Judul Buku : Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni
Penyunting : Dedy N. Hidayat (dkk)
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2000
Tebal : xii + 465 halaman
Mei 1998 adalah bagian sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu hal yang menarik dalam kasus “Revolusi Mei”—demikian beberapa orang menyebutnya—adalah terjadinya suatu “ledakan” informasi dalam dunia pers (media massa) yang ditandai dengan sorotan media yang cukup berani terhadap detik-detik menjelang dan setelah turunnya Soeharto.
Buku ini mengkaji bagaimana keterlibatan media selama rentang waktu Mei 1998 dalam lingkungan politik Indonesia yang sedang mengalami revolusi. Kajian yang dilakukan buku ini termasuk menyeluruh, meliputi elemen makro, meso, dan mikro, yakni menyangkut konteks makro ekonomi-politik, proses produksi dan mengkonsumsi media, serta analisis teks yang diproduksi media. Para penulis dalam buku ini cukup beragam, dari pengamat hingga aktivis pers, seperti Ariel Heryanto, Satrio Arismunandar, Budiman Sudjatmiko, Jeffrey Winters, Ishadi SK, Sumita Tobing, Effendy Gazali, dan sebagainya.
Tesis utama buku ini adalah bahwa pers Indonesia menjelang dan sesudah “Revolusi Mei 1998” telah berubah menjadi pers yang bebas dari cengkeraman rezim penguasa. Perubahan ini bila dirunut ke belakang sebenarnya didorong oleh pergeseran-pergeseran yang cukup signifikan dalam struktur ekonomi politik Orde Baru, menyusul diterapkannya kebijakan liberalisasi ekonomi mulai dekade 1980-an.
Pers Orde Baru pada dasarnya adalah bagian dari ideological state apparatus yang mengawal stabilitas dan kehendak rezim penguasa. Kontrol terhadap pers dilakukan dengan ekstra-ketat, meliputi kontrol preventif dan korektif melalui kebijakan SIUPP, kontrol terhadap individu dan kelompok profesional dengan hanya mengizinkan satu organisasi profesi (PWI, SPS), kontrol terhadap isi berita, kontrol terhadap sumber daya media yang dilakukan dengan monopoli pasokan kertas, serta kontrol terhadap akses ke dunia pers dengan mencekal kelompok-kelompok kritis untuk tidak tampil dalam pemberitaan media.
Akan tetapi, krisis pada dekade 1980-an telah memaksa pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi sehingga secara objektif—menurut Sri Mulyani Indrawati—mendorong tuntutan reformasi ekonomi. Mulailah kontradiksi internal dalam sistem ekonomi-politik kapitalis Indonesia bersemai, termasuk pula dalam bidang media.
Kontradiksi sistem kapitalis dalam dunia pers Indonesia berwujud tarik-menarik antara keinginan untuk tetap menjadikan pers sebagai instrumen hegemoni negara di satu sisi, dan di sisi lain sebagai institusi kapitalis di sektor industri media. Dari kontradiksi ini, lahirlah suatu kasus-kasus menarik berupa munculnya proses-proses delegitimasi, kontra-hegemoni atau oposisi terhadap struktur kuasa negara yang dilakukan sektor media. Ini juga diikuti oleh beberapa media alternatif yang disebut sebagai “pers bawah tanah” atau informasi alternatif melalui media internet.
Kontradiksi ini selanjutnya melahirkan peta konflik elit penguasa (termasuk juga pengusaha), meskipun tidak terlalu mencuat ke permukaan. Fenomena inilah yang mendorong terciptanya ruang politik bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan gerakan perlawanan.
Mendekati periode Mei 1998, intensitas dan kualitas keberanian pers semakin bertambah kuat. Teks-teks media dalam periode Mei 1998 ini adalah bagian khusus yang diteliti buku ini. Dalam penelitian Sasa Djuarsa Sendjaja dan Hendra Harahap diungkap bagaimana televisi swasta (dalam hal ini SCTV dan Indosiar yang permodalannya dimiliki oleh kroni Soeharto) maupun TVRI mulai berani menayangkan sesuatu yang tak akan pernah berani mereka lakukan sebelumnya. Indosiar misalnya dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti menurunkan liputan yang berisi kutukan keras terhadap pelaku penembakan itu.
Peranan pers selama “Revolusi Mei” memang tak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan ada seorang pengamat asing yang menyebutnya sebagai “sebuah periode yang memesonakan dalam sejarah pers Indonesia” (a fascinating chapter in Indonesia’s media history). Harus diakui bahwa dalam periode ini pers telah ikut andil dalam meruntuhkan hegemoni negara dan menggerogoti legitimasi rezim melalui pemberitaan yang berani. Namun, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari gejala menguatnya struktur oposisi rakyat di bidang yang lain. Jadi, ada semacam proses saling mendukung di antara sektor media dengan struktur sosial yang lain.
Sesudah turunnya Soeharto, luapan kebebasan pers muncrat di mana-mana di berbagai media. Apalagi pemerintahan Habibie melalui Menteri Penerangan Yunus Josfiah mencabut ketentuan SIUPP yang menjadi kontrol utama Orde Baru. Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid juga telah semakin membuka lebar pintu kebebasan pers dengan membubarkan Departemen Penerangan.
Tantangan pers saat ini bukan lagi monster negara, melainkan tekanan pasar. Pers industri saat ini tidak berada di bawah regulasi negara, tetapi di bawah bimbingan regulasi pasar. Untuk itulah catatan yang ditekankan di akhir buku ini adalah bagaimana media menyiasati tekanan invisible hand arus liberalisasi ekonomi, sehingga tidak terperangkap dalam suatu euforia liberalisme yang dapat membawa media ke dalam tindak kesewenang-wenangan.
Makna penting buku dalam konteks kekinian dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, buku ini menjadi saksi sejarah yang cukup valid (karena banyak didukung data-data akurat) ketika pers berpartisipasi menegakkan demokrasi—menggulingkan rezim Soeharto.
Kedua, buku ini secara tidak langsung mengajak kita bersama untuk melihat kembali secara kritis posisi pers dalam era reformasi. Bagi kalangan insan pers, buku ini seperti mengajukan sebuah pertanyaan: Mampukah pers bersikap bijak membaca geliat perubahan dan tuntutan masyarakat sehingga ia dapat menyokong proses reformasi—melanjutkan peran suksesnya dalam “Revolusi Mei”?
Ketiga, dalam tataran makro, buku ini mengingatkan efek negatif liberalisme ekonomi (khususnya di bidang media) yang dapat memacetkan proses reformasi. Karena itu, salah satu agenda penting bangsa Indonesia ke depan adalah bagaimana menciptakan kondisi ekonomi yang demokratis seiring dengan demokrasi politik.
Dari ketiga hal tersebut kiranya penting disadari bahwa pers saat ini memang dituntut arif dalam menikmati pesta kebebasan yang dirayakannya. Pers harus sanggup menahan diri dari gaya bombastisisme yang sering bersifat provokatif. Saat ini, sikap kritis pers terhadap pemerintah, misalnya, bukan lagi menjadi barang mewah. Yang langka adalah sikap bijak dengan cara bertutur yang santun dan proporsional, sehingga ia tidak menjadi semacam “diktator elektronik” (menurut istilah Huntington), tapi menjadi angin penyejuk yang sanggup memadamkan egoisme elit politik, mampu mengkomunikasikan aspirasi berbagai kelompok, dan mampu menjaga keutuhan solidaritas bangsa ini.