Judul buku: Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan
Penulis: Maria Ulfah Anshor
Pengantar: Prof. Dr. Saparinah Sadli dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA
Penerbit: Penerbit Buku Kompas bekerja sama dengan PP Fatayat NU dan Ford Foundation
Cetakan: Pertama, September 2006
Tebal: xxx + 200 halaman
Dalam konstruksi budaya patriarki, salah satu bentuk subordinasi yang dialami perempuan adalah terpinggirkannya suara perempuan dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan dirinya. Dalam hal pernikahan, misalnya, seringkali perempuan memiliki otonomi atau kebebasan yang sangat terbatas—untuk tidak mengatakan tidak ada—untuk menentukan dengan siapa atau kapan dia akan menikah (termasuk juga untuk tidak menikah). Minimnya otonomi perempuan ini juga terjadi dalam persoalan yang menyangkut hak reproduksi, seperti dalam soal aborsi.
Diskusi yang berlangsung tentang masalah aborsi pada khususnya dan hak reproduksi pada umumnya cenderung memperlakukan perempuan sebagai pengamat luar atau penonton pasif. Padahal, dalam soal tersebut perempuan sangat berkepentingan untuk ikut menyuarakan pendapatnya karena memang menyangkut persoalan dirinya sendiri (baca: tubuh perempuan). Dengan situasi demikian, arah diskusi yang berkembang cenderung miskin perspektif perempuan, yakni mengabaikan dan tak memihak pada kepentingan perempuan.
Buku yang semula merupakan tesis di Program Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia tahun 2004 ini mencoba menelaah lebih jauh pandangan normatif Islam tentang aborsi (fikih aborsi). Yang menjadi titik masalah bagi Maria Ulfah Anshor, penulis buku ini, adalah bahwa fikih aborsi yang dipahami kebanyakan masyarakat tak memiliki relevansi dan tak mampu menyelesaikan problem sosial yang sebenarnya terdapat di balik praktik aborsi tersebut.
Sebagaimana umum diketahui, beberapa lembaga keagamaan di tanah air, seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU, memfatwakan bahwa aborsi itu haram. Demikian pula, hukum positif negara (KUHP) memandangnya sebagai suatu tindak pidana. Meski demikian, dalam beberapa penelitian terungkap bahwa di Indonesia setiap tahun terjadi sekitar dua juta praktik aborsi. Relevan dengan hal ini, dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI pada tahun 1995 terungkap bahwa angka kematian ibu mencapai 373 per 100.000 kelahiran hidup. Ironisnya, angka kematian ibu tersebut dari tahun ke tahun hingga sekarang justru menunjukkan gejala peningkatan. Dari angka tersebut, kematian akibat aborsi karena pendarahan berjumlah 46,7 persen. Bahkan WHO memperkirakan bahwa 10 hingga 50 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi.
Data ini menunjukkan bahwa di tengah pandangan hukum agama dan hukum positif yang melarang praktik aborsi terdapat fakta paradoksal yang mengenaskan, yakni terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan yang bahkan berujung pada kematian. Kesehatan reproduksi perempuan, yang oleh WHO didefinisikan sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial yang baik secara menyeluruh yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, tidak terjamin pemenuhannya dalam praktik sehari-hari.
Kukuhnya pandangan keagamaan—juga hukum positif—dalam melarang aborsi tanpa memerhatikan fakta terlantarnya pemenuhan hak reproduksi perempuan juga sangat terkait dengan anggapan keliru yang selama ini berkembang di masyarakat, yakni bahwa praktik aborsi identik dengan seks bebas. Diyakini bahwa mereka yang mempraktikkan aborsi adalah orang-orang yang kehidupan seksualnya tak taat pada norma moral masyarakat. Sekali lagi, asumsi keliru yang telah tertancap kuat dalam benak masyarakat ini sebenarnya terbantahkan oleh beberapa penelitian yang pernah dilakukan. Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan pada tahun 2003 misalnya menyebutkan bahwa 87 persen praktik aborsi dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah. Alasan dilakukannya aborsi atas kehamilan yang tak diinginkan itu pun cukup beragam. Dalam penelitian Ninuk Widyantoro (Yayasan Kesehatan Perempuan) terungkap bahwa 58 persen aborsi dilakukan karena alasan psikososial (jumlah anak sudah cukup, dan semacamnya), 36 persen karena gagal KB, 4 persen karena indikasi kesehatan, 0,1 persen karena kekerasan, dan 2 persen sebab lainnya. Sementara juga terungkap bahwa aborsi rata-rata dilakukan pada usia kehamilan 7 minggu, atau 96 persen pada usia kehamilan di bawah 12 minggu.
Atas sejumlah fakta tersebut, Maria dalam buku ini kemudian menelaah pandangan normatif Islam tentang aborsi yang terdapat dalam khazanah klasik, yakni dalam tradisi fikih. Hasil telaah Maria ini mengungkapkan bahwa sebenarnya dalam pandangan ulama fikih mazhab Hanafi, Hanbali, Syafi’ie, dan Maliki, praktik aborsi yang dilakukan sebelum usia kehamilan genap berusia 120 hari tidak selalu dipandang haram—artinya, banyak yang memperbolehkan. Imam Nawawi yang termasuk mazhab Syafi’ie misalnya baru menghukumi haram atas praktik aborsi jika dilakukan saat embrio sudah menjadi mudghah atau sudah memiliki bentuk wajah, yakni sudah memiliki mata, telinga, tangan, dan yang lainnya (atau sekitar usia kehamilan 8 minggu).
Karena itu, Maria secara tegas menuntut agar fatwa pengharaman aborsi oleh beberapa lembaga keagamaan di Indonesia harus ditinjau ulang, agar kesenjangan antara ketentuan agama (fikih) dan realitas di lapangan tentang aborsi dapat diatasi. Signifikansi peninjauan ulang fatwa-fatwa tersebut menjadi lebih jelas jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa lembaga negara pembuat kebijakan atau undang-undang yang berkaitan dengan masalah hak reproduksi perempuan selalu berkilah bahwa agama (yakni ulama) melarang praktik aborsi.
Secara khusus dalam buku ini Maria menjelaskan dengan cukup terperinci argumen normatif keagamaan para ulama yang memperbolehkan aborsi—termasuk juga batas dan syarat-syaratnya. Akhirnya, Maria menyimpulkan rumusan fikih aborsi alternatif yang diusulkannya itu dengan ketentuan bahwa aborsi sebagai pilihan terakhir bagi perempuan yang situasi dan kondisi fisik dan psikisnya tak memungkinkan untuk melanjutkan kehamilannya dapat dilakukan sebelum usia kehamilan melewati 8 minggu atau janin berusia 6 minggu. Batas waktu itu dibuat atas dasar penjelasan normatif bahwa roh baru ditiupkan saat janin berusia 42 hari.
Fikih aborsi alternatif yang diajukan Maria ini bukan dimaksudkan untuk melegalkan praktik aborsi, melainkan untuk memberikan penekanan pada pentingnya pelayanan kesehatan yang komprehensif untuk mencegah kematian, terutama yang dialami para ibu akibat tindakan penghentian kehamilan tidak diinginkan yang tidak aman. Dengan cara ini, fikih diharapkan tidak hanya hidup mengawang-awang di antara praktik keberagamaan masyarakat, tetapi dapat menjadi semacam etika sosial yang dapat memberikan solusi hukum berkaitan dengan masalah konkret sehari-hari. Dalam hal ini, fikih aborsi alternatif diharapkan dapat memperkuat terjaminnya pemenuhan hak reproduksi perempuan. Tegasnya, fikih aborsi alternatif ini dihadirkan agar dapat mendorong kepedulian semua pihak terkait—suami, ulama, pemerintah, dokter atau bidan, dan masyarakat luas pada umumnya—untuk mendukung terpenuhinya penguatan hak reproduksi perempuan.
Kajian yang ditulis oleh aktivis Fatayat NU ini bernilai cukup penting untuk mendukung perluasan peningkatan kesadaran masyarakat akan hak-hak reproduksi perempuan. Pada titik akhir, pemenuhan hak reproduksi perempuan berarti upaya untuk mengembalikan otonomi perempuan untuk membuat keputusan menyangkut tubuhnya sendiri. Di tengah diskusi hangat tentang masalah dilema etis praktik aborsi di tanah air, buku ini menyajikan secara lebih jelas apa yang disebut dengan perspektif perempuan dalam masalah aborsi (atau kehamilan yang tak diinginkan), yakni pola berpikir dalam mencermati persoalan dengan mempertimbangkan dan atau memihak pada kepentingan kaum perempuan.
Kajian Maria tentang aborsi dalam buku ini cenderung lebih difokuskan pada perspektif normatif Islam atau fikih, dengan mencoba mengembangkan tawaran untuk beranjak dari pola pikir bermazhab secara tekstual (madzhab qawlî) menuju bermazhab secara metodologis (madzhab manhajî). Pilihan Maria untuk bertolak dari sisi normatif Islam ini sepertinya didasarkan atas kesadaran bahwa variabel agama masih menjadi faktor penentu yang cukup signifikan untuk lebih mendorong terpenuhinya hak reproduksi perempuan.
Dalam menganalisis masalah ini, Maria juga menganalisis beberapa faktor yang lain, seperti ketentuan undang-undangan produk negara (KUHP dan Undang-Undang Kesehatan) dan kenyataan sosiologis di lapangan. Untuk yang terakhir ini, Maria melakukan wawancara dengan beberapa pelaku aborsi di sejumlah klinik di Jakarta. Pada titik inilah pembaca mungkin akan melihat kajian Maria dalam buku ini terasa kurang terfokus. Secara metodologis kajian aborsi yang dilakukan buku ini seperti hendak mencoba merangkum tiga pendekatan sekaligus, yakni dari sisi normatif Islam, legislasi negara, dan pendekatan sosiologis. Hasilnya, ketiga pendekatan tersebut ditelaah relatif secara cukup umum saja. Dengan kata lain, buku yang terdiri dari lima bab dengan tebal 200 halaman ini menganalisis masalah aborsi dengan ketiga pendekatan tersebut dengan tidak cukup mendalam dan tajam. Jika ditelaah lebih cermat, kecenderungan dan arah kerangka analisis yang dikembangkan kajian ini adalah bahwa fikih aborsi alternatif yang dirumuskan atas dasar pandangan normatif Islam dijadikan sebagai landasan untuk merekomendasikan upaya penguatan hak reproduksi perempuan yang harus diupayakan baik oleh negara maupun masyarakat. Jadi, aspek normatif ditempatkan sebagai basis argumen untuk target yang lebih bersifat sosiologis.
Digunakannya ketiga pendekatan ini sekaligus dalam kajian ini pada titik yang lain mengisyaratkan bahwa persoalan aborsi memang merupakan masalah yang cukup kompleks dan melibatkan banyak pihak, termasuk juga dari bidang ilmu kedokteran, sehingga penyelesaiannya menuntut kepedulian semua pihak yang terkait itu. Yang penting digarisbawahi, perempuan harus benar-benar diposisikan sebagai subjek dalam persoalan ini. Dengan kata lain, suara perempuan harus didengar.
Salah satu kekurangan buku ini terletak pada gaya bertutur Maria yang kurang bernas dalam menyampaikan gagasan. Dalam buku ini cukup banyak ditemukan struktur kalimat yang sulit dicerna, sehingga dalam batas tertentu membuat analisis atau data menarik yang dipaparkan Maria menjadi kurang jelas.
Terlepas dari hal itu, buku ini tetap merupakan kontribusi pemikiran yang cukup bermakna bagi peningkatan kesadaran dan penguatan hak reproduksi perempuan di Indonesia. Dengan mengangkat kasus aborsi, buku ini mampu berbicara cukup banyak hal: tentang subordinasi perempuan, perlakuan terhadap perempuan sebagai objek seksual, eksistensi perempuan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex), dan termasuk pula tergerusnya otonomi perempuan dalam memaknai tubuhnya. Semua itu menyadarkan kita akan satu hal penting: bahwa perjuangan bersama untuk menempatkan perempuan dalam keutuhan kemanusiaannya masih membutuhkan kerja keras dari semua pihak.