Selasa, 26 Februari 2002

Menulis Resensi Buku: Catatan Pengalaman

Resensi menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti penilaian atau pertimbangan buku, atau ulasan buku. Menulis resensi buku tidak jauh berbeda dengan menulis artikel/opini. Bedanya hanya terletak pada gagasan yang diolah. Artikel membutuhkan suatu gagasan kompleks yang diolah secara baik (dengan bantuan konstruk teori tertentu yang menjadi perspektif, yang dalam bahasa Ignas Kleden (1996: vii-xxi) mengolah dan memadukan factual knowledge dan conceptual knowledge), dan karena itu amat tergantung kepada stok pengetahuan dan ketajaman perspektif analitis si penulis. Sedangkan pada resensi buku bahan hampir sepenuhnya berada dalam buku yang akan diresensi, meskipun juga butuh kejelian penulis untuk memberikan kritik serta perspektif yang tepat dalam menilai dan memposisikan isi buku tersebut.

Hernowo, redaktur Penerbit Mizan Bandung, menulis bahwa ada tiga kegunaan menulis resensi buku. Pertama, melatih untuk memahami gagasan dan isi buku secara efektif dan terstruktur. Tulisan pada dasarnya adalah upaya untuk mengikat pengalaman yang acak. Pengalaman membaca sebuah buku bila kemudian ditulis dengan baik berarti menata struktur pengalaman membaca gagasan buku (yang dapat saja bersifat acak) sehingga menjadi terorganisasi dengan baik. Kedua, resensi adalah medan untuk menjaga kesegaran wacana (pemikiran) yang dibaca dari sebuah buku. Tulisan (resensi) ibarat semacam tempat “curhat” setelah membaca sebuah buku. Ketiga, resensi membiasakan seseorang menyerap sesuatu yang bermanfaat (“gizi buku”). Ini karena resensi buku juga harus melalui tahap pemilahan gagasan penting dari buku itu.
Menulis resensi buku dilakukan untuk menginformasikan garis besar isi buku kepada orang lain, untuk kemudian dilakukan penilaian dan upaya kontekstualisasi isi buku dengan kondisi kekinian. Unsur penilaian dalam resensi dapat mencakup wilayah yang cukup luas: dari kondisi buku yang bersifat fisik (ukuran buku, desain dan lay-out) atau kandungan buku (editing, aktualitas tema, cara pemaparan masalah, struktur argumentasi, dsb). Menilai juga bisa mengkritik dan membandingkan sebuah buku dengan buku yang lain.

Cuma masalahnya mungkin karena ada banyak jenis buku yang dapat kita jumpai, baik dari segi permasalahan (tema) yang diangkat (sosial-politik, ekonomi, budaya, agama, seni, psikologi, dsb), dan “sifat” buku (kumpulan atau buku utuh, buku teori atau ulasan faktual, dsb.). Karena itu, konsekuensinya, akan ada banyak perbedaan dalam menggarap resensi berbagai jenis buku tersebut (termasuk mulai dari strategi memahami buku). Di sinilah peran kejelian penulis resensi untuk dapat membuat buku ini menarik, dan kontekstual (membumi).

Secara sederhana, ada beberapa langkah yang ditempuh dalam meresensi yaitu memilih buku, membaca dan menyerap saripati buku, dan menyusun komposisi tulisan (resensi).

Pertama, memilih buku yang akan diresensi. Langkah awal meresensi ini tidak bisa diabaikan. Ada beberapa kriteria buku yang memiliki nilai kelayakan untuk diangkat—seperti juga berita. Nilai sebuah buku tidak jauh berbeda dengan nilai sebuah berita. Dalam nilai berita dikenal adanya nilai timeliness (aktualitas buku pada suatu waktu), prominence (ketokohan si penulis buku), proximity (kedekatan buku dengan suatu komunitas pembaca), consequences (besar-kecilnya dampak buku itu dalam perkembangan masyarakat), dan human interest (menariknya buku dari segi cara hidup atau kehidupan manusia). Buku yang diterbitkan juga nyaris demikian, memiliki sifat-sifat nilai berita tersebut. Bedanya paling cuma pada tingkat kadar kualitasnya. Tapi, bila kita hendak memilih buku untuk diresensi, yang patut dipertimbangkan juga adalah masalah kecenderungan suatu media tertentu terhadap tema-tema dan karakter buku yang dimuat resensinya. Strategi awal ini penting, karena jenis buku yang berkualitas bagus biasanya resensinya dimuat tidak hanya di satu media, tapi hampir di semua media. Tapi ada juga buku tertentu yang tidak “disukai” oleh suatu media, tapi “disukai” media yang lain.

Langkah selanjutnya adalah memulai membaca buku dalam rangka menangkap alur dan pemikiran utama buku tersebut (menyusun resume/ringkasan). Sebaiknya—atau idealnya—buku yang akan diresensi dibaca seluruhnya. Apalagi bila peresensi sama sekali belum kenal dengan tema wacana yang dibicarakan atau belum kenal dengan gaya pemikiran si penulis. Akan tetapi, bila bukunya berupa kumpulan, bisa saja hanya dibaca beberapa tulisan yang dianggap penting dan memiliki keterkaitan langsung dengan judul/tema buku.

Setelah selesai dibaca, penulis resensi mesti mereview kembali alur gagasan buku dan memilah-milah gagasan-gagasan serta kata-kata kunci dari setiap bagian di buku itu (kalau perlu ditulis di secarik kertas, lengkap dengan halaman buku tersebut). Dari situlah, organisasi pikiran buku tertangkap. Setelah alur gagasan utama buku itu sudah dapat dicerna dengan baik, sekarang giliran peresensi untuk menentukan perspektif atau sudut pandang yang akan digunakan dalam meresensi buku tersebut, yang nantinya akan mewujud dalam bagian analisis (isi) buku.

Secara teknis, resensi berisi ringkasan buku yang diikuti dengan cara pandang peresensi terhadap buku atau gagasan yang terkandung dalam buku itu, termasuk pula kritik dan perbandingan. Membuka tulisan (resensi) biasanya dilakukan dengan menjejakkan tungkai-tungkai pemikiran atau isi buku dengan realitas aktual. Ini bisa dengen memanfaatkan beberapa momen peristiwa konkret yang berkaitan erat dengan isi buku, dengan berusaha dieksplorasi, sehingga sejak awal sudah tercermin nilai aktulitas dan nilai lebih buku. Bisa juga dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, atau dengan menyinggung profil penulis buku (bila mungkin). Yang perlu dicatat, bagian pengantar sebuah resensi tidak boleh terlalu panjang, karena nanti akan mencuri jatah bagian pemaparan isi buku dan hanya akan mengesankan kurangnya penguasaan penulis terhadap kandungan buku.

Pada bagian yang berisi deskripsi isi buku, seorang penulis resensi dituntut untuk harus dapat dengan cerdas menyeleksi bagian-bagian mana yang dianggap paling penting untuk dipaparkan. Ada, misalnya, sebuah buku yang berisi sebuah tawaran paradigmatik baru, dan sebagian (besar) lain dari isi buku itu berisi konsekuensi logis dan contoh dari penerapan paradigma baru itu dalam sebuah bidang kajian. Contohnya adalah buku Tekstualitas Al-Qur’an karya Nasr Hamid Abu Zaid (LKiS, Januari 2001). Buku setebal 430 halaman itu pada dasarnya berusaha mengajak pembaca untuk memposisikan Al-Qur’an sebagai sebuah produk kebudayaan yang bersifat tekstual, dan amat erat lekat dengan karakter tekstual yang dimilikinya. Ini dipaparkan dalam sekitar 100 halaman pertama. Selebihnya pembaca ‘hanya’ akan menemukan berbagai konsekuensi logis dari tawaran pendekatan Nasr Hamid terhadap beberapa konsep penting dalam Ulumul Qur’an, lengkap beserta data-data dan contohnya.

Dengan menyadari hal semacam ini, seorang penulis resensi tentu harus dapat mengatur komposisi yang tepat pada bagian pemaparan isi buku. Yang terpenting, bagian utama (seperti tentang paradigma baru dalam membaca Al-Qur’an dalam kasus buku Nasr Hamid itu) harus dijelaskan secara cukup terang, sementara bagian yang berupa contoh penerapan itu pada konsep-konsep kunci Ulumul Qur’an cukup diambil beberapa yang dianggap terpenting (misalnya diambil konsep nasikh-mansukh, tafsir-ta’wil, dsb).

Contoh lainnya bisa kita temukan dalam buku-buku yang berisi kiat-kiat populer seperti buku terbitan Penerbit Kaifa dan beberapa buku Gramedia. Seperti buku The Corporate Mystic (Penerbit Kaifa, Desember 2002), yang mengulas tentang pengusaha sukses Amerika yang dipandang mencerminkan sikap hidup yang penuh dengan spiritualitas. Bila kita sudah dapat menangkap tiga ciri utama pengusaha sukses-spiritualis seperti yang dipaparkan di bagian awal buku, kita tinggal memilih beberapa bagian untuk penajaman ketiga ciri tersebut.

Bagian lain sebuah resensi adalah bagian penilaian isi buku dan penutup tulisan. Pada bagian ini, seorang penulis resensi buku harus dapat memberikan penjelasan tentang posisi buku dalam konteks kekinian. Pada bagian inilah, sebenarnya, seorang penulis resensi dituntut untuk dapat memberi penjelasan yang cukup bagus tentang makna buku itu bagi masyarakat pembaca, yang pada dasarnya merupakan impresi dan apresiasi penulis terhadap buku. Di sini peresensi tidak jauh berbeda dengan seorang komentator sepakbola, yang memberikan perspektif terhadap sebuah jalannya pertandingan. Ibarat komentator bola, dalam bagian ini peresensi sebenarnya dituntut memahami karakter pemain yang bertanding, urgensi pertandingan (derby atau bukan, dsb), atau poin yang sudah dikumpulkan dua tim selama musim kompetisi berlangsung.

Dalam menilai sebuah buku, peresensi memang dapat masuk dari pintu mana saja, sekenanya saja, asal masih sesuai dengan isi buku dan kemampuan peresensi sendiri. Bisa dengan melihat sisi tawaran buku (baik bersifat metodologis maupun paradigmatik), pemetaan permasalahan yang disajikan, komprehensivitas, kekayaan data, ketajaman analisis, penyajian dan cara berbahasa yang enak diikuti, dan sebagainya.

Untuk mengasah bagian ini agar lebih tajam, peresensi dapat dibantu dengan membaca referensi (buku atau tulisan) lain, seperti buku atau tulisan lain yang ditulis oleh penulis yang sama, atau masih dalam satu ruang lingkup tema, laporan-laporan berita yang berkaitan, dan lain sebagainya. Kadang ada sebuah buku yang merupakan deduksi dari buku lain; pemaparan berupa data faktual dari buku lain yang lebih bersifat konseptual, dan sebagainya. Siapa tahu bacaan-bacaan referensial ini dapat menghadirkan ilham perihal perspektif tulisan, atau juga sebagai pembanding dan pengaya tulisan.

Pada bagian penutup, peresensi hanya butuh beberapa kalimat singkat untuk menegaskan kembali makna buku itu. Bisa juga diikuti dengan harapan-harapan bila nanti buku itu diapresiasi oleh masyarakat luas.

Setelah tulisan selesai dibuat, jangan lupa untuk memeriksa atau mengedit kembali seluruh isi dan bagian tulisan. Mengedit tulisan meliputi keseimbangan (proporsionalitas) dan ketersambungan tiap (antar-)bagian (pembuka, pemaparan isi buku, penilaian dan penutup), penggunaan diksi (mungkin ada kata yang terulang terlalu sering atau pilihan kata yang kurang tepat), atau kesalahan-kesalahan kecil semisal kesalahan ketik.

Bila resensi yang dibuat dimaksudkan untuk dikirim ke media massa—dan memang mestinya begitu—maka penulis sejak awal sudah harus dapat menyesuaikan gaya tulisannya dengan media yang akan dikirimi tulisan itu, baik dari segi panjang tulisan, pemilihan diksi, tema buku, dan sebagainya. Tip lain untuk dapat menembus media adalah dengan mencoba mengakrabi redaktur, misalnya dengan sering menghubunginya untuk menanyakan naskah yang telah dikirim (via telepon atau email), dan sebagainya. Hal-hal yang kadang dianggap sepele kadang menjadi penting dalam menjalin hubungan dengan redaktur. Seperti surat pengantar (termasuk pula detil dari surat pengantar tersebut), identitas, kerapian tulisan, dan sebagainya. Tip yang paling jitu adalah dengan sering menulis dan mengirimkannya ke media, sehingga redaktur tahu bahwa kita ternyata seorang peresensi yang produktif. Kita buktikan bahwa kita pantang menyerah, sampai akhirnya tulisan kita bisa muncul di media. Dengan begitu, mungkin saja, kita bisa semakin mempertegas eksistensi kita. Ya, eksistensi kita! Mari.

Read More..

Cermin Tatanan Politik Internasional yang Timpang


Judul Buku: Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris?
Penulis: Noam Chomsky
Pengantar: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Kedua, Oktober 2001
Tebal: xlv + 167 halaman


Penyerangan Amerika bersama sekutu-sekutunya terhadap Afghanistan, yang merupakan realisasi kebijakan politik luar negeri AS paska peristiwa 11 September 2001, telah memunculkan kontroversi di seantero dunia—termasuk di kalangan rakyat Amerika sendiri. Dengan dalih untuk memerangi terorisme internasional, Amerika menghujani Afghanistan dengan serangan-serangan udara yang telah membuat rakyat Afghanistan semakin menderita. Korban rakyat sipil berjatuhan, pengungsi dengan penanganan yang amat minim menyisakan kisah yang menyedihkan.

Pelbagai tragedi kemanusiaan yang merupakan buntut tak berkesudahan dari peristiwa megateror pengeboman WTC dan The Pentagon itu hingga saat ini semakin mengusik kita untuk kembali mempertanyakan: fenomena apa yang sebenarnya berada di balik peristiwa yang disebut terorisme, sehingga fenomena itu tak kunjung terselesaikan dan justru semakin memperburuk wajah dunia. Adakah penyelesaian yang lebih baik dan bersifat mendasar untuk mengatasinya.

Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1986 dengan judul Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World ini memberikan perspektif yang menarik tentang fenomena terorisme internasional, yang sejak dulu selalu melibatkan aktor penting dalam wacana terorisme, yakni Sang Adikuasa, Amerika Serikat. Noam Chomsky, penulis buku ini, adalah seorang profesor linguistik di M.I.T. kelahiran Amerika Serikat yang justru ditakuti oleh pemerintah Amerika sendiri, lantaran kekritisannya terhadap berbagai kebijakan luar negeri Amerika.

Judul asli buku ini yang kurang lebih berarti Para Bajak Laut dan Kaisar merupakan sindiran tajam terhadap Amerika (atau juga yang lain) yang diangkat dari kisah penuturan St. Augustinus tentang seorang bajak laut yang tertangkap oleh Alexander Agung. Ditanya tentang latar belakang si bajak laut mengacau lautan oleh Alexander Agung, dengan cerdas dia balik bertanya: “Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia?; Karena aku melakukannya hanya dengan sebuah perahu kecil, aku disebut maling; kalian, karena melakukannya dengan kapal besar, disebut kaisar”.

Dari kutipan kisah ini, Chomsky seperti hendak mengatakan bahwa Amerika sebenarnya adalah juga sosok maling yang sedang meneriakkan maling kepada segelintir kecil maling lainnya. Amerika adalah maling, yang karena menguasai dunia—baik secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya—justru tidak lagi dijuluki maling, tapi “polisi dunia”.

Ini adalah bentuk sikap mendua kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam menyikapi masalah terorisme. Kacamata politik ala Amerika yang semacam ini menurut Chomsky didukung oleh sebuah hegemoni wacana dan kesadaran terhadap seluruh penduduk dunia. Untuk itu, menurut Chomsky, disusunlah “Kamus Besar Terorisme” yang disusun oleh Amerika untuk menaklukkan rasionalitas umat manusia, sehingga berbagai kebijakan luar negeri yang mendua itu terlihat wajar-wajar saja.

Latar belakang Chomsky yang memang merupakan kampiun di bidang kajian linguistik—ada yang menyebutnya sebagai Einstein-nya linguistik—mengantarkan temuannya pada aspek penting pengendalian kesadaran masyarakat dunia melalui bahasa. Chomsky yang juga pernah menulis buku tentang kaitan bahasa dan pikiran dalam buku ini berhasil menunjukkan bahwa meskipun di Amerika kebebasan berekspresi dijunjung tinggi-tinggi sebagai wujud komitmen untuk berdemokrasi, tetapi ternyata pemerintah Amerika menggunakan alat lain dengan menemukan—meminjam bahasa Walter Lippmann—teknik-teknik “pengolahan persetujuan” (manufacture of consent) untuk mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang bakal muncul.

Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, Chomsky meminjam sebuah ungkapan yang diintrodusir oleh George Orwell dalam bukunya, 1984, yakni newspeak. Istilah yang terjemahan bebasnya kira-kira berarti “omongan gaya baru” ini menunjuk pada manipulasi terhadap pengertian yang lazim atas suatu kata/istilah guna menyesatkan kesadaran masyarakat. Newspeak ini lebih dari sekedar eufemisme, karena ia dapat menjungkirbalikkan pemahaman lazim masyarakat atas kenyataan yang dirujuk istilah tersebut.

Dengan bekerja melalui istilah-istilah itulah, Amerika menghegemoni kesadaran warga dunia sesuai dengan keinginannya. Muncul istilah-istilah seperti “terorisme” dan “pembalasan”, “proses perdamaian”, “ekstremis” dan “moderat”, dan sebagainya. Istilah “terorisme” misalnya, dalam pengertian kamus yang diterbitkan oleh Amerika, mengacu kepada tindakan-tindakan (kekerasan) politik kaum oposisi/marginal yang berada di luar mainstream politik dunia dan tidak sesuai dengan kebijakan serta kepentingan politik Amerika. Sementara itu, bila Amerika bertindak keras terhadap kelompok lain hal itu disebutnya sebagai “tindakan balasan” atau “serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme lebih lanjut”. Dalam konteks kasus Afghanistan saat ini, Amerika menggunakan dalih untuk memburu kelompok teroris (Osama bin Laden, Al-Qaeeda) guna menumpas terorisme internasional.

Sekian banyak istilah-istilah yang diperkenalkan itu, semua pada umumnya disusun dengan menyingkirkan fakta-fakta lapangan yang tidak menguntungkan mereka (Amerika). Istilah “proses perdamaian” misalnya dalam kamus terorisme Amerika hanya menunjuk pada usulan-usulan perdamaian yang diajukan oleh pemerintah Amerika. Dukungan kalangan pers Amerika untuk menyebarkan arti istilah ini tampak begitu jelas. Sebuah ulasan di New York Times edisi 17 Maret 1985 ditulis oleh Bernard Gwertzman tentang proses perdamaian di Timur Tengah dengan judul: “Are the Palestinians Ready to Seek Peace” (“Apakah Bangsa Palestina Siap Mengupayakan Perdamaian?”). Pengertian dari pertanyaan ini sebenarnya berada dalam kerangka kamus kesadaran versi Amerika itu, yang arti sebenarnya adalah: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat Amerika untuk perdamaian?

Buku ini dibagi dalam tiga bab. Bab pertama adalah semacam kerangka konseptual tentang uraian-uraian lebih lanjut yang dilakukan pada bab berikutnya. Bab kedua menyajikan kasus terorisme di Timur Tengah yang banyak dilengkapi data-data lapangan yang kurang terekspos. Bab Ketiga mengangkat kasus Libya dalam kancah wacana terorisme. Tulisan-tulisan Chomsky dalam buku ini ditulis dengan nada pamfletis dan bergaya “rap”, sehingga menghasilkan efek-efek psikologis tertentu bagi pembaca.

Terorisme internasional yang dibidik Chomsky melalui perspektif kritisnya dalam buku ini berhasil mengungkapkan suatu tatanan wacana dan tatanan politik dunia internasional yang timpang. Kekuatan politik dan ekonomi yang cukup luar biasa yang dimiliki Amerika dapat dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin warga dunia untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Politik bahasa dan kesadaran yang dilancarkan dan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup menjadi legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.

Hal semacam ini sebenarnya sudah cukup lama dialami secara jelas oleh bangsa Indonesia. Miniatur rezim Orde Baru menjadi pengalaman empiris bangsa Indonesia yang menunjukkan betapa hegemoni kesadaran dengan newspeak-newspeak yang diciptakannya telah cukup mampu mengendalikan nalar politik masyarakat. Pada masa Orde Baru masyarakat diperkenalkan dengan istilah-istilah “Organisasi Tanpa Bentuk”, “Gerakan Pengacau Keamanan”, “Kelompok Kiri/Komunis”, “Anti-Pancasila”, “Anti-Pembangunan”, dan semacamnya. Padahal, istilah-istilah itu hanya digunakan untuk mendefinisikan gerakan-gerakan oposisi yang menentang totalitarianisme rezim.

Dalam konteks seperti itulah nilai penting buku ini menjadi tampak bagi masyarakat Indonesia. Pertama, secara implisit dikatakan bahwa dalam iklim kebebasan yang seperti apapun, kita harus tetap waspada terhadap segala macam otoritarianisme yang terselubung dalam kemasan-kemasan bahasa yang dapat menggiring kesadaran publik. Hal ini bisa terjadi tidak hanya dalam kancah internasional, tapi juga dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang paling kecil.

Kedua, kajian terorisme internasional yang dilakukan Chomsky ini mengajak kita untuk melakukan dekonstruksi terhadap pengertian peristilahan-peristilahan yang lazim digunakan itu. Selain itu, fenomena terorisme Amerika yang hegemonik ini dari perspektif Chomsky tidak lain adalah cermin tatanan politik internasional yang timpang. Karena itu, seluruh pejuang demokrasi di seluruh dunia sebenarnya diundang bersama-sama untuk segera membenahinya.

Buku ini penting dibaca agar kita tidak mudah tertipu dengan perbudakan akali yang dapat mengauskan akal pikiran kita sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Kekerasan dan terorisme yang dipertontonkan di panggung dunia ini harus mulai dicarikan jalan keluarnya dengan cara melihat motif fundamental yang melatarinya, yakni ketimpangan tatanan politik internasional itu sendiri. Melalui buku inilah, salah satunya, hal itu menjadi tampak lebih jelas.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 25 Februari 2002.

Read More..

Minggu, 24 Februari 2002

Membangun Mutu Kehidupan Manusia

Judul Buku: The Quality of Growth (Kualitas Pertumbuhan)
Penulis : Vinod Thomas, dkk
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta bekerjasama dengan Bank Dunia
Cetakan : Pertama, 2001
Tebal : xlv + 329 halaman

Bagi negara-negara dunia ketiga pada umumnya, masalah pembangunan masih menjadi suatu agenda panjang yang harus dituntaskan dengan penuh kesabaran. Betapa tidak, di tengah suasana globalisasi yang diikuti dengan liberalisasi di bidang ekonomi, negara dunia ketiga harus memacu produktivitas negara dalam rangka menghadapi dunia global, bahkan di tengah-tengah gejolak sosial-politik yang kadang tidak menentu. Kasus Indonesia cukup menjadi contoh yang dapat dikemukakan. Setelah dalam pemerintahan Orde Baru indikator ekonomi menunjukkan tingkat pertumbuhan yang cukup menakjubkan, tiba-tiba dalam empat tahun terakhir ini Indonesia malah terpuruk dalam situasi ekonomi dan sosial-politik yang tidak menentu.

Buku yang bertolak dari penelitian terhadap pengalaman berbagai negara di dunia yang sedang membangun dalam satu dasawarsa terakhir ini menunjukkan bahwa selama ini beberapa negara di dunia tidak mengindahkan dimensi kualitatif dari pembangunan atau pertumbuhan, sehingga tingkat pertumbuhan yang dicapai sebenarnya bersifat semu dan rentan terhadap gonjangan ekonomi global. Juga dikatakan bahwa perlu juga diamati bagaimana cara pertumbuhan (ekonomi) suatu negara itu dicapai, karena itu akan amat berpengaruh terhadap hasil dan daya tahan (volatilitas) kondisi ekonomi suatu negara.

Pertumbuhan beberapa negara dunia pada umumnya yang telah dicapai memang cukup bagus. Tingkat harapan hidup di negara berkembang sudah meningkat, demikian juga tingkat pendidikan maupun akses terhadap informasi dan pengetahuan. Tapi di sisi lain di banyak negara juga terjadi ancaman pengangguran yang melimpah, jurang kemiskinan yang semakin melebar, atau kerusakan lingkungan yang nyaris tak tertangani secara serius.

Itu semua diperkirakan akan cukup menjadi hambatan yang berat terhadap proses pembangunan di masa depan. Generasi dunia mendatang akan mengalami kesulitan yang cukup luar biasa menyangkut ketersediaan sumber daya alam. Demikian juga kaum miskin, yang rentan terampas kesempatannya untuk hidup lebih baik akibat arus liberalisasi dan globalisasi ekonomi.

Buku ini menegaskan bahwa jalan keluar yang patut diajukan adalah dengan merancang suatu model pembangunan yang tidak hanya mengandalkan kuantitas pertumbuhan, tapi juga kualitas pertumbuhan. Kerangka kerja pembangunan harus bersifat komprehensif, tidak hanya dimensi kuantitatif, tapi juga dimensi kualitatif sehingga hasilnya bersifat lengkap dan melibatkan aspek-aspek struktural, manusia, sosial, dan lingkungan dari suatu proses pertumbuhan.

Secara lebih spesifik, pandangan atas sisi kuantitatif dan kualitatif proses pertumbuhan secara serentak ini mengarahkan sorotannya kepada tiga prinsip kunci bagi negara sedang berkembang maupun negara maju. Yaitu: berfokus pada semua aset, baik modal fisik, manusia, dan alam; menyelesaikan aspek-aspek distributif sepanjang waktu; dan menekankan kerangka kerja institusional bagi pemerintahan yang baik.

Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di satu sisi juga mendapat kontribusi dari modal manusia, modal alam, dan modal fisik produktif. Perhatian dan perlindungan kesinambungan aset-aset utama ini patut dijaga mengingat pembangunan secara dasariah harus bersifat berkelanjutan. Menurut sebuah catatan, untuk dunia sedang berkembang, berkurangnya modal alam (hutan, energi, barang tambang) dan kerusakan emisi karbon dioksida diestimasi sebesar 5,8 persen dari PDB.

Demikian pula investasi di bidang sumber daya manusia penting diperhatikan. Pengalaman Republik Korea berkaitan dengan hal ini patut menjadi contoh. Dimulai dengan ekonomi yang tercabik dan miskinnya sumber daya alam, pada akhir 1950-an Korea mempunyai PDB tahunan per kapita hanya sedikit di atas US$ 500, berdasarkan dolar paritas daya beli tahun 1980. Kemudian PDB per kapita berlipat ganda dalam masing-masing dari tiga dasawarsa berikutnya, yang didorong oleh pertumbuhan berorientasi ekspor dan berbasis relatif luas. Investasi Korea dalam bidang pendidikan adalah sebesar 3,4 persen dari PNB (GNP), yang sepertiga di antaranya untuk pendidikan dasar.

Sementara itu, aspek distributif dari pembangunan atau pertumbuhan yang patut diperhatikan dimaksudkan untuk membuka peluang-peluang sosial bagi seluruh partisipasi masyarakat—terutama kaum miskin—dalam proses pembangunan. Sektor-sektor penting yang dapat memberdayakan kaum miskin harus terbuka aksesnya lebar-lebar: pendidikan, keterampilan, teknologi, pekerjaan, keadilan, dan sebagainya. Tujuan utama dari prinsip ini adalah agar pertumbuhan yang sedang berlangsung dapat memiliki dampak terhadap pengurangan kemiskinan, dan aset kaum miskin dapat diperbesar. Langkah menuju tujuan ini dilakukan dengan melakukan investasi dalam aset baru (terutama dalam bidang modal manusia), atau dengan mendistribusikan kembali aset yang telah ada.

Yang tak kalah penting lagi adalah aspek struktural-institusional dari pembangunan. Berfungsinya secara efektif birokrasi, kerangka kerja regulatif, kebebasan sipil, dan institusi yang transparan dan bertanggung jawab untuk menjamin tegaknya hukun dan partisipasi merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan pembangunan. Dimensi politik suatu negara memang akan cukup berpengaruh terhadap proses pembangunan. Satu hal yang juga penting digarisbawahi dalam buku ini adalah penanganan terhadap kasus korupsi, yang terbukti secara langsung dapat berpengaruh terhadap dasar-dasar ekonomi suatu negara. Dalam buku ini pula diajukan beberapa strategi menyeluruh untuk menekan korupsi, yang menyangkut kontrol finansial, legal-judisial, reformasi institusional, serta kebijakan ekonomi atau politik lainnya.

Momentum kehadiran buku ini ke khalayak pembaca di Indonesia amatlah tepat. Ada dua sudut pandang yang dapat memberi nilai lebih dan nilai kontekstual buku ini. Pertama, buku ini bersifat evaluatif dalam konteks pembangunan yang—katakanlah—dimulai sejak Orde Baru. Memang bila dilihat dari indikator ekonomi Indonesia mengalami kemajuan pembangunan yang luar biasa. Dari buku ini terungkap secara jelas betapa selama Orde Baru, dimensi kualitatif betul-betul diabaikan. Sumber daya alam dikuras tanpa antisipasi masa depan dan dampak lingkungan yang dikalkulasi secara matang. Dunia pendidikan yang menjadi modal penciptaan manusia kreatif sama sekali terbengkalai. Belum lagi struktur pemerintahan yang korup dan cenderung membangun sistem kapitalisme-kroni yang betul-betul menutup distribusi akses masyarakat luas terhadap partisipasi pembangunan. Semua itu sudah cukup menjadi pelajaran yang penting diperhatikan agar tak terulang lagi di hari depan.

Kedua, buku ini juga bersifat solutif dalam menawarkan (atau mengingatkan) beberapa prinsip penting dalam pembangunan yang dapat dijadikan kebijakan pemerintahan saat ini. Setelah reformasi berjalan hingga sekitar tiga tahun, tanda-tanda perbaikan ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakat belum juga terang. Mempertimbangkan tiga prinsip pembangunan yang diajukan dalam buku ini, penting ditekankan prinsip ketiga menyangkut dimensi struktural-institusional. Bila dipikir lebih dalam tampak bahwa prinsip ketiga ini cukup penting dalam konteks Indonesia karena pada dasarnya juga berkaitan dengan political will pemerintah untuk membenahi dan menangani berbagai penghalang pembangunan yang bersifat struktural-institusional, sehingga sudah menjadi kewajiban untuk juga menciptakan ruang partisipasi pembangunan yang lebih adil, terjamin secara hukum, aman terhadap ancaman global, dan sebagainya.

Satu hal lagi yang perlu diingat, berbagai hal penting yang dicatat dalam buku ini menyangkut pembangunan tidak lain dimaksudkan agar ruh pembangunan dan ekonomi pada umumnya tidak tercerabut akibat arus liberalisasi dan globalisasi yang sudah di depan mata. Seperti komentar Nancy Birdsall dari Carnegie Endowment for International Peace di sampul belakang buku ini, bahwa buku ini “memberikan suatu perspektif baru yang menyegarkan tentang apa sesungguhnya pembangunan itu: memperbaiki kualitas hidup orang.” Dan terutama orang-orang yang selama ini terpinggirkan oleh proses pembangunan itu sendiri.


Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 24 Februari 2002

Read More..

Senin, 18 Februari 2002

Membendung Matinya Spirit Pembebasan Agama

Judul Buku: Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Pengantar : Ulil Abshar-Abdalla
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2002
Tebal : liv + 508 halaman


Memasuki dekade 1990-an, ada banyak gejala yang menunjukkan kebangkitan semangat keberislaman dalam masyarakat Indonesia. Beberapa indikator yang dapat dikemukakan antara lain merebaknya penggunaan jilbab, pengucapan salam yang semakin meluas, suburnya kelompok diskusi keislaman di kampus-kampus, dan lain sebagainya. Mobilitas dan partisipasi kaum muda muslim juga semakin meluas di berbagai sektor. Memasuki era reformasi berbagai elemen umat Islam tak ketinggalan ikut terjun dalam arus perubahan politik, baik dengan mendirikan partai politik atau organisasi-organisasi sosial semacamnya.

Tapi benarkah itu semua adalah merupakan suatu pertanda baik bagi lahirnya suatu generasi baru muslim di Indonesia, yang diharapkan dapat menghadirkan misi profetis dan pembebasan dari agama (Islam) itu sendiri? Kecenderungan yang muncul memang cukup beragam. Selain partisipasi sosial-politik yang semakin luas, tak jarang juga timbul beberapa tindakan kekerasan atas nama agama yang seperti mencederai semangat kemanusiaan agama itu sendiri.

Buku ini berusaha memotret secara kritis situasi kekinian masyarakat Islam Indonesia dari segi keberagamaan dengan bertolak dari sebuah taksonomi baru yang diperkenalkan penulisnya: Islam Borjuis dan Islam Proletar. Pertama-tama, Nur Khalik Ridwan, penulis buku ini yang merupakan jebolan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mendekonstruksi suatu konstruksi klasik yang membagi kelompok Islam Indonesia dalam dua kutub: Islam Tradisional dan Islam Modern.

Deliar Noer dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 yang selalu menjadi rujukan memberikan pengertian Islam Tradisional sebagai komunitas Islam yang lebih menghiraukan soal-soal agama dalam hal ibadah belaka, mengikuti taklid dan menolak ijtihad, berpikiran jumud, dan banyak mempraktikkan bid’ah. Sementara Islam Modern yang disebut juga kaum pembaru adalah mereka yang mengembalikan rujukan persoalan kepada dasar ajaran Al-Qur’an dan Hadits, rasional dan menjunjung ijtihad, dan mereka yang berusaha memaknai Islam sesuai tuntutan zaman.

Model pembagian semacam itu telah melahirkan stigmatisasi terhadap Islam Tradisional sebagai sesuatu yang kolot, kampungan, irasional, dan statis, sementara Islam Modern maju, progresif, rasional, dan dinamis. Akan tetapi, menurut Nur Khalik, saat ini dua konstruksi klaim tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dengan menggunakan pisau analisis semiologi, model pembacaan postkolonial, menyusuri genealogi struktur yang melegitimasinya, serta hermeneutika, Nur Khalik menunjukkan bahwa basis tinanda dua konstruksi tersebut sudah berubah total.

Kecenderungan Islam Modern yang terdiri dari kalangan perkotaan saat ini justru menunjukkan bahwa slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits yang mereka gembar-gemborkan justru terjerembab dalam model pemaknaan tekstual terhadap teks-teks suci, dan pada akhirnya melahirkan model keberagamaan yang simbolik-formalistik, serta cenderung kurang bisa menerima ide-ide pluralisme. Sementara Islam Tradisional yang diasosiasikan dengan kalangan pedesaan dapat dengan mudah menerima ide-ide pluralisme, memiliki model keberagamaan yang tidak melulu tekstual, dan cenderung luwes dalam menafsirkan teks-teks suci.

Selanjutnya Nur Khalik mengajukan sebuah konstruksi baru dalam memahami Islam Indonesia saat ini: Islam Borjuis dan Islam Proletar. Islam Borjuis adalah mereka yang mapan secara ekonomi dan hidup di perkotaan, hidup sebagai pedagang atau birokrat, dan berpendidikan formal. Sementara Islam Proletar adalah mereka yang hidup di pedesaan (kebanyakan adalah para petani) yang miskin secara sosial dan ekonomi, terbelakang dan kurang terdidik secara formal.

Dengan mengusung gagasan pemurnian ajaran Islam, kelompok Islam Borjuis hidup dengan semangat “komunalisme agama” dan cenderung eksklusif dalam bergaul dan menafsirkan ajaran agama. Sedangkan kelompok Islam Proletar meski senantiasa melakukan inovasi terhadap teks suci dan lebih inklusif, mereka masih sering terjebak dalam kodifikasi ulama-ulama fiqh yang terlalu dianggap suci.

Bagian utama dari buku yang ditulis utuh ini adalah bab empat, yang dengan cukup rinci mengritik satu-persatu nalar agama kedua kelompok Islam tersebut. Pada bagian ini Nur Khalik berusaha menunjukkan bahwa ternyata dalam dua kelompok Islam tersebut masih terdapat banyak problem akut untuk dapat mengharapkan keduanya mampu memberikan angin segar yang menyejukkan bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Indonesia.

Ada tiga poin penting yang dieksplorasi Nur Khalik dalam buku ini, yakni menyangkut pembacaan teks agama, komunalisme beragama, dan model pembacaan tawhid yang melangit. Kelompok Islam Borjuis mengartikan otoritas agama sebagai produk pembacaan tekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Ungkapan yang sering muncul dari mereka adalah: “Qur’annya sudah begini”. Dengan komentar seperti ini, mereka sebenarnya tidak sadar telah masuk dalam perangkap wacana non-dialogis, dan menyejajarkan produk pemahaman mereka dengan wahyu yang diyakini berasal dari Tuhan. Akhirnya, tidak hanya cara baca eksklusif yang lahir, tapi juga serapahan terhadap pihak yang tidak sepaham dengan klaim bid’ah, khurafat, takhayul, dan lain sebagainya.

Sementara itu, kelompok Islam Proletar menyandarkan pemahaman keagamaannya kepada teks-teks kedua (produk ulama), dan menempatkannya dalam posisi yang nyaris seperti teks suci yang tak boleh dikritik. Interaksi sosial mereka yang sempit juga berakibat pada sempitnya pemaknaan doktrin agama, terlepas dari konteks kemaslahatan. Padahal maslahat adalah sesuatu yang dianggap baik dengan berbagai pertimbangan dalam menyelamatkan manusia, yang digunakan untuk merekonstruksi realitas keagamaan dan kemanusiaan.

Wacana pluralisme dalam komunitas Islam Borjuis amatlah langka, dan kalaupun ada ternyata hanya terhenti dalam tataran wacana. Sementara komunitas Islam Proletar yang cenderung menerima ide-ide pluralisme belum berani melakukan kritik terhadap doktrin-doktrin komunal agama Islam yang diintrodusir dan ditafsirkannya.

Terhadap masalah pluralisme kaitannya dengan konsep keselamatan, Nur Khalik mengajukan sebuah pemaknaan berani terhadap Al-Qur’an surat Al-Baqarah/2: 62 yang berbunyi: Mereka orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, barangsiapa di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan melakukan kebajikan, pahala mereka ada pada Tuhan dan mereka tidak perlu khawatir dan bersedih hati. Menurut Nur Khalik, hanya ada satu syarat orang yang akan selamat, yakni berbuat kebajikan.

Pertimbangannya ada dua, pertama, secara inheren manusia sudah mengakui adanya Allah sejak lahir (Al-Qur’an surat Al-A`raf/7: 172), dan kedua, tidak semua orang yang bertuhan adalah orang yang berbuat kebajikan. Dengan demikian berislam kemudian adalah kepasrahan kepada Tuhan yang tidak sektarian, komunal, regional, dan primordial.

Ada pula kecenderungan memahami Tuhan dalam konteks yang sangat melangit, abstrak, absurd, dan berbau metafisik. Ide-ide metafisik tentang Tuhan ini akhirnya menjadi tumpul ketika dihadapkan dengan realitas sosial, bahkan cenderung memperkokoh borjuisme kaum mapan dan kelompok terbatas Islam Proletar. Dalam buku ini Nur Khalik mengeksplorasi pemahaman berketuhanan yang mampu mendorong semangat pembebasan, semangat perubahan, semangat revolusioner. Tuhan yang digagas di sini lalu bukannya Tuhan yang dibela mati-matian, melainkan Tuhan yang memberi inspirasi dan berpihak kepada kaum tertindas.

Secara implisit buku ini merupakan sebuah semangat, harapan, serta ajakan untuk kembali kepada cita-cita primordial agama: semangat pembebasan dan nilai kemanusiaan yang dikandungnya, yang dalam perjalanannya seringkali diabaikan oleh para penganutnya. Dengan cukup berani, tema-tema mendasar dalam pemikiran Islam dalam buku ini dicoba untuk didekonstruksi, mulai dari konsep “agama langit-agama bumi”, konsep Rukun Islam, Ahlul-Kitab, wahyu, dan sebagainya.

Pembacaan ulang terhadap berbagai ajaran mendasar tersebut bertolak dari keyakinan bahwa upaya-upaya pembebasan terhadap kemanusiaan dan kaum tertindas hanya bisa dilakukan dengan membongkar wacana dan praksis agama yang cenderung menindas, dan bahwa keberagamaan yang sejati adalah praksis pembebasan dari ketertindasan. Pembacaan ulang ajaran agama dalam konteks kekinian seperti yang dilakukan buku ini sekaligus pula adalah suatu pencarian otentisitas makna ajaran agama, karena otentisitas—seperti ditulis Ulil Abshar-Abdalla di bagian pengantar buku ini—tidak hanya bergerak mundur, tapi juga harus bergerak ke depan, dengan menjangkarkan diri pada realitas konkret yang dihadapi umat.

Kritik yang dapat diajukan pada buku ini terletak pada dua konstruksi baru yang ditawarkan: Islam Borjuis dan Islam Proletar. Ulil dalam bagian pengantar mengritik minimnya pendasaran analisis kelas yang harusnya mendapat kedudukan primer dalam seluruh analisis buku ini. Juga model pembagian kelas yang menurut Ulil sudah semakin rumit, tidak hanya soal kelas borjuis-proletar. Kritik lainnya adalah ketika borjuasi (kelimpahan material) diasosiasikan dengan kecenderungan sifat-sifat negatif dalam beragama. Seolah-olah agama tidak pernah memberi anjuran untuk hidup bercukupan (baca: kaya).

Lepas dari itu semua, usaha serius untuk mencoba menelaah secara kritis doktrin agama yang terlalu disucikan demi konstruksi baru masyarakat Islam Indonesia yang lebih baik patut disambut dengan baik.

Read More..

Minggu, 10 Februari 2002

Mencari Kekuatan dari Sisa Harapan

Judul buku: Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas
Penulis: Paulo Freire
Penerjemah: A. Widyamartaya, Lic.Phil.
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 328 halaman


Orang-orang yang tertindas dan terpinggirkan yang kebanyakan hidup di negara-negara berkembang memang betul-betul hidup mengenaskan. Sulitnya hidup dalam keterdesakan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, masih ditambah lagi dengan tidak adanya kesadaran tentang fakta keterkungkungan mereka sendiri. Mereka merasa bebas, biasa-biasa saja, dan hidup dengan rasa wajar, padahal mereka sedang dililit struktur sosial yang menelantarkan hidup mereka.

Di sinilah, peran pendidikan (penyadaran) menjadi begitu penting. Adalah Paulo Freire, seorang aktivis pendidikan pembebasan dari Brasil, yang telah cukup dikenal gagasan-gagasannya terutama melalui karyanya Pedagogy of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), yang berusaha menjadikan dunia pendidikan sebagai praksis pembebasan kaum marginal. Buku ini adalah salah satu karya terakhirnya yang berusaha untuk menghayati dan merefleksikan kembali perjuangan dan pemikiran filosofisnya yang tergambar dalam karya sebelumnya itu. Karena itu, buku ini tidak melulu kering dan bersifat teoritik murni, tapi juga kaya dengan data dan pengalaman Paulo yang melatarbelakangi dan memicu perjuangan dan aksi-aksinya.

Ketaksadaran akan keterkungkungan kaum tertindas adalah bahaya yang luar biasa. Dalam buku ini digambarkan bagaimana dalam suatu dialog dengan sekelompok petani Brasil Paulo Freire berhasil membuka mata mereka bahwa ternyata dalam hal tertentu (masalah teknis pertanian) mereka lebih tahu ketimbang Paulo, sedangkan mengenai hal yang lain yang ditanyakan Paulo, para petani itu tidak tahu. Lalu di akhir dialog Paulo mengajukan pertanyaan mengapa ada hal-hal yang tidak diketahui para petani itu. Akhirnya mereka sadar, bahwa dengan ‘menjadi petani’, itu sama artinya dengan tidak mendapat pendidikan, tidak punya apa-apa, bekerja dalam terik matahari, dan bahkan tidak punya harapan. Tapi, naifnya, mereka mengatakan bahwa itu semua adalah kehendak Allah (hal. 63).

Inilah sikap deterministik dalam suatu sistem “kebudayaan diam” yang memang dikondisikan demikian oleh para penindas. Masyarakat dibiarkan hidup dalam kesadaran magis tentang konstruksi sosial di sekeliling mereka. Pendidikan diarahkan untuk merawat status quo dan kemapanan para penindas. Pendidikan hanya dianggap semacam investasi material yang oleh Paulo disebut pendidikan gaya bank.

Melalui upaya konsientisasi (penyadaran) inilah maka masyarakat kaum tertindas berusaha digugah dari tidur panjang mereka. Aksi penyadaran untuk pembebasan ini bagi Paulo adalah bagian dari aksi humanisasi yang merupakan panggilan ontologis manusia, karena manusia adalah pengada yang bereksistensi hidup dengan merangkul kebebasannya (hal. 130).

Dalam terang gagasan pendidikan pembebasan dan konsientisasi ini, kegiatan pembelajaran dengan usaha awal memberantas buta huruf misalnya, bagi Paulo tidak hanya dimaksudkan untuk membuat mereka dapat membaca aksara di antara bab-bab buku, tapi juga agar mereka dapat membaca konstruksi sosial di sekitarnya. Di sini membaca tidak hanya berarti sebagai suatu teknik, tapi juga sebagai pisau bedah realitas yang bersifat kritis.

Selain merefleksikan berbagai pemikiran dan pengalamannya tentang pendidikan kaum tertindas, dalam karya ini Paulo juga banyak mengeksplorasi masalah yang agak filosofis: yakni tentang pengharapan. Selama ini, kaum tertindas juga dibunuh harapan, impian, dan utopianya tentang masa depan yang lebih baik dengan menciptakan mitos-mitos bahwa rakyat miskin itu bodoh, malas, dan tidak punya sesuatu yang dapat diandalkan. Dalam buku ini, Paulo menulis bahwa mimpi dan harapan adalah penggerak sejarah. Tak akan ada perubahan tanpa impian, seperti halnya tak ada impian tanpa pengharapan (hal. 120). Untuk itu, tiap momen sejarah harus dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk menyatakan impian dan harapan itu dalam situasi yang lebih konkret.

Di bagian lain Paulo menulis bahwa pengharapan pada hakikatnya adalah kebutuhan ontologis manusia. Sebagai sebuah kebutuhan ontologis, pengharapan memerlukan praktek agar dapat menjadi sesuatu yang konkret-historis. Di sinilah pengharapan tidak hanya bermakna sebagai pengharapan an sich, tapi juga memerlukan langkah perencanaan dan perjuangan untuk meraih tiap kesempatan (hal. 9).

Dalam kondisi Indonesia saat ini, harapan dan impian sepertinya memang menjadi sesuatu yang penting. Setelah sekian lama ditindas dalam sebuah rezim-yang-maha-meliputi, orang-orang memang tidak hanya ditindas tapi juga dipangkas mimpinya tentang masa depan. Karya Paulo Freire yang satu ini pada satu sisi mengajak semua komponen bangsa untuk memulai bermimpi tentang masa depan Indonesia dengan benar, sehingga langkah-langkah perjuangan yang diambil dapat berada dalam kerangka persatuan visi yang kokoh.

Dan semua itu dilakukan tentu saja dengan tetap kembali kepada cermin praksis pendidikan pembebasan ala Freire yang dapat menjadi obor perubahan. Memimpikan sebuah masyarakat demokratis tak bisa dilakukan tanpa disokong oleh suatu sistem pendidikan yang membawa kesadaran masyarakatnya pada suatu cakrawala luas yang membebaskan. Inilah salah satu pintu masuk menuju bentangan Indonesia Baru yang lebih cerah.

Read More..

Senin, 04 Februari 2002

Tragedi Orang-Orang Pinggiran

Judul Buku: Belantik (Bekisar Merah II)
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2001
Tebal: 142 halaman


Ahmad Tohari dikenal sebagai salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia, terutama melalui trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986). Kekhasan karya-karya Tohari terlihat dari tema dan suasana lingkungan yang diangkat yang bertolak dari kehidupan alam pedesaan yang khas (Jawa). Lingkungan pergaulan desa yang sarat memiliki sifat keluguan, kejujuran, keterbelakangan, atau bahkan kemelaratan, menjadi tema-tema yang menarik dan amat membumi dengan fakta sosiologis masyarakat Indonesia.

Seiring dengan pergeseran sosial, ketika masyarakat Indonesia hidup di bawah rezim Orde Baru, arus pembangunan lingkungan pedesaan juga begitu gencar, sehingga melahirkan geliat perubahan di mana-mana. Mungkin, mengikuti irama gerak transformasi inilah, maka karya-karya Tohari pun turut mengalami pergeseran tema, seperti yang tampak dalam karya terbarunya berjudul Belantik (Bekisar Merah II) ini.

Tema umum yang berusaha diangkat dalam karya ini—atau juga dalam karya-karya Tohari yang belakangan—adalah berpusat pada soal konflik kehidupan dan nilai-nilai antara masyarakat desa dan kota. Novel ini sendiri sebenarnya adalah lanjutan dari novel Tohari sebelumnya yang berjudul Bekisar Merah (Gramedia, 1993).

Novel Bekisar Merah mengisahkan kehidupan Lasi, seorang perempuan istri penyadap gula kelapa berdarah Jawa-Jepang, yang kabur dari desanya (Desa Karangsoga) dan terdampar di kerasnya kehidupan Jakarta, kemudian menjadi istri seorang pengusaha sukses yang juga mantan pejuang bernama Handarbeni, melalui perantara seorang semacam 'mucikari' bernama Bu Lanting. Ironisnya, di antara latar kesederhanaan dan keluguannya, Lasi yang hidup mewah di Jakarta tak dapat menikmati gemerlap kehidupan kesehariannya. Bahkan dia merasa kehilangan jati diri. Di tengah kekalutannya itulah, datang Kanjat, teman sepermainan dan anak tengkulak gula kelapa di Karangsoga, yang seperti menjanjikan pembebasan dari sangkarnya di Jakarta. Tetapi, Kanjat nyatanya tidak cukup mampu berbuat banyak, dan akhirnya lebih memilih aktif dengan kegiatan kemasyarakatan dalam upaya memperbaiki kehidupan para petani gula kelapa di Karangsoga.

Dalam novel Belantik (Bekisar Merah II) ini, Tohari mempertajam konflik kehidupan Lasi dengan hadirnya seorang tokoh baru bernama Bambung. Bambung di kalangan sangat terbatas dikenal sebagai seorang pelobi tingkat tinggi di Ibukota, broker politik dan kekuasaan yang bermain di balik layar mengantarkan orang-orang ke kursi sukses kekuasaan atau bisnis. Kisah dalam novel ini dibuka dengan kebingungan Handarbeni menerima permintaan Bambung untuk 'meminjam' Lasi. Handarbeni tak kuasa menolak, kecuali bila ia mau memilih jabatan dan kesuksesan yang dibangunnya sedemikian lama ambruk.

Demikianlah. Dengan segala bujuk rayu dan strategi yang juga masih melibatkan Bu Lanting, Lasi akhirnya 'dipinjam' Bambung dalam sebuah acara week end di Singapura. Dari situ Bambung merasa begitu tertarik dengan sikap dan penampilan Lasi yang cukup eksotis, sehingga sepulang dari Singapura, Bambung berniat memperistri Lasi. Lasi sendiri kemudian dicerai oleh Handarbeni. Peristiwa ini membuat Lasi betul-betul merasa betapa perkawinan yang dijalaninya hanya semata keisengan, main-main, dan terasa begitu ganjil.

Situasi ini menambah gundah suasana hati Lasi, sehingga akhirnya Lasi memutuskan kabur dari Jakarta. Meski Bu Lanting mengancam bahwa Bambung dapat menangkap Lasi ke manapun dia lari, Lasi tetap nekat minggat dari rumah Handarbeni pulang ke kampung halamannya. Tak lama di Karangsoga, Lasi memutuskan untuk bersembunyi di rumah pamannya di Sulawesi Tengah. Lasi meminta kesediaan Kanjat mengantar ke Palu. Akhirnya, atas nasihat Eyang Mus, orang yang dituakan di Karangsoga, Lasi dan Kanjat dinikahkan sebelum berangkat ke Palu.

Namun sial bagi Lasi dan Kanjat, karena sehari setelah mereka tiba di Surabaya, mereka ditangkap oleh orang suruhan Bambung, Mayor Brangas. Lasi kembali dibawa ke Jakarta, disekap di rumah Bambung di bawah pengawasan Bu Lanting dan Mayor Brangas. Bu Lanting berusaha membujuk dan menjinakkan Lasi agar mau menerima permintaan Bambung.

Tak lama setelah Lasi ditangkap, terungkap bahwa ternyata Lasi telah hamil, mengandung anak Kanjat. Mendengar itu, Bambung langsung bingung, kecewa, uring-uringan, dan menyalahkan Bu Lanting. Bambung ternyata tidak tertarik dan benci perempuan hamil, dan meminta Bu Lanting untuk mengurusinya. Bu Lanting tak kehilangan akal, dan masih berharap bila sudah melahirkan, Lasi masih bisa ditawarkan lagi ke Bambung.

Tetapi cerita berjalan lain. Setelah sekitar enam bulan Lasi disekap, terjadi pergulatan politik yang tertutup namun keras di Jakarta, yang pada akhirnya menjungkalkan Bambung dari posisinya sebagai pelobi tingkat tinggi. Bambung tersingkir dari arena politik, bahkan harus menjalani proses pengadilan. Dalam kasus ini pun Lasi diminta pengadilan menjadi saksi. Akhirnya, atas bantuan kawan lama Kanjat yang menjadi pengacara di Jakarta, Blakasuta, Lasi dapat bebas dan kembali ke kampung halamannya bersama Kanjat.

Dibandingkan dengan Bekisar Merah, novel ini memang kurang memperlihatkan kekhasan gaya lama Tohari dalam hal dominannya setting pedesaan yang begitu kental. Ini karena memang alur cerita berpindah ke konflik pribadi Lasi di alam Jakarta. Meski demikian, aroma bertutur Tohari ketika menggambarkan alam pedesaan atau suasana hati profil keluguan orang desa masih tergambar begitu lekat. Bahkan masih terasa begitu detil dan menyentuh. Gaya dan cara bertutur Tohari dalam novel ini tetap menunjukkan kepiawaiannya meramu bahasa dan mengolah suasana sehingga pembaca betul-betul dapat masuk dalam suasana problematis tokoh-tokohnya. Tak salah bila pada tahun 1995 Tohari menerima Hadiah Sastra ASEAN.

Novel ini pada dasarnya mengajukan sebuah pertanyaan dan sindiran keras kepada 'orang-orang yang maju ("orang kota") yang berpendidikan, berperadaban': mengapa keberadaban seringkali justru melahirkan kebiadaban bagi mereka yang dicap 'terbelakang'. Muncul dugaan kuat, jangan-jangan situasi keterbelakangan, kemelaratan, atau kebodohan itu justru diciptakan secara sistemik oleh mereka yang 'beradab dan terpelajar'.

Lasi dan Darsa (mantan suami Lasi), serta masyarakat desa Karangsoga pada umumnya dalam novel ini adalah profil-profil orang pinggiran yang menjadi korban proses pembangunan. Lasi sendiri, ketika hendak melarikan diri dari keterdesakannya secara sosial dari desanya, justru terjebak dalam lingkaran pialang perempuan dan makelar kekuasaan yang menelantarkan dirinya dalam situasi ketakberdayaan tanpa makna.

Sindiran telak ini pada akhirnya seperti menuntut pertanggungjawaban kepada 'kaum terpelajar dan beradab' untuk ikut bersimpati, berempati, dan terlibat langsung dalam penyelesaian tragedi yang menyelimuti orang-orang pinggiran 'terbelakang' ini.

Dari perspektif lain, tokoh Lasi yang diangkat Tohari dalam dwilogi ini seperti ingin menggambarkan bagaimana sulit dan problematisnya posisi perempuan dalam konteks masyarakat Indonesia. Ini juga tergambar dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dalam sosok Srintil yang bergulat dengan pemaknaan perubahan sosial dan eksistensial yang dialaminya. Dalam dwilogi Bekisar Merah-Belantik ini, konflik identitas yang bersifat psiko-sosial cukup mengemuka dalam sosok Lasi yang adalah seorang peranakan Jawa-Jepang. Selain menghadapi kasak-kusuk tetangga yang bernada mengejek di desanya, Lasi masih harus berhadapan dengan himpitan desakan kehidupan ekonomi yang begitu sulit. Tapi ketika orang-orang kota (Jakarta) memuji eksotisme penampilannya yang ke-Jepang-Jepang-an, mereka justru mengeksploitasi Lasi demi kepentingan duniawi.

Beberapa perspektif inilah yang menjadikan novel ini layak dibaca dan diapresiasi. Di samping itu, novel ini juga semakin menegaskan arah dan komitmen sosial Tohari, yaitu keberpihakannya terhadap orang-orang yang terpinggirkan secara sosial, sehingga menuntut kepedulian kita bersama untuk turut memikirkan dan berjuang menyelesaikan derita dan beban yang menghimpitnya.

Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 3 Februari 2002.

Read More..