Judul Buku: Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial
Penulis : Dr. Heru Nugroho
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: 254 halaman
Posisi negara dalam era reformasi menjadi sebuah wacana yang tak habis diperbincangkan. Sentralisme kekuasaan negara sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru tak jarang menjadikan negara terpojok dalam posisi yang (di)salah(kan). Tuntutan masyarakat saat ini jelas: corak represif negara harus berubah dengan memberi ruang bebas bagi partisipasi masyarakat luas.
Buku ini berusaha menelaah secara lebih jauh tentang bagaimana sebenarnya negara dan masyarakat menempatkan dan menfungsingkan dirinya demi terciptanya keadilan sosial. Konteks reformasi sosial-politik dan konteks globalisasi ekonomi yang begitu kuat melahirkan tantangan berat sedemikian rupa yang menjadi beban negara dan masyarakat sekaligus. Dibutuhkan suatu strategi cantik untuk mengantisipasi cengkeraman globalisasi ekonomi yang menjunjung semangat persamaan tanpa harus terseret dalam jurang kesenjangan yang dapat menghancurkan ikatan-ikatan sosial masyarakat.
Selama ini ada pandangan yang mengatakan bahwa globalisasi ekonomi yang mewujud dalam kebijakan ekonomi pasar bebas akan menciptakan kondisi yang demokratis sehingga mampu melahirkan kemakmuran sosial. Seperti lantang disuarakan oleh kaum Neo-Liberalis, pasar bebas memiliki mekanisme internal untuk mendemokratiskan suatu bangsa, karena dalam pasar bebas prinsip persamaan dijunjung tinggi.
Heru Nugroho dalam buku ini jelas menampik hal tersebut. Dalam buku ini Heru menunjukkan bahwa logika yang digunakan untuk memahami hal ini mestinya dibalik: pasar bebas hanya akan efektif dalam suatu masyarakat yang liberal, transparan, dan demokratis. Sistem politik otoriter semacam Orde Baru misalnya telah dapat menunjukkan bahwa semangat ekonomi pasar bebas akhirnya direnggut oleh konspirasi borjuis yang berbau kolutif-nepotis, sehingga pasar bebas yang sesungguhnya tidak terjadi.
Bila demikian, sirnalah sudah cita-cita keadilan sosial yang merata bagi masyarakat, karena dengan suburnya praktik koncoisme dalam aktivitas ekonomi maka yang terjadi selanjutnya malah adalah monopoli, oligopoli, dan konglomerasi yang kesemuanya dikemas rapi sehingga tidak beraroma busuk.
Karena itu, tuntutan bagi terwujudnya sistem demokrasi merupakan suatu keniscayaan yang tak tertolak. Pasar bebas sudah di depan mata, sehingga upaya-upaya ke arah demokratisasi harus segera dilaksanakan.
Momen reformasi saat ini sebenarnya adalah saat yang tepat untuk secara serius menggarap usaha-usaha demokratisasi. Heru dalam buku ini sepertinya tidak terlalu tertarik dengan usaha demokratisasi di tingkat elit politik (high politics), dengan lebih memilih jalur bawah (grass root). Hal ini karena proses reformasi yang sedang berlangsung saat ini memungkinkan rakyat bawah ikut berkiprah langsung dalam proses-proses sosial-politik.
Untuk itulah, bila rakyat bawah tidak memiliki cukup pengetahuan tentang pendidikan politik kewargaan, maka dikhawatirkan rakyat bawah yang awam itu akan mudah digerakkan untuk kepentingan-kepentingan kelompok politik tertentu, sehingga hal itu hanya akan bersifat kontra-produktif bagi proses demokratisasi.
Heru mengingatkan bahwa pemberdayaan masyarakat lapisan bawah tidak dilakukan dengan jalan revolusioner, akan tetapi lebih dengan cara mengoptimalkan fungsi dari institusi-institusi mediasi di masyarakat yang sebetulnya secara sehari-hari telah dimanfaatkan masyarakat. Struktur mediasi yang dimaksudkan di sini adalah lembaga-lembaga yang mempunyai posisi di antara wilayah kehidupan pribadi dengan lembaga-lembaga birokrasi negara yang bersifat publik.
Contoh dari struktur mediasi di sini meliputi keluarga, ketetanggaan, komunitas agama, dan kelompok swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini biasanya memiliki akar sosiologis yang cukup kuat sehingga individu dapat merasa at home di dalam struktur mediasi tersebut. Dengan memanfaatkan struktur-struktur mediasi ini, sebenarnya juga berarti usaha mendayagunakan kekuatan lokal, baik institusi maupun sumber daya alam, untuk kesejahteraan masyarakat.
Yang menarik adalah bahwa pemberdayaan masyarakat melalui struktur-struktur mediasi ini pada sisi yang lain juga peduli dengan fakta pluralitas masyarakat karena interaksi melalui struktur-struktur mediasi tersebut menuntut masing-masing pihak untuk saling-menghormati yang lain.
Paling akhir, pemberdayaan masyarakat lapis bawah yang diusulkan Heru dalam konteks reformasi ini dapat juga dilihat sebagai usaha mengimbangi tata politik yang timpang akibat terlalu menguatnya negara selama Orde Baru.
Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 28 Maret 2001.
Kamis, 29 Maret 2001
Menyoal Cita Keadilan Negara
Selasa, 13 Maret 2001
Demokrasi itu Tameng Pembangunan
Judul Buku : Demokrasi Tidak Bisa Memberantas Kemiskinan
Penulis : Amartya Sen
Pengantar : H. Witdarmono
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : 100 halaman (termasuk indeks)
Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Timur dan Tenggara di penghujung 1997 telah meruntuhkan basis ekonomi di berbagai negara kawasan itu, seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Bahkan, Indonesia hingga kini belum bisa memulihkan kondisi perekonomiannya secara baik. Padahal, sebelumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai 7% per tahun.
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi Tahun 1998 kelahiran India dalam buku yang berjudul asli Beyond the Crisis: Development Strategies in Asia ini mencoba melihat lebih jauh akar permasalahan krisis ekonomi di kawasan tersebut. Berdasarkan pengamatannya terungkap bahwa ternyata di beberapa negara di kawasan tersebut terdapat suatu kesalahan mendasar berkaitan dengan strategi pembangunan yang selama ini diterapkan.
Dalam pandangan Amartya Sen, pembangunan di beberapa negara Asia selama ini mengabaikan aspek protektif dari gejolak ekonomi dan sosial, sehingga ketika krisis menimpa upaya pemulihan berjalan lamban. Mereka tidak menyadari bahwa ancaman interupsi terhadap proses pembangunan atau kerentanan ekonomi terus-menerus mengintai, bahkan terhadap negara manapun. Selama ini, mereka tidak memperhatikan faktor keamanan yang bersifat antisipatif dalam mengamankan proses pembangunan.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan Sen dengan proteksi sosial terhadap krisis ekonomi itu? Menurut Sen, demokrasi dan kebebasan adalah tameng ampuh pembangunan yang dapat menjaga keberlangsungan pembangunan suatu negara. Demokrasi memiliki kekuatan protektif untuk menjaga stabilitas perkembangan ekonomi karena senyatanya pemerintah dalam atmosfer cerah demokasi dapat benar-benar segera menanggapi kebutuhan dan kesulitan rakyat dengan tepat.
Kasus Indonesia menjadi contoh yang menarik bagi Sen. Menurut Sen, ketika Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, demokrasi mungkin tidak terlalu menarik. Akan tetapi, ketika krisis datang menyerbu dan melibas habis mukjizat pertumbuhan yang dimilikinya, dan ternyata lembaga demokrasi belum tertata secara mapan, maka yang terjadi adalah sulitnya pengelolaan suara-suara dan aspirasi masyarakat untuk ikut dalam proses pemulihan ekonomi tersebut. “Payung protektif demokrasi sama sekali tak tersedia tepat ketika ia dibutuhkan,” tulis Sen.
Menurut Sen, beberapa negara di Asia sebenarnya telah cukup banyak memiliki pelajaran berharga tentang bagaimana membangun negaranya. Ada strategi khas yang dimiliki beberapa negara di kawasan ini, yang kemudian kira-kira menjadi rekomendasi Sen untuk memulihkan krisis ekonomi di kawasan Asia.
Strategi pembangunan yang khas “Timur” menurut Sen adalah pembangunan manusia. Pengalaman Jepang menjadi contoh yang menarik. Ekonomi Jepang sejak awal bergerak ke arah perluasan besar-besaran terhadap kesempatan pendidikan dan peluang sosial yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam proses perubahan sosial dan transaksi ekonomi.
Penguatan pendidikan dasar bagi warga negara menurut Sen tidak hanya sekedar menjadi semacam human investement bagi masa depan, tapi juga dapat meningkatkan kemampuan produktif manusia, memudahkan perluasan ekonomi dan industri, meningkatkan peluang kerja bagi kalangan wanita, dan menurunkan tingkat kesuburan (fertilitas). Ini berarti, pendidikan dasar sebenarnya dapat menciptakan kesempatan sosial serta meningkatkan kualitas hidup manusia dalam berbagai sisinya.
Konsep peluang sosial dalam teori pembangunan Sen menempati posisi penting. Konsep ini amat terkait dengan konsep kebebasan yang sebenarnya inheren dalam demokrasi. Menurut Sen, kebebasan yang tercermin dengan terbukanya peluang-peluang sosial adalah bagian penting yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Mencabut kebebasan (politik) masyarakat sebenarnya adalah awal bagi pemiskinan negara. Jadi, kebebasan itu menurut Sen sebenarnya adalah bagian dari pembangunan.
Sen pernah melakukan penelitian tentang kasus kelaparan yang menimpa di beberapa negara. Dari penelitiannya ditemukan bahwa ternyata kemiskinan terjadi bukan karena kekurangan atau kelangkaan pangan, tetapi karena kekurangan demokrasi (kebebasan).
Karena itu, pelajaran berharga dari krisis di Asia adalah tentang pentingnya jaring pengaman sosial berupa terbentuknya faktor sosial yang kokoh untuk mengantisipasi krisis ekonomi. Dan, krisis (kemiskinan) ekonomi di sini terjadi karena terjadi krisis (kemiskinan) politik, yakni ketika demokrasi diabaikan, dan kebebasan dibungkam.
Pemikiran Sen tentang pembangunan ini menarik karena sebenarnya Sen sedang berada dalam kerangka pikir bagaimana mengusahakan kaum papa dalam suatu negara agar secara sistemik diuntungkan, sehingga akhirnya mereka dapat keluar dari situasinya yang pengap dan sumpek itu. Karena itu, Robert M. Solow, ekonom Amerika peraih Nobel Ekonomi 1997 menyebutkan bahwa karya-karya Sen di bidang ekonomi merupakan “the conscience of economics”, suara hati ilmu ekonomi.
Goenawan Mohamad pernah menyebut ilmu ekonomi sebagai ilmu yang murung, karena ia terlepas dari kebersahajaannya sebagaimana ia lahir di zaman Yunani Kuno, yakni bahwa ilmu ekonomi adalah sekedar “manajemen rumah tangga”. Dengan pengertian sederhana ini, ilmu ekonomi berbicara tentang kebutuhan mendasar suatu komunitas, yang sama sekali tidak memiliki pretensi untuk “memonopoli”, sehingga membuat kelompok lain tidak berkecukupan.
Kehadiran pemikiran Amartya Sen ini dapat dilihat sebagai usaha untuk memoles wajah ilmu ekonomi dengan citra yang lebih manusiawi. Seperti juga disebut H. Witdarmono, wartawan senior Kompas yang mengantarkan buku ini, bahwa ternyata Sen telah dapat membuktikan sesungguhnya “suara hati” ilmu ekonomi itu hanya bisa muncul apabila yang dibahas adalah persoalan hidup kelompok masyarakat pinggiran yang tak diuntungkan oleh sistem yang melingkupinya.
Tulisan ini dimuat di www.berpolitik.com, 12 Maret 2001.
Senin, 12 Maret 2001
Dialektika Negara dan Masyarakat di Cina
Judul Buku: Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina
Penulis: I. Wibowo
Penerbit: Gramedia bekerjasama dengan Pusat Studi Cina, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2000
Tebal: xii + 324 halaman
Diskursus ilmu-ilmu sosial tentang hubungan negara dan masyarakat sudah menjadi tema klasik yang tetap saja menarik dikaji. Pada abad ke-17 Thomas Hobbes sudah memulai diskusi tentang negara dan masyarakat dengan mengatakan bahwa negara pada dasarnya adalah penyelenggara ketertiban masyarakat. J.J. Rousseau dan John Locke mengemukakan Teori Kontrak Sosial, yaitu bahwa negara adalah hasil kesepakatan masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama.
Buku ini merupakan studi kasus tentang interaksi negara dan masyarakat yang terjadi di negeri Cina. Kasus Cina menarik karena sebagai negara yang didominasi oleh satu partai, yakni Partai Komunis Cina (PKC), Cina dalam dua puluh terakhir ini berusaha mengadakan langkah-langkah reformasi. Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan hubungan negara dan masyarakat setelah reformasi dijalankan di Cina? Adakah kemungkinan terbentuknya tatanan sosial yang lebih baik (civil society) dalam ideologi politik sosialis?
Secara teoritik I. Wibowo—penulis buku ini, yang juga menjadi Kepala Pusat Studi Cina di Jakarta—mendasarkan uraiannya pada Teori Strukturasi Anthony Giddens. Teori Strukturasi Giddens merupakan sintesis baru terhadap ancangan teoritik kelompok Pluralis yang terlalu menekankan agensi (pelaku politik) dan ancangan teoritik kelompok Marxis yang menekankan kepada struktur politik.
Menurut Giddens, hubungan negara dan masyarakat bersifat dialektik. Struktur dan agensi saling mempengaruhi terus-menerus tanpa henti. Struktur mempengaruhi agensi dengan memberikannya kemampuan (enabling) atau memberikan hambatan (constraining). Akan tetapi, agensi juga dapat mempengaruhi struktur dengan tindakan-tindakan menyimpang sehingga struktur kemudian berubah secara lambat-laun. Menurut kerangka Teori Strukturasi Giddens ini yang lebih dikedepankan untuk dilihat adalah social practice dan dialectic of control antara negara dan masyarakat (struktur dan agensi).
Dalam menyoroti dialektika negara dan masyarakat di Cina, Wibowo memulai uraiannya dengan memberikan pemaparan tentang sejarah pembentukan negara di Cina. Republik Rakyat Cina (RRC) berdiri pada tahun 1949, ketika Partai Komunis Cina (PKC) memenangkan pertarungannya dengan Partai Nasionalis Cina. Ketika itu, Cina nyaris hancur lebur akibat perang berkepanjangan selama 12 tahun. Jauh sebelum itu, kondisi politik di Cina amat memprihatinkan, penuh dengan penjajahan, perang, dan pemerintahan yang korup.
Tak heran ketika Cina mendapat kesempatan mendirikan negara baru, pemimpin PKC yang kemudian menjadi pemimpin Cina, Mao Zedong, berujar dengan lantang: “Bangsa kita bukan lagi bangsa yang terhina dan terinjak. Kita telah tegak berdiri”.
Agenda pemerintahan Mao Zedong yang baru amat berat. Kondisi Cina yang porak-poranda mengharuskan Mao Zedong untuk segera menyelesaikan empat agenda penting: menetapkan kontrol atas perbatasan, membangun birokrasi, membangun ekonomi, dan mencari pengakuan internasional. Hasilnya memang luar biasa. Dalam waktu sekitar lima tahun Mao Zedong cukup berhasil membangun lima agenda penting tersebut.
Akan tetapi, ambisi Mao Zedong yang berlebihan untuk menyamai Inggris dan Amerika dalam waktu 10-15 tahun yang memuncak pada “Revolusi Kebudayaan” tahun 1966 telah melahirkan keterpurukan dan kehancuran pembangunan. Antara tahun 1959-1960 ada sekitar 20 juta orang petani yang mati kelaparan. Pemerintahan Mao Zedong dengan Pengawal Merahnya di mata rakyat seperti membawa teror yang mengguncang tatanan sosial. Negara dapat dikatakan kembali hancur.
Iklim politik yang pengap ini berubah ketika pada tahun 1978 Deng Xioping tampil memimpin Cina dengan tawaran agenda-agenda reformasi. Dengan semangat pragmatisme radikal Deng Xioping terhitung sukses membawa perekonomian Cina ke dalam pertumbuhan yang luar biasa pesat. Pertumbuhan ekonomi cukup stabil, dan arus investasi mengalir deras.
Secara umum struktur negara di Cina mengikuti model Negara Organis Tenaga Kerja, yakni dengan model diktator-proletariat. Negara melakukan kontrol total terhadap segenap aktivitas rakyat. Di bawah pimpinan para pemimpin partai, negara diorganisir untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Keterikatan negara terhadap partai amat kuat, karena struktur negara selalu dibayang-bayangi oleh struktur partai yang mengawasi masyarakat dengan penuh curiga.
Dalam arus panjang dan struktur dinamika sosial-politik yang begitu rumit itu Wibowo dalam buku ini berusaha menyorot tiga aktor penting yang bermain di Cina, petani, buruh, dan kaum intelektual, berhadapan dengan kontrol negara yang begitu kuat. Semua penjelasan dibagi atas dua periode, yakni periode pemerintahan Mao Zedong sejak tahun 1949 dan tahap kedua dimulai dari tahun 1978, setelah Deng Xioping memegang kendali pemerintahan.
Pada tahap pertama, petani nyaris seperti “sapi perahan” bagi kepentingan negara. Petani di pedesaan dikerahkan dan diorganisir dalam “komune-komune” untuk menghasilkan surplus pertanian yang diperuntukkan bagi aktivitas industrialisasi di kota. Pada tahap ini petani jelas tidak mendapatkan surplus pekerjaannya sendiri. Pada tahap kedua, kontrol negara terhadap petani berkurang karena mereka bekerja dengan sistem kontrak. Akan tetapi, malangnya, petani dibiarkan hidup dalam bayang-bayang hantu kapitalisme yang dapat menelan habis mereka yang tak memiliki keunggulan komparatif.
Sementara itu, buruh yang menjadi tulang punggung kegiatan industri di kota juga mengalami nasib yang kurang lebih sama dan tidak lebih baik daripada petani. Pada saat Mao Zedong berkuasa kontrol negara terhadap buruh begitu kuat, karena menurut model Negara Organis Tenaga Kerja kehidupan buruh sepenuhnya diatur oleh negara dalam rangka meningkatkan produksi industri.
Di bawah pemerintahan Deng Xioping buruh memang mendapat kebebasan bekerja di mana saja, seiring dengan kebijakan dibukanya lapangan kerja swasta. Meski begitu, buruh tetap saja sulit mendapatkan perlakuan adil karena mereka tidak memiliki wadah organisasi yang secara independen memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan para pengusaha kapitalis.
Kehidupan kaum intelektual Cina juga cukup problematis. Mereka harus berhadapan dengan totaliterisme partai yang menghendaki penyeragaman pemikiran. Partai Komunis Cina memang memiliki kebijakan yang tergolong aneh bila dilihat dari perspektif teori Marxis pada umumnya. Pimpinan PKC percaya bahwa perubahan sosial harus dijalankan lewat perubahan pikiran, bukan perubahan basis material. Karena itu, teknik kampanye dan propaganda serta kontrol terhadap arus pemikiran diberlakukan amat ketat. Di bawah pemerintahan Mao Zedong kaum intelektual betul-betul takluk karena Mao Zedong akan mengganyang semua orang yang mempunyai pikiran berbeda dengan partai.
Setelah reformasi Deng Xioping kaum intelektual memang diberi ruang kebebasan yang lumayan luas. Akan tetapi mereka tetap tidak diperbolehkan mengotak-atik wilayah kebijakan pembangunan negara. Gerakan-gerakan pro-demokrasi diawasi ketat, bahkan kalau perlu diberi hukuman yang berat.
Berbagai tekanan negara terhadap petani, buruh, maupun intelektual ternyata tidak semata-mata merupakan aksi sepihak yang dilancarkan negara. Menghadapi berbagai represi dan kontrol negara itu mereka berusaha bersiasat mencari celah-celah yang memungkinkan mereka bergerak lebih bebas dan leluasa melawan struktur.
Masalah terbesar dalam hubungan negara dan masyarakat di Cina adalah adanya kenyataan bahwa negara begitu kuat di hadapan masyarakat, sehingga masyarakat tidak memiliki andil yang memadai untuk terlibat dalam proses politik. Masyarakat malah dianggap sebagai musuh yang harus ditundukkan dengan kontrol penuh, karena bila masyarakat bergerak negara khawatir pembangunan akan terganggu. Stabilitas menjadi kata kunci yang tak bisa ditawar-tawar. Akibatnya, hak-hak masyarakat yang oleh Giddens disebut citizens rights—yakni civil rights, political rights, dan economic rights—lenyap.
Di akhir buku ini, Wibowo memberikan catatan penting bila pemimpin negara (Cina) ingin memperbaiki hubungan negara dan masyarakat. Dengan mengutip Giddens Wibowo mengatakan bahwa perlu dikembangkan dialogic democracy melalui penguatan otonomi komunikasi. Komunikasi politik dilepas tanpa kontrol sehingga dialog yang terbangun dapat menciptakan tingkat trust yang tinggi antar-masyarakat.
Buku ini menjadi penting dan menarik karena berusaha menempatkan situasi politik Cina dalam proporsi yang lebih berimbang. Komunisme di Cina yang telah hidup sekian lama tidak dapat dipersamakan dengan komunisme di negara lain. Ciri totaliter tidak sepenuhnya benar dan tepat, karena selalu saja ada dinamika dan tarik-ulur kekuatan antara negara dan masyarakat. Uraian lugas yang penuh dengan data lapangan semakin melengkapi nilai lebih buku ini. Apalagi, literatur tentang politik Cina berbahasa Indonesia nyaris belum ada.
Bagi bangsa Indonesia yang sedang berusaha membangun demokrasi dan kehidupan yang lebih baik pasca-krisis multidimensional, buku ini menjadi kawan dialog yang tepat yang dapat memberikan banyak inspirasi.
Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 11 Maret 2001.
Kamis, 08 Maret 2001
Mantra Mistis Politik Orde Baru
Judul Buku: Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia
Penulis : Niels Mulder
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: xvi + 184 halaman
Secara sepintas, dunia mistik memang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia politik. Akan tetapi, Niels Mulder dalam buku ini membuktikan betapa alam pemikiran mistisisme Jawa telah sekian lama bercokol dalam nalar politik masyarakat Indonesia. Niels Mulder menengarai adanya kesejajaran pola pemikiran mistis Jawa dengan pola rekayasa kultural nation building di Indonesia.
Ini terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Ideologi Pancasila tidak hanya dijadikan sebagai pusat wacana politik dan ideologi Indonesia, akan tetapi juga diberi label ruh kebudayaan sebagai alat legitimasi. Untuk itulah, rezim Orde Baru memproyeksikan dirinya sebagai sebuah Orde Kultural yang mengusung semangat orisinilitas kultural Bangsa Indonesia.
Problem yang dipersoalkan di sini bukan sekedar soal legitimasi kultural yang digunakan. Lebih jauh lagi, bagaimana pola kesejajaran itu memberikan implikasi bagi atmosfer politik Indonesia selama Orde Baru—bahkan mungkin juga hingga saat ini.
Alam pikiran mistis bagi masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang asing. Warisan praktik dan pemikiran Hinduisme dan Budhisme menjadi lahan subur bagi praktik mistisisme. Bahkan kehadiran Islam pun tidak bisa melepaskan dirinya dari berbagai praktik mistis, sehingga dalam perkembangannya muncul istilah Islam-Kejawen.
Tradisi mistisisme Jawa ini juga disokong oleh berbagai sumber literatur lokal yang bersifat sinambung berupa naskah-naskah kuno seperti Negarakertagama, Serat Centini, atau Wedhatama, yang dilanjutkan oleh teks-teks abad XX karya Ki Hadjar Dewantara atau Ki Ageng Soejomentaram. Dalam bidang kebudayaan hal ini juga diperkuat dengan penafsiran wayang yang bersifat populer dengan menjawakan mitologi Mahabharata atau Ramayana.
Menguatnya nalar politik mistis dalam ranah politik nasional Indonesia menurut Mulder dimulai sejak naiknya mayoritas pimpinan Angkatan Darat dan petinggi pemerintahan yang memiliki akar kuat tradisi kejawen di awal Orde Baru. Ditambah lagi ada rasa ketidakpuasan masyarakat yang tak terbendung terhadap agama-agama formal yang sudah mapan, sehingga mereka melirik dunia mistis. Terjadilah proses revitalisasi kejawen yang berjalan melalui jalur atas dan jalur bawah sekaligus.
Kebangkitan kejawen dalam dua jalur ini mempermudah terjadinya proses jawanisasi dalam dunia politik. Menurut Mulder, sebenarnya proses ini sudah dimulai sejak sebelum Orde Baru, ketika idiom-idiom politik diadopsi dari khazanah mistis Jawa. Slogan-slogan Soekarno misalnya menurut Mulder seringkali menimbulkan kesan bahwa ada usaha menguasai dunia politik dengan menggunakan mantra-mantra sakti.
Orde Baru mengawali pemerintahannya dengan suatu legitimasi yang bersifat mistis: Supersemar. Kata yang cukup bertuah ini berasal dari kata Super yang menunjuk kepada manifestasi ketuhanan yang sempurna, yakni Ismaya, kakak Dewa Shiwa, dan Semar yang merupakan tokoh utama dalam dunia pewayangan yang selalu mendukung kebenaran—kalau bukan kebenaran itu sendiri.
Orde Baru memperteguh dirinya dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara diikuti dengan penafsiran resmi terhadap kelima sila Pancasila. Penafsiran terhadap Pancasila bila diamati menurut Mulder amat sejajar dengan pola-pola pemikiran mistis Jawa, sehingga misalnya banyak ditemukan kata-kata Jawa yang digunakan. Seperti istilah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, atau tut wuri handayani (yang kemudian menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional).
Proses ini dilanjutkan dengan indoktrinasi habis-habisan melalui jalur pendidikan formal. Peserta didik dari kelas dasar hingga perguruan tinggi tanpa sadar dijejali dengan nalar mistis Jawa yang menurut Mulder ditafsirkan untuk mengebiri kritisme masyarakat. Karena itu, nalar mistis yang dikembangkan dalam menafsirkan Pancasila adalah nalar yang mengedepankan harmoni, kolektivisme, ketaatan pada ‘guru’, kemanunggalan rakyat-negara, dan sebagainya.
Kajian dalam buku ini menarik terutama untuk memahami proses pembentukan budaya dan nalar politik masyarakat Indonesia saat ini yang sedang berusaha mereformasi dan menyingkirkan berbagai hambatan proses demokratisasi. Buku ini nampaknya membisikkan kita semua untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ideologi negara, bukan memuatinya dengan nalar mistis yang menumpulkan sikap kritis, rasional, dan menjunjung otonomi individu.
Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 7 Maret 2001.
Jumat, 02 Maret 2001
Indonesia dalam Bayang Ketidakpastian
Judul Buku: Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi & Krisis
Editor: Chris Manning dan Peter van Diermen
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 2000
Tebal: xxviii + 445 halaman
Bangsa Indonesia saat ini sedang berada di ruang penantian panjang bernama “masa transisi”. Seperti layaknya setiap masa transisi, yang tampak di depan adalah perjalanan panjang berliku dengan ketidakpastian dan kabut gelap yang membawa seribu kemungkinan. Ditambah lagi dengan perilaku elit-elit politik yang masih setia mengusung kepentingan dan panji-panji kelompoknya sendiri.
Dalam suasana demikian, muncul beragam opini atau analisis menyangkut pemerintahan transisi dan masyarakat transisi itu sendiri. Ironisnya, opini atau analisis tersebut sering diambil dengan tergesa-gesa dan bersifat reaksioner serta mengabaikan proses historis krisis dan reformasi yang panjang. Sempitnya perspektif, minimnya data, dan pemberitaan yang bersifat provokatif seperti memperkeruh proses transisi, menyeret masyarakat ke dalam ruang ketidakpastian yang semakin berlapis.
Buku yang berasal dari kumpulan makalah konferensi di Canberra, akhir 1999 ini berusaha menelaah aspek-aspek sosial dari krisis dan proses transisi di Indonesia. Buku yang semula diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies (2000) Singapura ini mencoba secara jernih mengamati segi-segi proses transisi dengan perspektif yang lebih luas: sosial-politik-ekonomi, hubungan luar negeri, sosial-budaya, lingkungan, hukum, dan agama. Para penulis di buku ini kebanyakan para pengamat asing (Marcus Mietzner, Anne Booth, James J. Fox, Chris Manning, dan sebagainya), ditambah beberapa pengamat dalam negeri yang sudah cukup dikenal (Djisman S. Simandjuntak, Nursyahbani Katyasungkana, Azyumardi Azra, M. Chatib Basri, dan lain-lain).
Hal menarik yang disoroti buku ini adalah adanya dugaan kuat bahwa ternyata proses reformasi yang selama ini berlangsung belum mampu menggeser budaya politik lama dengan budaya politik baru yang lebih baik. Katakanlah kebiasaan elit politik untuk berpikir demi kepentingan dirinya atau kelompoknya belum berubah. Rakyat bagi elit politik dipahami dalam dua pengertian: massa bisu yang bodoh, atau gerombolan liar yang tak dapat dikendalikan. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada partai politik yang cukup mampu memiliki akar kuat di tingkat rakyat bawah.
Ketidakseriusan elit politik ini juga nampak dalam beberapa momen penting proses reformasi. Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) misalnya yang merupakan proyek terakhir dari DPR hasil pemilu 1997 tidak mendapat reaksi keras dari partai-partai politik. RUU yang mengancam semakin besarnya peran militer dalam kancah politik itu malah ditolak secara kritis oleh gerakan mahasiswa hingga mengorbankan tujuh nyawa tak berdosa.
Saat-saat menjelang Pemilu dan Sidang Umum 1999 pembeda antara partai reformis dan kekuatan status quo nyaris lenyap. Semua partai besar berkepentingan membina aliansi dengan militer, sementara janji untuk tidak bekerja sama dengan Partai Golkar—partai yang dituduh menjadi mesin politik Orde Baru—dilupakan karena masih besarnya kekuatan politik Golkar di pusat-pusat kekuasaan.
Reformasi sistem politik dan hukum hanya berkisar para aspek prosedural-institusional dan belum mengarah kepada perubahan penting menuju terbentuknya masyarakat beradab. Terbukti proses reformasi hukum misalnya belum sukses karena norma hukum tak tertulis tidak ikut direformasi. Yang cukup mengenaskan adalah kenyataan bahwa reformasi hukum belum mampu melawan kekuasaan semena para elit politik yang jelas-jelas menghambat proses reformasi.
Sementara itu, tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia masih amat banyak. Orang-orang lama yang terbiasa dengan empuknya kekuasaan hingga saat ini terlihat tetap mengincar kekuasaannya kembali. Dalam bentuk yang lebih konkret, ancaman disintegrasi akibat berbagai krisis yang terjadi menjadi masalah serius yang juga tak kunjung selesai.
Buku ini terbilang cukup lengkap mengulas berbagai aspek proses reformasi di tengah arus transisi. Beberapa momen penting reformasi disorot secara lebih dalam untuk menunjukkan arah dan kecenderungan berbagai kekuatan sosial-politik yang sedang bermain. Empat sisi krisis yang dialami bangsa Indonesia—krisis hubungan luar negeri, krisis kesatuan nasional, krisis demokratisasi, dan krisis ekonomi—dipotret secara lebih jernih. Buku ini mungkin dapat menemani bangsa Indonesia mengawal proses reformasi agar tidak terjebak dalam kesuraman masa transisi yang menakutkan.
Label: Book Review: Politics