Kalau Anda berada di sekitar Indomaret Papringan, Yogyakarta, dekat kampus Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (dulu bernama Instiper), yang juga dekat dengan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekitar pukul 9 pagi, mungkin saja Anda akan melihat seorang perempuan paruh baya berjalan dari arah Jalan Laksda Adisucipto. Pakaiannya sederhana. Jalannya, maaf, pincang, dengan topi capil di kepalanya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi.
Anda dapat memastikan bahwa perempuan itu adalah yang saya maksud bila ia membawa koran-koran sambil berjalan pelan ke arah Jalan Ori atau kadang terus lurus di Jalan Petung. Meski dalam sekitar setahun setengah ini saya jarang berpapasan dengannya, tapi seingat saya, dia selalu membawa (sisa-sisa) koran dalam perjalanannya ke arah Papringan.
Ya, dia adalah penjual koran di pertigaan Laksda Adisucipto dekat kampus UIN Yogyakarta. Saya masih mengenalinya, seperti sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu saat saya sering melihatnya di lampu merah pagi-pagi. Dulu, dia berjualan koran bersama seorang perempuan yang lebih tua—mungkin ibunya. Seingat saya, dulu ada juga penjaja koran laki-laki di lampu merah itu.
Saya membayangkan, betapa setianya dia menjadi penjaja koran hingga lebih dari 20 tahun di situ. Dulu, saat masih menjadi mahasiswa jenjang sarjana dan masih aktif menulis di media massa, pagi-pagi saya dan juga beberapa rekan penulis dari kampus UIN Yogyakarta biasa mendatangi penjaja koran entah itu di lampu merah tersebut, atau di kios koran Batas Kota dekat Hotel Saphir, atau di kios dekat pertigaan Jalan Bimokurdo. Kami menumpang ngintip, mencari tahu, tulisan siapa yang dimuat di koran hari itu.
Itu sekitar akhir tahun 1999 hingga 2002, saat saya cukup aktif mengirimkan tulisan ke media massa. Dari UIN Yogyakarta, banyak sekali penulis-penulis yang aktif menulis di media massa. Rubrik yang paling banyak dituju adalah resensi buku. Selain bisa mendapatkan honor, tulisan resensi buku yang dimuat di media dapat diajukan ke penerbit untuk mendapatkan reward buku—bahkan juga reward lainnya.
Saat beberapa bulan yang lalu saya berpapasan dengan perempuan penjaja koran itu di perempatan Jalan Ori, saya membeli koran Kompas—meski saya sudah berlangganan epaper Kompas. Saya mencium baru kertasnya yang khas, dan saya kemudian terpikir tentang nasib koran di era digital.
Setidaknya dalam satu tahun terakhir, sejak awal 2024 hingga sekarang, saya nyaris tak pernah bertemu dengan Harian Kompas yang terbit lebih dari 16 halaman. Rubrik-rubriknya jadi minimalis. Tak ada lagi rubrik tinjauan buku di versi cetak. Bahkan, di versi online/digital pun, rubrik tinjauan buku jarang muncul.
Ya, nasib koran cetak sungguh telah banyak berubah. Tak seperti 20 tahun yang lalu. Saya ingat, di antara tahun 2000 hingga setidaknya 2002, Kompas sering terbit hingga 48 halaman, dengan alokasi rubrik yang beragam. Rubrik opini pun diberi ruang yang lebih banyak daripada biasanya yang hanya 2 halaman. Demikian pula rubrik tinjauan buku, yang untuk Kompas waktu itu berada dalam satu manajemen dengan rubrik opini. Ruang untuk resensi buku pun waktu itu tidak hanya muncul setiap hari ahad. Bahkan, dalam satu pekan, kadang sampai empat hari ada resensi buku yang dimuat di Kompas. Tentu saja ini juga menjadi berkah bagi penulis-penulis dari kalangan mahasiswa seperti saya waktu itu yang memang cukup mengandalkan pendapatan dari honor menulis untuk hidup di Yogyakarta.
Semakin susutnya halaman koran cetak, saya yakin itu juga menunjukkan banyak hal lainnya. Saya amati, iklan di koran Kompas pun juga semakin sedikit. Bahkan cukup sering saya lihat iklannya adalah iklan internal, iklan sendiri, entah dari Harian Kompas sendiri, atau Gerai Kompas (yang menjual produk buku, dan semacamnya), atau divisi Kompas yang menggelar kegiatan pelatihan dan semacamnya.
Saya pikir itu berarti geliat usaha media cetak semakin surut. Kita tahu, beberapa tahun terakhir telah banyak media massa yang undur diri dari versi cetak, dan hanya terbit dalam versi digital/website.
Tentu saja, pendapatan penjaja koran di tengah susutnya media cetak juga terancam. Variasi media cetak turun drastis. Pembelinya juga sangat mungkin semakin berkurang—entah karena adanya alternatif versi digital, menurunnya minat membaca media cetak, berkurangnya mahasiswa yang dulu juga menjadi “pelanggan” meski tidak setiap hari, dan semacamnya.
Suatu hari, beberapa bulan yang lalu, saat kalender menunjukkan hari libur nasional, saya duduk-duduk di angkringan depan kos Astra Seroja di Papringan. Waktu itu sekitar pukul 9 pagi. Bersama saya, ada seorang bapak, pensiunan karyawan di Universitas Negeri Yogyakarta. Sekitar 10 menit berbincang, perempuan penjaja koran itu tampak muncul dari arah barat, di pintu masuk Jalan Ori I, berjalan ke arah timur, mendekat ke angkringan tempat saya nongkrong.
Saat mendekat, si bapak memanggil perempuan itu, menanyakan koran yang terbit di hari itu, dan membelinya. Si bapak tak menerima uang kembalian, malah memberinya bonus nasi bungkus angkringan dan dua tempe. Si perempuan tersenyum gembira.
Saya pikir, si bapak juga tahu, bahwa penjaja koran di era sekarang menghadapi tantangan hidup yang tidak mudah. Mungkin si perempuan penjaja koran itu tak punya pilihan pekerjaan lain selain menjual koran. Ya, dia tak punya banyak kebebasan. Dia menapaki jalan takdirnya—dengan kesunyiannya, dengan ketabahannya.
Kamis, 30 Januari 2025
Nasib Koran dan Nostalgia Lampu Merah Adisucipto
Label: Daily Life
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Selalu dinanti tulisan-tulisan selanjutnya kakdinto
Posting Komentar