Jumat, 10 November 2017

Al-Sari, Kiai Basyir, & Tirakat Mendisiplinkan Jiwa

KH Ahmad Basyir Abdullah Sajjad - foto tahun 2011.

Ada satu penggalan kisah yang menarik tentang al-Sari al-Saqathi (w. 867), sufi besar dari Baghdad, yang dikisahkan dalam kitab-kitab tasawuf klasik seperti Ihya’ Ulumiddin atau Risalah Qusyayriyyah. Diceritakan bahwa paman Junayd al-Baghdadi tersebut pernah berkata: “Selama empat puluh tahun, nafsuku memintaku untuk mencelupkan roti ke dalam sirup gula tapi aku tidak menurutinya.”

Kutipan al-Sari, murid sufi besar al-Karkhi, di atas disebutkan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ juz ketiga dalam bab Riyadlatunnafs (Olah Jiwa). Kutipan ini muncul saat al-Ghazali mendiskusikan masalah bernikmat-nikmat dalam hal yang diperbolehkan (al-tana‘‘um bi al-mubah). Al-Ghazali menjelaskan bahwa menikmati hal yang diperbolehkan haruslah tetap diwaspadai karena itu bisa menjadi penyebab menjauhnya kita dari Allah.

Apa yang diutarakan oleh al-Sari ini tidak lain adalah contoh mujahadah (memerangi nafsu/diri, berusaha keras) sekaligus riyadlah (olah batin, pendisiplinan) yang dalam Ihya’ disebut sebagai salah satu upaya untuk memperoleh akhlak yang baik. Kisah ini menggambarkan usaha keras al-Sari untuk menampik bisikan nafsunya untuk menikmati kelezatan makanan tertentu yang sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang dilarang. Namun demikian, hal semacam ini bagi kaum sufi adalah langkah penting untuk menjinakkan nafsu—yang jika sudah mulai menguasai diri bisa dengan seketika membalikkan keadaan batin seseorang sehingga dapat menjerumuskannya ke jurang kehinaan.

Waktu “empat puluh tahun” dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa tirakat menaklukkan jiwa bukanlah episode yang pendek. Ia bukan seperti usaha keras dalam lari jarak pendek. Ia adalah usaha keras yang harus dilakoni dalam waktu yang panjang—mungkin seperti lari maraton. Karena itu, ikhtiar untuk menaklukkan nafsu mungkin akan terus berlangsung hingga akhir hayat.



Saat membaca kutipan al-Sari ini, saya jadi teringat sebuah petikan kisah almarhum ayah saya yang pernah bercerita tentang almarhum Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah yang wafat pada bulan Juli lalu. Saat masih kecil, ayah saya mondok di Pesantren Sidogiri Pasuruan dengan “dititipkan” (oleh kakek saya) kepada Kiai Basyir yang saat itu berusia remaja.

Salah satu hal yang sering diceritakan ayah saya adalah tentang bagaimana Kiai Basyir makan sehari-hari di pondok. Pada sekitar awal tahun 1950-an, saya pikir makanan di pesantren pada khususnya tentu tidak seperti saat ini yang mudah didapat dan banyak pilihan. Yang menarik, di tengah keterbatasan makanan seperti itu, Kiai Basyir remaja memberi teladan yang luar biasa. Kata ayah saya, jika Kiai Basyir sedang menikmati makanan yang lezat, dan beliau menikmatinya, sering kali beliau tiba-tiba segera mengakhiri aktivitas makannya itu.

“Jadi, beliau buru-buru berhenti makan justru saat makanannya sedang terasa nikmat sekali,” kata ayah saya bertahun-tahun lalu.

Saat mengingat cerita ini dengan latar kisah al-Sari dalam kitab Ihya’, saya jadi mengerti bahwa apa yang dilakukan Kiai Basyir remaja itu adalah contoh nyata tentang pelajaran pengendalian atau pendisiplinan nafsu/diri sekaligus upaya keras untuk menjinakkan atau menaklukkannya. Dengan latar kisah al-Sari, saya memahami pilihan sikap Kiai Basyir remaja itu dilakukan tak lain untuk menjaga agar jangan sampai saat kita tengah menikmati kelezatan makanan, yang mengendalikan kita justru nafsu kita—yang dari situ sangat mungkin lahir sikap melebihi batas.

Masih dalam hal makan, ayah saya juga sering bercerita bahwa saat menanak nasi, Kiai Basyir remaja acap kali mengurangi takaran beras yang akan dimasaknya. Caranya, beliau memukulkan wadah takaran yang terbuat dari alumunium ke benda keras sehingga sedikit demi sedikit membentuk benjolan ke dalam. Lambat laun, otomatis isi takaran akan menjadi lebih sedikit.

Kisah al-Sari dan juga Kiai Basyir di atas memperlihatkan bahwa tirakat atau mujahadah tidaklah harus selalu berkaitan dengan hal-hal yang besar dan wah. Hal-hal kecil yang mungkin bersifat atau terkait dengan hal yang bersifat material atau duniawi jika dilakukan secara terus-menerus mungkin akan dapat membentuk sikap batin (akhlak, hay’ah) tertentu yang dapat menopang pada bentuk sikap batin yang lebih mendasar, seperti ketulusan, kejujuran, kegigihan, dan sebagainya.

Di lingkungan Pesantren Annuqayah, misalnya, saya mendengar bahwa almarhum Kiai Basyir, seperti juga almarhum Kiai Abdul Warits Ilyas, secara istikamah mencuci sendiri semua pakaiannya hingga akhir hayatnya—kecuali di saat-saat akhir keduanya sakit keras sehingga harus istirahat dan mengurangi aktivitas fisik.

Praktik-praktik sederhana seperti ini bagi saya adalah salah satu teladan spiritual yang luar biasa yang mungkin juga turut mendukung konsistensi beliau, misalnya, dalam keistikamahan memimpin shalat berjamaah lima waktu di pondok bersama santri-santri.

Saya pikir, pesantren-pesantren di Nusantara menyimpan banyak cerita tentang tirakat-tirakat spiritual seperti ini yang jika dihimpun akan bisa memperkaya khazanah kisah-kisah spiritual sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tasawuf klasik.

Read More..

Sabtu, 04 November 2017

Ihwal Pembiayaan Pendidikan di Amerika

Ruangan untuk makan siang di St Alban's School

Saat terbang dari Jakarta ke Surabaya dalam rute perjalanan terakhir dari Amerika di awal Oktober lalu, di pesawat saya sempat membaca sebuah esai di Harian Kompas yang mengangkat profil tokoh yang berjuang di bidang pendidikan. Esai di halaman 16 itu secara singkat memaparkan sosok bernama Irma Suryani, seorang perempuan yang memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu di Kalimantan Selatan.

Kisah singkat Irma Suryani bagi saya merupakan gambaran tentang satu sisi persoalan pendidikan di Indonesia. Isu keterbatasan dana dalam akses pendidikan yang bermutu masih menjadi masalah yang cukup mengemuka di negeri ini. Kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar yang baik untuk semua warga masih belum sepenuhnya terpenuhi. Di sekolah-sekolah negeri, kita masih bisa menjumpai beban pembiayaan yang harus dibayar oleh orangtua murid.

Selama kunjungan tiga pekan di Amerika dalam rangka program International Visitor Leadership Program (IVLP) bertema Pendidikan Berbasis Agama, ada beberapa hal yang cukup menarik perhatian saya terkait pembiayaan pendidikan di Amerika. Dari berbagai diskusi bersama para ahli dan kunjungan ke sekolah negeri dan swasta, juga ke instansi terkait seperti Department of Education di Washington DC dan lembaga terkait lainnya, saya mencatat beberapa hal menarik.

Pertama, tentang pemenuhan kewajiban negara atau pemerintah. Di Amerika, sekitar 90 persen peserta didik hingga jenjang menengah atas mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Di sekolah negeri, mereka mendapatkan layanan yang penuh sehingga bebas dari pembiayaan. Ada fasilitas bus jemput-antar—bus kuning yang sering kita jumpai di film-film Amerika. Kebutuhan buku juga dipenuhi.

Yang menarik, kebijakan nasional terkait pengelolaan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah federal Amerika lebih bersifat umum. Menurut Maureen F. Dowling, Ed.D., Direktur Kantor Pendidikan Swasta Departemen Pendidikan Pemerintah Amerika Serikat, Kementerian Pendidikan pemerintah federal Amerika memiliki empat wilayah kewenangan dan tugas pokok. Pertama, wewenang dalam hal distribusi dana, termasuk juga pengawasannya. Kedua, mengumpulkan data-data di bidang pendidikan yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan kebijakan. Ketiga, menggarisbawahi isu-isu penting di bidang pendidikan untuk diprioritaskan dan ditekankan. Keempat, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam praktik dan layanan pendidikan.

Sementara itu, pemerintah negara bagian memiliki kewenangan yang cukup leluasa untuk mengarahkan kurikulum, misalnya. Itu pun dengan ruang yang cukup luwes sehingga kita dapat dengan mudah menemukan sekolah negeri yang mengakomodasi kebutuhan khas siswa-siswanya. Fordson High School di Detroit, Michigan, misalnya, mengakomodasi kebutuhan siswa-siswanya yang sekitar 95 persen keturunan Arab. Di sekolah ini, misalnya, diajarkan pelajaran Bahasa Arab sehingga tak heran guru-gurunya juga sedikit mengerti Bahasa Arab meski bukan keturunan Arab. Untuk momen-momen yang terkait dengan peribadatan umat Islam seperti bulan Ramadan atau perayaan Islam, Fordson dengan cukup luwes memberi keringanan untuk kegiatan olahraga di bulan Ramadan, waktu libur, dan semacamnya.

Jadi, poinnya, dari jumlah keikutsertaan masyarakat yang tinggi pada sekolah negeri di Amerika, kita mungkin dapat mengatakan bahwa pemerintah Amerika tampaknya memberikan layanan pendidikan dasar yang cukup baik sehingga dapat mengurangi beban masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Memang, biaya pendidikan selain di sekolah negeri di Amerika terbilang mahal.

St. Alban’s School di Washington DC, misalnya, yang secara kelembagaan merupakan anggota the Protestant Episcopal Cathedral Foundation, menetapkan beban biaya yang cukup mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia secara umum. Sekolah yang mengelola pendidikan khusus untuk siswa tingkat 4-12 dan juga memiliki fasilitas asrama siswa ini kurang lebih memungut biaya pendidikan setidaknya sekitar 40 juta per bulan.

Namun, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah ini memang terbilang bagus. Saat kami berkunjung, kami melihat ruang-ruang kecil yang ternyata merupakan ruang kerja guru. Salah satu kelas yang kami amati memuat siswa sebanyak 8 orang. Saat ke bengkel seni, kami melihat 5 orang siswa sedang praktik didampingi seorang guru. Di ruangan teater, kami melihat satu orang siswa tengah berdiskusi dengan guru seni.

Sekolah swasta lainnya, seperti Al Fatih Academy, di Reston, Virginia, memungut biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya pendidikan di St. Alban’s School. Di Al Fatih Academy, misalnya, untuk tingkat 1-8 (masuk Senin sampai Jum’at, tiap hari Senin hingga Kamis masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 15.30, dan untuk hari Jum’at masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 13.30), biaya tahunannya per siswa 8.512 dolar Amerika (Rp 114.912.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-). Untuk jenjang taman kanak-kanak (kindergarten), biaya tahunannya per siswa 9.924 dolar Amerika (Rp 133.974.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-).

Secara statistik, sekolah swasta di Amerika yang dalam ukuran kantong rata-rata orang Indonesia mungkin cukup mahal itu memang hanya sekitar 10 persen. Tapi orangtua di Amerika punya alasan tersendiri untuk memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta meski biayanya mahal.

Namun demikian, meski mahal, orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta bisa mendapatkan bantuan keuangan dari lembaga swasta, bahkan juga dari pemerintah.

Di Al Fatih Academy, misalnya, orangtua siswa bisa mengajukan bantuan keuangan melalui prosedur yang informasinya bisa diperoleh di laman sekolah tersebut. Bantuan keuangan diberikan setelah melalui proses penilaian kelayakan terhadap keluarga yang mengajukan bantuan. Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, yakni oleh FACTS Management, sebuah perusahaan yang khusus membidangi bantuan di bidang pendidikan yang berkantor di Lincoln, Nebraska, dan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 13 ribu sekolah.

Faktor yang dipertimbangkan meliputi pemasukan dan aset keluarga, jumlah anggota keluarga, usia orangtua, jumlah anak dalam keluarga yang membutuhkan pembiayaan dalam pendidikan, kota atau negara bagian tempat tinggal keluarga, dan jumlah anggota keluarga yang bekerja.

Sumber dana bantuan diambil dari zakat yang diterima dan dikelola oleh Al Fatih Academy. Tentu saja pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan zakat dalam Islam yang melibatkan para ahli hukum Islam.

Yang juga menarik, data-data terkait pengajuan bantuan keuangan ini dijaga kerahasiaannya. Siapa yang mengajukan dan seperti apa hasil penilaian dari FACTS Management hanya diketahui oleh bagian terkait di sekolah, dan dijamin kerahasiaannya.

Ada lagi hal menarik lainnya yang saya dapatkan tentang pembiayaan pendidikan di Amerika. Kita tahu, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah negeri diberikan oleh pemerintah dari sumber pajak warga. Nah, masyarakat yang memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berarti tidak ikut menikmati pemanfaatan pajak yang dibayarkannya kepada pemerintah. Atas situasi ini, beberapa negara bagian membuat kebijakan khusus, yakni dengan memberikan voucher untuk membantu pembiayaan pendidikan di sekolah swasta khusus bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Besar dana dalam voucher yang diberikan tidaklah sama, disesuaikan dengan pembayaran pajak yang dilakukan.

Sistem voucher untuk pendidikan ini cukup menjadi isu yang kontroversial, karena pada tingkat tertentu seperti turut mendelegitimasi mutu layanan pendidikan sekolah negeri. Namun, di sisi lain, voucher pendidikan ini dinilai positif karena dapat mengakomodasi pilihan orangtua tanpa mengesampingkan kewajiban negara untuk membantu dalam hal pembiayaan pendidikan warganya.

Kunjungan singkat yang saya ikuti selama mengikuti program IVLP di sepanjang bulan September 2017 lalu tentu tidak bisa memotret secara lengkap dinamika dunia pendidikan di Amerika. Salah satu hal yang masih belum tergambar, misalnya, adalah tentang kebijakan ekonomi liberal yang bisa diberi label kapitalistik dan imbasnya di dunia pendidikan. Saya belum bisa memberikan gambaran spesifik, misalnya, tentang bagaimana kepentingan industri di Amerika mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan, termasuk juga nuansa politisnya.

Yang dapat dikemukakan melalui tulisan singkat ini baru sebatas beberapa hal terkait pembiayaan pendidikan di Amerika yang dari situ menggambarkan upaya dan pelaksanaan kewajiban negara untuk memberikan layanan pendidikan, usaha-usaha masyarakat sipil untuk ikut menyelenggarakan pendidikan yang khas, dan juga siasat untuk mengatasi masalah pembiayaan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat.

Meski demikian, dari beberapa informasi yang masih secuil ini, kita tentu dapat mengambil pelajaran khususnya untuk memperkuat masalah aspek pembiayaan dalam pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik.

Read More..