Dik, semalam aku tidur lewat tengah malam. Tadi malam tak ada hujan turun, tak seperti kemarin. Angin juga tak bertiup kencang. Kucing putih yang beberapa hari ini mulai berkeliaran di lingkungan rumahku terlihat melintas di samping kamar. Deru kipas pendingin di komputer tak terdengar lagi. Beberapa bintang glow-in-the-dark di atas kamar masih belum menampakkan keanggunannya, karena aku belum mematikan lampu. Mereka seperti saling berbisik sepertemanan, “Mengapa kita harus menunggu tengah malam untuk dibiarkan mendapat perhatian, untuk terlihat indah dengan keanggunan yang berpendar? Apa kita memang hanya diharapkan untuk menemaninya beranjak ke alam mimpi? Apakah ia memasang kita karena ia terlalu banyak keinginan, sehingga setiap tidur ia akan membisikkan bermacam keinginan sambil membayangkan ada bintang jatuh yang melintas di atasnya—dan permintaannya itu akan terkabulkan?”
Saat mulai rebahan, aku teringat banyak hal. Kepalaku tiba-tiba seperti kotak pos yang lama tak dibuka. Tadi malam seakan-akan aku menemukan kunci kotak pos itu tergeletak di depanku. Aku memungutnya, bergegas membuka kotak tua yang sepertinya diantar tadi sore. Ada bertumpuk amplop dalam kotak pos itu. Amplop cokelat, amplop putih, dan ada pula yang berwarna merah tua, dengan sedikit guntingan pita di salah satu sudutnya.
Aku mengeluarkan surat-surat itu dari kotak, kuletakkan di hadapanku. Begitu lama aku tak memeriksa kotak pos ini. Petugas pos tadi sore bilang, surat-surat ini katanya dikirim dari suatu tempat bernama Gudang Ide yang Terpendam. Dia tak menjelaskan di mana persisnya tempat itu. Aku mencoba mencari penjelasan dengan memerhatikan stempel pos di tiap amplop surat, tapi aku tak menemukan apa-apa. Hanya stempel kantor pos kecamatan dengan tanggal penerimaan. Melihat tanggal-tanggal itu, aku kemudian mencoba mengurutkan surat-surat itu sesuai tanggal penerimaan.
Akhirnya kutemukan sepucuk surat dengan tanggal paling awal. Surat itu dibungkus rapi dengan amplop polos berwarna putih bersih. Betul, di pojok kiri atas, tempat orang biasa menuliskan nama pengirim surat, tertulis: “GUDANG IDE YANG TERPENDAM”. Dengan hati-hati kubuka amplop putih itu. Seperti biasa, kau tahu itu Dik, aku membuka amplop itu dengan menggunting-tipis sisi kiri amplop. Isinya selembar kertas kecil, dengan tulisan rapi dan cukup ringkas:
“Mungkin surat-surat ini bisa menjadi bahan untuk dikisahkan di rindupulang. Bukankah kau masih rindu pulang?”
Rabu, 21 Maret 2007
Kotak Pos yang Berisi Surat-Surat dari Gudang Ide yang Terpendam
Label: Diary
Langganan:
Postingan (Atom)