Rabu, 31 Januari 2024

Mudah Pecah


Ia mudah pecah. Ia rentan. Ia seperti gelas yang jika dibawa dengan tangan harus dipegang dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Saya sering melihat gambar gelas dengan ada kilatan kecil di salah satu sisinya, diletakkan sebagai simbol pada kemasan barang yang katanya mudah pecah.

Jangan dibanting. Demikian tertulis sebagai pengingat. Please handle with care. Tangani atau bawa dengan hati-hati. Namun sering juga terdengar orang-orang mengeluh, karena kurir ekspedisi kadang masih sembarangan menangani paket yang sudah ditempeli dengan stiker simbol gelas yang mudah pecah dan ada tulisan “FRAGILE” itu.

Namun saya tidak sedang berpikir tentang gelas yang mudah pecah atau barang pecah belah serupa. Saya berpikir tentang anak-anak, jiwa dan perasaan anak-anak, yang saya bayangkan mungkin juga “mudah pecah”, dan membutuhkan penanganan yang hati-hati, meski kita tidak menemukan stiker bergambar gelas pecah yang ditempelkan pada baju anak-anak kita.

Saya teringat Robert Frager yang dalam buku bagusnya berjudul Sufi Talks (terakhir versi terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Noura Books, dan sebelumnya diterbitkan oleh Penerbit Zaman) yang mengingatkan bahwa bayi manusia, atau anak-anak, membutuhkan perawatan lebih banyak dan lebih lama dibandingkan bayi spesies lainnya. Mereka lebih banyak membutuhkan aliran cinta—mungkin waktu yang juga lebih lama di masa atau periode kanak-kanaknya. Mereka mudah pecah.

Saya teringat novel-novel Torey Hayden, di antaranya berjudul Sheila, versi terjemahannya diterbitkan Penerbit Qanita, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, disunting oleh Rika Iffati Farihah yang pernah menjadi mitra kerja saya di Bentang Pustaka. Sheila bercerita tentang luka hati seorang gadis kecil yang dampaknya begitu membekas dalam kehidupannya. Sheila berkisah tentang gelas yang telah pecah dan tak ditangani dengan baik. Sheila bercerita tentang anak-anak yang tak mendapatkan aliran cinta sebagaimana layaknya ia membutuhkan pada masa-masa penting perkembangannya.

Saya teringat paket yang saya terima dalam keadaan “pecah” karena tak ditangani dengan baik oleh kurir ekspedisi, meski sudah ada stiker bergambar gelas di kemasannya.

Lalu saya juga teringat pada anak-anak saya yang kadang tidak saya tangani sebagaimana gelas yang mudah pecah itu. Tulisan ini adalah pengingat untuk saya—mungkin juga untuk Anda, para pembaca. Kata Frager, saat kita belajar mencintai, termasuk anak-anak itu, kita juga belajar mengatasi narsisisme kita—sesuatu yang belakangan begitu dirayakan melalui platform media sosial kita. Kita belajar mendahulukan kebutuhan orang lain. Masih kata Frager, ada orang yang harus menunggu jatuh cinta atau menjadi orangtua untuk menyadari dan belajar mendahulukan kepentingan orang lain. Kata Frager, mungkin anak-anak adalah terapi kejut versi Tuhan untuk mengobati egoisme kita.

Jadi, pegang mereka dengan hati-hati. Karena mereka itu mudah pecah. Dan mereka senantiasa menunggu kelembutan pegangan kita.

Read More..

Selasa, 23 Januari 2024

Menulis Pendek, Menulis Panjang


Butuh tenaga ekstra untuk bisa menulis panjang dengan target menulis di kisaran 5000 kata. Tapi saya ingat, jarak 12 ribu kilometer tetap dimulai dari tapak satu dua langkah. Artinya, 5000 kata tetaplah dimulai dari dua tiga kalimat.

Saya tidak terbiasa menulis panjang seperti untuk artikel jurnal yang menuntut minimal 5000-an kata. Jadi ketika mulai kuliah S-3, saya sempat khawatir jika ada tugas makalah yang menuntut minimal panjang tulisan seperti itu. Namun ternyata alhamdulillah, untuk tugas-tugas makalah presentasi dengan minimal 4000 kata, saya bisa mengerjakannya dengan sistem kebut (sehari) semalam. Asal bahan sudah cukup jelas, sistematika disiapkan, proses penulisannya bisa pake sistem balapan.

Begitulah saya mengerjakan tugas makalah presentasi di semester ini. Terjepit di antara berbagai aktivitas, makalah diselesaikan dalam waktu sekitar sehari semalam. Hasilnya tak buruk-buruk amat. Saya berpikir, kok ternyata bisa saya menulis agak panjang? Ya itu tadi, karena tulisan panjang adalah tulisan pendek yang disatukan. Untungnya, saya sudah cukup terbiasa menulis—yang pendek-pendek itu, dahulu, terutama saat masih aktif menulis populer resensi buku di koran-koran dan juga aktif menulis untuk rindupulang.id, blog kesayangan yang beberapa tahun terakhir cukup terlantar.

Jadi mungkin benar apa yang sering saya katakan: menulis itu juga soal keterampilan, seperti memasak atau menyetir kendaraan. Iya terkait juga dengan jam terbang. Saya ingat saat saya pertama kali belajar memasak saat menempuh S-2. Mentor saya teman kelas dari Bangladesh—dan juga YouTube, yang kontennya belum seheboh sekarang. Saya ingat bagaimana kakunya saya memotong-motong bawang. Saya masih menyimpan videonya. Hehehe..

Demikian juga menulis. Mereka yang belum terbiasa menulis, mungkin akan terbata-bata memulai paragraf dan kalimat-kalimat pembuka. Satu paragraf selesai, kebingungan datang untuk melanjutkan paragraf berikutnya. Seperti mobil mogok yang kehabisan bahan bakar. Ya, begitulah, kadang penulis pemula tidak siap dengan bahan mentah, seperti saat saya memasak kare ayam di Utrecht dan lupa tidak membeli jahe untuk membuat masakan saya lebih enak.

Tapi soal keterampilan, sekali lagi, itu soal jam terbang. Saya ingat, dahulu saat masih duduk di bangku sekolah kelas menengah, saya juga rajin menulis catatan harian. Sayang sebagian tak terarsip. Yang tersisa ada catatan harian tahun 1996. Tapi ada juga arsip tulisan saya di era-era itu, termasuk ada juga yang menggambarkan proses kreatifnya, mulai dari mengumpulkan dan merangkum bahan dari berbagai sumber, hingga kemudian saya tuangkan dalam satu tulisan yang kalau saya bayangkan waktu itu hitungannya agak panjang.

Jadi kalau ada orang yang tiba-tiba dituntut untuk menulis panjang, tapi sebelumnya belum terbiasa bahkan untuk menulis yang pendek-pendek, saya bisa membayangkan betapa mumetnya dia itu. Makanya, daripada mumet, saran saya, cobalah untuk menulis yang pendek-pendek dulu, di kisaran 500 kata, itu sudah sangat bagus jika dilakukan secara rutin.

Saya ingat, pada awal 2013 saya pernah mendapat proyek penulisan 40 esai yang masing-masing panjangnya sekitar 400 hingga 500 kata. Saya lakukan tiap hari. Malam menyiapkan bahan, pagi setelah subuh saya tulis. Alhamdulillah berjalan lancar.

Setelah lama tidak aktif menulis, dan dalam beberapa bulan ini dipaksa membaca dan menulis karena saya sekolah lagi, saya bersyukur. Sepertinya rindupulang.id akan senang menyambut saya membuka akun blogger.com, dan memposkan tulisan-tulisan baru yang melulu tidak hanya tentang hal akademik, tapi tulisan-tulisan spontan yang saya tulis sekali duduk semacam ini.

Salam hangat.



Read More..