Karena terpukau dengan penampilan Mas Kiai dalam acara Konser Budaya Final pada Rabu malam, 30 Oktober 2024 lalu, tak banyak yang membicarakan Kiai Faizi dan puisi yang dibacakannya. Padahal menurut saya ini menarik.
Pertama, Kiai Faizi selama ini tak pernah ikut-ikutan urusan politik praktis. Tapi sekarang beliau tampil di panggung-panggung Final. Lebih jauh, Kiai Faizi rasanya nyaris tak pernah melontarkan kritik tajam ke siapapun di ruang publik dalam konteks yang dapat mengarah pada subjek tertentu yang cukup spesifik.
Nah, saat tampil di panggung membacakan puisi di acara Konser Budaya Final tersebut, pilihan puisi yang dibacakan Kiai Faizi cukup mengejutkan saya. Puisinya memuat kritik tajam. Kalau puisi itu saya bahas saat mengajar di kelas Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA 3 Annuqayah 15 tahun lalu, mungkin akan biasa saja. Tapi tiga puisi itu dibacakan pada acara Konser Budaya Final. Konteksnya jelas.
Puisi pertama yang berjudul “Kamu Mirip Kue Tar” membahas kerapuhan masyarakat berhadapan dengan kuasa uang. Kiai Faizi mengkontraskan tubuh yang kekar dan jiwa yang kerempeng yang mudah disuap dengan uang. Kiai Faizi menyinggung kebutuhan pada nasi dan lauk. Ya, itu kebutuhan konkret. Kemiskinan merapuhkan keimanan. Kalau Anda membaca buku Kuasa Uang karya Burhanuddin Muhtadi yang dikembangkan dari disertasinya di Australia, kita akan memahami betapa mengerikannya kuasa politik uang dalam pemilu pasca-Orde Baru di Indonesia.
“Sumenep”. Itu judul puisi kedua. Puisi ini bernostalgia tentang Sumenep di masa lalu. Ada kontras antara sejarah yang menorehkan nama agung dan pengkhianat yang mengotori sejarah. Saya jadi teringat pidato-pidato Ra Mamak, termasuk di panggung Final, yang menyebut Sumenep sebagai ibu Nusantara dan pentingnya kita memilih pemimpin yang tepat untuk mengembalikan kehormatan dan kejayaannya.
Pada puisi ketiga, Kiai Faizi tiba di titik klimaks. Judul puisinya “Nasionalisme di Mata Anak Kecil”. Pada puisi ini, beliau seperti hendak menjelaskan tentang siapa pengkhianat itu. Menjelaskan kata “pengkhianat” yang ada di ujung puisi kedua. Pengkhianat: mereka yang mengangkat nasionalisme sebagai narasi, tapi nyatanya mereka memperkaya diri. Hehehe.. kira-kira tafsiran saya begini: bilangnya melayani, tapi nyatanya melayani kau-tahu-siapa. Tentang melayani, saya teringat pada surat berkop yang beredar di media sosial beberapa tahun lalu. Surat yang meminta untuk menyediakan 100 sopir itu. Entah bagaimana cerita sebenarnya.
Klimaks pada puisi itu ditutup dengan larik yang sangat tegas dan lugas:
bahwa yang bisu harus berkoar
dan para penipu harus dihajar
Wah, rasanya ini mirip dengan akhir puisi Wiji Thukul yang terkenal itu, yang berjudul “Peringatan”, yang petikannya sangat terkenal: “Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Saya terkesiap dengan larik-larik terakhir puisi Kiai Faizi di malam itu. Saat “harus dihajar”, pada siaran langsung yang saya saksikan, Kiai Faizi tak melihat ke arah penonton sambil bergerak turun dari panggung dengan langkah yang terlihat tenang.
Saya yang penasaran, berusaha mencari tiga puisi Kiai Faizi yang dibacakannya di komputer saya. Tapi saya ternyata hanya menyimpan berkas-berkas Kiai Faizi paling akhir tertanggal tahun 2003. Tak ada arsip puisi atau tulisan lainnya setelah itu. Harus minta kepada Langley via Mas Anta.
Setelah pertunjukan Konser Budaya itu selesai, pikiran saya masih terus tertuju pada penampilan Kiai Faizi. Di benak saya terpikir, baru kali ini saya menyaksikan Kiai Faizi “seberani” ini. Luar biasa!
Rabu, 20 November 2024
Puisi Kiai Faizi
Label: Social-Politics
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar