Selasa, 18 Desember 2007

Asma Nadia tentang Poligami dan Perselingkuhan

Judul buku: Catatan Hati Seorang Istri
Penulis: Asma Nadia
Penerbit: Lingkar Pena, Depok
Cetakan: Pertama, Mei 2007
Tebal: xii + 212 halaman

Dalam beberapa tahun terakhir, melalui tayangan televisi dan media, masyarakat kita semakin akrab dengan isu poligami dan perselingkuhan. Tema poligami kembali populer ketika ada sejumlah tokoh nasional yang menjadi kontroversial karena kasus poligami, dengan bumbu pro-kontra yang kemudian juga difasilitasi oleh media. Tema perselingkuhan pada tingkat tertentu, dengan cara yang cukup unik, menyebar melalui dunia hiburan dan selebriti. Ada yang mengatakan bahwa perselingkuhan kini sudah menjadi gaya hidup. Tayangan televisi yang hampir setiap hari tak luput mengabarkan kabar buruk tentang retaknya keluarga seorang selebriti belakangan ini memperkuat hal tersebut. Di bagian yang lain, akhir-akhir ini kita menemukan cukup banyak lagu yang digubah dan kemudian populer yang mengisahkan tema perselingkuhan. Pokok soal menarik yang patut disorot dalam dua persoalan ini adalah nasib perempuan berhadapan dengan situasi semacam itu. Bagaimana perempuan di sana?

Buku karya Asma Nadia ini menghadirkan potret pergulatan perempuan dengan kedua persoalan tersebut. Buku ini menyajikan kumpulan jejak pengalaman perempuan, terutama dalam kehidupan berkeluarga, yang sarat dengan kekerasan dan tragedi. Dalam kata pengantarnya, Asma mengatakan bahwa buku ini adalah rekaman perjalanannya sebagai perempuan, istri dan ibu, dan juga pengalaman, dialog hati, pertanyaan dan ketidakmengertiannya tentang isi kepala dan sikap laki-laki.

Memang tak berlebihan jika Asma menggunakan istilah seperti itu. Dalam buku ini, melalui banyak kisah, muncul sikap dan perilaku laki-laki yang tak menghargai perempuan—bahkan perempuan yang disebutnya sebagai istri. Simak saja kisah Amini, ibu dan tiga orang anak yang sudah menikah selama tujuh belas tahun. Suaminya, Arief, yang dari awal pernikahan sudah tampak sangat baik dan bertanggung jawab dalam memperhatikan keluarga, tiba-tiba diketahui menjalin hubungan dengan Dian, adik dari teman Amini. Memang, di akhir kisah Amini dan Arief tetap bisa bertahan, dengan permaafan dan kebesaran hati Amini yang cukup luar biasa, sehingga Dian tak sampai menjadi penyebab perceraian mereka dan melepas Arief.

Ada lagi kisah Safitri, dengan suaminya yang sangat baik dan telah hidup berbahagia dengan pernikahannya selama lima belas tahun dan telah dikaruniai tiga orang anak. Suatu hari, tanpa sengaja, Safitri menemukan nama aneh di buku telepon suaminya: Spongebob. Safitri heran. Suaminya itu tipe lelaki serius, pendiam, dan sangat dewasa. Mengapa sampai ada kontak dengan nama tokoh kartun itu? Safitri sangat terpukul ketika dengan tenang dia mengklarifikasi masalah itu kepada suaminya, sehingga muncul pengakuan bahwa suaminya yang rajin beribadah itu telah menjalin hubungan khusus dengan “Spongebob” selama tiga tahun. Safitri menulis bahwa sejak itu ia merasa sulit membangun kepercayaan bersama suaminya.

Kisah-kisah lain yang diungkap dalam buku ini tak banyak beranjak dari penuturan soal kekerasan psikis terhadap perempuan—yang dalam istilah lain populer dengan sebutan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Ada kisah tentang suami yang ketahuan selingkuh dengan baby sitter-nya. Tragedi Nejla Humaira mengisahkan kesuksesan kariernya di dunia kerja, sementara suaminya yang sudah sepuluh tahun dinikahinya hanya menguras hasil kerjanya sambil berselingkuh dengan karyawatinya. Langkah cerai pun diambil, dengan tekanan batin yang sangat menyedihkan Nejla. Dan Nejla pun menjadi single parent, membesarkan anak-anaknya dengan keteguhan, kegigihan, kesabaran, dan penuh kasih sayang.

Simpul utama kisah-kisah dalam buku ini menegaskan bahwa perselingkuhan, bagaimanapun, hanya akan menghancurkan ikatan suci yang dibina dalam keluarga. Rasa saling percaya yang menjadi fondasi bahtera keluarga tercederai. Seorang perempuan sangat paham dan sangat menghayati arti kepercayaan, sehingga begitu ia dilanggar, maka ia menjadi sulit untuk dipulihkan. Perselingkuhan menghancurkan keluarga tak hanya dengan merusak rasa kepercayaan, tetapi juga dengan aspek kekerasan yang diam-diam terjadi di sana. Kekerasan itu bisa berwujud kekerasan psikis hingga fisik. Dan eskalasinya dapat meluas hingga ke tingkat keluarga, yang meliputi anak atau anggota keluarga besar lainnya.

Kelebihan buku ini terletak pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukan terhadap kaum laki-laki atas berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan—sadar maupun tidak, diakui atau tidak—terhadap perempuan. Pertanyaan tersebut mengusik pola relasi kemanusiaan yang selama ini terjalin antara laki-laki dan perempuan, dalam ruang keluarga pada khususnya dan ranah sosial pada umumnya. Pertanyaan yang dimunculkan Asma beberapa tampak cukup reflektif dan fundamental, seperti dalam kisah Pak Haris, seorang pemimpin penerbitan di Solo, yang berkisah tentang poligami. Dalam potongan pembicaraan Asma dan Pak Haris tentang poligami, muncul pernyataan yang cukup menohok dari Pak Haris: kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu, sementara luka hati istri pertama sudah pasti dan abadi. Jadi, lanjut Pak Haris dengan sebuah pertanyaan retoris yang cukup tajam, “bagaimana saya melakukan sebuah tindakan untuk keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil resiko yang kerusakannya pasti dan permanen?”

Eksplorasi Asma tentang tema poligami juga menjangkau wilayah agama. Asma memang tak mencoba masuk ke wilayah panas yang mendiskusikan hukum poligami dari perspektif agama (Islam), seperti yang sempat ramai dibicarakan belakangan ini. Dalam sebuah tulisannya di buku ini, Asma memunculkan sebuah pertanyaan tajam yang cukup menyindir: “tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan jalan satu-satunya untuk mendekatkan perempuan pada surga?” Dalam tulisannya ini Asma menunjukkan bagaimana dalam praktiknya para lelaki—yang konon beralasan menikah lagi dalam rangka mengikuti sunnah Nabi—kurang memberi penghargaan yang pantas kepada istri pertama mereka dan melupakan jasa besar serta pengorbanan si istri pertamanya.

Dalam tulisan terakhir di buku ini, Asma secara tidak langsung mencoba menghadirkan potret kesetiaan laki-laki melalui kisah Aba Agil, seorang tokoh terkemuka di Ambon yang tak mau menikah lagi setelah istrinya meninggal, meski anak-anaknya mendorong untuk itu. Ada nada kagum dan bangga yang tertuang dari pemaparan Asma—seperti yang juga tergambar dari benak anak-anaknya.

Kisah-kisah dalam buku ini dapat dilihat sebagai semacam dokumentasi pengalaman perempuan dalam pergaulan mereka di ruang keluarga dan masyarakat dalam konteks sosial saat ini. Yang menarik, Asma membidik persoalan itu dari perspektif perempuan, yakni dari sudut pandang yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang berbicara untuk kepentingan mereka. Dengan demikian, pembaca buku ini dapat ikut berempati dengan perasaan, gejolak, dan nasib perempuan dalam setiap pengalaman yang tersaji itu. Memang Asma tidak hanya menceritakan kisah pergulatannya sendiri, tetapi menghimpun pengalaman dan pertemuannya dengan banyak perempuan lain. Buku yang cetak ulang dalam waktu dua pekan sejak penerbitannya yang pertama ini memperkaya diskusi tentang perempuan dan keluarga dalam masyarakat Indonesia, dan yang lebih penting lagi, dengan cukup tegas menghadirkan suara perempuan dengan penuh empati dan menggugah.

* Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan No 56/2007.

Read More..