Semalam, selepas KPU resmi mengumumkan hasil pemilihan presiden (pilpres), saat menyaksikan keriuhan linimasa media sosial, terlintas pikiran soal “ijtihad pilpres”. Meski istilah “ijtihad” di sini tidak merujuk pada istilah ilmu hukum Islam (fiqh) dalam pengertian yang ketat, saya berpikir cukup pas rasanya untuk mengutip salah satu norma Islam tentang ijtihad ini dan membincangnya dalam konteks pilpres. Dalam konteks ini, yang saya maksud dengan ijtihad pilpres adalah upaya sungguh-sungguh untuk menentukan pilihan dalam pilpres yang tahun ini cukup memanas.
Dalam norma ijtihad, dengan berdasar pada hadis Nabi, dinyatakan bahwa ijtihad yang benar akan dibalas dengan dua pahala oleh Allah swt. Sedangkan ijtihad yang salah maka akan dibalas dengan satu pahala. Pertanyaannya: apakah ijtihad itu dianggap benar atau salah berdasarkan hasil akhirnya atau berdasarkan prosesnya? Bagaimana jika pertanyaan ini dibawa ke konteks pilpres 2014?
Dalam keterbatasan ilmu saya, saya berpandangan bahwa pahala ijtihad di sini lebih terkait dengan proses ijtihad, bukan hasil akhirnya. Dalam pandangan awam saya, Allah itu memberi dua pahala bukan karena pilihan seseorang untuk calon nomor satu atau dua itulah yang benar. Demikian juga, Allah memberi satu pahala bukan karena pilihan seseorang untuk nomor satu atau dua itu keliru.
Penghargaan berupa pahala menurut saya diberikan lebih dengan pertimbangan proses ijtihad, yakni seberapa bersungguh-sungguh, jujur, dan tulus seseorang menelaah dan kemudian membuat keputusan atau pilihannya. Yang juga tak kalah penting sebagai bagian dari proses adalah bagaimana orang itu menunjukkan sikapnya terhadap pilihan orang lain yang berbeda baik dalam proses pilpres maupun setelah hasil resmi dinyatakan oleh KPU.
Memang, ukuran kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan mungkin akan cukup subjektif. Pengertiannya bisa kurang terikat dan masih membutuhkan tanda-tanda (indikator) yang lebih konkret. Namun, penjelasan sederhana mungkin bisa dibuat sekadarnya di sini. Dalam istilah fiqh, kesungguhan kadang digambarkan dengan istilah badzl al-juhd. Istilah ini berarti mengerahkan segenap upaya yang mungkin dilakukan dengan penuh kesungguhan. Kejujuran mungkin bisa berarti keterbukaan untuk memperhatikan dan menunjukkan kecenderungan sikap kita yang sebenarnya setelah menelaah berbagai hal yang dipandang penting sebagai bahan pertimbangan sebelum membuat keputusan. Ketulusan mungkin berarti bahwa pilihan kita dibuat tanpa ada kepentingan pribadi yang sifatnya dangkal—seperti kepentingan duniawi—dan benar-benar demi mencapai hal yang sifatnya dipandang ideal.
Mengacu pada patokan di atas, dalam membuat pilihan yang terkait dengan persoalan publik, yang tak kalah penting juga adalah sikap menahan diri (self-restraint). Seseorang harus menjaga sikap rendah hati dalam dirinya bahwa meskipun pilihannya sudah dibuat berdasar kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan, penentu akhir hasil ijtihad adalah Allah. Allah-lah yang Maha Mengetahui tentang segala hal. Dalam Islam, ini diungkapkan dengan kalimat: WalLâhu a‘lam bishshawâb. Allahlah yang lebih tahu tentang pilihan yang terbaik. Cara pandang ini menunjukkan kesadaran akan keterbatasan peran kita sebagai manusia dalam membuat pilihan sehingga dalam bentuk konkret akan mewujud dalam sikap rendah hati dan menghargai orang lain. Menghargai orang lain bisa dicontohkan berupa sikap tidak mengolok-olok pilihan orang lain.
Jadi, terkait pilpres 2014, rasanya sangatlah tidak pantas jika kita memperlihatkan klaim-klaim kebenaran yang mungkin sebenarnya sudah melampaui batas wewenang kita. Mereka yang memilih nomor dua misalnya tidak boleh lantas merasa jemawa karena pilihannya menang dan merasa bahwa pilihan temannya yang memilih nomor satu tidak lebih baik dari pilihannya.
Sekali lagi, satu pahala atau dua pahala menurut saya bukan karena hasil akhir, tapi lebih pada proses. Melihat beberapa informasi yang disampaikan beberapa rekan di media sosial sebelum coblosan, tampaknya di kedua kubu sama-sama ada potensi yang misalnya dapat mencederai prinsip ketulusan dalam memilih. Meski saya tidak mengalami dan menyaksikan sendiri, saya mendengar dari sumber yang tepercaya tentang adanya bingkisan atau apa pun yang statusnya serupa yang beredar di masyarakat yang dapat memengaruhi keputusan pemilih. Saya percaya bahwa secara manusiawi hal-hal seperti itu mungkin memang dapat memengaruhi ketulusan seseorang dalam memilih. (Untuk soal ini, saya bertanya-tanya adakah hasil penelaahan hukum Islam yang menyatakan bahwa hal semacam itu [money politics dalam pengertian yang luas] hukumnya haram? Jika memang haram, apa saja bentuk konkretnya?).
Maka jika mempertimbangkan proses dalam memilih, apa yang terjadi di lapangan, dan beberapa hal di atas, saya pikir di kedua kelompok pendukung akan ada mereka yang mendapatkan dua pahala dan ada pula mereka yang memperoleh satu pahala. Siapa pun di kedua kubu yang memilih dengan tulus dan disertai upaya yang sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang diyakininya menurut saya insya Allah akan mendapatkan dua pahala.
Karena itu, jika kita menempatkan pilpres dan kegiatan politik sebagai bagian dari ibadah yang diharapkan dapat memberi pahala buat bekal kita di akhirat, maka selayaknya kita terus menjaga dan memperhatikan prinsip-prinsip dan nilai dasar sebagaimana disebut di atas. Apa pun pilihannya, baik menurut KPU diputuskan sebagai pihak pemenang atau yang kalah, jika kita memang tulus ingin mengabdi kepada bangsa dan masyarakat dan dari situ kita berharap mendapatkan pahala dan rida Allah, maka rasanya tak ada alasan yang kuat untuk melecehkan orang lain dan atau untuk berdiam diri tak berbuat kebajikan yang nyata di hari-hari mendatang untuk kemaslahatan orang banyak. Tak melecehkan orang lain ini saya pikir tak bisa ditawar. Sedang urusan berbuat kebajikan yang nyata tentu terkait dengan kemampuan, status, dan profesi kita masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat.
Saya sepakat dengan rekan saya, Rika Iffati Farihah, yang pada 7 Juni 2014 menulis di dinding Facebook-nya bahwa pilpres ini bukanlah segalanya. Yang jauh lebih penting bagi kita sebagai warga negara adalah ikut serta dalam proses-proses memberdayakan dan membangun mutu kehidupan masyarakat yang lebih baik sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Memang meraih kekuasaan politik itu penting. Akan tetapi, jika saya hanya senantiasa memikirkan kekuasaan politik dan mengabaikan kerja-kerja konkret berupa pemberdayaan yang sifatnya partisipatif di masyarakat, maka tampaknya saya patut mempertanyakan ketulusan saya dalam urusan berpolitik ini.
Semoga kita semua bisa lebih jernih dalam melihat masalah-masalah kebangsaan dan masalah umat sehingga pikiran dan sikap kita tidak terkotori oleh nafsu dan ego kita yang jahat.
Wal-‘iyâdzu bilLâh. WalLâhu a‘lam bishshawâb.
Keterangan:
Tulisan ini sebagian terilhami dan menggunakan istilah dalam uraian Khaled M. Abou El Fadl tentang syarat-syarat pelimpahan wewenang pengambilan keputusan hukum kepada para ahli hukum sebagaimana dipaparkan dalam buku Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oneworld, 2001) yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi dengan judul Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (2004) yang saya terlibat sebagai editor dalam penerjemahan buku ini.
Baca juga:
>> Keruwetan Berbiaya Mahal
Rabu, 23 Juli 2014
Ijtihad Pilpres
Label: Social-Politics
Sabtu, 05 Juli 2014
Merawat Silsilah Keimanan
Saat beberapa pekan lalu berada di tengah puluhan bahkan mungkin ratusan peziarah di makam Maulana Malik Ibrahim di kota Gresik, saya bertanya-tanya: apa yang membuat orang-orang ini beramai-ramai datang ke tempat ini? Apa sebenarnya yang menjadi penarik atau magnet di tempat ini sebagaimana di makam-makam Wali Songo lainnya?
Meski dibesarkan di lingkungan pesantren, saya baru tersadar bahwa ternyata lingkungan terkecil saya, yakni keluarga dan perkampungan Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, rasanya tidak memiliki tradisi ziarah yang sangat kuat. Tak ada rombongan ziarah yang sifatnya rutin dan diikuti oleh jumlah yang besar ke makam Wali Songo setiap tahunnya.
Saya mendengar kisah orang-orang yang berziarah ke makam Wali Songo atau makam para wali dan ulama lainnya dengan latar nazar tertentu. (Dalam tradisi Islam, nazar berarti janji untuk berbuat sesuatu (dalam hal ini: berziarah) saat maksud seseorang terkabul.) Ada pula orang yang berziarah lantaran sedang menghadapi satu masalah berat yang ingin diselesaikan atau memiliki hajat tertentu yang ingin diwujudkan.
Tentu saja saya tak bisa menebak isi kepala orang-orang yang saya lihat saat itu. Para peziarah itu, yang di antaranya saya lihat mengenakan pakaian seragam, masing-masing menyimpan maksud kedatangannya ke tempat itu dalam dirinya masing-masing. Saya sendiri saat itu sebenarnya berada di tempat itu selama beberapa waktu secara kebetulan.
Namun, saat saya sadar bahwa saya ada di makam Maulana Malik Ibrahim, saya jadi terpikir sesuatu. Saya teringat buku-buku sejarah Wali Songo dan buku sejarah masuknya Islam di Indonesia, seperti yang ditulis Agus Sunyoto dan Azyumardi Azra. Ingatan saya menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim yang inskripsi makamnya bertuliskan angka tahun 882 H/1419 M dianggap sebagai penyebar Islam tertua di tanah Jawa. Dalam buku Atlas Wali Songo (2012), Agus Sunyoto mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menegaskan hal ini.
Tepat dalam statusnya sebagai penyebar Islam tertua di tanah Jawa itulah pikiran saya mengatakan bahwa nilai penting ziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim ini mungkin adalah untuk merawat dan menyegarkan jalinan silsilah keimanan saya. Jika Maulana Malik Ibrahim adalah penyebar Islam tertua di tanah Jawa maka tentu saja keyakinan keagamaan yang saya miliki dan ajaran keagamaan yang saya anut saat ini bersumber dari peranannya itu. Keimanan saya pastilah tersambung dengan kepercayaan yang serupa dengan Maulana Malik Ibrahim itu.
Saya jadi terpikir bahwa di setiap tempat, dengan skala yang sempit hingga luas, pastilah ada tokoh kunci yang menjadi pelopor dakwah Islam sehingga ajaran agama Islam menjadi hidup dan berkembang di sana. Dan dalam hal ini, Maulana Malik Ibrahim berada dalam konteks tempat dengan skala yang luas.
Menurut saya, sangat pantas kiranya kita memberi penghormatan dan berupaya merawat silsilah keimanan kita dengan cara yang secara subjektif cocok untuk diri kita masing-masing. Bagi saya, berziarah ke Maulana Malik Ibrahim dan atau para pelopor dakwah Islam lainnya, seperti untuk wilayah Madura kita mengenal Kiai Kholil Bangkalan, dapat menjadi upaya reflektif dan spiritual untuk merawat dan menyegarkan bangunan keimanan diri saya.
Yang pertama mungkin semacam rasa syukur dan penghormatan, karena mereka, para ulama dan pendakwah itu, telah menjadi perantara bagi sampainya keimanan dan ajaran Islam pada diri saya. Selain itu, kadar ketokohan, spiritualitas, serta kecintaan dan kedekatan mereka dengan Allah swt pada tingkat tertentu nilainya sangatlah istimewa, sehingga menjadi faktor penting yang membuat umat Islam tertentu seperti saya yang dibesarkan dalam tradisi pesantren bertawasul (tawassul) melalui para wali tersebut.
Kerangka seperti ini tampaknya penting untuk digarisbawahi untuk memberi nilai lebih pada kegiatan ziarah yang selama ini sering dilakukan oleh umat Islam Indonesia pada khususnya. Ziarah ke para wali atau ulama jika bisa jangan hanya dilakukan lantaran adanya keperluan yang sifatnya “pragmatis” saja, tapi juga diletakkan sebagai upaya untuk menelusuri jalinan keimanan kita dan merefleksikannya secara subjektif dalam diri kita masing-masing. Dengan demikian kita berharap agar bangunan keimanan kita dapat terus terawat dan dapat tersambung ke sumber pokok keimanan kita, yakni Allah swt.
Hanya Allah-lah yang dapat memberi pertolongan untuk kita. Wallahu a‘lam.
Label: Journey, Reflection, Religious Issues, Spirituality