Anggapan apa saja yang selama ini bersarang dalam kepala kita tentang ilmu pengetahuan? Harapan apa saja yang kita curahkan kepadanya, sehingga begitu banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan hanya untuk sekedar duduk di ruang kelas, atau mencerna bacaan-bacaan dalam buku, koran, atau majalah, atau dengan mendengarkan radio dan televisi. Selain itu, mengapa kita selama ini mempercayakan harapan kita untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu kepada suatu lembaga tertentu: sekolah, kursus-kursus, dan sebagainya.
Dari perspektif filosofis, ilmu pengetahuan merupakan suatu konstruksi sistematis yang terpadu yang dimiliki manusia terhadap sesuatu hal tertentu. Ilmu pengetahuan menandakan seluruh kesatuan ide mengacu kepada obyek tertentu yang disusun dalam suatu kerangka logis. Bila mau dilacak lebih dalam, pengetahuan itu sendiri sebenarnya memiliki dimensi atau aspek eksistensial yang cukup kental. Setiap pertanyaan yang mempertanyakan suatu pengetahuan pada dasarnya juga mempertanyakan sejauh mana keterlekatan subyek terhadap suatu obyek. Rasa ingin tahu yang bertitik tolak dari suatu rasa kekaguman terhadap fenomena jagat semesta ketika ingin dipenuhi sebenarnya bukan sekedar untuk suatu rasa ingin tahu yang kaku dan formal. Kalau muncul pertanyaan tentang apakah yang dapat saya ketahui, sebenarnya pertanyaan itu juga adalah berarti bertanya tentang apakah yang nyata itu.
Dimensi eksistensial ini pada gilirannya menurut penulis juga mengharuskan suatu orientasi tentang pemenuhan hasrat ingin tahu tersebut. Artinya, apakah sebenarnya makna dan maksud dari suatu pemenuhan hasrat ingin tahu tersebut, yang kemudian berwujud dalam suatu usaha ilmiah untuk mengetahui tentang sesuatu hal secara lebih luas dan mendalam. Ketika inilah, ilmu sejak awal kelahirannya dalam kesadaran manusia juga membutuhkan suatu orientasi: bagaimana kita memposisikan ilmu pengetahuan itu semua, terutama dalam kerangka eksistensial, yakni hidup-yang-nyata-ini? Kalau pertanyaan yang mungkin sederhana ini tidak bisa dijawab—atau bahkan memang sama sekali tidak disadari nilai urgensinya—maka di situlah juga telah terjadi suatu krisis eksistensial manusia, dalam hubungannya dengan aktivitas hidupnya sendiri. Inilah mungkin juga yang disebut dengan keterasingan manusia, ketika manusia tidak dapat menjelaskan tentang bagaimana ia memposisikan ilmu pengetahuan yang dimiliki serta dicarinya itu.
Selain dimensi eksistensial, ilmu pengetahuan juga telah mampu menjadi roda penggerak kemajuan sejarah dan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan, terutama sejak munculnya Abad Pencerahan (Aufklarung) yang kemudian melahirkan Revolusi Industri dan munculnya berbagai sistem ekonomi dan teknologi, mampu menjadi faktor penting dalam perubahan dunia. Dengan demikian, bila pengembangan ilmu pengetahuan yang menjadi motor lajunya peradaban manusia tidak diorientasikan atau tidak didasarkan atas suatu nilai-nilai tertentu yang—katakanlah—luhur, maka dalam bayangan penulis, peradaban manusia yang dibangun kemudian hanya akan menghancurkan diri manusia sendiri. Peradaban manusia mungkin bukan lagi ada dalam kerangka fungsi memanusiakan manusia, tetapi malah untuk membunuh dan memusnahkan manusia sekaligus kemanusiaannya. Betul-betul mengerikan! Di sinilah nilai pentingnya suatu orientasi keilmuan, dan juga pengenalan makna hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri bagi hidup manusia sehari-hari.
Bertolak dari uraian di atas, tidaklah mengherankan bila seorang sufi dan filsuf besar Islam, Muhammad al-Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.) menulis begitu panjang lebar tentang masalah ilmu pengetahuan ini dalam magnum opus-nya, Ihya’ `Ulumuddin. Penempatan al-Ghazali dalam membahas masalah ilmu pengetahuan ini juga memiliki makna penting. Ihya’, yang terdiri dari empat bagian, pada lebih seperempat bagian pada buku pertama (kurang lebih sekitar 90 halaman) dimulai dengan pembahasan tentang masalah ini, sebelum kemudian al-Ghazali masuk ke tema-tema lainnya, seperti tentang akidah, ibadah, perilaku keseharian (seperti berkeluarga, berusaha, bergaul, dan sebagainya), aktivitas hati dan jiwa sekaligus panca indera, dan tentang etika. Dengan bertolak dari pendasaran yang jelas terhadap orientasi aktivitas keilmuan, al-Ghazali kemudian mengisi seluruh aktivitas keilmuan dan aktivitas hidup yang berikutnya tersebut dengan nuansa-nuansa sufistik, seperti yang memang khas dalam karya-karyanya yang lain.
Landasan sufistik dalam setiap usaha mencapai pengetahuan dengan demikian nyaris mutlak diperlukan, terutama untuk mencegah berbagai ekses keangkuhan epistemologis yang berlebihan dalam diri manusia. Asumsi dasar yang ada di sini adalah pandangan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan itu lebih banyak tergantung kepada subyek (manusia), terutama dalam hal pemanfaatannya kepada khalayak. Al-Ghazali dalam Ihya’-nya menegaskan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak memiliki makna jelek dalam dirinya sendiri, tetapi lebih tergantung bagaimana subyek (manusia) memperlakukannya dalam hidup sehari-hari. Dengan pernyataan ini, ilmu pengetahuan an sich bukanlah menjadi jaminan bagi masa depan hidup manusia: baik itu demi keselamatannya, maupun demi apa yang disebut kebahagiaan.
Fakta empiris telah banyak membuktikan hal tersebut. Betapa banyak orang yang belajar ilmu hukum, namun akhirnya menghuni tempat hukuman. Apalagi, prinsip-prinsip bertindak ekonomis yang terlalu kental dan dominan tetapi dimaknai serampangan pada titik tertentu memang telah mengubah watak seseorang manusia menjadi tidak lebih baik daripada binatang: mencuri hak orang lain, menggasak teman sendiri, dan semacamnya. Sejauh ilmu pengetahuan itu dikaitkan dengan hal masa depan, memang tidak banyak yang dapat memberikan suatu korelasi positif kecuali bila benar-benar dilandasi dengan landasan sufistik tersebut. Dalam hal mendapat pekerjaan misalnya. Banyak sekali pelajar atau mahasiswa saat ini yang merasa gelisah tentang hal ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam: “Saya akan kerja di mana, nanti?” sering didengar, terutama di jurusan-jurusan yang ‘kurang jelas lapangan kerjanya’. Padahal, betapa kadang-kadang pekerjaan yang didapat seseorang kemudian lebih banyak diperoleh dari suatu proses kebetulan, tanpa berhubungan langsung dengan usahanya. Terlalu banyak hal yang terjadi di dunia ini tanpa sesuai dengan apa yang kita rencanakan.
Lalu, kalau ilmu pengetahuan bukan lagi jaminan, kepada apa kita harus mencari jaminan itu. Lembaga asuransi memang tidak pernah ada yang mau mengurus hal ini. Pernyataan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah jaminan bagi kita menurut penulis harus ditempatkan dalam konteks pentingnya suatu orientasi ilmiah tersebut di atas. Artinya, ketika ilmu pengetahuan yang diusahakan atau dimiliki tidak diorientasikan secara benar, maka itu hanya akan berarti suatu penghancuran diri (self-destruction) terhadap nilai kemanusiaan seseorang.
Nurcholish Madjid dalam suatu tulisannya menegaskan bahwa suatu orientasi ilmiah harus diletakkan kembali dalam konteks yang lebih luas, yakni masalah hidup. Dari kacamata religius, kalau memang disepakati, manusia dalam hidupnya mengemban tugas ilahiah di muka bumi, yakni sebagai Khalifatullah (pengganti Tuhan di bumi). Fungsi kekhalifahan ini diberikan kepada manusia terutama karena manusia memiliki potensi untuk mengenal dan memahami lingkungan sekitarnya, yang terwujud dalam bentuk ilmu pengetahuan. Kalau potensi tersebut mau dilihat sebagai suatu anugerah atau karunia yang bersifat rabbani, maka orientasi ilmiah yang dimaksud di atas harus dipahami dalam konteks ini. Artinya, setiap usaha pengembangan ilmu pengetahuan harus dimaknai dan dihubungkan dengan suatu nilai ruhaniah, yang berasaskan pandangan bahwa manusia bertugas sebagai khalifah Tuhan untuk mengelola alam raya, dan ia adalah makhluk yang berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya pula (dalam tradisi Islam keyakinan ini diabadikan dalam suatu ungkapan: Inna li-l-Lahi wa inna ilayhi raji`un).
Sikap seorang pencari ilmu menurut al-Ghazali pertama-tama adalah mendahulukan suatu pensucian diri dari perilaku dan sifat-sifat tercela, karena usaha untuk mencari ilmu bagi al-Ghazali adalah suatu sikap pengabdian ('ibadah) yang dilakukan oleh hati (qalb). Dengan menganalogikan shalat yang harus dilakukan setelah berwudlu’ terlebih dahulu, al-Ghazali juga menegaskan pentingnya pensucian diri sebelum atau selama menjalani proses pencarian keilmuan itu. Hadratus-Syeikh Hasyim Asy`ari, dalam bukunya yang berjudul Adab al-`Alim wa al-Muta`allim juga mengedepankan aspek introspeksi perilaku diri ini dalam memulai laku belajar. Baginya, pensucian hati dari segenap kotoran baik dalam bentuk kepercayaan atau bahkan perilaku, mutlak dilakukan, agar ilmu pengetahuan yang carinya itu dapat menghasilkan sesuatu yang baik pula.
Akhirnya, suatu ilmu pengetahuan harus juga selalu diletakkan dalam kerangka aksi emansipatoris terhadap diri dan masyarakat. Suatu ilmu pengetahuan yang tidak bermanfaat ibarat pohon yang tak berbuah. Apalagi, ilmu pengetahuan yang akhirnya justru membahayakan bagi manusia; dalam peribahasa mungkin diungkap dengan pagar makan tanaman! Oleh karena itu, kita layak untuk senantiasa berusaha dan berdoa untuk dihindarkan dari ilmu yang tidak bermanfaat itu. Allahumma inna naudzu bik min ilm la yanfa`, wa `amal la yurfa`, wa qalb la yakhsya`, wa du`a la yusma`...!
Kamis, 24 Juni 1999
Ilmu Bukan Jaminan!
Label: Philosophy, Religious Issues
Langganan:
Postingan (Atom)