Judul buku: Solitude: In Pursuit of a Singular Life in a Crowded World
Penulis: Michael Harris
Penerbit: Thomas Dunne Books, New York
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-1-250-08860-4
Manusia masa kini menjalani kehidupan sehari-hari dengan dikepung oleh berbagai perangkat teknologi. Obsesi untuk terus terhubung dengan orang lain melalui berbagai media sosial di gawai yang kita jinjing ternyata berpotensi menghilangkan salah satu sisi penting dalam kehidupan kita, yakni momen kesendirian, yang nilainya tak bisa diremehkan.
Itulah gagasan pokok yang dituturkan Michael Harris, penulis asal Kanada, dalam buku ini. Manusia di era digital kini tampaknya memiliki ketakutan berlebih untuk terputus dari jejaring maya yang dirajut oleh perangkat teknologi dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Harris memberi ilustrasi yang cukup mengena. Cobalah mengetik “fear of being without” di mesin pencari Google, maka fitur auto-complete di baris pertama akan menampilkan “fear of being without your phone”.
Harris juga mengutip sebuah penelitian tahun 2013 yang melibatkan 7.500 pengguna telepon seluler di Amerika. Salah satu hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 80 persen di antara mereka segera mengambil telepon seluler 15 menit setelah bangun tidur.
Semakin tergerusnya momen kesendirian menurut Harris dapat menggerogoti hal-hal yang cukup bernilai. Kesendirian bagi Harris menjadi tempat yang baik untuk lahirnya kreativitas, inovasi, dan pemikiran yang segar. Tengoklah para penemu seperti Einstein atau Newton. Momen kesendirian juga dapat menjadi pengantar bagi lahirnya pencerahan. Buddha, Yesus, juga Nabi Muhammad, tulis Harris, tiba pada titik transformatif kesadaran dan awal kepemimpinan sosialnya yang revolusioner setelah menjalani momen kesendirian.
Kesendirian dapat memperdalam pemahaman seseorang akan aspek interior dirinya. Tapi di sisi yang lain ia juga dapat memperkuat ikatan seseorang dengan orang lain. Kesendirian juga dapat membebaskan seseorang dari tekanan konformitas. Selain itu, kesendirian menyediakan ruang yang dibutuhkan seseorang untuk menemukan sumber terdalam gairah, kegembiraan, dan kepenuhan makna hidupnya.
Kehidupan zaman modern di era teknologi memang rawan menimbulkan depresi dan alienasi. Namun menurut Harris banyak orang salah paham. Mereka berpikir bahwa keterasingan harus diobati dengan berbaur seluas-luasnya—termasuk di media sosial. Bagi Harris, memaknai dan menggeluti kesendirian hingga mendalam justru menawarkan solusi bagi problem alienasi, yakni dengan cara mengajak individu untuk menemukan dan memperjuangkan sisi kehidupannya yang unik—itulah hidup yang autentik.
Harris juga mencontohkan salah satu momen kesendirian yang cukup klasik, yakni membaca. Mengutip Keith Oatley, profesor psikologi kognitif di University of Toronto, Harris menyatakan bahwa membaca dapat membantu seseorang untuk meningkatkan kemampuan berempati—kemampuan untuk menyingkirkan ego dan terlibat dengan posisi orang lain. Namun demikian, kepungan perangkat teknologi yang hiper-sosial membentuk budaya membaca yang baru.
Di era digital ini, pengalaman membaca akan sulit mendapatkan kepenuhan fungsinya, yakni untuk membaca mendalam dengan manfaat seperti yang dikemukakan Oatley. Mengutip Maryanne Wolf, neurosaintis dari Tufts University, Harris menulis bahwa membaca dengan gawai—bahkan meski kita mematikan fungsi notifikasi—adalah antitesis dari membaca secara mendalam.
Secara umum, buku ini menggambarkan tantangan manusia zaman now untuk menjadi manusia autentik. Penetrasi perangkat teknologi dalam kehidupan sehari-hari yang semakin menghilangkan momen kesendirian cenderung menyulitkan seseorang untuk keluar dari arus kerumunan karena semakin tumpulnya kemampuan reflektif yang dimilikinya. Lebih jauh, tanpa disadari ritme kehidupan individu perlahan semakin dikendalikan oleh aktor-aktor di balik layar berbagai perangkat teknologi itu yang pusatnya terutama adalah kepentingan pasar.
Buku ini bermakna penting sebagai pengingat bahwa momen kesendirian itu bukan hanya menyia-nyiakan waktu. Ia memuat nilai yang sangat kontekstual dengan tantangan zaman sekarang ketika era teknologi diam-diam dapat merenggut kebebasan dan mengantarkan manusia pada perbudakan akali terselubung.
Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian dimuat di Harian Jawa Pos, 21 Januari 2018.