Rabu, 25 April 2012
Sudahkah Anda Punya Kamus?
Kamus apa saja yang Anda punya? Berapa jumlahnya?
Pertanyaan ini pernah saya lontarkan di kelas Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Pernah juga saya ajukan kepada murid-murid di kelas Jurnalistik, kelas Tata Bahasa Arab, atau dulu di Klub Penerjemah (Bahasa Inggris) yang dampingi.
Saat itu, jawabannya kebanyakan negatif.
Ketika beberapa pekan lalu saya diundang sebuah lembaga Bahasa Arab untuk mendiskusikan tema liputan majalah yang akan mereka terbitkan, saya bertanya pada mereka: apa ada yang masih belum punya Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia? Tak ada jawaban tegas. Tapi ada yang senyum malu-malu—sebuah pengakuan terselubung—di antara yang hadir saat itu.
Perhatian para pelajar di tempat saya berkegiatan, yakni di Pondok Pesantren Annuqayah, terhadap nilai penting kamus tampaknya masih kurang. Memang, mungkin saja mereka punya masalah daya beli. Pada umumnya, kamus yang baik biasanya memang agak mahal harganya. Namun demikian, saya menduga kuat bahwa yang terjadi bisa saja bukan semata soal daya beli, tapi juga karena mereka tak merasakan nilai penting kamus.
Menurut saya, kamus punya nilai penting yang sangat mendasar bagi seorang pelajar. Pemahaman terhadap makna kata-kata dari berbagai teks yang kita jumpai merupakan syarat penting agar kita dapat menyerap pengetahuan, informasi, dan ilmu baru dengan lebih mudah. Saat ini, hampir dipastikan setiap hari kita melakukan kegiatan membaca: pesan pendek, berita di koran atau majalah, kitab suci, iklan, mungkin juga buku. Jika kita tak berhasil memahami kata-kata dari teks yang kita baca, apalagi kata-kata itu menjadi kata kunci, maka hambatan kita amatlah berat untuk dapat menangkap makna dan pesan teks tersebut.
Pada kamus-lah kita dapat menimba informasi tentang makna kata-kata. Memang, bisa saja kita bertanya kepada orang lain. Tapi kamus menyediakan penjelasan yang lebih mantap dan kukuh.
Penguasaan makna kata-kata yang lebih banyak akan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi kita untuk menerima pengetahuan, informasi, dan ilmu baru. Demikian pula, penguasaan bahasa baru selain bahasa ibu kita juga akan memperlebar cakrawala kemungkinan penyerapan ilmu baru.
Dalam sejarah Islam, ada kisah yang menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw. meminta tebusan pada musuh yang ditangkap dengan mengajarkan bahasa asing yang dikuasainya kepada kaum muslim. Kisah semacam ini menunjukkan adanya kesadaran nilai penting bahasa dalam kaitannya dengan kelompok masyarakat dan peradaban.
Sayangnya, banyak pelajar, bahkan mungkin juga mereka yang berstatus sebagai guru, kurang tertarik dengan kamus (atau, dalam konteks yang lebih luas, bahasa). Bisa jadi lupa. Atau, mereka tidak mengutamakan untuk memiliki kamus. Mungkin memang ada banyak daftar lain yang mengalahkan kamus. Misalnya, telepon genggam baru, baju baru, dan semacamnya. Dan kamus ada di nomor kesekian puluh—atau bahkan mungkin tak terpikir.
Saya lalu teringat pada salah satu kamus “besar” yang dahulu pernah saya beli ketika masih bersekolah. Saya periksa barusan. Ada Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia yang bertanggal pembelian 25 Agustus 1994. Ada juga Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Peter Salim dan Yenny Salim yang saya beli pada tanggal 12 Agustus 1996. Saya ingat, kamus yang saya beli seharga Rp 72.000,- ini saya beli bersama beberapa buku lain setelah saya punya uang dari hasil usaha jasa rental komputer amatiran yang saya kelola.
Cicilan Kamus
Beberapa bulan yang lalu, saya punya gagasan untuk membantu mendorong murid-murid dan santri di lingkungan saya untuk mencintai dan membeli kamus. Idenya muncul setelah saya melihat di mana-mana semakin banyak program kredit kendaraan bermotor dan barang-barang lainnya. Saya lalu berpikir: kenapa tidak mencoba membuat program cicilan kamus?
Saya lalu mencoba menjajaki kemungkinannya. Di beberapa kesempatan, saya bicara dan bertanya kepada murid-murid. Tanggapannya positif.
Maka saya kemudian mengambil langkah-langkah nyata. Pertama, saya memutuskan kamus apa yang akan diangsurkan. Saya memilih Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Kebetulan, di kompleks tempat saya tinggal baru saja dibentuk kelompok Bahasa Arab. Dan ternyata anggotanya masih banyak yang belum punya kamus. Jadi saya pikir cicilan kamus akan menjadi sebentuk dukungan saya untuk mereka.
Kemampuan keuangan saya saat itu terbatas. Saya hanya menyediakan 30 eksemplar kamus untuk diangsurkan. Saya memesan 30 eksemplar kamus itu ke sebuah toko kitab di Surabaya dan lalu dikirimkan ke alamat saya di Guluk-Guluk, Sumenep.
Saya mendapatkan potongan harga sekitar 30%. Harga asli Rp 161.000,- dipotong menjadi Rp 111.000,-. Biaya pengiriman Rp 100.000,-. Kepada mereka yang berminat mencicil, biayanya dibulatkan Rp 115.000,- (jika harga kamus dan biaya pengiriman dijumlahkan dan dibagi 30, hasilnya sebenarnya Rp 114.333,-). Pengangsurannya saya tawarkan Rp 5.000,- setiap minggu, sehingga nanti cicilan akan lunas dalam waktu 23 minggu.
Setelah saya terima, dalam waktu singkat, ketiga puluh kamus tersebut langsung habis. Maklum, selain karena bisa mencicil, ternyata harga sebesar Rp 115.000,- itu tergolong murah, karena di toko buku terdekat kamus yang sama harganya lebih mahal sepuluh ribu rupiah. Sebenarnya, masih banyak yang berminat untuk ikut program cicilan kamus ini. Bahkan, ada yang menanyakan kamus yang lain, yakni Kamus al-Munawwir Indonesia-Arab. Sayangnya, keuangan saya terbatas untuk menyediakan kamus tersebut dalam jumlah yang lebih besar.
Jadi, sementara ini, saya minta mereka bersabar dulu.
Saya sendiri sebenarnya ingin sekali agar program semacam ini bisa diperluas. Saya bahkan berpikir, andai sekolah tempat saya mengajar punya dana yang cukup, program cicilan kamus ini bisa dilaksanakan dengan skala yang lebih luas. Termasuk dengan menyediakan kamus yang beragam, mulai dari kamus Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, atau bahkan mungkin kamus yang lainnya. Malahan, andai sekolah punya dana melimpah, khusus untuk murid sekolah membantu meringankan harga dengan subsidi sekadarnya.
Bayangkan, jika sejak setingkat SMA sederajat para murid sudah ditanamkan kecintaan pada kamus dan bahasa. Saya pikir, kemungkinan untuk membentuk semangat pembelajar dalam diri mereka akan lebih terbuka.
Baru Langkah Awal
Namun begitu, ada hal penting yang harus digarisbawahi di sini. Penyediaan kamus hanya satu langkah. Ini baru langkah awal. Program semacam cicilan kamus ini mustinya tak boleh dianggap cukup. Yang lebih penting adalah memadukan program semacam ini dengan kegiatan kreatif lainnya, seperti pengalaman saya ketika mendampingi Klub Penerjemah di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.
Tahun 2008 lalu, saat saya masih aktif mendampingi Klub Penerjemah yang anggotanya kebanyakan murid setingkat SMA itu, saya mewajibkan anggota klub yang berjumlah sekitar 20 orang itu untuk membeli Learner’s Dictionary English-Indonesian 6.000 Entries yang disusun oleh Drs. R. Hardjono dan A. Widyamartaja (Kanisius, cetakan pertama tahun 1974). Kamusnya kecil, tipis, dan murah—kalau tak salah, harganya di bawah sepuluh ribu rupiah. Saya membantu membelikan kamus bagus yang sudah cetak ulang lebih 30 kali ini di Yogyakarta. Kamus itu digunakan untuk kegiatan menerjemah dan berdiskusi yang dilakukan secara rutin tiap pekan.
Jadi, tantangan selanjutnya, jika sudah banyak murid atau santri yang punya kamus, yang perlu dilakukan adalah mendorong agar mereka dapat mendayagunakan kamus-kamus itu sebaik mungkin. Di antara yang terpikir sejauh ini adalah membentuk semacam klub penerjemah yang sudah pernah saya lakukan namun hanya bertahan tak sampai 2 tahun itu.
Kegiatan-kegiatan semacam itu diharapkan akan dapat menularkan semangat dan kecintaan yang lebih luas pada pengetahuan dan ilmu. Bermula dari kecintaan pada kamus, berikutnya yang diharapkan adalah semakin meningkatnya mutu kehidupan dan peradaban yang terbentuk melalui bimbingan pengetahuan. Saya pikir ini harapan yang masuk akal dan sangat mungkin dikerjakan.
Read More..
Jumat, 20 April 2012
Menyelamatkan Otak Kanan
Sejak tahun pelajaran 2011/2012 ini, saya membuat sedikit perubahan dalam cara mengajar saya di kelas. Pertama, saya kerap memutar lagu-lagu instrumental di ruang kelas. Lagu-lagu itu saya putar dari telepon genggam yang saya bawa dengan bantuan pengeras suara portable. Kadang-kadang, lagu-lagu itu diputar dari laptop yang saya gunakan di ruang kelas.
Lagu instrumental yang saya putar bermacam-macam. Kadang musik klasik, seperti Beethoven, Bach, Mozart, atau Vivaldi. Kadang Kenny G, Richard Clayderman, Spyro Gyra, Secret Garden, atau favorit saya, Joe Satriani.
Hal lainnya baru dimulai semester ini. Sejak awal tahun 2012 ini, jika memungkinkan, saya menulis di papan dengan menggunakan spidol warna-warni: hitam, biru, merah, dan hijau. Dari sekolah tempat saya mengajar, biasanya hanya disediakan spidol warna hitam. Spidol warna-warni saya beli sendiri. Spidol warna-warni ini tak cukup mudah saya dapatkan. Spidol boardmarker biru dan merah tak saya temukan di Guluk-Guluk. Saya belinya di sebuah toko di Sumenep. Yang terakhir, warna hijau, baru saya dapatkan beberapa waktu yang lalu dengan memesan ke Yogyakarta.
Ada apa dengan musik instrumental dan spidol warna-warni? Belum lama ini beberapa mahasiswa di kelas Logika di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) bertanya kepada saya perihal musik dan spidol warna-warni itu. Secara spontan ketika itu saya menjawab: “Saya menggunakannya untuk menyelamatkan otak kanan.”
Menyelamatkan otak kanan? Aha, rupanya pertanyaan mahasiswa tersebut telah membantu memancing otak saya untuk menemukan frasa yang kemudian menjadi judul tulisan ini—ya, pertanyaan itu berperan besar dalam melahirkan tulisan ini. Sebelumnya, saya tak membayangkan formula kata-kata tersebut sebagai jawaban atau latar belakang dari musik instrumental dan spidol warna-warni itu. Namun begitu, memang demikianlah adanya: saya pikir musik instrumental dan spidol warna-warni itu akan membantu murid di kelas untuk menyelamatkan otak kanan.
Saya menjelaskan kepada si penanya apa yang saya maksudkan dengan menyelamatkan otak kanan. Menurut saya, sistem pendidikan dan cara belajar kebanyakan kita selama ini cenderung terlalu terpaku pada potensi otak kiri saja. Karena itu, saya mencoba untuk mengimbangi penguasaan otak kiri di dunia pendidikan itu dengan musik instrumental dan spidol warna-warni.
Sebagaimana jamak diketahui, otak kiri berurusan dengan logika, angka, urutan, pola pikir linear, dan semacamnya. Sedangkan otak kanan berkaitan dengan imajinasi, kesadaran holistik, kesadaran seni, warna, dan sebagainya.
Sekarang, coba perhatikan hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan kita di sekolah. Buku pelajaran di sekolah nyaris semuanya disajikan dengan kering dan kaku. Cara siswa mencatat pun dari dulu masih tak jauh berbeda: kalimat-kalimat deskripsi atau eksposisi, dan semacamnya.
Penyajian bahan pembelajaran dan cara pencatatan yang kering dan kaku selama ini pada tingkat tertentu tampaknya telah cukup berhasil memenjarakan otak kanan. Akibatnya, sisi kreatif peserta didik kurang menemukan tempat untuk berkembang.
Penjara otak kiri yang bercorak positivistik tergambar melalui sebuah permainan yang sebenarnya cukup populer yang beberapa kali telah saya ujicobakan di kelas: sembilan titik yang membentuk kubus terdiri dari tiga baris mendatar dan menurun, lalu murid diminta untuk membuat empat garis lurus tak terputus dan harus bisa mengenai kesembilan titik tersebut. Menghadapi permainan semacam ini, pikiran murid-murid sering kali terpenjara dengan titik terluar yang membentuk kubus tersebut. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memecahkan permainan ini.
Potensi otak kanan untuk berkembang bukan hanya dihadang oleh bahan dan penyajian kegiatan pembelajaran maupun cara pencatatan. Dalam kehidupan masyarakat kita yang lebih luas, penghargaan terhadap otak kiri cenderung lebih besar. Sedang penghargaan terhadap prestasi otak kanan masih kurang. Seorang kiai muda dan guru di Gapura yang aktif sekali menulis di blog, A. Dardiri Zubairi, pernah mencatat kurangnya penghargaan pemerintah daerah Sumenep atas prestasi di bidang sastra dibandingkan dengan bidang lain yang mengandalkan otak kiri—dan tampaknya ini bisa jadi bukan hanya terjadi di Sumenep saja. Sudah sering terjadi, murid yang berprestasi di bidang matematika atau bidang sains lainnya diberi apresiasi yang begitu meriah. Ini tak berlaku bagi murid yang punya kelebihan di bidang yang berbasis otak kanan, seperti bidang sastra.
Apa yang bisa dilakukan menghadapi ancaman terus terbatasnya ruang otak kanan di dunia pendidikan kita? Banyak hal yang bisa dilakukan. Bisa bersifat mendasar, sistematis, maupun massal. Sementara ini, di ruang kelas saya melakukannya dengan musik instrumental dan spidol warna-warni. Musik instrumental dan spidol warna-warni itu saya pikir adalah salah satu media sederhana yang tampaknya dapat merangsang otak kanan untuk berbiak dan memperkuat jejaringnya.
Kepada mahasiswa mata kuliah Logika saya katakan bahwa pelajaran Logika berpihak pada otak kiri. Karena itu, mengimbangi dominasi otak kiri dengan musik instrumental dan spidol warna-warni mungkin merupakan langkah sederhana yang patut untuk dicoba dilakukan.
Selebihnya, saya sepenuhnya sadar bahwa masih perlu dilakukan upaya-upaya lain yang lebih luas, mendasar, dan berkelanjutan untuk memberi ruang yang lebih lapang bagi otak kanan ini—ruang bagi kreativitas dan imajinasi. Musik instrumental dan spidol warna-warni mungkin hanya semacam balatentara yang pasti membutuhkan panglima yang memberi arahan dan taktik strategis.
Namun, kalaupun belum ada panglima, musik dan spidol warna-warni harus terus berjalan. Karena jika kita terus membiarkan otak kanan terpenjara maka sebenarnya, meminjam kata-kata Tony Buzan, kita telah melawan cara kerja alamiah otak. Jika demikian adanya, kita tidak saja akan mengalami hambatan yang berkepanjangan dalam belajar, bahkan mungkin saja sisi dan nilai kemanusiaan kita tak akan melangkah sempurna.
Read More..
Label: Education, School Corner
Langganan:
Postingan (Atom)