarakan kerisauan mereka dengan dirinya sendiri, yakni dalam modus monolog?


Jawaban yang mungkin untuk dikemukakan adalah karena tema yang diangkat novel ini tergolong tabu. Tokoh-tokoh dalam novel ini tak bisa secara vulgar membicarakan masalah keretakan kehidupan keluarga mereka dengan orang lain, karena hal itu masih dipandang sebagai aib pribadi dan keluarga. Dalam konteks tokoh perempuan, jawaban lain yang mungkin diajukan adalah karena perempuan tak dapat bersuara dengan cukup leluasa untuk mengutarakan kegalauan dan gugatan mereka. Menghadapi tekanan budaya patriarki yang menempatkan perempuan tak sejajar dengan kaum laki-laki, dialog yang adil seperti menjadi sesuatu yang terlalu sulit diperoleh. Karena jalur komunikasi interpersonal sudah tak menjanjikan situasi yang nyaman dan setara, maka perempuan kemudian lebih banyak bergulat dengan monolog pribadi. Kemungkinan kedua ini menjadi lebih kuat dan mengemuka karena tema yang dibicarakan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini terbilang sensitif dan berkaitan dengan paradigma-kultural yang baru. Terlepas dari sikap setuju atau tidak, gugatan Tini berkaitan dengan tatanan keluarga pada zamannya tampak sebagai sesuatu yang luar biasa.


Dari pemaparan singkat ini, tampaklah keistimewaan novel Belenggu yang memiliki semangat berbeda dengan novel-novel yang lahir pada era sebelum kemerdekaan Indonesia. Armijn Pane tak hendak membela salah satu tokoh yang ditampilkan dalam novel ini. Akan tetapi, dengan pilihan gaya penyajiannya yang ingin tampil “objektif”, novel ini justru dapat menyajikan belitan-belitan konflik yang dihadapi para tokohnya dengan cukup menawan sehingga dapat menghadirkan berbagai sudut pandang baru yang unik, reflektif, dan mencerahkan. Membaca novel dengan gaya penyajian seperti ini mensyaratkan “keterlibatan dan kesediaan mengalami” dari pembaca untuk masuk ke relung batin tokoh-tokohnya (Sahal, 1999: 4). Dengan cara ini, monolog para tokoh utama novel ini pada gilirannya dapat mendorong dan menjelmakan monolog reflektif si pembaca dalam konteks yang lebih pribadi dan eksistensial.


Jika dilihat dari segi “pesan” dan tema yang diangkat, nilai kontekstual novel ini akan tetap terasa dan relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini. Proses transisi budaya dengan berbagai guncangan dan efek-efeknya masih terus terjadi hingga kini, termasuk juga menyentuh pada ranah kehidupan keluarga. Bahkan, guncangan terhadap keluarga saat ini terasa lebih keras dibandingkan dengan situasi awal abad ke-20 yang menjadi setting novel ini. Arus deras globalisasi dan perubahan gaya hidup yang semakin mendunia cenderung memosisikan keluarga dalam situasi yang rentan dan mudah karam. Tantangan yang dihadapi bahtera keluarga saat ini sungguh berat. Tugas dan fungsi keluarga saat ini banyak yang tumpang-tindih dan diambil alih oleh berbagai pranata sosial yang lain (Kieser, 2003: 4-7). Televisi, misalnya, saat ini nyaris menjadi salah satu “pemeran pengganti” orang tua dalam melakukan sosialisasi dan internalisasi nilai.


Sementara itu, di sisi yang lain, gagasan-gagasan emansipasi seperti yang diusung oleh Tini saat ini telah tiba pada tingkat pencapaian yang cukup jauh. Jika Tini dahulu menuntut agar perempuan memperoleh haknya untuk menyalurkan kehendak dan cita-citanya di sektor publik, maka saat ini gagasan seperti itu sudah tak cukup asing lagi dan relatif lebih diterima. Otonomi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki dalam ruang keluarga sudah lebih baik—meski memang belum purna. Akan tetapi, dalam konteks feminisme, saat ini terjadi “serangan balik” terhadap perempuan saat mereka dibayang-bayangi oleh belenggu mitos kecantikan dan konsumerisme yang berkongkalikong dengan penguasa modal (Wolf, 2004: 25-26, 129).


Dengan situasi seperti ini, tak dapat disangkal bahwa saat ini berbagai belenggu seperti yang tergambar dalam novel ini terus hadir dengan berbagai rupa—tak hanya subjektivitas obsesif, masa lalu, atau euforia—seiring dengan transformasi dan transisi budaya yang terus berlangsung. Dalam konteks inilah maka novel ini diharapkan dapat menginspirasikan refleksi dan banyak hal lain berkaitan dengan cara kita bersiasat menghadapi berbagai bentuk belenggu tersebut.


Wallahualam.


Bahan Bacaan

Beauvoir, Simone, 1989, The Second Sex, Penerjemah: H.M. Parshley, Vintage Books, New York.

Dahana, Radhar Panca, 2008, “Nasionalisme dalam Belenggu Waktu”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Edisi 19-25 Mei 2008, PT Tempo Inti Media, Jakarta.

Effendi, Onong Uchjana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kieser, Bernhard, 2003, “Keluarga: Bahtera yang sudah Karam?”, Majalah Basis, Mei-Juni 2003, Yayasan BP Basis, Yogyakarta.

Kleden, Ignas, 1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Cetakan Kedua, LP3ES, Jakarta.

Lombard, Denys, 2005, Nusa Jawa: Silang Budaya, Penerjemah: Winarsih Partaningrat Arifin, dkk, Cetakan Ketiga, Gramedia, Jakarta.

Pane, Armijn, 2006, Belenggu, Cetakan Kedua Puluh, Dian Rakyat, Jakarta.

Sahal, Ahmad, 1999, “Sastra, Ambiguitas, dan Tawa Tuhan”, kata pengantar dalam Kenedi Nurhan (Ed.), Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999, Kompas, Jakarta.

Subiantoro, Eko Bambang, 2002, “Perempuan dan Perkawinan: Sebuah Pertaruhan Eksistensi”, Jurnal Perempuan, No. 22/2002, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

Sumardjo, Jakob, 2000, “Armijn Pane dan ‘Belenggu’”, dalam J.B. Kristanto (Ed.), Seribu Tahun Nusantara, Kompas, Jakarta.

Supelli, Karlina, 2003, “Keluarga: Jarak Fungsi dari Diri (Surat-Surat Nokturnal)”, Majalah Basis, Mei-Juni 2003, Yayasan BP Basis, Yogyakarta.

Swastika, Alia, 2004, “Perempuan dalam Sastra Indonesia: Perjalanan dari Obyek ke Subyek”, Harian Kompas, Sabtu, 18 Desember 2004.

Tim KBBI, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Wolf, Naomi, 2004, Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan, Penerjemah: Alia Swastika, Niagara, Yogyakarta.




Tulisan ini memenangkan Peringkat Kedua Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Program Khusus 2008 Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI.

Read More..