Jumat, 31 Maret 2006

Membincang Takdir


Tadi maunya dibangunin. Tapi tadi dipanggil bibi, ada anak yang bapaknya meninggal mendadak dini hari tadi. Padahal kemarin masih baik-baik dan malah ke sini. Kita memang gak tahu kapan dan di mana maut itu akan menjemput.

Ya, benar. Kita juga tidak tahu, bersama siapa kita saat itu. Orang mengaitkan kematian dengan takdir Tuhan; sebuah wilayah yang berada di luar batas penjelajahan nalar. Selain kematian, orang juga menyebut jodoh dan rezeki sebagai bagian dari sesuatu yang dibalut misteri. Disebut demikian karena dalam kenyataan orang sering menemukan bahwa terhadap ketiga hal ini kita kadang tak bisa berbuat banyak selain semacam antisipasi. Sekadar antisipasi, ikhtiar sepenuh hati, yang kadang seperti berwujud sebentuk kesia-siaan dan ketakberdayaan yang datang berulang kali.

Takdir tentang tiga hal penting dalam hidup itu memang nyaris sepenuhnya berada di luar petak kekuasaan manusia. Kita hanya berusaha, dan Tuhan yang menentukan. Inilah satu segi makna takdir: bahwa kita manusia tak cukup memiliki daya atas banyak hal yang akan terjadi di lembar hidup kita selanjutnya—tidak hanya menyangkut tiga hal itu. Kita kadang tidak pernah menyangka, bahwa suatu hal yang begitu remeh dan sepele ternyata mampu membelokkan arah takdir kita di hari berikutnya. Ketakberdayaan macam ini sebenarnya bukan hanya lantaran kemampuan kita terbatas, tetapi juga menegaskan bahwa dalam hidup ini kita akan banyak bersentuhan dengan orang lain, yang ternyata juga turut mengguratkan takdir buat kita. Ringkasnya, pada garis terjauh, takdir dari segi ini tidak hanya menyiratkan keterbatasan kita yang menuntut keberpasrahan dalam upaya maksimal, tapi juga menyiratkan sosialitas kita yang seperti memberi pesan bijak untuk cermat dalam bertindak—karena mungkin, takdir juga masih terkait dengan karma.

Begitulah takdir yang terkait dan terarah dengan hal-hal yang masih akan kita hidupi di esok hari. Lalu bagaimana kita memahami takdir dalam kaitannya dengan hal-hal yang sudah terjadi, apalagi itu berwujud tragedi yang begitu menyakitkan hati?

Menghadapi hal semacam ini, kita memang terkadang mengalami keterkejutan, bercampur kecewa dan marah entah pada siapa, mungkin juga mengutuk diri kita sendiri. Tapi percaya pada takdir pada titik ini tidak saja menjadi pengakuan atas batas nalar dan kemampuan kita; ia juga menjadi semacam konselor yang mengajak kita untuk berdamai dengan pahitnya masa lalu, berkompromi dengan kenyataan yang tak selalu seperti apa yang kita harapkan. Bukan untuk menyatakan sikap menyerah, tapi untuk mengingatkan kita agar mengambil sikap yang paling realistis dan terarah. Memang, sulit untuk selalu meraih apa yang terbaik. Tapi, bagaimanapun, dalam keadaan apa pun, kita harus menjadikan apa yang kita dapat sebagai yang terbaik.

Tentu saja ini bukan hal yang gampang diterima sepenuhnya. Bagaimana mungkin takdir harus melewati jalan yang sebegitu pahit untuk kemudian ditafsirkan sebagai sesuatu yang terbaik? Bagaimana mungkin Tuhan menakdirkan sesuatu yang baik melalui sebuah tragedi yang sebenarnya justru juga melibatkan pencederaan terhadap harkat kemanusiaan? Apakah dalam takdir memang pertanyaan tentang keadilan tak cukup relevan untuk diajukan? Apakah takdir lebih terkait dengan kemahakuasaan Tuhan atau lebih berhubungan dengan sifat Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang?

Tapi mungkin Tuhan memang punya cara tersendiri yang tak pernah kita bayangkan untuk berbicara dengan setiap manusia dan juga alam semesta. Maka dalam sebuah peristiwa yang sepertinya memuat hal yang sulit untuk kita cerna, sangat layak kiranya kita menerbitkan pertanyaan: sebenarnya, Tuhan mau berbicara kepada siapa dalam peristiwa ini? Apakah kita sudi untuk mendengar dan untuk diajak berbicara oleh Tuhan, bahkan dalam bentuk percakapan apa pun?

Manusia butuh percaya dan menghayati takdir dalam dua segi pengertian tersebut di atas karena mungkin hanya dengan begitu hidup kemudian tak hanya selalu diselimuti absurditas sehingga setiap niat dan upaya baik sekecil apa pun pada akhirnya akan ada maknanya. Sebaliknya, takdir sangat tidak layak dikemukakan untuk menjadi semacam topeng pembenaran bagi sikap apatis dan ketakacuhan, apalagi kesewenangan!

Read More..

Selasa, 21 Maret 2006

Satir Hidup tentang Popularitas


Judul buku : Heavier Than Heaven: Biografi Kurt Cobain
Penulis : Charles R. Cross
Penerbit : Alinea, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2005
Tebal : x + 540 halaman


Popularitas menjadi impian hidup yang jamak menghinggapi kalangan muda yang menghirup udara awal milenia ketiga. Jika kesuksesan dapat didefinisikan, popularitas termasuk ke dalam salah satu ciri utamanya. Belakangan ini, di berbagai stasiun televisi kita gencar sekali disajikan tayangan-tayangan semacam reality show yang memikat kalangan muda dengan janji pemenuhan obsesi popularitas mereka.

Tak banyak orang yang berpikir tentang sisi gelap popularitas. Popularitas terlalu sering diidentikkan dengan tahap pencapaian yang memungkinkan seseorang dapat menikmati hidup dengan segala kemudahan dan kenyamanannya.

Kisah hidup Kurt Cobain—vokalis kelompok Nirvana yang oleh majalah Rolling Stones dimasukkan ke dalam kategori 50 artis terbaik sepanjang masa—yang berakhir dengan tragedi bunuh diri dan dipaparkan dengan baik dalam buku ini dari cara pandang tertentu menunjukkan kepada kita betapa popularitas ternyata juga menyimpan sisi-sisi kelam yang kadang terasa absurd. Dengan cara pandang semacam ini, kita akan semakin mengerti bahwa para idola termasyhur yang dipuja-puja itu juga tak lebih dari manusia biasa.

Kurt Cobain lahir di Aberdeen, sebuah kota yang khas dengan industri penggergajian di negara bagian Washington, 20 Februari 1967. Sejak kecil ia sudah memperlihatkan berbagai bakat dan kecerdasannya, baik di bidang olahraga maupun seni. Kurt masuk dan berperan besar dalam tim bisbol dan gulat di sekolah. Dia juga sangat menyukai pelajaran seni dan senang melukis.

Tapi kehidupan Kurt dalam keluarganya begitu suram, terutama sejak perceraian kedua orang tuanya ketika dia berusia sembilan tahun. Peristiwa ini menjadi bencana emosional terbesar dalam hidupnya. Kurt jadi membenci kedua orang tuanya. Apalagi ketika ayahnya menikah lagi dan ibunya berpacaran dengan pemuda yang umurnya hanya 7 tahun lebih tua darinya. Peristiwa ini mengubah Kurt menjadi sosok pemurung, tertutup, dan berandal. Kurt kemudian mulai berkenalan dengan dunia obat-obatan hingga akhirnya putus sekolah.

Jalan menuju popularitas Kurt di jalur musik juga tak mudah diraih. Di masa-masa awal sebelum sukses, Kurt bersama personel Nirvana lainnya kadang harus menempuh jarak ratusan hingga ribuan mil untuk melangsungkan konser promosi album pertamanya, Bleach. Penontonnya pun kadang cuma 20 atau belasan orang. Bayarannya hanya cukup untuk mengganti bensin.

Tapi semua perjuangan keras Kurt terbayar ketika album kedua Nirvana, Nevermind, hadir dengan hentakan dahsyat sehingga menggoncang peta musik internasional. Album yang dirilis September 1991 itu dengan cepat berhasil bertengger di puncak teratas tangga lagu Billboard, menggeser Dangerous-nya Michael Jackson. Seiring dengan itu pula, popularitas Kurt dan Nirvana mencuat luar biasa.

Pada titik inilah kemudian pelan-pelan mulai terlihat sisi-sisi suram popularitas sebagaimana dialami Kurt. Sikap dan gaya hidup Kurt yang memang penuh kontradiksi dan kontroversi, keterlibatannya dengan dunia narkoba, yang menurut pengakuan Kurt juga dipicu oleh penyakit perut yang dideritanya sejak lama, serta kisah kehidupan keluarganya dengan Courtney Love, semua menjadi bahan menarik untuk diangkat media. Pemberitaan dari tabloid The Globe dan majalah Vanity Fair tak lama setelah kelahiran anaknya, Frances, misalnya, bagi Kurt dan istrinya tampak seperti penghakiman bahwa keduanya tak berhak mengasuh anaknya itu, dengan mengabaikan kenyataan bahwa Frances lahir dengan sehat. Karena itulah, pada tingkat tertentu, Kurt kadang mengalami semacam paranoid terhadap media, khawatir bila ternyata apa yang diberitakan tentangnya justru sesuatu yang tak ia sukai—entah itu karena berupa fitnah maupun semacamnya.

Rasa putus asa dalam mengatasi problem kecanduannya serta untuk memperbaiki kehidupan keluarganya, baik dalam relasinya dengan kedua orang tuanya maupun keluarganya sendiri, mengantarkan Kurt pada satu kondisi depresi yang luar biasa. Akhirnya, di awal April 1994, Kurt ditemukan bunuh diri di rumahnya dengan meledakkan kepalanya sambil mengkonsumsi obat-obatan, setelah beberapa hari sebelumnya kabur dari rumah sakit di Los Angeles tempat ia dirawat untuk mengatasi kecanduannya.

Meninggalnya Kurt akibat bunuh diri ini menambah daftar panjang para artis dan orang-orang ternama lainnya yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis itu. Sebelumnya tercatat nama Jim Morrison, Jimi Hendrix, dan Janis Joplin, para musisi yang secara kebetulan sama-sama meninggal di usia 27 tahun—seperti juga Kurt.

Charles R Cross menyajikan kisah hidup Kurt Cobain dalam buku ini dengan cukup detail dan komprehensif. Dengan dibagi ke dalam dua puluh empat bab, Cross mengimbuhkan catatan keterangan waktu dan tempat di tiap awal bab, sehingga pembaca akan cukup mudah menelusuri alur hidup Kurt. Cross, yang menjadi editor di majalah musik The Rocket ini, cukup berhasil memperlihatkan berbagai segi manusiawi Kurt, seorang artis terkemuka yang gema pengaruhnya hingga kini masih terasa, terutama di kalangan muda. Segi-segi manusiawi yang penuh lika-liku dari jejak kehidupan Kurt disampaikan dengan keahlian bertutur yang indah dan menawan; tentang perjuangan Kurt yang berkreasi dengan penuh kerja keras di dunia musik, bagaimana karya-karya musiknya itu lahir, Kurt kecil dan remaja yang merasa terabaikan dan terbuang di keluarganya, Kurt yang merasa dieksploitasi oleh media dan para penggemarnya, serta hubungan-hubungan kemanusiaan yang rumit antara Kurt dengan orang di sekelilingnya. Cross cukup berhasil menuturkan semua itu dengan keterlibatan emosi yang mendalam, sehingga pembaca buku ini dapat berempati dan masuk ke relung suasana setiap peristiwa.

Kelebihan utama buku ini lebih terlihat karena Cross berhasil menghimpun dan mengolah segudang data yang cukup berharga tentang kehidupan Kurt itu sendiri. Cross dalam buku ini tidak sedang bergosip atau sekadar menyajikan isu-isu murahan tak berdasar tentang kehidupan Kurt. Empat ratus wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat dengan kehidupan pribadi dan karier Kurt di dunia musik dilakukan Cross selama sekitar empat tahun. Belum lagi berbagai arsip dan dokumen penting berkaitan dengan Kurt yang ditelusuri Cross, seperti catatan medis dan kepolisian, serta catatan harian yang ditulis Kurt sendiri. Kegigihan menelisik dan mengolah data inilah yang sebenarnya memang sangat dibutuhkan seseorang dalam menulis sebuah buku berjenis biografi, karena hanya dengan begitu sebuah buku biografi akan dapat tampil bertenaga dan tersaji secara baik—seperti buku ini.

Meski diterjemahkan secara keroyokan oleh tiga orang, buku ini cukup enak dibaca. Pilihan kata dan strukturnya sengaja dibuat lebih populer, sehingga dalam dialog-dialognya kita akan banyak menjumpai kata-kata yang tidak baku, seperti “kalo”, “ancur”, dan sebagainya. Beberapa ungkapan bahasa Inggris yang dalam konteks Indonesia saat ini juga sedang populer dan sering digunakan sehari-hari, seperti ungkapan “so what?”, oleh penerjemahnya tetap dibiarkan dalam bahasa Inggris. Dengan cara ini, suasana dan karakter tokoh-tokoh di buku ini, yang kebanyakan memang anak muda, menjadi lebih kental terasa.


* Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, Sabtu, 8 April 2006


Read More..