Judul buku: How the World Works
Penulis: Noam Chomsky
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2015
Tebal: xii + 444 halaman
Kalau ditanya tentang siapa sekarang penguasa dunia, orang akan mudah menjawab: Amerika. Supremasi Amerika atas negara-negara lain begitu mudah dibaca. Negara yang penduduknya hanya 5% dari total populasi dunia itu mengonsumsi 40% sumber daya bumi. Selain itu, saat ini Amerika punya 700 pangkalan militer di luar negeri.
Meski buku buah gagasan Noam Chomsky ini dari segi judulnya tampak bermaksud untuk membahas tatanan-kerja dunia saat ini, sesuatu yang mungkin terkesan bersifat umum, tak pelak Chomsky nyatanya sedang fokus menelanjangi Amerika. Profesor linguistik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini menyatakan bahwa Amerika “muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global pertama dalam sejarah.” Sejak itulah, Amerika merancang sejumlah kebijakan politik luar negeri pada khususnya yang dimaksudkan untuk mempertahankan supremasinya itu.
Chomsky mengungkap dokumen racikan George Kennan, kepala staf perencanaan Departemen Luar Negeri Amerika yang memegang kendali hingga tahun 1950. Di situ disebutkan dengan jelas bahwa Amerika menaruh perhatian yang besar untuk mempertahankan pola hubungan yang menguntungkan mereka, yakni disparitas yang membuat mereka menguasai sekitar separoh kekayaan dunia. Untuk tujuan itu, Amerika tak segan menyebut ide-ide tentang demokrasi dan hak asasi manusia sebagai penghambat.
Strategi dan contoh diungkap Chomsky dalam buku ini dengan terang benderang. Amerika, jelas Chomsky, telah menyiapkan desain setelah Perang Dunia II yang memetakan negara-negara di seluruh dunia untuk mendukung supremasinya. Jerman dan Jepang, misalnya, yang telah berperan penting dalam Perang Dunia II, akan bekerja di bawah pengawasan Amerika. Sementara itu, negara dunia ketiga akan menjadi sumber utama bahan mentah dan sekaligus pasar.
Ancaman utama tatanan dunia baru di bawah pimpinan Amerika adalah nasionalisme. Pemerintahan nasional bekerja untuk memenuhi dan meningkatkan mutu kehidupan warganya sehingga dapat bertentangan dengan kepentingan investasi Amerika. Di antara strategi dasar Amerika untuk mengatasi hal ini adalah aliansi dengan militer dalam negeri. Atau juga dengan jaringan mafia. Jika tidak berhasil, kekuatan militer Amerika tak segan untuk langsung masuk ke dalam.
Ini dapat kita saksikan pada kasus intervensi Amerika dalam Perang Vietnam. Dari kasus ini pula, kita bisa melihat bahwa dalam kerangka pandang Amerika, tak ada wilayah yang dapat disepelekan. Poin utamanya bukan seberapa besar kekuatan perlawanan itu, tapi jangan sampai penolakan terhadap fungsi penyuplai dan fungsi pasar ala Amerika dapat menginspirasi bangsa-bangsa lain untuk melakukan gerakan perlawanan serupa.
Salah satu perhatian utama Chomsky, yang juga menulis karya berjudul Manufacturing Consent (1988), atas tatanan dunia baru Amerika ini berkaitan dengan masalah propaganda. Istilah ini menggambarkan bagaimana kesadaran masyarakat dirancang, diarahkan, dan dikendalikan sedemikian rupa sehingga dapat tunduk dan takluk menurut kehendak si perancang.
Untuk kepentingan propaganda ini, dibuatlah pemaknaan-pemaknaan baru atas konsep-konsep kunci yang penting, seperti istilah globalisasi ekonomi, demokrasi, komunisme, terorisme, proses perdamaian, dan sebagainya. Globalisasi ekonomi misalnya adalah penghalusan istilah untuk menggambarkan ekspor pekerjaan ke wilayah-wilayah dengan tingkat penindasan tinggi dan sistem pengupahan yang rendah.
Istilah komunisme dan terorisme dirancang dan dilekatkan pada kelompok-kelompok yang mengganggu misi kapitalisme Amerika dan perusahaan-perusahaan transnasional. Gerakan berbasis rakyat akan digiring ke dalam stigma negatif komunisme. Lalu, ketika komunisme Soviet mulai melemah, istilah terorisme internasional mulai diperkenalkan. Melalui propaganda, istilah “terorisme” dirancang untuk merujuk pada aksi politik kaum oposisi/marginal di luar mainstream politik dunia yang menentang kebijakan dan kepentingan politik Amerika bersama korporasi yang berada di belakangnya.
Gagasan-gagasan Chomsky dalam buku ini yang sebagian besar tersaji dalam bentuk wawancara memang kebanyakan berasal dari dekade 1990-an. Namun, jika pembaca mencermati gagasan dan contoh yang dipaparkan dengan baik, kita akan menemukan bahwa analisis Chomsky masih sangat aktual. Analisisnya bahkan mungkin jauh lebih mendalam daripada ulasan pengamat politik saat ini.
Walhasil, uraian bernas Chomsky dalam buku ini membawa kabar buruk bagi kita bahwa tatanan dunia saat ini tidaklah setara dan jauh dari prinsip keadilan. Demokrasi dan nilai kemanusiaan lebih sering tampil sebagai retorika.
Tapi Chomsky tak berhenti di situ. Ia juga mengulas bagaimana perubahan dimungkinkan. Dalam hal ini, Chomsky mengritik kaum elite yang cenderung suka mencari jawaban ajaib atas krisis demokrasi yang dihadapi. Bagi Chomsky, tak ada jawaban ajaib yang bersifat instan. Jawabannya harus diperoleh secara spesifik di lapangan dengan landasan dedikasi yang penuh oleh mereka yang mau terlibat. Kecenderungan terkini, orang-orang dijauhkan dari keinginan untuk terlibat pada proses-proses perubahan yang memang menuntut militansi tinggi. Tambahan lagi, orang-orang dilupakan untuk merevitalisasi sumber daya kultural yang dimiliki.
Selain itu, Chomsky juga mengritik gerakan-gerakan perubahan yang sifatnya sporadis dan tak memiliki agenda jangka panjang yang jelas setelah reformasi terjadi. Bagian ini tampak sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia. Tujuh belas tahun reformasi, masyarakat Indonesia tampak masih terombang-ambing dan tak menemukan arah.
Dalam arus perubahan politik di Indonesia yang kian intensif, buku ini penting dibaca karena sekaligus memberi kerangka pandang situasi global secara tajam (yakni supremasi Amerika dan hegemoni korporasi) dan juga dapat memberi inspirasi untuk hal-hal yang lebih spesifik dalam proses perubahan Indonesia menuju ke tatanan yang lebih baik.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 26 April 2015.
Minggu, 26 April 2015
Chomsky Menelanjangi Amerika
Kamis, 09 April 2015
Pesan Moral Nabi dalam Ilustrasi
Judul buku: 40 Sabda Nabi 40 Ilustrasi
Penulis: Hasan Aycin
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 86 halaman
Pikiran manusia bekerja secara visual. Menghadapi deretan abjad yang berbaris, pikiran akan mengubah huruf-huruf tersebut menjadi gambar. Karena itu, dalam ilmu pendidikan mutakhir, ilustrasi mendapatkan tempat yang istimewa untuk membantu anak-anak agar lebih mudah menyerap butir-butir pengetahuan. Ilustrasi tidak sekadar dilihat sebagai pelengkap teks yang menarasikan sesuatu. Ilustrasi diperlakukan sebagai salah satu kunci penting tertanamnya pemahaman pada diri seseorang.
Buku tipis ini memuat 40 hadis nabi terpilih yang masing-masing dilengkapi dengan ilustrasi. Di satu sisi, buku ini melanjutkan tradisi baik para ulama untuk menghimpun 40 hadis terpilih dalam satu buku. Dalam khazanah klasik, kita mengenal kitab al-‘Arba‘in al-Nawawiyyah karya Imam Nawawi (ulama abad ke-7 H) yang memuat 40 hadis pilihan yang hingga kini terus dibaca oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Dari segi tema, hadis-hadis yang terhimpun dalam buku ini mengangkat tema dorongan untuk meningkatkan kesalehan kepada Allah dan anjuran untuk meningkatkan hubungan baik dengan sesama makhluk. Dengan kata lain, bisa disebut buku ini memuat pesan-pesan moral dalam bergaul dengan Sang Khalik (hablunminallah) sekaligus juga dengan makhluk (hablunminannas).
Dua tema besar tersebut tentu saja merupakan tema abadi dalam narasi keagamaan maupun kemanusiaan sehingga tampak jelas nilai aktual dan relevansi pesan-pesan hadis yang termuat dalam buku ini. Hadis yang keenam belas dalam buku yang disusun oleh Hasan Aycin ini, misalnya, menuturkan pesan yang sangat tepat dalam konteks era informasi saat ini. Hadis tersebut dalam bahasa Indonesia diterjemahkan: “Cukuplah berdosa seseorang jika ia menceritakan apa saja yang didengarnya (kepada orang lain).”
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Orang yang langsung meneruskan informasi yang dia terima bisa saja akan tercatat sebagai orang yang berbuat dosa. Hadis ini menegaskan pentingnya konfirmasi dan verifikasi informasi, baik dari segi isi maupun pembawa berita. Saat banjir informasi begitu mudah tersebar secara viral melalui media internet, seseorang kadang tak sadar bahwa membagi informasi yang belum diperiksa kebenarannya akan mengantarkannya pada status sebagai “penjaja dusta”.
Ilustrasi yang melengkapi hadis ini juga menarik. Tampak sosok orang setengah badan menghadap ke kiri, kepalanya terlihat plontos, bajunya cukup rapi. Lalu di telinganya ada puluhan panah kecil yang masuk yang kemudian diteruskan keluar ke mulutnya yang sedikit menganga.
Akhlak bergaul dengan orang lain juga menjadi tema yang ditampilkan dalam beberapa hadis pilihan di buku ini—selain dari hadis di atas. Ada hadis yang mengingatkan agar kita berhati-hati dengan prasangka. Ada pula hadis yang menegaskan bahwa seorang muslim wajib menjaga lisannya agar jangan sampai menyakiti orang lain. Demikian juga, ada hadis yang mengingatkan bahwa lebih baik diam jika apa yang terlontar dari mulut kita bukanlah kata-kata yang baik atau menebar kebaikan.
Dorongan untuk berperilaku sopan juga dituturkan dalam beberapa hadis dalam buku ini. Ada hadis yang menyatakan bahwa memperlihatkan wajah yang berseri di hadapan orang lain juga akan dihitung sebagai sedekah. Juga ada hadis yang mengingatkan kita untuk juga menghormati orang lain, bahkan kepada anak kecil.
Akhlak yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan kemasyarakatan juga dapat kita temukan dalam buku ini. Ada hadis yang menyatakan bahwa seseorang yang baik adalah yang makan dari hasil kerja tangannya. Ilustrasi untuk hadis ini menggambarkan lukisan abstrak seperti pohon dengan akar dan ranting yang bentuk pokoknya seperti tangan dengan jari-jari yang mengembang. Dari tiap jemari itu muncul ranting-ranting kecil yang ditumbuhi daun. Ilustrasi ini seperti hendak menegaskan nilai keberkahan dari hasil jerih payah seseorang.
Dorongan untuk hidup mandiri secara ekonomi ini juga ada dalam hadis yang lain yang menegaskan bahwa “tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.”
Sedangkan tentang peribadatan kepada Allah, buku ini menyebutkan hadis tentang keutamaan shalat yang tepat waktu yang disebutkan sebagai amal yang paling disukai Allah. Nabi juga menegaskan bahwa shalat adalah mikrajnya orang mukmin. Dalam shalat, seorang mukmin berjumpa dengan Tuhan. Di situlah keintiman spiritualitas seseorang dirajut.
Hadis-hadis yang pendek dan sederhana yang termuat dalam buku ini dipilih dari sumber-sumber terkemuka, seperti dari riwayat-riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasai, dan sebagainya. Selain muatan pesan yang mudah ditangkap karena dukungan ilustrasi yang tak kalah menarik, tiap hadis dalam buku ini juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran tersendiri bagi pelajar.
Melalui himpunan hadis-hadis dalam buku ini, pesan-pesan moral Nabi Muhammad saw yang agung terpancar kembali untuk para pembaca di abad yang semakin membutuhkan bimbingan spiritual-keagamaan ini.
Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 9 April 2015.