Dik, kemarin sore aku bertamu ke Bukit Pusara. Sebelum berangkat, aku ingin sekali mengajakmu. Tapi kau sedang sibuk, sehingga aku mengurungkan niatku, membiarkanmu lanjutkan kesibukan. Selain mengajakmu, sebenarnya aku juga ingin sedikit berbincang tentang apa yang terlintas di pikiranku, tentang kenapa tiba-tiba aku ingin sekali datang ke Bukit Pusara. Tak apalah. Mungkin ada waktu lain yang cukup tepat untuk membicarakan soal ini.
Rasanya lama aku tak ke sana. Mumpung awal puasa, kukira ini dapat meneguhkan niatku yang tak kunjung menemukan waktu luang. Aku tiba di Bukit Pusara agak awal. Sisa-sisa matahari yang begitu terik kemarin masih cukup terasa. Untung saja ada sedikit tempat teduh, di balik rimbun dedaun jati di sebelah pintu masuk. Suasana cukup sepi. Tak ada siapa-siapa. Beberapa daun kering berserakan. Di kejauhan, melalui pintu masuk di arah barat, terlihat seorang ibu tua tengah mencari rumput di antara pematang tegalan di antara sisa-sisa daun tembakau yang selesai dipanen. Aku mencoba menyimak suara alam sekitar yang melantun seperti tanpa ketukan ritmis, tapi terasa penuh harmoni—dedaunan yang berbisik digoyang angin senja, lenguh sapi dan kokok ayam di kejauhan yang sesekali terdengar, deru pita layang-layang besar di kejauhan.
Dik, di manakah kau kemarin sore, saat aku mengamati semua itu? Apakah kau sudah cukup lepas dari beban kesibukan Kota, dan sedikit rileks bersama keluarga? Apakah kau juga bisa merasakan pancaran nuansa makna Bukit Pusara? Dik, adakah Kota telah cukup sering membawamu ke dunianya, yang setiap hari bergegas dalam ritme kesibukan, menggadaikan mimpi-mimpi sederhana dari masa kecil, menukarnya dengan gemerlap instan, dan membuatmu lupa untuk sesekali berkunjung ke Bukit Pusara, mendengarkan pesan-pesan ayah yang tak sempat ia sampaikan?
Semakin dalam aku berusaha mencermati suasana di sini, semakin pertanyaan ini lekat di pikiranku. Dik, aku tahu kau telah cukup dewasa dan bijak untuk sekadar memaknai kefanaan ini. Pengalaman hidupmu juga sudah amat kaya dan penuh warna—aku ingat, kau pernah bercerita tentang keberuntungan yang sering kau dapat, di antara kesulitan dan beban yang kau hadapi. Tapi kadang aku masih agak khawatir. Bukan tentang dirimu saja. Aku pun cukup sering alpa tentang itu semua.
Dalam dunia saat ini, nyaris tak ada tempat yang leluasa untuk menyimpan kesadaran macam itu. Semuanya didesak ke pinggiran, untuk dilupakan. Bukit Pusara itu sementara seperti menjadi tempat yang begitu tepat untuk merayakan kesementaraan, menyimak turunan arti penuh kebijakan yang terpancar di antara harapan suci orang-orang yang terbaring tenang di sana. Saat Kota berlari kencang mengejar tenggat dengan sirine yang tak henti meraung, Bukit Pusara berbicara dengan bahasa yang berbeda, tentang ruang semesta yang seperti tak berhingga dan rentang hidup yang begitu singkat, tentang peran sederhana seorang manusia untuk melanjutkan cita-cita agung Peradaban Manusia yang terus berusaha menyempurnakan dirinya, tentang percakapan seorang bocah dengan ayahnya yang bercerita tentang para leluhurnya, tentang debu dan tanah yang akan menjadi rumah siapa pun kelak.
Dik, saat matahari semakin menurun mendekati ufuk, kemarin sore aku meninggalkan Bukit Pusara dengan sekian harapan, sambil ingin menjadikan ini sebagai sebuah momentum. Aku sudah sering kehilangan momentum untuk memperbaiki diri. Aku pikir aku tak boleh berulang kali kehilangan momentum. Mungkin sebenarnya kita memang perlu terus memperbarui kesadaran macam itu, dengan kunjungan sederhana seperti kemarin sore itu.
Saat aku melangkah meninggalkan Bukit Pusara itu, di antara pepohonan yang meranggas, selembar daun jati terjatuh pelan ditiup angin. Saat hampir tiba di tanah, tampak beberapa semut seperti turut meluncur ikut terjun, menitipkan takdirnya di atas daun yang meninggalkan sisa daun lainnya yang tengah menunggu giliran untuk ikut menyatu dengan tanah.
Minggu, 24 September 2006
Senja Bukit Pusara
Label: Journey
Sabtu, 16 September 2006
Beban Cinta
Andai jodoh itu bukan rahasia Tuhan, apakah itu akan membuatnya lebih sederhana dan tak cukup memusingkan?
Yulis, tidakkah kau pernah berpikir, bahwa pada titik tertentu, dari sisi pandang tertentu, cinta itu dapat serupa beban yang harus ditanggung oleh mereka yang mengalaminya? Cinta memuat sejumlah daftar keharusan, yang mesti berada dalam bingkai ketulusan, berujung pada satu tujuan, agar mereka yang mengalaminya dapat mempersembahkan apa pun yang terbaik untuk semuanya, agar masing-masing dapat merasakan bahwa ada hal baru yang mencerahkan dalam jalinan hubungan mereka. Tapi cinta dapat saja serupa beban, bila apa pun yang harus dipersembahkan berwujud hal-hal yang berat, dan akhirnya seperti tak mampu terbayar.
Yulis, entah kenapa aku tiba-tiba berpikiran seperti ini. Kau tahu, aku pernah menanggung beban cinta yang lain, ketika semua keinginan dan niat yang telah begitu teguh terhadang oleh hal yang sama sekali tak bisa kuantisipasi; dan akhirnya, cinta yang terhimpun itu terhimpit dan terbendung, tak menemukan ruang untuk mengalir, dengan daya energi yang meletup semakin tak terkendali—untuk kemudian mewujud menjadi beban yang lain. (Aku tahu, kau tak akan suka jika aku masih berpanjang-panjang di alinea ini!).
Tapi beban cinta yang kini ada di pikiranku lain halnya. Beban cinta yang kumaksud adalah sejumlah kekhawatiran, tepatnya rasa cemas, yang mungkin dilanda seseorang saat ia berada di titik paling awal, ketika ia harus membuat keputusan bahwa ia akan bersiap untuk meneguhkan dan menetapkan rasa cintanya di suatu pelabuhan hati. Membuat keputusan cinta akan menjadi beban ketika ia tahu bahwa kelak ia akan sangat mungkin menghadapi hal-hal berat yang bersifat laten yang harus ditanggungnya; bahwa ia akan kesulitan mewujudkan impian, harapan, dan obsesi kekasihnya; bahwa rumah yang akan dihuninya masih centang-perenang oleh bermacam persoalan; bahwa orang-orang mungkin akan menatap aneh, kadang mencemooh, pada bahtera yang mereka tumpangi; bahwa ia seperti tak berada di jalur yang betul-betul sama dengan kekasihnya.
Apa aku terlalu tergesa membuat kesimpulan? Apakah alur pikiran semacam ini tak semestinya dihadirkan, untuk mula sebuah cinta yang menjanjikan banyak hal? Yulis, sebenarnya aku sendiri masih cukup bingung, apakah kekhawatiran di titik paling awal semacam ini cukup beralasan untuk suatu hal bertajuk cinta, yang kuyakini cukup mampu untuk meluluhkan berbagai dilema dan hambatan, serta cukup mampu untuk membangun rasa saling pengertian dan rasa permakluman. Mungkin saja kekhawatiranku ini terlalu berlebihan, atau malah mungkin menjadi cerminan dari sisa beban trauma dari masa silam. Mungkin saja beban cinta ini adalah wujud lain dari kompleks inferioritas yang menguasai pikiran, di tengah bayang-bayang perfeksi ideal yang berusaha diwujudkan!
Aku rasa kau tak akan suka jika aku terus mengotak-atik pikiran yang mungkin hanya omong kosong ini. Kau pasti akan bilang, apa yang kupikirkan ini hanya akan menambah pusing saja! Namun begitu, jika kau bilang bahwa kau sudah cukup pusing dan sudah cukup lelah dengan semuanya, aku juga ingin mengatakan bahwa aku pun merasa demikian. Sementara ini kuputuskan bahwa aku tak ingin dulu berpikir masalah ini, memilih itikaf saja, mengambil jeda, mengambil jarak, atau mungkin langkah mundur, untuk menemukan ruang pandang yang cukup baru dan berbeda, yang siapa tahu cukup berdaya guna dan menyegarkan.
Tapi entah mengapa pikiran tentang beban cinta ini muncul begitu rupa, menghadirkan rasa cemas yang seperti hendak mengantisipasi segala mimpi buruk yang mungkin datang. Dan tahukah kau, Yulis, bahwa jika pikiran-pikiran macam ini muncul, aku memang cukup mudah untuk terus menelusurinya hingga batas yang mampu kutempuh, hingga aku kembali ke tingkat kerumitan-teoretis yang sungguh memusingkan, bahkan meski tanpa rujukan-rujukan peristiwa yang jelas?
Tapi Yulis, syukurlah, bahwa aku masih bisa menemukan hal-hal yang dapat melegakan. Aku percaya bahwa dalam rahasia takdir cinta, dengan segala perih, kerumitan dan keindahannya, tersimpan banyak rahasia lain yang bisa jadi menyimpan keberuntungan buat kita yang menanti untuk ditemukan. Tinggal seberapa sabar dan seberapa jernih kita menghadapinya, dan akhirnya menemukannya. Kupikir, kita semua tengah mencari rahasia dan keberuntungan itu, tanpa sekarang harus tahu, dengan cara apa, di mana, dan dengan siapa kelak kita akan menuntaskannya.
Label: Diary