Senin, 19 Agustus 2002

Indahnya Jalan Para Ilmuwan


Al-ilm nûr, ilmu adalah cahaya. Demikian sebuah ungkapan menyatakan. Tapi kini, ungkapan semacam ini sudah tidak memiliki pamor lagi. Orang lebih terpesona pada gemerlap kehidupan dunia, dan dalam konteks ini, orang lebih terpikat kepada stabilitas pemikiran-yang-stagnan. Ada segudang alasan tentang mengapa orang-orang tidak tertarik pada cahaya pengetahuan. Ada yang beranggapan bahwa pemikiran dan pengetahuan (teoritis) itu tidak memiliki kegunaan dalam hidup keseharian. Ada yang karena tidak sudi dengan karakter berpikir yang selalu menelorkan sikap “subversif”. Ada juga yang karena tertular penyakit malas menyusuri alur pemikiran, lalu menyerahkan semuanya kepada “para perompak akal”.

Buku ini adalah saksi keprihatinan atas akal majal yang kini melanda berbagai komunitas muslim di penjuru dunia. Penghargaan terhadap pengetahuan dan jalan terjal yang dilaluinya tak tampak mengemuka. Bahkan banyak yang lantas sudi menghamba kepada dogmatisme atau solipsisme. Untuk itulah, esai-esai dalam buku ini ditulis demi menyegarkan kembali pikiran umat Islam tentang etos dan penghargaan Islam terhadap ilmu serta kekayaan khazanah keilmuan yang dimilikinya di masa lalu. Penuturan yang dilakukan Dr. Khaled M. Abou El Fadl, penulis buku ini, terbilang unik. Dia seakan-akan melakukan suatu dialog imajiner dengan buku-buku Islam klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu, seolah dia berada dalam suatu Konferensi Buku Islam. Konferensi itu sendiri terselenggara untuk menelaah kondisi umat Islam kontemporer yang terpangkas dari tradisi intelektual mereka.

Penggunaan simbol “buku” di sini terlihat betul-betul mewakili lambang kecermatan berpikir. Dengan buku orang akan lebih leluasa melakukan analisis logis-kritis terhadap setiap gagasan yang dipasarkan ke publik. Dengan buku orang dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran yang lebih maju dan kompleks. Dengan buku pula, peradaban-peradaban menyongsong perhelatan kemajuan.

Peradaban Islam sendiri sebetulnya juga berkembang dari sebuah teks (buku) suci, yakni Alquran. Dan semua orang tahu betapa dari satu teks suci itu, lahir lembaran-lembaran teks yang lain. Sejarah juga telah menunjukkan bagaimana etos keilmuan dalam Islam begitu dijunjung tinggi. Sejarah menuturkan bahwa beberapa ilmuwan Islam klasik harus rela menjadi sasaran despotisme rezim, diasingkan, dikenai tuduhan plagiarisme, dikhianati oleh murid-muridnya sendiri, bahkan mendekam di penjara, demi mempertahankan komitmen dan kesetiaan mereka terhadap kebenaran yang mereka peroleh dengan gigih itu.

Berseberangan dengan gambaran ini, beberapa komunitas umat Islam saat ini justru tenggelam dalam lautan dogma, sikap apologetis, atau kemalasan. Pemikiran jernih dan tertata, yang memiliki silsilah argumentasi dan bertanggung jawab, gagasan dengan landasan yang tulus, sudah cukup sulit dijumpai lahir dari komunitas muslim. Sebagiannya lagi lebih suka mempermegah bangunan-bangunan ketimbang memugar pikiran mereka yang pejal, atau memeriahkan euforia politik dengan bendera partai-partai, kongres, atau kampanye yang hanya dipenuhi dengan janji-janji kosong. Memang pilihan langkah mereka semacam ini didasarkan pada harapan untuk menorehkan kembali tinta emas sejarah dengan memberi peran lebih besar terhadap Islam dalam ranah sosial. Memang impak sosial yang muncul dapat berupa semakin banyaknya forum untuk berekspresi, “berdialog”. Tapi, bila lebih dicermati, yang sering terjadi sebenarnya malah hanyalah monolog yang dilumuri indoktrinasi—dan, ironisnya, orang-orang masih saja menyebutnya dialog. Selain itu, mereka nyaris melupakan elemen penting dari setiap sejarah perubahan, bahwa partisipasi luas masyarakat yang didasari atas sikap kritis, kejernihan dan ketulusan berpikir, tidak kalah pentingnya untuk dikedepankan di antara jejal pemikiran yang tersumpal oleh nalar-nalar gombal.

Esai-esai segar dalam buku ini tidak saja menyajikan sejarah heroik para ilmuwan Islam, tapi juga mengingatkan kita bersama tentang beberapa segi dari seni bernalar yang nyaris tak dipedulikan. Misalnya tentang bagaimana kita harus senantiasa sabar dan tekun dalam menyusun noda-noda ketidaktahuan kita tentang sesuatu hal, bagaimana akal dan hati saling bantu dalam menuntaskan kompleksitas persoalan, atau tentang bagaimana membaca suatu teks secara lebih kritis dan bervisi moral. Dalam beberapa bagian, penulis buku ini juga mengingatkan kita akan pentingnya seni berpikir dalam suatu atmosfer yang jernih, sistematis, terarah, dan tekun.

Melalui inilah, penulis buku ini berharap agar kemunduran Islam, terutama dalam hal penguasaan medan wacana pengetahuan di antara gugus peradaban dunia pemikiran saat ini, dapat terpulihkan. Sebagaimana ilmu adalah cahaya, maka cahaya yang mulai redup dalam komunitas muslim itu hendak dinyalakan kembali, melalui sebuah kilas-balik permenungan di antara lorong-cahaya-masa-lalu-yang-gemilang.

Kesimpulan yang didapat dari suatu proses berpikir memang kadang terlalu mengejutkan bagi sebagian orang. Tetapi itu sebenarnya tak lain adalah risiko yang mesti dihadapi dari suatu proses yang berlandaskan pada niat baik untuk menyelamatkan indahnya perhiasan-kemanusiaan-kita-yang-fitri—bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale). Memang jalan penyelamatan yang harus ditempuh pemikir atau ilmuwan itu penuh onak dan duri, tapi hakikat perjalanan itulah yang betul-betul mampu menganugerahkan kebahagiaan. Seringkali, kebahagiaan itu kita temukan di antara keringat, darah, dan air mata yang bercucuran bersama permata ketulusan.

Bersama esai-esai reflektif dalam buku ini, mari ulurkan tangan, jemput masa depan dalam pelukan cahaya terang pengetahuan. Mari bersama-sama merasakan, betapa indahnya jalan para ilmuwan! Wallahualam.

ketika aksara ternyata memendam kuasa
kenapa kita biarkan ia liar berkelana?

Agustus 2002


Tulisan ini adalah pengantar editor untuk buku Musyawarah Buku karya Khaled Abou El Fadl (Penerbit Serambi). Versi bahasa Inggris berjudul Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam.

Read More..

Minggu, 18 Agustus 2002

Kontra Wacana Islam Liberal

Judul buku : Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya
Penulis : Adian Husaini, M.A., dan Nuim Hidayat
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2002
Tebal : 234 halaman


Seperti kata Hegel, realitas memang tersusun dari proses dialektis. Begitu pula arus sebuah gagasan sering mengalami dialektika, terutama ketika berjumpa dengan realitas sosial tertentu. Kelahiran gagasan Islam Liberal di Indonesia terhitung sejak awal tahun lalu misalnya mula-mula dipicu oleh keprihatinan berkembangnya pemikiran keagamaan yang eksklusif dan tertutup sehingga diduga kuat menstimulasi lahirnya tindak kekerasan atas nama agama. Dari situ, hingga saat ini, pemikiran Islam Liberal di Indonesia lantas tersosialisasi begitu kuat dan menjadi suatu diskursus publik yang meriah.

Buku ini menarik terutama karena berusaha menghadirkan sebuah wacana tandingan terhadap berbagai agenda pemikiran yang diusung oleh kelompok pendukung Islam Liberal. Memang selama ini telah terjadi sejumlah diskusi publik di media massa dan forum-forum diskusi antara pendukung pemikiran Islam Liberal dan para penentangnya—termasuk yang juga melibatkan penulis buku ini. Tapi kehadiran buku ini memiliki nilai yang cukup signifikan karena secara lebih sistematis menyajikan sejumlah uraian dan argumen yang relatif komprehensif tentang berbagai pemikiran yang bersifat kontra Islam Liberal.

Penelusuran buku ini dimulai dari perspektif sejarah dalam konteks Indonesia. Menurut buku ini, benih-benih pemikiran Islam Liberal telah tersemai cukup lama di Indonesia. Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Prof. Dr. Harun Nasution yang terbit pada awal dekade 1970-an misalnya pada bagian tertentu menyajikan beberapa gagasan yang seirama dengan pemikiran Islam Liberal saat ini. Demikian pula Nurcholish Madjid, yang merintis Yayasan Paramadina dan berbagai lembaga di bawah binaannya, menjadi salah satu tonggak pemikiran Islam Liberal di Indonesia. Bahkan Greg Barton memasukkan nama Ahmad Wahib (meninggal tahun 1973), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid dalam kelompok pemikir Islam Liberal di Indonesia.

Perluasan dan sosialisasi wacana Islam Liberal ini belakangan didukung kuat oleh komunitas yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal yang menggunakan jejaring berbagai media untuk menyebarkan ide-idenya, mulai dari radio, koran, hingga milis di internet. Beberapa media massa yang aktif meluncurkan gagasan-gagasan Islam Liberal antara lain adalah Kompas, Republika, Jawa Pos, Koran Tempo, dan Majalah Tempo. Sejumlah buku yang menjelaskan gagasan Islam Liberal juga telah terbit dan dibaca luas oleh masyarakat Indonesia.

Ada tiga persoalan utama yang dibidik kedua penulis buku ini, yang merupakan agenda pemikiran kelompok Islam Liberal, yakni masalah teologi pluralis, penolakan terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia yang menurut penulis buku ini berujung pada pengebirian syariat Islam, dan upaya penghancuran terhadap apa yang oleh kalangan pendukung Islam Liberal disebut sebagai “Islam fundamentalis” atau “Islam militan”.

Maraknya tulisan-tulisan di media massa yang mengajak dikembangkannya teologi pluralis-inklusif yang banyak dimotori oleh kalangan intelektual muda menurut penulis buku ini secara tidak sadar telah berakibat pada penghancuran akidah Islam. Terjadi proses pengaburan yang nyaris tak disadari menyangkut konsep Tauhid Islam, yang seperti berakhir pada pemikiran tentang penyamaan agama-agama. Di sini terlihat bahwa penulis buku ini masih meyakini diktum “di luar Islam tak ada keselamatan”. Sementara kelompok Islam Liberal menyoroti doktrin keselamatan ini terutama dari perspektif filsafat perennial, yang membidik ihwal spiritualitas dan keberagamaan dari sisi esoteris.

Sementara itu, penolakan besar-besaran terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia oleh buku ini dilihat dalam spektrum yang lebih luas: konspirasi global yang didukung oleh kekuatan politik, ekonomi, dan media, yang luar biasa demi merawat citra negatif umat Islam. Dimunculkan kesan seakan Indonesia akan berantakan gara-gara syariat Islam, dan bahwa penerapan syariat Islam hanya akan mendiskriminasikan kelompok agama lain. Secara kritis penulis buku ini mempertanyakan, tidakkah penerapan sistem hukum saat ini yang nota bene berasal dari hukum kolonial juga bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain?

Persoalan terakhir yang diulas buku ini adalah soal upaya penyingkiran kelompok yang disebut “Islam fundamentalis” atau “Islam militan”. Problematik persoalan ini terletak pada soal stigma negatif yang telah dan selalu dirujukkan kepada kelompok ini, sehingga orang kebanyakan terlanjur berpikir apriori dan tidak simpatik. Bahkan dalam Pidato Kebudayaan Cak Nur di TIM pada tahun 1992 stigmatisasi ini sudah bermula, dengan menyamakan bahaya fundamentalisme dengan narkotika.

Kehadiran buku ini setidaknya cukup memberi titik terang terhadap sejumlah soal yang diperdebatkan dalam wacana Islam Liberal. Di sini masyarakat dapat dengan leluasa mencermati silsilah argumentasi mereka secara lebih cermat. Pada sisi yang lain, hal yang mengemuka dari buku ini adalah soal pembongkaran stigma kelompok “Islam fundamentalis”, sehingga mereka dapat diperlakukan secara lebih adil dalam proses transaksi wacana di Indonesia. Cara seperti ini akan lebih arif ketimbang melakukan kekerasan di wilayah publik. Cuma sayangnya, buku ini tidak secara sistematis membangun argumen-argumen yang kontra terhadap Islam Liberal, dan lebih hanya merespons beberapa poin pemikiran Islam Liberal yang bersifat polemis.



Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 18 Agustus 2002.


Read More..

Minggu, 11 Agustus 2002

Mengurai Perselingkuhan Sejarah Ide

Judul Buku: The Archaeology of Knowledge: Menggugat Sejarah Ide
Penulis: Michel Foucault
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2002
Tebal: 306 halaman


Sebagai salah seorang filsuf posmodern, Michel Foucault (1926-1984) dikenal dengan berbagai pemikirannya yang cukup kontroversial. Yang unik dari filsuf yang banyak bekerja dalam ranah sejarah ini adalah tema-tema yang dia pilih, mulai dari sejarah kegilaan, sejarah penjara, rumah sakit, hingga sejarah seksualitas.

Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1969 ini merupakan refleksi penulisnya atas tiga buku yang telah ditulis sebelumnya, yakni Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, dan The Order of Things. Buku ini berusaha memberikan pertanggungjawaban metodologis atas pisau analisis yang digunakan dalam tiga buku tersebut, yakni metode yang disebut analisis arkeologis.

Secara harfiah arkeologi berarti ilmu purbakala, yang mempelajari kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda-benda peninggalan. Di tangan Foucault, arkeologi memang masih menjadi semacam alat gali sejarah yang digunakan untuk menguraikan lintasan sejarah ide-ide sehingga pada akhirnya membentuk suatu sistem pemikiran tertentu. Tetapi, lebih dari itu, di tangan Foucault arkeologi menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mendedahkan perselingkuhan rezim-kebenaran-yang-nyaris-tidak-kehilangan-legitimasi-ilmiahnya.

Sebagai sebuah perangkat penelitian yang berkaitan erat dengan sejarah, ada filosofi mendasar yang unik dan jauh berbeda dengan pandangan sejarah konvensional. Dalam konteks analisis arkeologis ini, Foucault menolak progresivitas sejarah, kontinuitas, dan juga totalisasi subyek sejarah. Kecenderungan penerimaan konsep semacam ini menurut Foucault adalah usaha untuk mengingkari perbedaan-perbedaan yang ada dalam pergolakan masyarakat sepanjang sejarah.

Desentralisasi subyek yang dilakukan Foucault dalam penelitian sejarah arkeologisnya ini lebih memberi tempat pada diskontinuitas yang selanjutnya didudukkan secara positif. Sejarawan tidak perlu menghindari atau bahkan mengingkari diskontinuitas sejarah, karena dari situlah sebenarnya ditemukan bagaimana suatu sistem gugus pemikiran bergeser ke sistem yang lain.

Dengan dasar asumsi seperti tersebut di atas Foucault kemudian lebih tertarik untuk menguraikan regularitas suatu praktik diskursif, aturan-aturan apa saja yang mewadahi suatu praktik wacana sehingga mengarahkan suatu pemikiran. Untuk menjelaskan hal ini Foucault menemukan tiga konsep penting, yaitu positivitas, apriori historis dan arsip. Positivitas adalah ruang lingkup komunikasi di antara para ilmuwan, pengarang, pemikir dan bahkan orang pada umumnya sehingga memungkinkan terjadi dialog-tanpa-terencana-dan-tanpa-disadari antar berbagai pernyataan. Suatu positivitas dimungkinkan oleh suatu aturan main yang disebut apriori historis, yang diandaikan begitu saja dalam suatu diskursus. Semua ini akan menghasilkan sistem pernyataan, sistem pembentukan pernyataan dan sistem transformasi pernyataan yang oleh Foucault disebut arsip.

Dari ketiga dasar konseptual pembentukan suatu wacana itu, Foucault mencatat pentingnya “pernyataan” (statement, enonce) yang menjadi unit elementer setiap gugus diskursif. Dalam praktik penelitian arkeologis, Foucault memang mengabaikan unsur “pengarang” dalam setiap pernyataan. Yang lebih penting bagi Foucault adalah bagaimana fungsi penyampaian suatu pernyataan sehingga membentuk suatu formasi teks menjadi sistem kode yang eksis, saling bertaut, dan akhirnya mengarahkan pada suatu gugus pemikiran tertentu. Berbagai gugus pemikiran ini lambat-laut membentuk titik-titik diskursif dan jalinan inter-referensial yang pada akhirnya mengantarkan kepada suatu corak epistemologis tertentu. Soal siapa yang berbicara dan menyampaikan suatu “pernyataan” menjadi kurang penting, karena yang memberikan titik diskursif suatu “pernyataan” itu bagi Foucault bersifat relatif, dan maka dari itu ruang yang ditempati “pembicara” suatu “pernyataan” ibarat ruang lowong yang dapat diisi oleh siapa saja yang dianggap berkompeten. Dengan pandangan ini, Foucault tidak enggan meneliti data-data sejarah yang selama ini disepelekan, seperti pamflet, surat perjanjian, data pemeriksaan dokter dan sipir penjara, dan sebagainya.

Sistem gagasan memang kadang hadir dengan suatu konspirasi tingkat tinggi yang nyaris tak terlihat. Dengan analisis arkeologisnya ini, Foucault terbukti telah cukup berhasil mengangkat segi-segi bisu dalam sejarah peradaban, subyek-subyek yang dibungkam kehadirannya dan terpinggirkan dalam sejarah. Di sinilah tampak segi penting dari buku ini yang menyajikan suatu perangkat metodologis yang cukup tajam untuk membedah realitas sosial yang timpang. Buku ini tidak saja berhasil menunjukkan kekurangan penelitian sejarah (pemikiran, sosial) yang telah ada, tapi juga cukup berhasil memberi tawaran alternatif berupa proposal metodologis bagi suatu horison pemikiran yang lebih adil dan berimbang.

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 11 Agustus 2002.

Read More..