Selasa, 17 Agustus 2004

Kemerdekaan dan Kebersamaan

Perjalanan bangsa Indonesia setelah memasuki gerbang kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini telah menapaki tahun yang ke-59. Untuk seorang manusia angka itu menunjukkan sesuatu yang sudah cukup lama, tetapi untuk sebuah bangsa angka itu mungkin ibarat beberapa tapak jejak dalam sebuah rentang perjalanan yang entah akan berakhir kapan. Tentu saja bangsa ini mengalami pasang-surut perjalanannya, terutama bila dilihat dari sisi kemerdekaan itu sendiri. Hengkangnya kaum penjajah di tahun 1945 baru merupakan pintu gerbang. Tapi selanjutnya, di saat-saat tertentu bangsa ini tersadar bahwa ternyata rintangan untuk terpenuhinya kemerdekaan yang sesungguhnya kadang masih kerap dijumpai dalam suasana yang bebas dari kaum penjajah asing.

Dalam sebuah tulisannya di Jurnal Prisma edisi Agustus 1985, Adnan Buyung Nasution mencatat bahwa esensi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah cita-cita luhur para pendiri bangsa ‘untuk memperjuangkan suatu derajat, kedudukan, martabat yang sama dengan manusia lainnya di seluruh dunia’, yang berarti ‘suatu perjuangan membela harkat dan martabat kemanusiaan, atau dengan kata umum, perjuangan hak asasi manusia.’ Kutipan ini sepertinya cukup bisa menjadi panduan untuk menilai apakah bangsa ini memang sudah benar-benar merdeka.

Tentu kita tidak boleh merasa kecewa bila yang didapat ternyata adalah jawaban negatif: bahwa masih banyak segi-segi hak kemanusiaan kita yang tercederai. Hak untuk mendapat pendidikan terbentur dengan gejala kapitalisasi pendidikan yang membuat rakyat miskin tidak terdidik dengan baik. Hak untuk mendapat penghidupan yang layak berhadapan dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang mempersempit peluang perbaikan taraf kehidupan. Hak-hak politik rakyat juga menghadapi kesulitan karena para pemimpin dan partai politik lebih suka memanfaatkan rakyat dan tidak terlalu mendengar aspirasi mereka. Belum lagi rasa aman yang cukup sering terteror dengan peristiwa pengeboman yang membuat rakyat tidak tenang dan kadang menciptakan suasana yang tidak menentu.

Apa yang hilang dari terlanggarnya hak-hak kemanusiaan warga negara ini dari sudut pandang historis juga menunjukkan runtuhnya rasa kebersamaan yang sesungguhnya menjadi ciri dan modal perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Dengan merujuk pada tulisan Adnan Buyung tersebut di atas, ditunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, terutama menjelang proklamasi Agustus 1945, melibatkan para pemimpin nasional seperti Soekarno, Hatta, Soepomo, A.A. Maramis, Soebardjo, dan yang lain, yang berjuang melalui sistem, dengan berkolaborasi dengan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Tapi ada pula gerakan-gerakan rakyat yang dipimpin oleh Sjahrir, Soekarni, Chairul Saleh, Adam Malik, dan sebagainya yang juga berjuang untuk kemerdekaan.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa dalam perjuangan yang betul-betul habis-habisan itu kebersamaan dan visi yang terbuka menjadi kekuatan tersendiri yang mampu mengatasi segala keterbatasan yang dimiliki saat itu. Pada akhirnya kemerdekaan justru didapat oleh gerakan rakyat yang menculik dan memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Peneguhan terhadap pentingnya kebersamaan ini bisa didapat dengan mengundang seorang filsuf Prancis terkemuka, Gabriel Marcel (1889-1973). Tokoh yang bisa ditempatkan dalam jajaran filsuf eksistensialis ini menyatakan bahwa “Ada” itu selalu berarti “Ada-bersama” (esse adalah co-esse). Ini berarti bahwa relasi antar-manusia yang diistilahkan Marcel “Aku-Engkau” dalam tataran yang tinggi selalu mengandaikan adanya kehadiran (bahasa Prancis: présence). Kehadiran di sini bukanlah dalam pengertian yang lazim dan objektif, tetapi lebih sebagai suatu wujud komunikasi yang melibatkan rasa kemanusiaan dalam suatu perjumpaan (rencontre) yang hangat. Itulah makna kebersamaan yang akan menyatukan “Aku-Engkau” dalam “Kita”, suatu kebersamaan yang betul-betul komunikatif.

Kebersamaan dalam model ini mensyaratkan adanya komitmen untuk tidak hanya memperlakukan orang lain dalam aspek-aspek fungsionalnya saja, seperti dalam relasi manusia dengan benda-benda (“Aku-Ia”). Kebersamaan di sini selalu berusaha meniupkan ruh kemanusiaan yang sesungguhnya, yang saat ini rentan diciutkan maknanya oleh proses birokratisasi dan pandangan-pandangan positivistik yang hanya mengedepankan aspek fungsi sesaat.

Untuk itulah, cara baca terhadap momentum kemerdekaan harus selalu dikaitkan yang proses pemerdekaan, yang menurut Ignas Kleden (Kompas, 16 Agustus 1999) merupakan bagian dari pemaknaan terhadap kemerdekaan sebagai proses serta sebagai tugas kesejarahan yang tak pernah berhenti. Praksis pemerdekaan ini kemudian bisa mendapatkan sudut pandang yang signifikan dari cermin kebersamaan yang begitu indah yang terentang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Kebersamaan ini tidak saja terlihat dalam ikhtiar-ikhtiar menuju proklamasi, tapi juga tampak setelah proklamasi itu sendiri, dalam proses perumusan sila pertama yang menggambarkan semangat kebersamaan dan saling pengertian yang mendalam.

Proses-proses sosial-politik yang saat ini berada dalam kerangka reformasi sepertinya kurang memerhatikan kearifan aspek kebersamaan yang sebenarnya begitu gamblang dalam sejarah bangsa ini. Salah satu tandanya adalah gejala depolitisasi massa yang masih belum terkikis di tubuh partai-partai. Kesibukan partai berhubungan dengan masyarakat bawah hanya terlihat menjelang dan pada saat pemilu seperti saat ini. Sementara di lain waktu, partai-partai kurang memberi porsi perhatiannya untuk membawa rakyat berpartisipasi dalam proses politik atau membantu mereka untuk dapat memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang ada. Masyarakat tidak didorong untuk mewujudkan ekspresi kebersamaannya untuk turut serta dalam proses pemerdekaan negeri ini dari nalar-nalar sempit dan kehendak untuk menimbun kuasa. Malah tidak jarang partai hanya difungsikan sebagai penyekat antar-golongan yang semakin mengikis dan menumpulkan rasa kebersamaan.

Seluruh elemen bangsa ini harus diseru untuk terus berupaya menyalakan kembali semangat kebersamaan dalam memperjuangkan pemerdekaan sebagai tindak lanjut dari tercapainya kemerdekaan bangsa ini dari tangan penjajah asing. Gerakan rakyat selama perjuangan kemerdekaan negeri ini harus selalu diingat dan terus dihidupkan kembali dalam memori kolektif bangsa. Karena dari situ kita semua akan tersadar bahwa para rakyat itu juga memiliki kedaulatan yang sama untuk membawa negeri ini ke alam kemerdekaan sejati yang menghargai martabat kemanusiaan dan keberagaman.

Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 16 Agustus 2004.

Read More..

Senin, 02 Agustus 2004

Ruang Partisipasi Pemuda di Daerah

Sabtu, 24 Juli 2004. Pagi itu saya membaca berita ringan di Jawa Pos Online, tepatnya di Radar Madura, tentang sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam FKMS (Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep) yang kecewa karena gagal bertemu untuk beraudiensi dengan anggota Komisi A DPRD Sumenep dan Bappeda. Para mahasiswa itu bermaksud akan memperbincangkan soal beasiswa pemerintah untuk mahasiswa. Menurut Ketua FKMS, Moh. Yunus, seperti dikutip oleh harian ini, pemberian beasiswa itu tidak tepat sasaran. Data mahasiswa penerima beasiswa pun tidak jelas, hanya tercantum nama dan universitasnya.

Terlepas dari fakta bahwa akhirnya, pada hari Senin 26 Juli 2004, para mahasiswa itu berhasil melangsungkan dialog seperti yang mereka inginkan, saya tertarik dengan berita tersebut terutama untuk masuk ke soal ruang partisipasi para pemuda daerah bagi pembangunan dan kemajuan tanah kelahirannya. Saya memiliki hipotesis bahwa pemerintah daerah kita selama ini terkesan kurang memberi ruang partisipasi yang cukup aktif untuk para pemuda, dan lebih melihat para pemuda itu sebagai objek.

Dalam kasus pemberian beasiswa untuk mahasiswa di Sumenep, sejauh pengamatan saya di Yogyakarta, saya memang mencatat setidaknya ada dua kejanggalan. Pertama, sebagaimana terungkap dalam dialog pada 26 Juli tersebut, penyebaran informasinya (sosialisasi) yang relatif cukup terbatas. Hanya beberapa kelompok mahasiswa Sumenep tertentu saja yang mengetahui adanya pemberian beasiswa ini. Dalam beberapa hal saya menilai ini sebagai sesuatu yang wajar, dalam arti bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa yang aktif mencari informasi atau dekat dengan sumber informasi di Sumenep sajalah yang paling mungkin mendapatkan informasi tentang beasiswa ini. Ketika itu saya sempat berpikiran siapa tahu berita tentang seleksi pemberian beasiswa ini termuat di situs resmi Pemda Sumenep. Ternyata nihil. Keterbatasan informasi seleksi pemberian beasiswa ini saya kira dapat memperkecil peluang pemberian beasiswa secara merata kepada mahasiswa Sumenep yang dipandang memang membutuhkan dan membuat prosesnya menjadi kurang selektif dan kompetitif.

Kejanggalan kedua, dari informasi yang saya dapatkan, persyaratan untuk seleksi penerimaan beasiswa ini saya kira terlalu minimal. Yang ada hanya persyaratan administratif formal yang sangat biasa: transkrip IPK, surat keterangan tidak mampu, keterangan dari kampus, dan semacamnya. Saya tak menemukan item persyaratan yang dapat menjadi pengikat formal atau emosional antara mahasiswa penerima beasiswa dengan kepentingan Pemda untuk pengembangan dan pembangunan daerah.

Menurut saya, beasiswa yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah daerah sebenarnya dapat memiliki fungsi ganda. Pertama, untuk membantu mereka yang memang kurang mampu tetapi cukup memiliki potensi dan prestasi, dan kedua, untuk lebih menumbuhkan dan memperkuat sense of belonging para mahasiswa terhadap proses pembangunan dan pengembangan tanah kelahirannya. Untuk fungsi yang kedua ini pemerintah sebagai pemberi beasiswa, misalnya, dapat menugaskan para mahasiswa calon penerima beasiswa ini untuk menuangkan gagasan-gagasannya tentang suatu tema tertentu mengenai pembangunan di daerah. Atau, lebih jauh lagi, para penerima beasiswa yang sudah terpilih nantinya ditugasi untuk mendiskusikan tema-tema tertentu oleh Pemda (melalui forum mailing list, misalnya) yang dikoordinasi oleh pihak Pemda yang secara institusional berhubungan dengan fungsi humas dan atau kepemudaan. Atau bisa dengan menawari mereka untuk mengadakan penelitian yang dibutuhkan pemerintah untuk bahan pertimbangan kebijakan pembangunan.

Agak keluar dari konteks beasiswa tersebut, dalam konteks pemberian dana dari Pemda untuk mahasiswa dan konteks ruang partisipasi yang bersifat interaktif, cukup menarik misalnya untuk dipertimbangkan jika Pemda dapat memberikan bantuan dana untuk para mahasiswa daerah yang sedang meneliti (baik dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi) sesuatu hal tentang problem di daerah. Selain sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi pemerintah terhadap kreativitas dan kepedulian kaum muda, ini juga dapat lebih menyemarakkan penggalian data dan analisis tentang segi-segi kedaerahan, yang selama ini sepertinya kurang cukup diminati.

Dengan landasan pola pandang dua fungsi seperti tersebut di atas, saya pikir seleksi pemberian beasiswa untuk mahasiswa dengan hanya menggunakan seleksi administrasi, seperti diakui oleh Kabid Kesra Bappeda, Sustono, S.E. (Radar Madura, 27 Juli 2004), menjadi sangat tidak memadai. Pemberian beasiswa tersebut mestinya sekaligus bermakna sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan untuk ajang partisipasi para pemuda bagi pembangunan daerahnya. Yang terjadi selama ini seolah-olah Pemda “hanya” berperan sebagai pengucur dana yang memandang para mahasiswa itu sebagai kelompok yang diberi saja—lebih sebagai objek. Padahal saya kira para mahasiswa itu pada dasarnya juga memiliki sejumlah kepedulian dan mungkin pemikiran tertentu dalam konteks pembangunan daerah, yang siapa tahu cukup berguna dan berharga. Seorang kawan yang kebetulan juga mahasiswa kelahiran Sumenep dalam beberapa email pribadinya ke saya sempat mendiskusikan masalah pemilihan Bupati Sumenep yang tak lama lagi akan digelar. Beberapa kawan mahasiswa di Yogyakarta juga sempat aktif membicarakan isu PLTN di Madura. Bahkan Forum Silaturahim Keluarga Mahasiswa Madura Yogyakarta (FS-KMMY) beberapa hari yang lalu juga telah mengadakan acara seminar di Madura tentang berbagai tema, seperti telah diberitakan oleh harian ini.

Hal-hal semacam ini saya kira adalah bentuk kepedulian para pemuda kita terhadap peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di tanah kelahirannya, yang menurut saya juga perlu direspons dan diapresiasi secara positif oleh pemerintah daerah di Madura. Saya memang masih belum terlalu jelas menemukan format pemberian ruang partisipasi untuk kaum muda ini. Tapi saya kira pemerintah harus dapat memanfaatkan momen-momen interaksi yang terjadi antara pemerintah dan para pemuda daerah ini (seperti kasus beasiswa) untuk dimaksimalkan dalam konteks ruang partisipasi tersebut.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, sebagai perbandingan, saya ingin sedikit bercerita tentang aktivitas dan kreativitas mahasiswa Jember di Yogyakarta yang dalam pengamatan sekilas saya cukup diperhatikan oleh Pemda Jember. Di Yogyakarta, Pemda Jember mendirikan Asrama Jember yang digunakan sebagai tempat tinggal dan pusat kegiatan mahasiswa Jember. Yang menarik, Asrama Jember, yang aktivitas dan kreativitasnya selalu didukung oleh Pemda, saat ini juga menjadi cukup dikenal karena dari sana muncul kelompok kesenian Patrol yang dalam beberapa ajang kesenian baik di tingkat Yogyakarta maupun nasional cukup mendapat apresiasi yang baik dari komunitas kesenian dan masyarakat seni pada umumnya.

Apresiasi dan dukungan untuk memberi ruang partisipasi terhadap kaum muda daerah ini tentu saja di sisi yang lain menuntut kesediaan dan keseriusan kaum muda itu sendiri untuk lebih peduli dengan perkembangan dan pembangunan di tanah kelahirannya. Artinya, jika ada suatu ruang partisipasi yang terbuka lebar, kaum muda harus betul-betul memanfaatkannya dengan baik. Dari sinilah kemudian terlihat bahwa ruang partisipasi yang saya bicarakan ini pada dasarnya adalah sebentuk jalinan kemitraan yang saling menguntungkan kedua belah pihak sekaligus, pemerintah dan kaum muda.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa jika soal ruang partisipasi kaum muda ini terus diabaikan, saya khawatir para pemuda kita nantinya akan (dianggap) menjadi “Si Malin Kundang”. Bila sudah demikian, mungkin sekali tanah airnya tidak akan dapat menerimanya dan menampiknya untuk kembali. Padahal, “Si Malin Kundang” itu punya banyak cerita tentang perasaan-perasaan yang digelisahkannya selama ini—tentang tanah airnya yang masih dilanda epidemi korupsi, kaum elit sosial yang tak punya empati, rakyat yang masih sering dibodohi, atau tentang petani tembakau yang masih sering dikibuli.

Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, Minggu, 1 Agustus 2004.

Read More..