Pada hari Jum’at (12/4) kemarin, rombongan Kepolisian Resor Sumenep melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Jamik Annuqayah, Guluk-Guluk. Rombongan Polres Sumenep menggunakan lima kendaraan, di antaranya bus mini. Rombongan ini dipimpin langsung oleh Kapolres Sumenep, AKBP Marjoko, S.I.K., M.Si.
Sejak melihat rombongan mobil Polres Sumenep yang parkir di sekitar masjid, saya sudah menduga bahwa mungkin mereka ingin menyampaikan sesuatu setelah shalat Jum’at. Ternyata benar. Seusai shalat Jum’at, Kapolres menyampaikan beberapa hal di depan jamaah yang terdiri dari santri dan masyarakat.
Saya mencatat beberapa poin penting dari penyampaian Kapolres Sumenep tersebut. Pertama, dia memaparkan bahwa menurut laporan yang dia terima, kondisi Guluk-Guluk kondusif. Cuma ada indikasi bahwa ada masyarakat Guluk-Guluk yang menyimpan bahan peledak, di antaranya yang populer di masyarakat dengan sebutan potas. Kapolres mengingatkan bahwa orang yang memiliki dan menyimpan bahan peledak seperti itu, seperti juga senjata tajam selain yang digunakan sebagai alat pertanian, diancam dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951.
Kapolres juga menyampaikan salah satu tugas kepolisian dalam memberantas apa yang disebutnya “penyakit masyarakat”. Polisi punya satu operasi khusus untuk masalah ini yang diberi akronim “operasi pekat”—ya, polisi dan tentara memang hobi sekali membuat akronim. Dalam kamus kepolisian, Kapolres menyebutkan penyakit masyarakat itu meliputi perjudian, minum minuman keras, prostitusi, dan premanisme.
Kapolres juga menyinggung soal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat. Kapolres melaporkan kesiapan pihak kepolisian untuk mengamakan pelaksanaan UN. Kapolres kemudian melanjutkan bahwa bulan depan akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa desa di Kabupaten Sumenep. Dia meminta dukungan masyarakat untuk ikut mengamankan pelaksanaan Pilkades tersebut.
Yang menarik dari kehadiran rombongan Polres Sumenep ini adalah karena seusai Kapolres memaparkan beberapa hal tersebut di atas, dia memberi kesempatan kepada jamaah yang hadir untuk menyampaikan masukan atau pertanyaan. Menurut catatan saya, ada tiga penanya yang mengajukan pertanyaan kepada Kapolres. Penanya terakhir, K.H. M. Syafi’ie Anshari, sempat bolak-balik bertanya untuk meminta uraian lebih mendalam atas jawaban yang diberikan sebelumnya.
Semua pertanyaan mengarah pada kasus yang marak terjadi belakangan di masyarakat, termasuk di wilayah Guluk-Guluk, yakni pencurian, khususnya pencurian hewan dan kendaraan bermotor. Intinya, para penanya menginginkan adanya tindakan yang tegas dari aparat kepolisian. Malah Kiai Syafi’ie sempat menyampaikan kemungkinan perlunya terapi kejut ala Penembak Misterius yang sempat dilakukan Presiden Soeharto pada sekitar tahun 1983 hingga 1985. Penanya yang lain mengeluhkan soal modus pemerasan yang dilakukan pencuri hewan atau kendaraan bermotor. Kerap terjadi, hewan atau kendaraan yang hilang dapat dikembalikan bila si pemilik menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada pihak tertentu yang memiliki hubungan dengan si pencuri.
Jawaban Kapolres dalam pemahaman saya cenderung normatif dan datar. Kapolres mengajak masyarakat untuk ikut membantu penanganan kasus pencurian dengan cara memberikan laporan dan kesaksian bila ada kasus pencurian yang diketahui. Kapolres juga menyinggung bahwa saksi akan dilindungi—bahkan perlindungan saksi juga sudah diatur dalam undang-undang.
Mengenai modus uang tebusan, Kapolres menyampaikan bahwa saat ini di Polres Sumenep sudah ada kasus maling yang diproses secara hukum setelah ditangkap akibat memeras dengan modus seperti ini.
Kapolres juga mengingatkan agar jika ada masyarakat yang menemukan kasus pencurian, masyarakat diminta untuk membantu dengan menangkap si pelaku dan menyerahkannya pada aparat kepolisian. Kapolres mengingatkan agar masyarakat jangan sampai main hakim sendiri dengan membakar pelaku pencurian atau menganiaya.
Meskipun sesi dialog berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 30 menit, saya merasa kurang puas. Tentu saja, berbincang masalah pencurian hewan dan kendaraan saja membutuhkan waktu yang lama, karena masalah ini cukup rumit dan melibatkan banyak pihak.
Saya membayangkan, idealnya Polres Sumenep memiliki semacam visi penanganan yang lebih utuh dan menyeluruh untuk masalah ini. Saya sebenarnya berharap bahwa pada saat menghadapi beberapa pertanyaan jamaah tersebut, Kapolres akan menyampaikan visi penanganan yang menyeluruh itu, termasuk penjelasan yang bersifat praktis (how to) yang dapat menuntun warga untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan soal ini. Ternyata tidak. Kapolres hanya menjawab sebatas poin pertanyaan yang diajukan, tidak masuk lebih mendalam dan meluas secara lebih radikal.
Sebagai pendengar awam, di benak saya, misalnya, saya bertanya-tanya kenapa Kapolres menyampaikan bahwa menurut laporan, kondisi di Guluk-Guluk kondusif. Padahal, belum genap satu bulan di sebelah utara Masjid Jamik Annuqayah terjadi kasus pencurian sapi sebanyak 3 ekor. Belum genap sebulan pula, di kompleks PP Annuqayah terjadi kasus pencurian kendaraan bermotor. Saya sempat menyampaikan ini kepada santri yang duduk di sebelah, dan salah seorang peserta rombongan Polres yang tidak jauh dari saya menjawab, “Ya laporkan.”
Saya heran, apakah memang harus seperti itu? Artinya, polisi baru bergerak setelah ada laporan? Sependek pengetahuan saya, kasus pencurian seperti pencurian sapi itu bukanlah delik aduan. Jadi, sekali lagi, apa polisi baru akan bekerja jika ada warga yang melaporkan? Bagi saya, dalam kasus pencurian 3 ekor sapi di dekat Masjid Jamik Annuqayah itu, nyaris mustahil polisi tidak tahu kejadiannya karena lokasi kejadian hanya berjarak 650 meter dari kantor Kepolisian Sektor Guluk-Guluk. Jadi, jika polisi benar-benar tidak tahu, saya sungguh heran.
Masalah perlindungan saksi sempat ditegaskan dan ditanyakan lebih sekali oleh Kiai Syafi’ie yang tampaknya merasa kurang puas dengan jawaban Kapolres. Saya bisa memahami ketidakpuasan Kiai Syafi’ie, karena memang dalam situasi sosial masyarakat Madura, warga yang memberi kesaksian atas kasus pencurian sapi (bahkan mungkin juga keluarganya) akan diancam oleh si pencuri. Saya menangkap keraguan dan pertanyaan di benak Kiai Syafi’ie: sejauh mana polisi akan melindungi dan menjamin keselamatan saksi dan atau pelapor?
Saat dialog diakhiri pada pukul 13.23 WIB, paling tidak saya merasa senang melihat pihak kepolisian mau berbincang dan mendengar suara rakyat. Namun, karena sifatnya umum dan waktunya terbatas, saya punya harapan yang lebih. Saya berharap, suatu saat akan ada suatu pertemuan yang lebih fokus ke satu soal tertentu, misalnya masalah pencurian hewan dan kendaraan bermotor, yang memang belakangan cukup marak terjadi di lingkungan saya.
Dengan lebih fokus, mungkin saja polisi bisa menyusun satu rancangan yang lebih utuh dan jelas dalam membantu menyelesaikan nestapa masyarakat yang di tengah sulitnya kehidupan ekonomi mereka masih juga dihantui oleh tindak kejahatan pencurian. Jika masalah konkret seperti ini tak kunjung berusaha keras diatasi, artinya polisi tidak menunjukkan upaya serius dan menyeluruh untuk menyelesaikannya, saya cenderung berpikir bahwa kepercayaan masyarakat pada pihak kepolisian yang di mata saya saat ini cenderung rendah akan sangat sulit untuk dipulihkan.
Wallahualam.
Baca juga:
>> Surat Terbuka Untuk Pak Polisi
Minggu, 14 April 2013
Pak Polisi, Tolong Berantas Maling Sapi
Label: Social-Politics
Jumat, 12 April 2013
Penerbit Peduli Literasi
Kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia ditengarai masih rendah. Produksi dan konsumsi buku menjadi salah satu ukurannya. Rendahnya literasi juga dapat dilihat di sekolah, saat siswa mengerjakan soal-soal bahasa yang berbasis bacaan. Secara umum mereka lambat dalam mencerna teks atau bahkan masih kesulitan menangkap ide pokok sebuah paragraf. Ironisnya, hal ini bahkan juga terjadi di kalangan pelajar tingkat pendidikan tinggi atau bahkan pengurus publik.
Dukungan dan perhatian para pengambil kebijakan, baik di sekolah maupun di tingkat pengurus publik, untuk mendukung literasi tampak masih kurang. Membaca dan menulis masih belum dianggap sebagai basis penting pendidikan. Dukungan dan perhatian yang ada kadang lebih bersifat formal saja. Contoh konkretnya, sejauh ini tidak banyak sekolah yang memberi perhatian serius pada pengembangan perpustakaan dan kegiatan pendukung lain untuk mendukung semangat membaca dan menulis.
Selain sekolah dan pengambil kebijakan di jajaran pengurus publik, ada pihak lain yang sebenarnya dapat memainkan peran dalam meningkatkan literasi khususnya di kalangan pelajar dan remaja, yakni penerbit. Sebagai “pabrik buku”, penerbit sebenarnya menjadi salah satu pemain penting dalam menyemarakkan literasi. Penerbitlah yang menyediakan bahan-bahan bacaan untuk masyarakat. Peran penerbit yang paling tampak adalah pada penyediaan bahan bacaan yang bermutu dan diminati masyarakat.
Dalam konteks ini, penerbit yang punya idealisme untuk ikut mengembangkan literasi dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” tentu akan berupaya untuk menerbitkan bacaan yang bermutu. Dengan sejumlah cara, penerbit akan berusaha untuk mengendalikan mutu buku yang disiarkannya. Namun, menghadapi perkembangan dan persaingan pasar, kadang penerbit buku bersikap cukup pragmatis. Hasilnya, mutu buku kadang kurang terjaga.
Selain berkaitan dengan unsur di dalam penerbit itu sendiri, sebenarnya penerbit buku dapat memainkan peran yang lebih besar untuk mendukung gerakan literasi, khususnya di sekolah atau kalangan remaja atau komunitas (masyarakat) pada umumnya. Bentuknya dapat berupa memberi bantuan buku atau harga khusus untuk pembelian buku oleh perpustakaan atau komunitas, terutama yang memang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata.
Para pegiat literasi sebenarnya berharap penerbit secara strategis memiliki visi dan kepedulian dalam mengembangkan literasi secara lebih aktif. Secara perhitungan bisnis, jika literasi semarak, penerbit tentu juga akan diuntungkan. Penjualan buku sangat mungkin akan meningkat jika masyarakat sudah gemar membaca. Bahkan penyuplai naskah layak terbit bisa saja akan menjadi lebih mudah dibandingkan situasi saat ini.
Namun sejauh ini saya tak melihat ada penerbit yang secara terencana memiliki program untuk ikut menyemarakkan literasi. Sampai kemudian kemarin saya menerima kiriman buku dari rekan saya yang merupakan pemilik dan CEO Penerbit Diva Press Group Yogyakarta, Edi AH Iyubenu.
Buku yang dikirimkannya berjudul Silabus Menulis Fiksi. Buku setebal 44 halaman yang memuat tutorial praktis menulis fiksi ini ditulis sendiri oleh Edi. Pria yang bernama asli Edi Mulyono kelahiran Sumenep ini sebelum mendirikan penerbit memang telah malang-melintang di dunia kepenulisan, khususnya fiksi. Cerpen-cerpennya dahulu telah dimuat di mana-mana, mulai dari Kompas, Republika, Media Indonesia, Horison, dan media-media seantero nusantara.
Buku ini sangat menarik paling tidak karena dua alasan. Pertama, buku ini dapat menjadi panduan menulis fiksi bagi pemula. Penyajiannya yang sederhana dan disertai contoh-contoh tampak banyak berangkat dari pengalaman penulisnya sehingga benar-benar dapat menuntun penulis pemula untuk berkarya. Bahasa dan gaya penyampaiannya cenderung disesuaikan dengan gaya remaja masa kini.
Karena alasan ini, semalam saya pamit kepada Edi untuk memperbanyak buku ini. Sebenarnya, di bagian kata pengantar Edi telah mempersilakan pembaca yang berminat untuk menggandakan buku ini. Saya pamit sekaligus sebagai pemberitahuan dan pengakuan bahwa buku ini akan sangat bermanfaat untuk saya gunakan dalam mendorong kegiatan kepenulisan fiksi pada khususnya di sekolah dan komunitas saya. Apalagi saya di SMA 3 Annuqayah mengampu pelajaran Bahasa Indonesia sehingga buku ini akan saya wajibkan untuk dibaca siswa di kelas saya pada khususnya.
Alasan kedua ketertarikan saya pada buku ini adalah karena ternyata kehadiran buku ini tidaklah berdiri sendiri. Ternyata, Diva Press Group memiliki beberapa program yang menunjukkan kepedulian mereka untuk mendorong literasi, khususnya di kalangan remaja. Buku Silabus Menulis Fiksi ini sebenarnya merupakan bagian dari rancangan kegiatan Diva Press itu.
Di bagian akhir buku ini, tercantum empat program Diva Press Group berupa pelatihan penulisan fiksi dan juga pendampingan penulisan novel sampai layak terbit. Pelatihan penulisan dilakukan dalam program #KampusFiksi, #JustWrite, dan #TimTentorMenulisAntarKotaAntarPropinsi.
#KampusFiksi dilaksanakan tiap bulan bertempat di Yogyakarta. Pada kegiatan ini, Diva menyediakan 30 kursi bagi mereka yang lolos seleksi untuk mengikuti pelatihan penulisan fiksi. #KampusFiksi akan dimulai akhir bulan ini. Alumni #KampusFiksi nanti akan diberi kesempatan untuk hadir dalam acara tahunan #JustWrite. Sebagai acara tahunan, #JustWrite sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2012.
#LelangNulisNovel adalah program mingguan yang memberi kesempatan kepada peserta yang mendaftar via akun twitter @edi_akhiles (Edi AH Iyubenu) untuk mendapatkan bimbingan pengembangan cerita pendek menjadi novel hingga layak terbit.
Program keempat, #TimTentorMenulisAntarKotaAntarPropinsi, merupakan kegiatan bimbingan menulis yang dilaksanakan di sekolah atau komunitas yang mengundang Tim Diva Press. Buku Silabus Menulis Fiksi ini adalah panduan utamanya. Tim Diva secara gratis akan memberikan pelatihan penulisan fiksi. Untuk wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, 100% gratis. Di luar itu, Tim Diva hanya perlu biaya transportasi.
Keempat program Diva Press Group ini bagi saya memperlihatkan kepedulian penerbit untuk melakukan sesuatu yang sekiranya dapat mendorong semangat menulis pada khususnya di kalangan remaja. Tentu saja Diva memiliki kepentingan bahwa para penulis yang mungkin lahir dari kegiatan ini akan menerbitkan karyanya di Penerbit Diva Press Group. Tapi sejak awal Diva menyampaikan bahwa penulis alumni kegiatan Diva tidak terikat untuk harus menerbitkan karyanya di Diva Press Group.
Saya memberi penghargaan yang setinggi-tingginya atas penerbitan buku Silabus Menulis Fiksi yang menurut Edi AH Iyubenu dibagikan gratis dan keempat program yang dirancang Diva Press Group ini. Jika dibandingkan dengan penerbit lainnya, Diva Press Group, yang didirikan sejak tahun 2001, mungkin belum bisa dibilang penerbit yang sangat besar. Saya tahu persis bagaimana di awal-awal berdirinya Edi bekerja keras agar Diva dapat “bertahan hidup” di tengah persaingan bisnis perbukuan yang pada waktu itu cukup ketat. Beberapa penerbit di Yogyakarta seangkatan Diva kini sudah tak terdengar lagi kabarnya. Tapi Diva masih eksis.
Terlepas dari kekurangan yang mungkin masih ada, sekali lagi saya salut pada Diva yang sependek pengetahuan saya menjadi penerbit pertama yang meluncurkan sejumlah program untuk menyemarakkan literasi di kalangan remaja.
Setelah saya tamat membaca buku Silabus Menulis Fiksi kemarin sore, gagasan tentang kepedulian penerbit pada literasi ini terus menyerbu pikiran saya. Saya sempat mengutarakannya kepada Edi melalui akun twitter saya. Namun saya merasa perlu menuliskannya secara lebih utuh.
Saya percaya bahwa gagasan Edi dan Diva Press untuk merancang kegiatan ini bukan semata didorong oleh pertimbangan bisnis, yakni investasi jaringan penulis muda yang bisa saja di antara mereka suatu saat akan muncul sebagai penulis hebat. Saya mencoba memahami terobosan Edi dan Diva ini sebagai bagian dari sejarah hidup Edi dan Diva “bertahan hidup” di dunia kepenulisan dan penerbitan.
Pada rentang tahun sekitar 1996 hingga 2000-an, Edi AH Iyubenu dikenal sebagai penulis yang tak kenal menyerah. Salah seorang saudara sepupu saya, M. Faizi, yang cukup dekat dengan Edi AH Iyubenu kerap menyampaikan cerita bahwa ketika Edi baru kuliah di Yogyakarta pada pertengahan 1995, tulisannya ketika itu masih bisa dibilang belum layak terbit. “Edi bahkan saat itu menulis cerpen tanpa menggunakan paragraf. Dia bilang, ‘kan nanti redakturnya yang akan membuat paragraf,” tutur M. Faizi pada saya.
Tapi dia memberi kesaksian bahwa kerja keras Edi dalam mengasah kemampuan kepenulisannya memang luar biasa. Dengan mesin ketik manual, produktivitas Edi dalam menulis cerpen pada masa awal di Yogyakarta patut dicontoh. Menurut pengakuannya, waktu itu dia bisa menulis 2 hingga 5 cerpen dalam sehari. Salah satu yang cukup fenomenal adalah pada 13 November 1997, saat ulang tahunnya yang ke-20, Edi mencoba menulis cerpen nonstop di kamarnya. Menurut penuturan M. Faizi, Edi memang tidak berhasil memenuhi targetnya, yakni menulis 20 cerpen di hari ulang tahunnya yang ke-20. Tapi Edi di hari itu menulis belasan cerpen!
Perjuangan Edi dalam membangun penerbit, yakni Diva Press Group, juga tak kalah heroik. Dengan modal yang pas-pasan dan di tengah persaingan yang cukup ketat, pada akhirnya Diva bisa bertahan dan malah berkembang hingga saat ini menjadi salah satu penerbit yang cukup produktif.
Jadi, berangkat dari kerja keras dan perjuangan yang luar biasa di dunia kepenulisan dan penerbitan, Edi tampaknya punya semangat berbagi yang kuat. Jika ia kini bisa dikatakan telah meraih kesuksesan duniawi melalui dan dalam dunia literasi (perbukuan), saya melihat bahwa Edi melalui programnya ini ingin mempersembahkan sesuatu untuk jagad literasi dan remaja pada khususnya.
Saya membayangkan andai kata beberapa penerbit yang lain mengambil langkah serupa dengan merancang kegiatan yang membantu mendorong literasi, saya pikir generasi muda kita dan bangsa kita pada umumnya akan lebih sigap menghadapi tantangan era informasi.
Sekali lagi, salut untuk Edi dan Diva Press Group!
Read More..
Label: Literacy
Kamis, 04 April 2013
Dekor Ramah Lingkungan
Setelah saya memasang foto kegiatan Temu Guru Penulis di SMA 3 Annuqayah yang dilaksanakan 21 Maret lalu di sebuah grup Facebook, ada sebuah komentar menarik dari Ahmad Fawaid Sjadzili, seorang teman yang saat ini menjadi dosen di STAIN Pamekasan. Berbeda dengan komentar orang lain yang menyorot tema kegiatan atau narasumber yang hadir, Fawaid mengomentari dekor yang menjadi latar acara. Fawaid menulis bahwa ia menyukai kreativitas pembuat latar (dekor) yang mau bersabar dengan menggunting kertas dan menghindari cara-cara instan.
Memang, dari foto kegiatan tersebut terlihat bahwa dekor yang digunakan bukanlah spanduk dari plastik dengan huruf-huruf yang dicetak rapi dari program pengolah desain di komputer. Dekor berlatar kain biru dongker yang kemudian ditempeli kertas-kertas bertuliskan nama kegiatan itu dibuat secara manual oleh siswa.
Seingat saya, SMA 3 Annuqayah tidak pernah mengeluarkan biaya untuk membuat banner (spanduk) kegiatan yang menggunakan plastik dan dicetak dari desain komputer itu. Sejak saya menjabat sebagai kepala sekolah pada pertengahan 2010, saya memang menegaskan bahwa saya tidak suka dengan banner sekali pakai itu.
Selain biayanya relatif mahal, dekor menggunakan banner itu terasa mubazir karena hanya digunakan sekali. Lagi pula, dekor dengan cara manual (model lama) buat saya memberi kesempatan bagi pembuatnya untuk bersentuhan secara langsung dengan banyak benda, mulai dari gunting, kertas, lem, dan juga kain. Sedangkan desain berbasis komputer relatif terpusat pada komputer. Paling jauh, bila menggunakan komputer, perancangnya mencari bahan-bahan dari internet.
Sebenarnya tidak semua banner akan menjadi mubazir setelah digunakan di sebuah acara. Ada banner yang dibuat untuk kegiatan yang sifatnya rutin. Artinya, ia akan dipergunakan kembali pada kegiatan serupa di waktu yang berbeda. Untuk yang seperti ini, bagi saya tidak masalah membuat banner dengan bahan plastik. Atau, banner tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk keperluan lain setelah digunakan pada acara yang dimaksud. Misalnya, digunakan sebagai latar sorot untuk LCD proyektor.
Pertengahan 2012 lalu, SMA 3 Annuqayah, misalnya, pernah menyelenggarakan bedah buku bekerja sama dengan salah satu unit perusahaan PT Mizan Pustaka, Bandung, dan Mizan menyediakan banner berbahan plastik dalam ukuran yang cukup lebar. Setelah kegiatan itu, kami memanfaatkan banner tersebut untuk kegiatan di luar ruangan yang membutuhkan latar sorot LCD proyektor.
Bagi sekolah yang memiliki dana besar, membuat banner berbahan plastik itu mungkin tidak masalah secara keuangan. Tapi bagi kami, sekolah yang dana kegiatannya cukup minim, sekian ratus ribu rupiah tampak akan jauh lebih bermanfaat untuk dibelanjakan buku bacaan untuk menambah koleksi perpustakaan atau bahan pengayaan referensi guru. Atau untuk membiayai kegiatan sekolah lainnya.
Terkadang dekor manual yang dibuat di SMA 3 Annuqayah menggunakan bahan-bahan yang mungkin bisa disebut sampah, seperti plastik bekas bungkus deterjen, atau juga koran bekas. Pada pertengahan 2009, saat memaparkan hasil proyek kegiatan lingkungan dalam kerangka School Climate Challenge Competition yang diadakan oleh British Council Indonesia, siswa SMA 3 Annuqayah membuat dekor dengan menggunakan sampah plastik. Demikian pula, pada kegiatan Kemah Lingkungan (2) yang diadakan oleh Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah Juni 2012 lalu, siswa menggunakan sampah plastik sebagai bahan dekor.
Dekor manual bagi saya menjadi pilihan karena sifatnya yang lebih ramah lingkungan. Lebih dari itu, ini juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai kepekaan dan sikap cinta lingkungan, yakni untuk menghemat penggunaan sumber daya alam, di tengah arah kehidupan yang kini semakin serba instan. Read More..
Selasa, 02 April 2013
Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel
Setelah menerbitkan kumpulan tulisan terpilih selama saya belajar di Eropa—yang diberi judul 10 Bulan Pengalaman Eropa—secara mandiri tanpa label penerbit pada awal November 2012 lalu, saya tergoda untuk menghimpun tulisan-tulisan saya yang lain dan mencetaknya sebagai arsip pribadi.
Saya kemudian membuka berkas arsip tulisan saya, dan saya menemukan tulisan-tulisan bertema pendidikan yang cukup banyak. Ada yang berbentuk artikel. Ada pula yang seperti catatan harian. Saya kemudian memilah, menyusun urutan, menatanya secara perwajahan di komputer, dan mencetaknya secara POD (print on demand) untuk arsip pribadi.
Melihat wujud bukunya setelah selesai dicetak, saya kok jadi tertarik untuk mengajukan naskah kumpulan tulisan bertema pendidikan yang dalam versi POD saya beri judul Membangun Peradaban Melalui Pendidikan: Kumpulan Artikel dan Esai Pendidikan itu ke penerbit. Saya lalu berpikir soal penerbit yang cocok untuk kumpulan tulisan saya itu.
Singkatnya, pada pertengahan Desember 2012, naskah itu disetujui oleh Penerbit LKiS untuk diterbitkan. LKiS mengusulkan agar judul buku diubah karena terkesan terlalu serius. Saya juga punya pikiran yang sama. Maka saya lalu mengusulkan judul yang kemudian disetujui, yakni Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel.
Judul ini saya pikir dapat merangkum tiga persoalan utama yang termuat dalam 30 tulisan saya. Namun, untuk menegaskan, saya mencoba memperjelasnya dalam kata pengantar yang saya buat.
Berikut kata pengantar yang saya buat khusus untuk penerbitan buku Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel.
Pengantar Penulis
Setelah lebih enam tahun pulang kampung dan bergiat di dunia pendidikan, khususnya sekolah, saya menyaksikan banyak hal yang berubah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan siswa dan komunitas kependidikan pada umumnya di kampung saya. Rujukan perbandingan saya adalah pengalaman saya sendiri saat menempuh pendidikan dasar dan menengah di kampung halaman saya mulai pertengahan dekade 1980-an hingga tahun 1990-an.
Perubahan sosial di kampung saya telah banyak terjadi dalam rentang waktu belasan tahun. Saya masih ingat, awal 1996, telepon masuk ke desa saya dan sekitarnya. Sekitar delapan tahun kemudian, jaringan telepon seluler masuk. Tiga tahun setelah itu, jaringan internet mulai populer.
Revolusi teknologi informasi dan komunikasi seperti ini memang semakin meluas ke berbagai pelosok Indonesia beberapa tahun terakhir. Inilah era informasi dan globalisasi. Generasi tua, para pendidik, dan lembaga-lembaga masyarakat, termasuk sekolah, tampak kerepotan dan cukup gagap menghadapi berbagai bentuk perubahan dan dampak nyata dari derasnya arus informasi dan komunikasi.
Lembaga pendidikan, seperti pesantren (yang cukup populer di Madura) dan sekolah pada umumnya, menjadi harapan masyarakat untuk menyiapkan generasi yang mampu bertahan dan berkembang dalam situasi perubahan yang begitu dahsyat ini. Masyarakat Madura pada khususnya banyak menaruh harapan yang besar pada pesantren untuk membekali anak mereka dengan moral agama yang kuat. Akan tetapi, dalam pergulatan saya sehari-hari di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, saya menyaksikan keakutan yang cenderung terus semakin menumpuk di dalam tubuh lembaga pendidikan itu sendiri.
Dari lingkungan pergaulan saya sehari-hari, saya lamat-lamat mendengar lembaga pendidikan yang katanya “menjual murid” demi mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Saya juga menemukan guru yang menggunakan sertifikat atau dokumen palsu untuk mendapatkan tunjangan profesi. Dokumen rencana pembelajaran yang dibuat beberapa guru di sekolah tampak hanya merupakan hasil salin-tempel. Berbagai perubahan di lingkungan pendidikan tampak terlambat diantisipasi. Di rapat-rapat guru dan sekolah, saya kadang menemukan sikap yang amat pragmatis dalam melihat masalah pendidikan. Untuk soal yang terakhir ini, saya kadang menangkap bahwa ini terjadi di antaranya karena arah kebijakan pengurus publik yang memang memaksakan cara pragmatis dan instan digunakan di sekolah.
Yang cukup mendasar, saya merasa cukup kesulitan untuk menemukan upaya-upaya pengambil kebijakan di sekolah atau pengurus publik untuk membawa arah pendidikan sebagai upaya antisipatif menghadapi tantangan zaman di masa depan.
Kurikulum bisa jadi memang telah berubah. Pada waktu saya dulu menjadi murid, saya mendengar istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Beberapa tahun yang lalu, ada istilah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Namun, di lapangan kenyataannya saya cukup sulit untuk menyaksikan perubahan yang cukup signifikan di bidang kurikulum, terutama terkait dengan visi antisipatif pendidikan terkait dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan di masa mendatang. Beberapa tampak hanya berhenti sebagai jargon semata. Pengurus publik di jajaran pemerintahan saya tangkap kadang kesulitan untuk menjelaskan visi atau rencana strategis arah pendidikan di wilayah kewenangannya. Mungkin juga di tingkat satuan lembaga pendidikan hal yang bersifat strategis masih amat jarang dibicarakan—entah karena merasa tidak tertarik, tidak penting, tidak tahu, atau enggan berbuat sesuatu. Mungkin juga cara sebagian guru mengajar di ruang kelas pun secara mendasar belum banyak berubah—bisa jadi juga termasuk cara saya mengajar. Tampak bahwa iklim dinamis dan progresif masih agak sulit ditemukan di lingkungan pendidikan, khususnya dalam bentuk yang lebih terencana dan terpadu.
Keprihatinan semacam ini sebenarnya ada di benak banyak pihak. Saya sangat yakin bahwa dalam soal ini saya tidak sendiri. Di antara mereka, ada yang kemudian mencoba melakukan sesuatu di wilayah yang paling mungkin mereka lakukan, sesuai dengan besar cakupan lingkaran pengaruh mereka. Perjumpaan saya dengan beberapa guru di tingkat daerah dan regional menunjukkan hal itu. Demikian pula, pergaulan saya di milis Ikatan Guru Indonesia (IGI), sebuah organisasi guru yang banyak melakukan sesuatu untuk peningkatan profesionalitas guru dan mutu pendidikan pada umumnya, memperlihatkan banyak guru yang punya kegelisahan atas arah dan nasib dunia pendidikan Indonesia saat ini. Banyak di antara mereka yang dengan penuh ketulusan dan semangat berusaha melakukan sesuatu di tengah segala keterbatasan yang mereka miliki.
Bersentuhan secara langsung dengan berbagai gejala dan peristiwa di dunia pendidikan semacam ini beberapa tahun terakhir di sebuah kampung pedalaman Madura, saya bersyukur bahwa saya sempat membuat tulisan sebagai refleksi, meski mungkin sifatnya amatiran, atas berbagai hal yang saya temui itu. Catatan-catatan yang di antaranya cukup singkat itu beberapa waktu lalu sempat saya himpun sebagai dokumentasi pribadi. Saya pun kembali bersyukur saat Penerbit LKiS Yogyakarta tertarik untuk menerbitkan kumpulan naskah saya ini.
Secara tematik, buku ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama mendiskusikan visi dan hal-hal mendasar dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Beberapa tulisan mungkin memang membahas hal yang bersifat praktis. Tapi saya rasa ada muatan yang cukup mendasar yang diangkat di dalamnya. Bagian kedua mengulas literasi dan tantangan era informasi, termasuk pembelajaran bahasa. Bagian ketiga mengupas pendidikan lingkungan hidup di sekolah.
Ketiga tema ini di satu sisi menggambarkan tantangan sekaligus tuntutan terhadap dunia pendidikan yang menurut saya secara mendasar harus mampu menjawab tantangan zaman dan membawa arah pendidikan untuk semakin tersambung dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat—terutama mereka yang dipinggirkan dalam proses kehidupan sosial. Saya sering merasa sedih saat berpikir bahwa mungkin saja kegiatan sekolah dan kegiatan kependidikan yang lain justru bisa mengasingkan anak didik dari kenyataan dan akar kehidupannya. Dana, waktu, dan tenaga yang telah mereka keluarkan—sebagian dengan susah payah—pada akhirnya mungkin tidak dapat dimanfaatkan secara penuh untuk kepentingan mereka dan komunitas mereka sendiri.
Bagian yang membahas tentang pendidikan lingkungan merupakan refleksi saya setelah sekitar lima tahun mendampingi kegiatan peduli lingkungan di sekolah. Saya berkesimpulan bahwa jika diberi sentuhan visi yang mendalam, pendidikan lingkungan di sekolah membuka kesempatan bagi terhubungnya kegiatan kependidikan dengan isu-isu kontekstual—tidak hanya tentang perubahan iklim, tetapi juga soal keadilan, hak-hak warga, dan sebagainya.
Isu literasi bagi saya sangat penting diangkat karena hal mendasar dalam perubahan sosial kita saat ini adalah laju era informasi yang melahirkan sejumlah tantangan konkret bagi dunia pendidikan. Kemampuan mencerna informasi secara kritis, memilah dan mengolahnya secara tepat, sangatlah diperlukan. Penjajahan model baru sangat mungkin terjadi jika generasi muda kita tak dapat menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dengan baik sehingga mereka mungkin akan cukup mudah digiring untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pada tingkat yang lebih jauh, semangat literasi dapat membawa anak didik pada terbentuknya semangat pembelajar yang tak kenal ruang dan waktu. Sejauh ini, saya melihat sekolah kurang berhasil untuk membentuk jiwa pembelajar pada diri generasi muda. Salah satu tandanya, sekolah tampak gagal memberikan bekal keterampilan dan kebiasaan membaca dan menulis secara baik kepada anak didik.
Belajar di sekolah belakangan ini cenderung didorong untuk orientasi pragmatis—untuk mendapatkan nilai, naik kelas, lulus Ujian Nasional (UN). Caranya pun cenderung instan. Google dan bimbingan belajar (bimbel) tampak bisa menjadi simbol yang cukup tepat untuk menunjukkan problem pendidikan dan kegiatan kependidikan di sekolah saat ini. Google saat ini digunakan oleh siapa saja dan untuk apa saja. Sayangnya, guru, misalnya, kadang terlalu mengandalkan mesin pencari di internet yang paling populer itu untuk memperkaya bahan pengajarannya. Akibatnya, bahan yang dihimpun masih banyak berasal dari sumber yang dangkal. Saya pikir, mereka yang hampir sepenuhnya mengandalkan internet dan mesin pencari bagi saya tampak belum menjadi sosok pembelajar sejati.
Sedangkan tentang bimbingan belajar, saya teringat sebuah laporan penelitian Forum Kajian Sosial Humaniora (FKSH) Yogyakarta yang dimuat di Majalah Basis edisi Juli-Agustus 1997 tentang maraknya lembaga bimbingan tes untuk menyiapkan siswa lulusan SMA ikut seleksi masuk ke perguruan tinggi. Dalam tulisan yang berjudul “Bisnis Kecemasan” itu, diungkap beberapa hal dari fenomena lembaga bimbingan tes yang sekarang juga disebut dengan istilah bimbingan belajar itu. Di antaranya, fenomena itu dipandang menunjukkan kegagalan sekolah untuk memberi bekal kemampuan akademik yang cukup kepada anak didik untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Pada titik ini, lembaga bimbingan tes itu tampak kental dengan orientasi pragmatis.
Kurang lebih, ini juga yang terjadi saat kecemasan anak didik harus datang lebih awal dengan adanya UN. Kecemasan menghadapi UN cenderung mendorong sekolah dan guru untuk memberikan model pembelajaran yang arahnya hanya bertujuan agar anak-anak didik bisa menjawab soal dengan baik—seperti yang tampak dalam kegiatan bimbingan belajar. Saya berjumpa dengan beberapa guru yang gelisah dengan kecenderungan ini. Ada yang merasa seperti terjebak pada dilema saat kebijakan pengurus publik cenderung menggiring guru untuk menggunakan model pragmatis ini, sedangkan dia memiliki gambaran ideal yang lain.
Persoalan dan tantangan dunia pendidikan semacam inilah yang menurut saya penting untuk terus direfleksikan oleh para pegiat kependidikan dan pengambil kebijakan. Penerbitan kumpulan tulisan ini di antaranya didorong oleh semangat saya untuk berbagi gagasan dan kepedulian tentang masalah-masalah dalam dunia pendidikan. Saya pikir, dengan berbagi, berbagai kekuatan masyarakat, baik perorangan maupun kelembagaan, dapat bergabung dan bersama-sama melakukan sesuatu untuk perubahan yang ujungnya adalah peningkatan mutu manusia dan kehidupan yang lebih beradab. Berbagi dan berefleksi ini menurut saya sangatlah penting untuk terus dilakukan baik secara perorangan maupun kelembagaan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Penerbit LKiS Yogyakarta yang telah bersedia menerbitkan kumpulan tulisan ini. Saya juga berhutang budi kepada guru-guru saya yang penuh dengan ketulusan dan pengabdian, terutama yang memberikan pendidikan dan pengajaran di tingkat dasar, sehingga saya sampai saat ini bisa menulis dan berkarya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua yang selama ini dengan tulus terus memberikan dukungan dalam berbagai bentuk. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah menginspirasi saya dan menjadi guru secara tidak langsung bagi saya sehingga turut mendorong lahirnya tulisan-tulisan dalam buku ini. Kepada semuanya, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik.
Kepada pembaca yang sudi membeli buku ini dan mencerna gagasan-gagasan saya, saya mengucapkan terima kasih. Dari pembaca, saya sangat mengharapkan kritik dan masukan agar gagasan-gagasan saya dalam buku ini pada khususnya dapat lebih teruji, bersinergi, bahkan mungkin mewujud lebih nyata, dan terus berkembang.
Semoga perjumpaan gagasan ini dapat melahirkan sesuatu yang lebih baik untuk kehidupan kita dan generasi mendatang. Yang paling penting, semoga buku ini bernilai di sisi Allah swt.
Wa mâ tawfîq illâ bi l-Lâh.
Guluk-Guluk, 26 Januari 2013
M. Mushthafa
Read More..
Label: Literacy
Langganan:
Postingan (Atom)