Jumat, 01 November 2024

Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan


Dari kejauhan, bangunan itu tampak berdiri megah. Bangunan yang bagian separuh ke atas itu berwarna putih menjadi pusat perhatian. Tak ada hal menonjol lain di sekitarnya. Pohon-pohon kurma yang ada di salah satu sisi bangunan terlihat biasa saja.

Memasuki pintu salah satu masjid itu, bagian utama masjid ternyata tidak begitu luas. Ruangnya melebar ke samping. Dua lampu berbentuk lingkaran dan bersusun yang lurus dengan tempat imam tampak menarik perhatian. Lampu serupa ada di bagian lain masjid itu. Sebagian besar orang-orang di ruangan itu melaksanakan shalat.

Di seberang ruang utama itu, ada ruang terbuka yang seperti menjadi halaman dalam masjid. Halaman dalam itu dikelilingi semacam ruang teras yang menjadi bagian terluar bangunan masjid. Cahaya matahari masuk melalui halaman tengah di dalam masjid itu, memberikan penerangan alami ke bagian dalam masjid bersejarah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah itu.

Ya, itu adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Masjid Quba, berjarak sekitar 4 km dari Masjid Nabawi di kota Madinah. Dengan hanya tinggal selama tiga sampai empat hari di Quba, yang dimaksud Rasulullah “membangun masjid” tentunya tak bisa kita bayangkan seperti pembangunan masjid saat ini. Saya berpikir mungkin Rasulullah hanya menetapkan tempat itu sebagai masjid atau tempat shalat bersama untuk umat Islam. Mungkin Rasulullah memancangkan batas-batas area masjid di situ dan membuat pondasi.

Lebih dari sekadar detail yang bersifat teknis, masjid pertama itu merefleksikan banyak hal dalam perkembangan sejarah Islam baik secara personal bagi seorang muslim maupun secara sosial dalam konteks masyarakat Islam. Itu hal yang ada dalam pikiran saya saat akan memasuki masjid itu.

Saya teringat refleksi yang ditulis oleh Tariq Ramadan dalam buku In the Footsteps of the Prophet ketika menuturkan pendirian masjid pertama dalam peristiwa hijrah Rasulullah. Menurut Tariq Ramadan, pembangunan masjid itu “menunjukkan signifikansi dan sentralitas masjid dalam hubungannya dengan Tuhan, ruang, dan masyarakat”. Ruang semesta yang dalam pandangan spiritual Islam bersifat sakral mendapatkan label khusus sebagai ruang suci setelah ditetapkan sebagai “tempat bersujud” (masjid). Sebagai “tempat bersujud”, ia adalah tempat hamba merendahkan dan menundukkan ego di hadapan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Kesucian ruang itu menegaskan bahwa ada hubungan antara ruang tertentu dan penghayatan spiritualitas. Secara objektif, ruang mungkin hanya dibedakan oleh detail spesifikasi teknis. Tapi secara subjektif, ruang menjangkau nilai sejarah dan nilai lainnya sehingga dapat membawa pada makna penghayatan spiritualitas tertentu. Mungkin itu juga akan terkait dengan “wadah” dan kesiapan subjek untuk menampung makna ruang tersebut. Jejak dan pengalaman hidup, wawasan dan pengetahuan, serta rekam penghayatan interaksinya dengan semesta membentuk wadah subjektif tersebut.

Masjid menurut Tariq Ramadan juga adalah gambaran realitas kehidupan menetap, tempat kesadaran keimanan menemukan rumah tinggalnya. Rasanya bukanlah suatu kebetulan bahwa masjid ini dibangun dalam momentum hijrah. Dalam kehidupan umat Islam di Mekah, keimanan mereka mungkin bisa dibilang masih berada dalam status “kehidupan nomad”. Kesadaran keimanan masih terombang-ambing dalam pengasingan karena tak menemukan rumah tempat berpulang. Tak ada masjid di era Mekah. Umat Islam masih terlunta-lunta, berjuang mengokohkan keimanan dalam deraan dan tekanan kaum kafir. Masyarakat muslim belum cukup kuat untuk membangun rumah keimanan mereka dalam skala komunal.

Dengan mendirikan masjid, Rasulullah menegaskan satu titik penting poros kehidupan bermasyarakat. Masjid adalah rumah—rumah bersama. Dalam keterombang-ambingan, baik dalam sebuah perjalanan atau pengasingan, masjid adalah tempat berpulang agar seorang muslim tidak kehilangan arah dan makna.

Namun begitu, pemaknaan masjid yang sedemikian itu akan berhadapan dengan kenyataan objektif dan subjektif seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga penghayatan keagamaannya. Norma ideal akan berhadapan dengan fakta dan kenyataan. Apakah seorang muslim sudah menempatkan masjid sebagai ruang suci dan poros keimanannya? Seberapa intens dia menjadikan masjid dalam pemaknaan dan penghayatan tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif? Bagaimana upaya sebuah komunitas untuk menjadikan masjid sebagai ruang bersama tempat berbagi penghayatan keagamaan dalam pengertian yang luas? Bagaimana masjid dikelola untuk menampung keragaman latar dan karakter individu dalam sebuah komunitas?

Kunjungan saya ke Masjid Quba di akhir September lalu memantik refleksi dan pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan yang tentu kembali ke diri saya juga. Pertanyaan yang juga mengundang semacam kegelisahan. Pertanyaan yang mengingatkan saya pada pengalaman 15 tahun yang lalu, saat saya mencari dan menemukan masjid di sebuah kota kecil di Zeist, Utrecht, dalam episode “pengasingan” saya.

Saat saya berpisah dengan sebuah ruang suci dengan nilai sejarah yang kental itu, saya khawatir pertanyaan-pertanyaan penting ini kemudian tenggelam dalam rutinitas sehari-hari. Pertanyaan pengingat ini bisa saja kemudian berhenti berdering dan tak berdaya. Tapi mungkin dengan menuliskannya, setidaknya saya berharap dapat merawat pertanyaan dan kegelisahan ini agar tidak hilang begitu saja ditelan waktu.

Saya juga percaya bahwa suatu saat mungkin pertanyaan-pertanyaan itu akan menjelma kerinduan—pada ruang suci dengan sosok agung dan sejarah yang melingkupinya.


1 komentar:

sangat mengatakan...

Kalimat yang indah di 2 alinea akhir tulisan ini. Josh pokoknya