Minggu, 29 Maret 2009

Menyemarakkan Dunia Kepenulisan

Hampir tiga tahun resmi berdomisili di tanah kelahiran, Guluk-Guluk, Sumenep, beberapa bulan yang lalu saya nyaris berputus asa bergiat mendampingi beberapa kelompok siswa yang fokus belajar di bidang kepenulisan.

Pertengahan 2006 lalu, begitu kembali dari Jogja, saya langsung diminta OSIS MA 1 Annuqayah Putri untuk mendampingi Klub Jurnalistik, sebuah kelompok kegiatan ekstra siswa di bidang kepenulisan. Dengan alur yang seadanya, saya hadir tiap pekan berbincang dan berlatih di bidang kepenulisan dengan sekitar dua puluh hingga tiga puluh siswa. Namun, seleksi alam pun terjadi. Seiring waktu, menjelang akhir kegiatan, yang mungkin total sekitar 12-15 pertemuan, jumlah itu pun susut hingga mungkin hanya sekitar sepuluh siswa.

Begitulah juga yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak pertengahan 2007, kelompok dampingan saya secara formal bertambah, yakni kelompok siswa di SMA 3 Annuqayah—yang juga putri. Pada tahun kedua, saya mencoba menyiapkan alur dan bahan secara lebih baik, berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya yang memang masih sangat seadanya. Hukum survival of the fittest pun ternyata juga berlaku di kelompok ini.

Pertengahan 2008 muncul lagi permintaan untuk mendampingi dua komunitas yang ingin belajar menulis—juga di putri. Tapi saya hanya bisa memenuhi satu saja. Itu pun dengan jadwal yang lebih lepas.

Selain ketiga komunitas tersebut, sesekali saya diundang ke semacam acara pelatihan kepenulisan atau jurnalistik, baik yang diadakan oleh OSIS, organisasi santri dari daerah tertentu, dan sebagainya. Atau juga menjadi juri dari lomba kepenulisan. Saya sebenarnya agak enggan berbicara di kegiatan semacam ini, karena rasanya hasil dan kelanjutannya lebih sering tak cukup menggembirakan. Apalagi, hampir semua pelatihan jurnalistik dan semacamnya yang ada hanya berhenti pada penyampaian materi. Kalaupun ada sesi latihan, waktunya sangat terbatas. Pernah saya mencoba format pelatihan yang ditindaklanjuti dengan praktik membuat buletin sederhana secara berkelompok oleh peserta pelatihan—format yang saya contek dari model pengkaderan Jurnal Pentas dulu di tahun-tahun 1995-1997.

Saya menyadari bahwa hal penting yang harus ditanamkan untuk masuk ke dunia kepenulisan adalah konsistensi, kerja keras, dan mental pantang menyerah. Saya selalu katakan bahwa untuk menjadi penulis yang baik itu tak bisa diraih dengan proses yang singkat. Harus banyak latihan. Dan, yang terpenting, latihan itu dilakukan secara konsisten.

Atas dasar ini, maka dalam mendampingi kegiatan kepenulisan, saya mesti memasukkan unsur motivasi agar semangat mereka terpompa.

Meski begitu, setelah memasuki tahun ketiga dari kegiatan saya ini, saya merasa hampir putus asa, karena kebanyakan dari mereka tak bisa menjaga konsistensi berlatih menulis. Anggota di komunitas-komunitas itu jarang sekali yang hadir secara rutin: selalu bergantian dengan anggota lain, sehingga tak utuh mengikuti sesi-sesi materi dan latihan. Akibatnya, mereka yang masih kesulitan menyusun kalimat yang lengkap, efektif, mudah dipahami, tak cepat menemukan jalan keluarnya karena mungkin tunduk pada rasa malas atau suasana hati negatif serupa.

Alhamdulillah, saat-saat kritis yang saya hadapi, yakni saat saya nyaris berputus asa, secara tak sengaja tertolong oleh sekelompok santri putra yang menjadi relawan untuk menulis berita di blog Pesantren Annuqayah. 12 orang ini bergabung setelah mereka membaca pengumuman yang saya edarkan atas nama Sekretariat Pondok Pesantren Annuqayah yang mencari santri yang bersedia menjadi relawan tim pusat data Sekretariat Annuqayah.

Mereka kemudian saya kumpulkan, dan sedikit diberi materi kepenulisan, untuk kemudian menulis berita-berita di lingkungan Annuqayah untuk diunggah ke blog Annuqayah. Posting pertama, 10 November 2008, ditulis oleh Ahmad Al Matin, santri Latee yang duduk di kelas akhir MA Tahfizh Annuqayah. Tulisan-tulisan oleh relawan yang lain berdatangan masuk ke email saya.

Seperti pengalaman saya sebelumnya, seiring waktu, kedua belas relawan itu ternyata gugur satu per satu, bahkan sebelum mereka genap bergabung satu bulan. Akan tetapi, ini dia kabar gembiranya, mereka yang tersisa, hingga kini, ternyata kian hari kian menunjukkan semangat yang luar biasa. Ada yang pada tiga bulan pertama, yakni hingga Januari 2009, hanya mengirimkan empat tulisan, tetapi kemudian sepanjang Maret 2009 dia mengirimkan sembilan tulisan! Wow!

Di antara mereka, ada pula yang semangat pantang menyerahnya patut diacungi jempol. Pernah ada satu tulisan yang saya koreksi dan minta untuk diperbaiki sampai tiga kali. Tapi si penulis masih terus bekerja memoles tulisannya untuk bisa layak muat di blog Annuqayah.

Saat ini, setelah hampir genap lima bulan blog Annuqayah aktif berkat kontribusi para relawan dan santri lain pada umumnya, saya pun mencoba mengompori kelompok-kelompok penulis dampingan saya untuk saling bersaing mengirimkan tulisan untuk blog Annuqayah. Alhamdulillah, provokasi saya lumayan berhasil. Selain tim pusat data yang bersisa sekitar lima orang, saat ini beberapa kontributor sudah cukup konsisten mengirimkan tulisan-tulisannya.

Sekarang saya rasanya jadi bersemangat mendampingi rekan-rekan santri belajar menulis di dunia maya. Pendekatan yang lebih personal mungkin juga menjadi penyemangat tersendiri bagi mereka, meski tentu dengan konsekuensi waktu saya yang tambah tersita. Akan tetapi, itu semua bisa terbayar dengan rasa puas yang saya rasakan, saat kotak surat email saya setiap hari mendapat kiriman tulisan-tulisan para muda yang ingin mencatatkan kreasi mereka, berwarta kepada dunia.

Pengalaman saya ini memberi saya hipotesis baru: bahwa mendampingi komunitas kepenulisan butuh dukungan adanya wadah untuk menampung kreasi mereka, sehingga jika bisa terpublikasi dan diakses serta diapresiasi orang banyak, semangat mereka akan terpompa. Pencarian atas media-media pendukung inilah yang saat ini masih terus saya lakukan, agar aktivitas kepenulisan semakin semarak dan lebih baik.

Read More..

Senin, 16 Maret 2009

One Night in Jogja

I had a nice trip to Jogja last weekend. Actually, this trip should be done before the weekend, because I want to take advantage of Maulid holiday. But my unhealthy condition for about one week constrained the plan. The main purpose of this trip is to accompany my mother to visit Pesantren Nurul Ummah Kota Gede, where my little sister has been living for seven months.

As usual, we departed for Jogja at night, after Isya’. Last Thursday night, we left to Jogja at 08.40 pm. We had an exiting ride that night—as the trip on the way home too. We rode a new bus, serving for a recovered route: Sumenep-Jogja. But the driver, conductor and his assistant, were the new comer for this route.

We arrived at Jogja at 06.30 am. The street was crowded. I tried to join to the crowd on the city bus for a little while. The atmosphere of Jogja started to penetrate me. The conductor, passengers in the morning, and traffic.

I took a rest in my brother’s dormitory until noon. At 1.30 pm, I went out to the Ikapi Jogja Book Fair 2009. This event held at Jogja Expo Center. I tried to contact my friends to come with me to the Book Fair. But finally I went alone, because they had already had appointments with their friends.

Book hunting is always interesting for me. On the Book Fair, I seek through the stack of books, trying to find some cheap, unique, uncommon, and fascinating books—the books that I didn’t find them in the common bookstore. I went around the exhibition area for more than one hour, and I was frustrated because I just got one book on the Insist Press Publisher.

At last, I left the exhibition and went out to a new book store near UIN campus. Its name is Yusuf Agency. The store sells used and cheap books. This would be an interesting books-hunting. Among the dusty shelves, I was looking for a surprise. At last, I found a series of books about easy scientific experiments written by Janice Pratt VanCleave, a winner of Phil Delta Outstanding Teacher of the Year 1982. The books are about physics, biology, chemistry, astronomy, and geography. It seems that the books are especially designed for kids, but I think they are also suitable for junior or senior high school students. These books were enough to cure my weary day.

After dinner, I went out to my friend’s dormitory at Gowok. I spent the night there with my friends—one night in Jogja. Next day, Saturday, I went along with my mother and my brother to Pesantren Nurul Ummah Kota Gede. We were there until 11 am.

We left Jogja at 7 pm. One night in Jogja—it seems that it was a too short nostalgic trip. But I have to compromise on this. At least, I got something new on this trip—new experiences, new books.

During the way home, I really enjoyed the way of the driver handle the bus. He often overtook another vehicles in front us. It’s like a bus-racing. So, I didn’t sleep at the bus until we got near to Jombang.

On the way home, I wonder when I can make a satisfied memorable trip to Jogja. I am waiting for that moment. Always.


Read More..

Minggu, 08 Maret 2009

Mendampingi Guru Belajar Internet

Meski dengan kondisi kesehatan yang kurang sehat, Sabtu (7/3) siang kemarin, akhirnya saya memaksakan diri untuk hadir bersama sekitar 25 guru Madaris 3 Annuqayah untuk belajar internet. Sekitar dua pekan sebelumnya saya sempat membuat semacam janji dengan beberapa guru yang tampak begitu antusias untuk berkenalan dengan teknologi komunikasi mutakhir ini. Di antara mereka ada yang bilang, “Wah, saya lihat murid-murid di sini sekarang sudah pinter internetan di Perpus. Masa kami kalah dengan mereka.” Saya pun menjanjikan bahwa sebelum liburan Maulid saya akan mendampingi mereka belajar internet.

Acara belajar internet bareng Sabtu siang kemarin dimulai sekitar pukul 10.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 12.30 WIB. Tempatnya di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Sebelum masuk ke penjelasan yang agak teknis tentang internet, saya memberi semacam pengantar tentang internet. Saya ingin para guru memahami alur, logika, dan cara kerja internet, sehingga mereka dapat memahami “hakikat” internet.

Sebelum acara dimulai, dan beberapa guru sudah ada yang datang di tempat acara, sempat ada seorang guru yang melontarkan komentar menarik. “Pokoknya internet masih kalah sama malaikat Munkar dan Nakir,” katanya. Di sesi pengantar, saya menjelaskan bahwa internet itu adalah cara komunikasi baru berbasis teknologi yang cepat dan mudah. “Jadi, apa yang termuat di dunia maya ini ada yang menyajikan—ya, manusia juga—yang tentu saja bisa baik, benar, salah, dan semacamnya,” begitu saya memaparkan. “Nah, kita bisa menjadi penikmat informasi yang disajikan orang-orang itu. Lebih dari itu, kita juga bisa berbuat lebih, dengan membuat sajian juga yang bisa dinikmati oleh orang lain sedunia,” lanjut saya.

Materi internet saya fokuskan pada browsing, email, chatting, dan secara khusus tentang penggunaan mesin pencari (search engine). Saya ajak guru-guru membuka Ensiklopedi Wikipedia, baik dalam versi bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia, juga bahasa Jawa. Saya coba guru-guru chatting dengan Kiai Faizi, Direktur Madaris 3 Annuqayah, yang kebetulan sedang online. Tak lupa saya mencoba teknologi webcam dan berbincang dengan suara. Saat chat via webcam sambil berbicara dengan Kiai Faizi, Kiai Masyhudah, salah seorang guru senior yang hadir dan cukup aktif bertanya, iseng minta kiriman rokok Surya 12. Di kamera Kiai Faizi memperlihatkan sebungkus Surya 12 yang dijanjikan untuk Kiai Masyhudah.

Setelah presentasi secukupnya, guru-guru diberi kesempatan untuk praktik. Kebetulan di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah ada dua unit komputer yang sudah terjaring internet menggunakan fasilitas WiFi Annuqayah. Untuk praktik, guru-guru juga menggunakan laptop. Jadi, ada 3 komputer yang digunakan untuk praktik. Saat praktik, beberapa guru mencoba membuat akun email dan saling berkirim surat. Ada juga yang mencoba browsing ke situs Pemkab Sumenep dan mencoba menuliskan saran perihal pendidikan di Sumenep.

Meski semua guru belum sempat mencoba praktik, kegiatan belajar internet bareng ini diakhiri sekitar 12.30 WIB. Yang jelas, dengan modal pengetahuan sekadarnya ini, diharapkan nanti guru-guru Madaris 3 Annuqayah sudah tak terlalu bingung untuk mencoba berselancar di internet menggunakan komputer di kantor-kantor unit pendidikan di Sabajarin yang sudah terjaring dengan WiFi Annuqayah. Karena tidak semua guru bisa hadir di acara kemarin, kemungkinan pelatihan serupa akan diselenggarakan kembali. Selain itu, rencananya di lain waktu saya akan menyelenggarakan pelatihan internet yang lebih spesifik, seperti tentang blogging, dan sebagainya.

Read More..

Jumat, 06 Maret 2009

Made of Rain

Last night, when a group of flying termites swarmed about the lamp on the veranda in front of my room, I was curious to know about their life cycle. I just had a little information about them. And, actually, that information is such common sense knowledge, not scientific.

From experience of life, I know that flying termites usually come at night after rain fell. Always after rain. They swarm about the light, crashing their bodies into the shining lamp. I don’t really know why they seem to be so obsessed by a source of light.

It is said that they originated from termites, a small insect like an ant that does a lot of damage by eating wood and papers. They break through the wall, destroy plastics, cable and other blockage. They produce the offspring in their colonies. The female termite can produce eggs until 36.000 eggs per day for 50 years. What a number! Unfortunately, I never see their kingdom.

Living in the darkness, maybe they yearned for the light when they became a flying termite. But all creatures maybe are still surrounded by principle of absurdity. When they were about to come to the light, and finally collided with the lamp, their wings came down towards the ground. Their bodies chased down their couple golden wings.

Their obsession couldn’t be satisfied. That was an irony. They walked slowly in the ground, and small house lizards hunted them skillfully to complete their adventures and fates.

Thinking and learning about flying termites reminded me to someone who is completely obsessed by rain. He even feels that he was made of rain. I wonder does he think that he is a flying termite. O life!

Read More..