Sabtu, 15 Februari 2025

Nyai Fairuzah Tsabit: Pengawal al-Qur’an dari Sabajarin

Nyai Fairuzah dalam kegiatan "Al-Qur'an Camp", September 2022


Menjelang subuh, kabar itu begitu mengejutkan saya. Nyai Fairuzah putri Kiai Tsabit Khazin meninggal dunia di RSUD dr Moh Anwar, Sumenep. Beliau dikabarkan dirawat di Klinik Pratama Annuqayah mulai hari Kamis pagi karena kadar HB turun. Lalu malam harinya, menjelang wafatnya Kiai Muqsith Idris, beliau dirujuk ke Sumenep.

Beliau adalah putri pertama Kiai Tsabit yang memang dikader untuk mendalami al-Qur’an. Kuliah di Jakarta jenjang sarjana dan magister di jurusan tafsir-hadits. Setelah kuliah dan kemudian berkeluarga, di Annuqayah beliau menjadi dosen tetap di jurusan tafsir di Universitas Annuqayah (sejak masih bernama Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah atau STIKA) dan juga mengajar bidang al-Qur’an di Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah dan SMA 3 Annuqayah. Beliau juga terlibat dalam kegiatan tahfiz di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, juga kegiatan sima’an tahfiz di Kabupaten Sumenep.

Di SMA 3 Annuqayah, beliau merintis program tahfiz juz ‘amma sejak 2008, sebuah program yang hingga sekarang terus berkembang dalam berbagai kegiatan, yang kemudian juga dilaksanakan di MTs 3 Annuqayah. Apresiasi luar biasa atas inisiatif dan kepemimpinan Nyai Fairuzah dalam mengembangkan program al-Qur’an di Sabajarin. Sejak mulai diprogram di sekolah di Sabajarin, program ini menjadi bagian dari identitas lembaga pendidikan di Sabajarin pada khususnya.

Dengan semangat meneruskan identitas Annuqayah sebagai pesantren yang menaruh perhatian pada al-Qur’an, Nyai Fairuzah dengan penuh semangat mengawal program tahfiz dan al-Qur’an di Sabajarin pada khususnya. Untuk mendukung kegiatan tahfiz juz ‘amma tersebut, pada tahun 2014 dibentuk Komunitas Sima’an Juz ‘Amma yang melibatkan para alumni untuk merawat hafalan mereka. Pada tahun pelajaran 2014/2015, di SMA 3 Annuqayah juga diberikan pelajaran Tafsir Juz ‘Amma di kelas XI dan XII yang mempelajari tafsir juz ‘amma dari Tafsir Jalalayn.

Upaya untuk merawat semangat santri dalam menghafalkan juz ‘amma juga dilakukan oleh Nyai Fairuzah dengan merancang kegiatan yang diberi nama “Al-Qur’an Camp”. Ini dimulai tahun 2022. Jadi, secara cukup sistematis, beliau berpikir perlu ada kegiatan yang lebih terstruktur untuk tahfiz ini. Muncullah konsep kegiatan yang dimulai dari proses inisiasi untuk siswa baru, lalu evaluasi dan monitoring, kendali mutu, hingga ujian akhir dan "wisuda".

“Al-Qur’an Camp” ini dilaksanakan di awal tahun pelajaran untuk siswa kelas XII di SMA 3 Annuqayah untuk memastikan bahwa pada tahun terakhir mereka di sekolah mereka dapat menuntaskan target hafalan juz ‘amma. Ragam kegiatan dilaksanakan di situ, mulai dari yang sifatnya motivasi, refleksi, teknik menghafal yang lebih mudah, dan juga wawasan tafsir.

Setiap kali saya hadir dan berbicara di forum keguruan di Annuqayah khususnya di lingkungan Sabajarin, tak ragu saya memberi apresiasi dan pujian untuk Nyai Fairuzah atas konsistensinya dan semangatnya mengawal program-program al-Qur’an di Annuqayah. Saya sampaikan bahwa kerja-kerja beliau ini akan menjadi amal yang nilainya luar biasa. Saya menyampaikan ini dengan penuh emosi, membayangkan betapa amal saya jauh kalah mulia dari kerja-kerja beliau dalam menjadi “pengawal” al-Qur’an. Al-Qur’an, kalamullah yang juga adalah mukjizat Rasulullah saw, dan beliau menjadi “pengawal” yang berdiri di baris terdepan dengan penuh semangat untuk merawat kecintaan pada al-Qur’an.

Nyai Fairuzah, saya yakin keberkahan al-Qur’an akan mengantarkan Ajunan untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah saw. dan bahagia selamanya di surga.


Sumber foto: Ditangkap dari video di kanal Annuqayah TV YouTube di sini.


Read More..

Rabu, 05 Februari 2025

Jejak Hasyim, Keramahan Mekah, dan Ironi Era Kini

Kalau Anda berada di sekitar Masjidil Haram, Mekah, dan merasa agak lapar, jangan khawatir. Biasanya ada banyak orang yang menyediakan makanan dan minuman gratis di sekitar sana. Begitu kata teman saya yang sedang umrah awal bulan Maulid yang lalu. Ada orang-orang yang membagikan kurma gratis di sekitar area Masjidil Haram. Juga minuman, baik itu air mineral, kadang juga teh.

Saya hanya bisa membayangkan dan mereka-reka dalam pikiran, karena memang waktu itu saya belum punya pengalaman langsung. Namun saya lalu teringat tentang kisah Hasyim, buyut Nabi Muhammad saw.

Nama Hasyim, tutur M. Quraish Shihab dalam salah satu bukunya, sebenarnya adalah gelar. Nama asli Hasyim adalah ‘Amr. Hasyim secara harfiah berarti “menghancurkan roti dan mencampurnya dengan kuah (daging) sehingga siap untuk dimakan”. Gelar itu disematkan kepadanya karena kedermawanan Hasyim dalam memberi pelayanan kepada tamu-tamu peziarah yang berkunjung ke Kakbah.

Setelah ayah Hasyim, Abd Manaf, meninggal, Hasyim kebagian tugas untuk mengurus pelayanan konsumsi di Mekah. Namun gelar itu diberikan bukan semata karena Hasyim bertanggung jawab atas tugas tersebut. Gelar itu diberikan karena Hasyim menunjukkan keramahan dan kedermawanan terutama kepada para peziarah di kota Mekah.

Keramahan dan kedermawanan Hasyim terbukti saat salah satu ponakannya yang bernama Umayyah (putra Abd Syams) merasa iri atas popularitas Hasyim dan kemudian menantang untuk menanyakan kepada sekelompok orang tentang siapa yang paling unggul di antara keduanya. Siapa yang kalah maka harus menyerahkan lima puluh ekor unta dan harus diasingkan selama sepuluh tahun. Ternyata Hasyim menang. Umayyah mengasingkan diri ke Syam. Kemudian lima puluh ekor unta itu disembelih oleh Hasyim dan dibagi-bagikan kepada khalayak umum.

Keramahan seperti ini oleh Ismail Fajrie Alatas juga digambarkan menjadi cara untuk membangun jamaah dan otoritas keagamaan. Konsep karam (kedermawanan) dijunjung tinggi oleh suku Arab. Jamuan dan pelayanan kepada tamu-tamu adalah salah satu bentuk konkretnya. Keramahan dan kedermawanan dapat mengatasi sekat kabilah dan kesukuan, dan itu berarti memperluas jangkauan otoritas seseorang atau kelompok tertentu. Bib Ajie juga menuturkan bahwa ulama Ba Alawi di Hadramaut juga mempraktikkan tradisi keramahan dan kedermawanan ini dalam membangun otoritas religius mereka di sana.

Kiranya, keramahan seperti itulah yang mungkin terus dilanjutkan dalam tradisi orang Arab khususnya di kota suci Mekah saat ini. Jika Anda perhatikan, di titik-titik tertentu sekitar Masjidil Haram ada orang atau sekelompok orang yang secara rutin membagikan kurma dan minuman. Di sekitar hotel di kawasan Tower Zamzam, saya menemukan beberapa rombong yang menjadi pos pembagian kurma dan minuman. Ada juga orang yang membagikan minuman di sepanjang jalan akses ke arah Ajyad. Mereka berdiri di tengah atau di pinggir jalan, biasanya saat terik matahari.

Kalau di dalam kawasan masjid, beberapa kali saya melihat sejumlah petugas membagikan paket makanan yang berisi roti, jeruk, kurma, dan air zamzam, kepada jamaah menjelang shalat maghrib. Di kemasannya, tertulis bahwa itu adalah untuk buka puasa. Tapi petugas tak bertanya apa orang yang diberi paket tersebut sedang berpuasa atau tidak. Petugas langsung membagikannya dari shaf terdepan di area tertentu.

Saat menyaksikan salah satu rombong yang seperti tak putus-putus membagikan kurma kepada orang yang lalu-lalang di salah satu titik dekat WC 3 ke arah Ajyad, terlintas dalam ingatan saya bayangan orang-orang yang berjualan di sepanjang jalan sekitar Masjidil Haram. Para penjual itu menggelar lapak mereka ala kadarnya. Mereka menjajakan pakaian, aneka makanan, dan juga minuman. Sesekali, mereka akan bubar berlarian saat ada petugas keamanan yang berpatroli. Pasar tumpah itu begitu meriah selepas shalat subuh. Jalanan penuh dengan para pelapak ini. Pemandangan serupa akan kita temukan di sekitar kawasan Masjid Nabawi, Madinah, meski tidak seramai di Mekah.

Orang-orang ini mencoba mengais rezeki dari para peziarah. Saya membayangkan situasinya mungkin sama dengan zaman Nabi dulu. Bedanya, peziarah sekarang datang dari berbagai penjuru dunia dengan jumlah yang berlimpah ruah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya jika musim haji. Atau waktu-waktu padat seperti di bulan Ramadan atau di sekitar masa liburan akhir tahun.

Selain para pelapak dadakan di pinggir-pinggir jalan itu, di jalanan kerap juga saya jumpai para peminta-minta baik itu anak-anak maupun dewasa. Sebagian dari mereka itu difabel. Saya menduga sebagian besar dari pelapak dan peminta-minta itu adalah pendatang. Entah apa mereka mempunyai dokumen keimigrasian yang resmi atau tidak.

Mengingat itu semua, saya tak habis pikir membayangkan bagaimana keramahan dan kedermawanan bersanding dengan kepapaan dan kesengsaraan di situ. Saya teringat para pelapak yang lari tunggang langgang saat para petugas patroli datang. Itu juga terjadi di Madinah di jalan-jalan kawasan hotel sekitar Masjid. Saat patroli datang, tak jarang para pelapak itu meninggalkan barang-barang dagangannya dan berlari untuk menghindari petugas. Ada salah seorang teman saya yang bercerita bahwa ia sedang membeli pakaian di salah satu pelapak itu saat petugas tiba-tiba datang. Uang kembaliannya belum diserahkan penjual, tapi ia bilang telah merelakannya.

Saya lalu teringat peristiwa hilful fudhul (Pakta Kehormatan), kejadian saat Nabi masih remaja dan belum diangkat sebagai utusan. Saat itu, seorang pedagang yang adalah pendatang di Mekah dizalimi oleh seorang pembeli yang enggan untuk membayar barang yang diambilnya. Si pedagang mengeluh dengan untaian syair. Pemuka Mekah tergugah, lalu akhirnya membuat kesepakatan yang dikenal dengan nama hilful fudhul. Kesepakatan itu menegaskan bahwa para pemuka suku di Mekah harus bertanggung jawab untuk mengambil langkah intervensi jika ada orang yang ditindas atau dizalimi—siapapun mereka yang menindas dan yang ditindas itu. Nabi Muhammad terlibat dalam pertemuan yang menyepakati pakta tersebut.

Pikiran saya bertanya-tanya, apakah ironi yang saya saksikan itu, tentang pelapak yang berlarian dari kejaran petugas dan semacamnya, dapat menuntut ditegaskannya poin-poin kesepakatan seperti yang tertuang dalam hilful fudhul tersebut? Bukankah ketika sudah diangkat sebagai rasul dulu Nabi bersabda: “Kalau aku diajak lagi untuk terlibat dalam penyusunan pakta semacam itu (hilful fudhul) setelah datangnya Islam, niscaya akan kusambut dengan senang hati”?

Keramahan dan kedermawanan sebagai sebuah tradisi di Arab mungkin adalah semacam etika personal yang pada tingkat selanjutnya mungkin perlu dinaikkan pada tingkat struktural sehingga persoalan-persoalan yang lebih bersifat kompleks dapat juga dipecahkan dengan semangat keramahan dan kedermawanan tersebut.

Mungkin situasi ini adalah bagian dari ironi era kini. Ironi agama era kini, ketika ia berhadapan dengan masalah sosial yang semakin kompleks. Dari pusat berkembangnya Islam, dari Baitullah, saya terpikir bahwa misi kerasulan penting untuk terus ditegaskan dan didialogkan dengan kondisi kekinian.

Wallahu a’lam.


Baca juga:
>> Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan


Read More..