Sabtu, 21 Januari 2006

Perspektif Cinta dalam Mendidik Anak-Anak

Judul buku‭ ‬:‭ ‬Rumah Cinta Penuh Warna:‭ ‬Catatan Kebahagiaan Mendidik Buah Hati
Penulis‭ ‬:‭ ‬Asma Nadia dan Isa
Penerbit ‬:‭ ‬Qanita,‭ ‬Bandung
Cetakan ‬:‭ ‬Pertama,‭ ‬September‭ ‬2005
Tebal‭ :‭ ‬168‭ ‬halaman



Selain berbagai tindak kekerasan,‭ ‬saat ini dunia anak-anak kita dikepung dengan berbagai bentuk serbuan dan tekanan sosial-budaya yang dapat membuatnya kehilangan masa depan yang cerah.‭ ‬Beberapa kasus anak-anak bunuh diri yang belakangan cukup sering diberitakan di media misalnya menunjukkan bagaimana anak-anak menghadapi tekanan sosial yang hebat di sekolah atau komunitasnya sehingga kemudian dapat memilih jalan keluar yang cukup tragis itu.‭ ‬Penelitian Organisasi Buruh Internasional‭ (‬ILO‭) ‬Jakarta mengungkapkan bahwa di Jakarta anak-anak saat ini sudah mulai tak asing dengan dunia narkoba.‭ ‬Anak-anak bahkan juga terlibat dalam proses produksi dan distribusi narkoba‭ (‬Kompas,‭ ‬13/07/2005‭)‬.

Lalu di manakah keluarga,‭ ‬tempat anak-anak berbagi masalah dan ruang menempa kepribadiannya‭? ‬Sulit dibantah bahwa institusi keluarga saat ini tengah menghadapi krisis yang membuatnya kehilangan fungsi sosial untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kedewasaan kepada anak-anak.‭ ‬Apakah saat ini para orangtua telah terlalu sibuk bekerja dan beraktivitas,‭ ‬lalu nyaris sepenuhnya memercayakan pendidikan anak-anaknya pada‭ ‬baby sitter,‭ ‬sekolah,‭ ‬atau bahkan televisi‭? ‬Apakah para orangtua saat ini juga sudah cukup yakin bahwa pola relasi dan pendekatan pendidikan yang mereka terapkan sudah cukup memberi ruang bagi anak-anak mereka untuk dapat merasakan nuansa cinta yang penuh warna dalam rumah mereka‭?

Salah satu simpul solusi dari persoalan dunia anak yang rentan dan rapuhnya fungsi institusi keluarga saat ini adalah dengan memberdayakan sekaligus menciptakan kehangatan di lingkungan keluarga itu sendiri.‭ ‬Atas hal ini,‭ ‬sebenarnya sudah cukup banyak buku yang mencoba memberikan kiat-kiat ataupun penjelasan yang lebih bersifat teoretis tentang mendidik anak dalam keluarga,‭ ‬menjadi orangtua yang baik,‭ ‬mencipta keluarga yang kompak,‭ ‬atau semacamnya.

Keunikan buku ini mengemuka karena ia menyajikan pengalaman sehari-hari dalam keluarga yang dituturkan dengan cukup sederhana.‭ ‬Pasangan muda Asma Nadia dan Isa dalam buku ini berbagi kisah tentang pengalaman mereka membesarkan kedua anaknya,‭ ‬Caca‭ (‬8‭ ‬tahun‭) ‬dan Adam‭ (‬4‭ ‬tahun‭)‬.‭ ‬Secara garis besar pembaca akan menemukan dua poin penting dalam catatan pengalaman Asma dan Isa ini:‭ ‬bagaimana kedua buah hati mereka itu kadang dapat memperlihatkan potensi-potensi kreatif yang menakjubkan,‭ ‬dan bagaimana mereka semua mengelola kebersamaan dalam bingkai cinta dan kasih sayang.

Asma dan Isa dapat dikatakan tipikal pasangan muda dengan aktivitas yang sibuk.‭ ‬Sebagai penulis fiksi remaja terkemuka,‭ ‬sehari-hari Asma sibuk mengelola Forum Lingkar Pena dan atau berbicara di‭ ‬workshop kepenulisan atau forum-forum ilmiah lainnya.‭ ‬Sementara Isa bekerja di TV NHK Jepang selain juga menekuni bidang pengembangan pendidikan anak.‭ ‬Tapi pasangan muda ini begitu sadar bahwa anak-anak mereka tak hanya butuh uang.‭ ‬Di tengah kesibukan,‭ ‬mereka tetap berupaya keras untuk memberikan kebahagiaan dalam cinta,‭ ‬perhatian,‭ ‬dan waktu untuk anak-anak mereka‭ (‬hlm.‭ ‬111‭)‬.‭ ‬Isa,‭ ‬yang juga pernah mengembangkan konsep dongeng interaktif untuk anak,‭ ‬sering ditunggu-tunggu kepulangannya dari kantor oleh kedua anak mereka untuk diajak bermain bersama.‭ ‬Di antara rasa lelah,‭ ‬dengan sabar Isa memenuhi keinginan mereka.‭ ‬Alasannya sederhana:‭ ‬mumpung mereka masih membutuhkan,‭ ‬mumpung orangtua mereka masih menjadi teman favorit mereka,‭ ‬mumpung mereka belum menjadi dewasa dan dibekap dengan berbagai kesibukan‭ (‬hlm.‭ ‬18‭)‬.

Menyediakan waktu untuk bermain dengan anak ternyata tidak hanya baik untuk menanamkan kedekatan emosional anak dengan orangtua,‭ ‬tapi juga bisa menjadi media membangun kekompakan antara dua anak kecil yang sama-sama baru mulai meninggi egonya.‭ ‬Begitulah pendekatan Isa untuk membentuk‭ ‬sense kerjasama di antara kedua anaknya.‭ ‬Saat bermain berantem-beranteman,‭ ‬Isa yang berperan sebagai monster yang berusaha dikalahkan Adam berbisik,‭ “‬Kau tak mungkin menang,‭ ‬apalagi kalau kakakmu tidak membantu‭” (‬hlm.‭ ‬65‭)‬.

Anak-anak kerap membuat kesal para orangtua dengan sikap nakal dan usilnya.‭ ‬Menghadapi hal semacam ini para orangtua kebanyakan bereaksi dengan marah atau memberi hukuman.‭ ‬Tapi justru Asma menemukan bahwa ternyata teguran itu lebih mudah diterima jika diungkapkan dengan cara yang lebih lembut,‭ ‬dengan mengutarakan betapa sedihnya mereka saat melihat Caca dan Adam berbuat hal-hal yang nakal‭ (‬hlm.‭ ‬80‭)‬.

Jika terpaksa harus menghukum,‭ ‬hukuman harus disosialisasikan sebelumnya,‭ ‬logis,‭ ‬mendidik,‭ ‬dan memberi efek jera.‭ ‬Pernah Asma begitu marah pada Caca sehingga ia memutuskan untuk memberinya hukuman:‭ ‬dikurung di kamar mandi.‭ ‬Tapi,‭ ‬demi menghindar dari hal-hal yang tak diinginkan,‭ ‬Asma menemukan cara menarik dalam mengeksekusi hukumannya.‭ ‬Asma menemani Caca dalam kamar mandi yang gelap,‭ ‬begitu lama,‭ ‬sampai akhirnya Caca sadar dan meminta maaf atas kesalahannya‭ (‬hlm.‭ ‬41‭)‬.

Mendidik dengan cinta.‭ ‬Itulah benang merah dan kata kunci utama yang dapat dipetik dari kisah-kisah Asma dan Isa dalam mendidik anak-anak mereka.‭ ‬Mungkin kekuatan misterius cinta ini pulalah yang kemudian tak jarang melahirkan sikap-sikap yang menakjubkan dari anak-anak,‭ ‬seperti yang juga ditemukan dalam kisah-kisah Asma dan Isa.‭ ‬Tentang bagaimana suatu hari di sebuah rumah makan Caca memasukkan delapan koinnya ke kotak amal,‭ ‬atau Caca yang berinisiatif menyumbangkan tabungannya untuk ulang tahun Adam yang nyaris tak dirayakan karena keterbatasan dana keluarga,‭ ‬atau ungkapan-ungkapan cinta kedua anak mereka dalam kata-kata atau gambar yang indah.

Atas hal-hal yang menakjubkan semacam ini Asma dan Isa memang seperti membiarkannya tak terjelaskan,‭ ‬bagaimana semua ini bisa muncul dari sikap kedua anak mereka yang masih polos itu.‭ ‬Mungkin memang sulit memberikan penjelasan tentang bagaimana anak-anak dapat digiring untuk bersikap peka dan solider dengan sesama.‭ ‬Mungkin itu semua adalah bagian dari misteri menakjubkan anak-anak.‭ ‬Mungkin pula semua itu memang didapat tidak dengan tips-tips instan,‭ ‬tapi dengan cinta yang terus ditempa saban hari dengan kelembutan dan ketulusan.

Karena itulah,‭ ‬Asma dan Isa bertutur dengan sama sekali tak hendak menggurui.‭ ‬Teori-teori,‭ ‬tips-tips,‭ ‬atau kiat-kiat,‭ ‬tak terlalu banyak ditemukan di sepanjang buku ini.‭ ‬Yang banyak adalah kisah-kisah ringan,‭ ‬tempat pembaca akan banyak menemukan hikmah bertaburan,‭ ‬yang kadang cukup menggugah dan mengharukan.‭ ‬Tapi justru karena kisah-kisah yang diangkat dari pengalaman sehari-hari itulah,‭ ‬Asma dan Isa cukup berhasil untuk memberikan sebuah potret sederhana tentang bagaimana cinta dan kehangatan itu mestinya disemaikan kepada anak-anak kita dalam keluarga—sesuatu yang mungkin bisa menjadi perspektif alternatif dalam mendidik anak-anak.

Buku ini sangat cocok untuk pasangan muda yang baru mulai menapaki mahligai pernikahan,‭ ‬terutama sebagai bekal untuk melahirkan individu-individu baru yang berdaya,‭ ‬berkualitas,‭ ‬dan untuk mengantar mereka ke gerbang dunia dengan senyum bahagia.


Read More..

Minggu, 08 Januari 2006

Bastian Tito dan Kenangan Seorang Anak Kampung

Ilustrasi karya Zainur Rahman van Hamme

Pagi itu, dalam sisa suasana tahun baru, saya mendapat berita yang mengejutkan. Bastian Tito, penulis cerita silat Wiro Sableng, meninggal dunia pada Senin pagi, 2 Januari 2006. Sejenak saya tertegun diam. Rimba persilatan berduka. Dunia kepenulisan kita kembali berduka.

Nama Bastian Tito sebagai penulis menjadi lebih populer setelah cerita-cerita silat Wiro Sableng yang ditulisnya, yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, diangkat ke layar kaca pada pertengahan dekade 1990-an. Tapi dahulu, bagi saya dan teman-teman sepermainan saya, di sebuah kampung pedalaman Madura, Bastian Tito adalah sosok yang menghidupkan imajinasi dan mengantar saya menjelajah ke banyak dunia.

Bagi saya pribadi, Bastian termasuk orang yang berhasil membuat saya keranjingan membaca dan mencintai pustaka. Buku-bukunya saya beli di pasar desa atau di kios koran di kota (Sumenep). Harga jualnya di tahun 1990-an terhitung murah: seribu perak. Tebalnya antara 100 hingga 200 halaman. Penerbitnya tak cukup ternama. Kemasannya juga tak cukup mewah, dengan kertas buram dan binding yang tak terlalu kuat.

Kemasan karya-karyanya yang sederhana tak terlalu jadi masalah, karena sebagai seorang pencerita, Bastian sungguh menunjukkan kemampuan yang andal dan cukup luar biasa. Setting cerita, alur, penokohan, dan cara penggambaran suasana dalam karya-karyanya sungguh kaya, menarik, dan khas. Pengembaraan Wiro yang membuana mulai dari seantero Pulau Jawa, Madura, Bali, Sumatera, hingga ke negeri Cina dan Jepang, menegaskan penggalian bahan referensi yang cukup mendalam dari penulisnya. Cara penggambaran Bastian saat seorang tokoh muncul dalam sebuah momen peristiwa juga cukup menarik. Tanpa perlu secara langsung menyebut nama atau identitas seorang tokoh, seperti Wiro Sableng, Pangeran Matahari, Sinto Gendeng, Si Muka Bangkai, Tua Gila, Kakek Segala Tahu, atau Dewa Tuak, Bastian justru lebih sering memunculkan seorang tokoh dengan ciri khas mereka dengan karakter yang kuat. Wiro misalnya digambarkan dengan pakaiannya yang serba putih dan agak kumal, sering garuk-garuk kepala, serta sikapnya yang konyol dan kocak.

Seperti dalam cerita silat Kho Ping Hoo, banyak filosofi universal yang termuat dalam kisah Wiro. Penggunaan angka 212 (baca: dua satu dua) pada kapak yang Wiro gunakan, yang juga ditato ke dada Wiro, dijelaskan dalam Empat Brewok dari Goa Sanggreng, dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa dalam kehidupan selalu melekat hal-hal yang berpasangan, seperti senang-susah, menang-kalah, atau hidup-mati, tapi semuanya berasal dari dan akan kembali ke Yang Mahasatu.

Pencapaian kebahasaan (kesusastraan) Bastian dalam karya-karyanya tak dapat dipandang sebelah mata, meski karya-karyanya tak dipajang di toko-toko buku terkemuka sekelas Gunung Agung atau Gramedia. Selain cara penggambaran tokoh, cerita, dan suasana yang bernas, cerdas, dan merangsang imajinasi, Bastian juga memperkenalkan ungkapan-ungkapan khas berbau lokal dalam menuturkan peristiwa. Untuk menggambarkan durasi waktu, misalnya, kita akan cukup sering menemukan frasa “sepeminuman teh” atau “sepenanakan nasi” yang tak kita jumpai dalam karya penulis lainnya. Untuk jarak atau ukuran, misalnya, Bastian sering menggunakan “lima tombak” atau “tiga langkah”. Pencapaian kebahasaan yang khas semacam ini jelas akan sulit divisualisasikan ketika cerita silat Wiro Sableng ini diangkat ke layar kaca, sehingga kebanyakan para penggemar Wiro Sableng konon tidak terlalu menyukai versi televisinya.

Kelincahan bercerita yang ditemukan dalam karya-karya pria kelahiran 23 Agustus 1945 ini mungkin tidak terlalu mengherankan, jika kita tahu bahwa Bastian telah tekun menulis sejak kelas 3 SD dan menerbitkan karyanya sejak 1964. Kisah Wiro Sableng sendiri mulai diterbitkan pada 1967. Ratusan judul karya cerita silat telah ditulisnya. Seorang saudara saya yang setia mengoleksi cerita silat Wiro Sableng mengatakan bahwa koleksinya sudah hampir 200 judul. Padahal Bastian juga sempat menulis cerita-cerita lain selain Wiro Sableng, seperti Boma si pendekar cilik, dan juga cerita berlatar budaya Minang, Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok.

Kepulangan Almarhum ke hadirat-Nya pada tanggal dua bulan satu di awal tahun baru ini buat saya menorehkan kesan mendalam dan sejumlah harapan besar dan doa. Semoga masih akan ada penulis-penulis semacam Bastian di masa depan, yang tak henti menulis cerita-cerita memikat, tapi karyanya dapat dijangkau oleh anak-anak kampung yang uang jajannya pas-pasan. Saya berharap akan ada penerbit besar yang tertarik untuk menerbitkan karya-karya “sederhana dan murah” semacam karya Bastian, seperti halnya juga komik-komik lokal, yang mungkin tak cukup memberi gengsi, tapi akan cukup berarti. Saya juga berharap bahwa anak-anak di kampung saya saat ini masih akan bisa menemukan karya-karya murah tapi tak kalah berkualitas semacam karya Bastian di pasar desa, di tengah gempuran sinetron dan tayangan televisi, sehingga itu dapat mengokohkan tradisi membaca di kalangan mereka. Karya-karya Bastian dan semacamnya buat saya, teman-teman sepermainan saya, dan mungkin anak-anak di kampung lainnya, adalah pahlawan dan guru yang telah menyontekkan tradisi membaca dan membuka akses ke dunia aksara.

Selamat jalan Bastian Tito. Karya-karyamu adalah amal yang akan terus diberi pahala oleh Yang Mahakuasa.

* Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 8 Januari 2006

Read More..

Kamis, 05 Januari 2006

Vampir Kebudayaan dan Sisi Hitam Dunia Kepenulisan

Tulisan ini ingin memperkaya perspektif tentang sisi hitam dunia kepenulisan yang dalam beberapa pekan terakhir menjadi topik yang hangat dibicarakan di rubrik "Di Balik Buku" Jawa Pos. Jika sebelumnya disinggung soal fenomena ghost-writers dan pialang kepengarangan, yang pada satu titik memperlihatkan terkikisnya idealisme dalam dunia kepenulisan, tulisan ini ingin menekankan peranan perangkat teknologi dalam memperlancar berbagai praktik penyelewengan dalam aktivitas kepenulisan tersebut.

Ada satu kasus menarik yang dapat diungkapkan di sini menyangkut hal ini. Seorang rekan saya yang di antaranya mengelola penerbitan buku-buku fiksi remaja, selain buku-buku yang lain, bercerita bahwa ia pernah menerima email komplain dari pembaca yang merasa tertipu karena salah satu buku fiksi remaja yang ia beli sebagian isinya sama dengan buku yang terbit di penerbit lain di kota yang sama, dengan pengarang yang sama, hanya dengan perbedaan tokoh-tokoh dan tempat kejadiannya saja; sementara kalimat hingga titik-komanya pun bahkan persis.

Kasus ini jelas menunjukkan bagaimana perangkat komputer telah benar-benar berperan untuk memudahkan si pelaku dalam menyelewengkan sebuah karya. Tindakan tak bermoral ini tidak dilakukan secara manual dengan sedikit mengotak-atik judul dan segi-segi kebahasaan dalam suatu naskah, tapi cukup diolah dengan bantuan software pengolah kata MS-Word, tekan Ctrl-H, dan seterusnya. Bahkan, duplikasi semacam itu sebenarnya juga bisa dilakukan tidak saja oleh “si penulis asli”, tapi juga oleh orang ketiga, dengan bantuan teknologi scanner. Sebuah buku atau artikel tinggal discan, diambil teksnya, lalu olah di MS-Word (tinggal pilih: apa dengan find-replace, atau copy-paste). Kerja-kerja semacam ini dijamin tak bakalan cukup banyak memeras tenaga—jika dibandingkan dengan aktivitas kepenulisan yang sesungguhnya—dan hanya akan memakan waktu tak lebih dari 1 x 24 jam!

Praktik yang sebelumnya paling lazim dan sederhana dilakukan dengan bantuan kecanggihan komputer adalah mengedit segi-segi kebahasaan naskah, mengganti judul, dan kemudian menjual naskah tersebut ke beberapa penerbit. Rekan saya tersebut di atas juga sempat bertutur bahwa ia pernah dikibuli oleh seorang dosen dari sebuah perguruan tinggi berlabel Islam di sebuah kota yang “berhasil” menjual dan menerbitkan naskahnya ke tiga penerbit di kota itu sekaligus pada waktu yang hampir bersamaan (termasuk ke penerbit yang dikelolanya), dengan beberapa modifikasi yang tidak signifikan. Yang dirugikan jelas penerbit dan pembaca. Pembaca yang kurang cermat bisa jadi akan membeli ketiga buku yang sebenarnya sama itu—dan dengan begitu ia telah menghamburkan uangnya dengan sia-sia. Sementara penerbit, selain akan memperoleh citra kurang baik dari pembaca yang kurang paham duduk soal yang sebenarnya, juga akan membuat market share untuk buku tersebut menjadi berkurang.

Karena itu, tak berlebihan kiranya jika dalam konteks persoalan ini saya ingin menyebut komputer dan perangkat teknologi lainnya itu sebagai “vampir kebudayaan”—meminjam istilah Afrizal Malna dalam salah satu esainya di tahun 1997—, ketika teknologi canggih tersebut dapat juga menjadi semacam penghisap darah kreativitas-sejati manusia dalam aktivitas pengembangan kebudayaan—tanpa harus menafikan segi positif teknologi tersebut—dan mengantarkan pada tindakan-tindakan tak bermoral.

Konon, modifikasi dan pengembangan dari teknologi copy-paste yang relatif sederhana ini telah berkembang pesat, mulai dari mengkopi dan mengedit seadanya beberapa halaman dari sebuah naskah buku terjemahan, untuk kemudian dimasukkan dalam salah satu bagian buku yang diaku sebagai karyanya, hingga dengan modus paling mutakhir yang ditopang dengan fasilitas internet. Belakangan, di lingkungan terbatas, berkembang rumor yang menyatakan bahwa ada sebagian (kecil) penulis di media yang bekerja dengan cara tersebut, dengan memanfaatkan mesin pencari di dunia maya yang memang sangat cerdas itu (semacam “google” atau “altavista”)—dengan bergiga-giga data yang dapat diakses dari seantero dunia, dengan berbagai pilihan bahasa dan tema—bukan untuk diolah sebagai referensi, tetapi dengan lebih banyak comot sana sini, diracik dan digabung-gabungkan, tanpa ada unsur-unsur baru. Dengan kata lain, semacam copy-paste.

Persoalannya sekarang, bagaimana kita menghadapi kejahatan intelektual semacam ini? Bagaimana penerbit dapat mengendus tindak penyelewengan yang memanfaatkan teknologi ini? Terus terang memang sulit rasanya menemukan solusi yang paling mujarab. Menyerahkan tugas penyingkapan kejahatan semacam ini kepada penerbit sebelum menerbitkan suatu naskah jelas terdengar tak masuk akal. Apalagi arus buku-buku baru di pasaran belakangan ini berkembang sangat pesat. Begitu banyak karya terbit, begitu banyak penulis baru muncul; begitu banyak penerbit berdiri dengan lini-lini baru; semakin meluas pula jaringan distribusi penjualan buku ke pelosok nusantara.

Yang paling mungkin dilakukan adalah semacam pemantauan dan sosialisasi tentang modus-modus kejahatan semacam ini, baik kepada para pembaca, peresensi, penerbit, atau siapapun yang peduli, baik melalui forum-forum informal, media massa, atau di forum-forum mailing list. Bila ditemukan, penerbit bersangkutan harus diberi tahu, sehingga untuk selanjutnya, nama “si penjahat”, meski mungkin tak dapat diseret ke pengadilan, harus di-black list dan dibekukan dari daftar jagat kepenulisan. Selain itu, mungkin saja dilakukan jika praktik yang dapat dikategorikan dalam modus plagiarisme ini dimasukkan dalam salah satu klausul surat perjanjian penerbitan, tentu dengan poin yang akan memberatkan pihak penulis. Siapa tahu “si penjahat” akan urung menjual naskahnya justru karena dia kemudian takut ketahuan dan dihukum secara moral oleh masyarakat.

* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Jawa Pos, 4 Desember 2005

Read More..

Senin, 02 Januari 2006

Menjadi Petualang


Larut tertinggal di belakang. Pagi datang menjelang. Aku masih terbangun, terantuk-antuk di kursi belakang bus yang terus melaju. Kulirik jam tangan, jam dua lima belas menit. Kebanyakan penumpang di atas bus yang hampir penuh itu tertidur lelap. Beberapa kelihatan lelah terkantuk-kantuk. Mungkin pikiran mereka sedang berkelana entah ke mana, ke arah belakang atau ke depan. Lampu bus di dalam yang remang terlihat indah, berpadu dengan pemandangan kiri kanan yang memperlihatkan hamparan sawah diterangi purnama. Deru mesin bus terdengar lantang di antara senyap malam dan suasana pedesaan.

Tak lama lagi bus ini akan tiba di perhentiannya yang terakhir. Tak lama lagi aku akan tiba di rumah. Tapi pikiranku seperti masih tertinggal di jalur-jalur perjalananku. Ini bukan semacam kenangan, memorabilia suatu perjalanan. Ini semacam kesan sederhana tentang suatu petualangan—atau tepatnya, seseorang yang menjadi petualang—yang kemudian mengantar ke sejumlah pertanyaan.

Aku teringat pada seorang filsuf terkemuka Jerman yang butir-butir pemikirannya disebut-sebut menjadi salah satu dasar bagi lahirnya semangat Pencerahan Eropa di abad kedelapan belas. Dia, yang putra seorang pembuat pelana kuda, tinggal di sebuah kota di Prusia Timur nyaris sepanjang hidupnya—delapan puluh tahun! Meski sekarang dunia telah menjadi desa, aku tak bisa membayangkan jika di abad ini akan ada orang yang semacam itu; yang nyaris terus berdiam dalam milieunya, tak berjumpa langsung dengan wajah-wajah dari lain nusa, tak mendengar langsung orang-orang yang bercakap dengan lain bahasa.

Aku cukup tahu bagaimana rasanya rindu pulang. Setiap di suatu perjalanan, setiap di suatu tempat persinggahan, setiap di kampung perantauan, ada saatnya perasaan rindu pulang menyeruak datang. Tapi perjalanan kemarin telah memberiku suatu pengertian baru tentang indahnya petualangan.

Sebuah petualangan ibarat air yang mengalir, yang membawa kita ke sungai-sungai, jeram, selokan, atau sebuah pemandangan pasar apung yang menakjubkan. Sebuah petualangan adalah arus sungai yang mengalirkan sehelai daun ke muara, terus ke laut. Dalam petualangan, mungkin kita akan disambut hangat oleh seorang kawan lama atau menemukan sanak saudara yang sebelumnya bahkan kita tak pernah berjumpa. Mungkin pula kita akan menyaksikan pemandangan alam yang belum pernah kita lihat, pasar yang terbakar dan orang-orang yang meratapi barang-barangnya yang hangus dilahap api, atau suasana hening pedesaan. Mungkin pula di sebuah terminal kita akan kecopetan.

Menjadi petualang mungkin akan mengubah total makna rumah dalam pengertian yang konvensional. Seorang petualang mungkin tak pernah risau atau tak pernah dihinggapi perasaan rindu pulang, karena baginya semesta adalah rumah tinggalnya. Rumah bukan lagi menjadi semacam konsep yang mengacu ke sebuah pusat yang relatif stabil. Rumah selalu dibuat dan dimaknai dalam setiap momen kebaruan yang justru ditemukan dalam area pekarangan yang tak terbatas. Mungkin dengan itu rumah tak dicari di luar diri, karena diri kemudian mengganti sebagai pusat baru yang menempati posisi dan fungsi rumah. Seorang petualang, pikirku, berumah-dalam-diri.

Tapi kukira saat ini tak banyak orang yang sanggup kembali menjadi semacam kaum nomaden di zaman yang menuntut orang-orang untuk menemukan sebentuk tempat sandaran, mungkin jaminan, agar tak digilas dunia yang bergerak entah ke mana. Kalaupun ada, mungkin ia akan sangat terbantu dengan piranti komunikasi yang sanggup menemaninya menyelusup hingga ke pelosok kampung, untuk tetap menghubungkannya dengan sang pusat, rumah tinggalnya. Para petualang sejati mungkin memang hanya bisa kita temukan di masa lalu, dalam cerita-cerita silat dan sandiwara radio.

Seperti inilah tepatnya pikiranku saat itu, saat diguncang di atas bus yang melaju. Samar-samar muncul bayangan lain dari suatu senja, dari masa lalu, di balai-balai di bawah pohon mangga, di halaman langgar tua, seorang bocah yang khusyuk mendengarkan kisah para pendekar dari sebuah radio. Para pendekar yang membela kebenaran, menumpas kejahatan, berkelana menebar kebajikan. Entah, apakah pikiran bocah itu ikut larut dalam keasyikan bertualang seperti dalam kisah yang ia dengarkan.

Akan tetapi aku kadang berpikir, apakah justru seorang petualang awalnya adalah seorang yang terbuang? Apakah rumah si petualang di kampung halamannya telah diluluhlantakkan, sehingga ia harus mengembara, membangun rumah baru entah di mana atau membangun rumah dalam dirinya? Ataukah dia terusir dari rumah asalnya; terusir karena perbuatannya yang dianggap tak benar? Apakah seorang petualang awalnya adalah seorang yang sebatang kara?

Waktu terus merambat. Pertanyaan-pertanyaanku terhenti di situ. Bus bergerak melambat. Di depan, tempat terakhir untuk menurunkan penumpang telah terlihat.


Juli-November 2005

Read More..