Judul Buku : Daulat Manusia
Penulis : Thomas Paine
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2000
Tebal : xiv + 244 halaman
Revolusi Perancis pada tahun 1789 diakui sebagai peristiwa yang memberi inspirasi bagi munculnya gagasan-gagasan besar tentang demokrasi, persamaan derajat, dan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, pada saat kelahirannya, ide-ide tersebut tidak langsung begitu saja dinilai sebagai gagasan cemerlang karena menjunjung tinggi martabat manusia.
Edmund Burke misalnya, menanggapi heroisme Revolusi Perancis dengan penuh cemooh. Menurut Burke, Revolusi Perancis adalah aksi pemberontakan terhadap seorang raja yang sah dan berhati lembut serta dipenuhi dengan amarah yang haus darah. Bagi Burke, Raja Perancis, Louis XVI, adalah satu-satunya orang yang memiliki hak untuk menjadi pemimpin di Perancis, dan aksi massa pada peristiwa Revolusi Perancis adalah pemberontakan keji yang kekejamannya melebihi kekejaman dan caci maki yang pernah dilontarkan bangsa manapun yang menentang penguasa paling lalim di muka bumi.
Thomas Paine, seorang kelahiran Inggris melalui buku ini memberi catatan-catatan kritis atas serangan Burke terhadap Revolusi Perancis itu. Menurut Paine, Revolusi Perancis bukan perlawanan terhadap pemerintahan Raja Louis XVI, tapi perlawanan terhadap prinsip pemerintahan berkekuasaan mutlak. Dalam pengamatan Paine, Revolusi Perancis meletus gara-gara terjadi persekongkolan struktural antara kerajaan, parlemen, dan gereja untuk menerapkan despotisme feodal di seluruh Perancis.
Revolusi Perancis, yang ditandai dengan penyerbuan Penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789, adalah perjuangan rakyat Perancis untuk merebut kembali hak-hak kodrati yang direnggut seenaknya oleh penguasa. Dalam serangannya terhadap Revolusi Perancis, Burke mengatakan bahwa rakyat sebenarnya tidak memiliki hak apa-apa karena dahulu para sesepuh masyarakat mereka telah menyerahkan seluruh haknya kepada pemerintah.
Menanggapi pernyataan Burke inilah Paine secara panjang lebar menguraikan hakikat Hak Asasi Manusia yang menjunjung tinggi kebebasan dan persamaan dalam seluruh uraian buku ini. Menurut Paine, tak ada satu generasi di muka bumi ini yang berhak mengatur generasi berikutnya. Setiap zaman dan generasi bebas menentukan dirinya sendiri.
Sejarah penciptaan manusia mengakui bahwa pada dasarnya manusia itu satu. Dengan kesatuan manusia (the unity of man) dimaksudkan bahwa manusia itu semua memiliki derajat yang sama, dan, karena itu, juga memiliki hak-hak kodrati yang sama pula. Pengakuan bahwa suatu generasi memiliki hak untuk mengatur generasi berikutnya bagi Paine adalah suatu tiranisme yang usaha menjauhkan manusia dari kodrat kedaulatannya yang bersifat ilahi.
Kodrat manusia, selain kesamaan derajat dan kedaulatan untuk menentukan dirinya sendiri, juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Watak ini, menurut Paine, juga didorong oleh kondisi alam sehingga manusia tidak hanya harus hidup bermasyarakat untuk dapat survive, akan tetapi juga harus menanamkan suatu sistem cinta kasih kepada masyarakat demi meraih kebahagiaannya sendiri. Ketertiban dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya terbentuk dari hakikat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, pemerintah, bagi Paine, semestinya tidak lebih dari suatu perhimpunan yang bertindak menurut prinsip-prinsip hidup bermasyarakat. Pemerintah harus menjamin terlaksananya kehidupan tertib yang menunjung kedaulatan manusia, dan bukannya mengikis habis ikatan alami manusia untuk bermasyarakat itu.
Karya yang berjudul asli The Rights of Man ini tergolong naskah klasik yang menjadi dokumen sejarah pergolakan revolusi di Perancis. Keberanian Paine dalam membela praksis revolusi di Perancis--meski di tempat kelahirannya ia dicaci dan dituduh pengkhianat--adalah bagian dari perjuangannya untuk kebebasan manusia lepas dari cengkeraman kekuasan mutlak. Refleksi kritis bercorak filosofis yang dilakukan Paine dalam buku ini pada akhirnya berhasil mengungkap makna hakikat kebebasan dan persamaan derajat yang menjadi semangat kehidupan demokrasi serta prinsip-prinsip dasar hidup bernegara.
Karena itulah, dalam kondisi bangsa kita yang sedang berusaha "meraba-raba" sosok demokrasi, buku ini dapat menjadi "kawan dialog" yang cukup baik untuk memunculkan gagasan bijak sekaligus mengingatkan kita bersama tentang hak dan kedaulatan manusia yang selama ini terampas dan terabaikan.
Tulisan ini dimuat di www.berpolitik.com 24 November 2000.