Dalam situasi apa Anda merasa tertipu saat berbelanja? Saya punya pengalaman buruk berbelanja yang baru terasa setelah saya tiba di rumah. Saat memeriksa struk belanja di rumah karena akan saya salin ke dalam catatan pengeluaran yang biasa saya tulis di komputer, saya tersadar bahwa ternyata harga yang saya bayarkan untuk barang tertentu ternyata sungguh gila!
Kok bisa ada harga gila? Harga gila yang saya maksud adalah harga yang tidak wajar, yakni jauh melebihi harga biasanya di tempat belanja yang berbeda. Kebetulan, barang yang saya beli tadi juga saya beli 10 hari sebelumnya di tempat yang berbeda. Saya sangat jengkel karena harganya jauh berbeda.
Bayangkan! Di toko tempat tadi pagi saya berbelanja, harga satuan barang A tercatat Rp 7.300,-. Padahal, di toko yang lain, 10 hari yang lalu saya membelinya dengan harga satuan Rp 5.000,-! Sementara itu, untuk barang B, tadi pagi saya membeli dengan harga satuan Rp 6.300,- sedangkan untuk barang yang sama 10 hari lalu saya membelinya dengan harga Rp 4.200,-!
Para pembaca yang budiman. Anda mungkin pernah mengalami hal serupa dan mungkin juga mengetahui bahwa ada toko tertentu yang memang menjual beberapa barang dengan harga yang lebih mahal. Tapi perbandingan beda harga yang saya temukan ini sungguh terlalu jauh: dua barang itu lebih mahal 46% dan 50%! Gambarannya, untuk barang B, di toko tempat tadi pagi saya berbelanja Anda akan mendapatkan 2 barang, sedangkan di tempat lain Anda bisa mendapatkan 3 barang!
Memangnya di mana tadi pagi saya berbelanja, dan di mana tempat belanja saya 10 hari sebelumnya? Tadi pagi saya berbelanja di toko ritel swalayan modern (waralaba nasional) dan 10 hari lalu saya berbelanja di toko swalayan lokal. Keduanya sama-sama berada di kota Pamekasan.
Saat tadi pagi masih gemas dengan fakta yang saya temukan, saya jadi teringat beberapa bulan lalu saat secara tak sengaja melihat label harga sebuah makanan ringan di ritel swalayan modern serupa yang harganya juga sungguh gila. Saya lihat harga satuannya Rp 2.400,- padahal di swalayan lainnya saya tahu bahwa harganya Rp 1.500,-! Lebih mahal 60%!
Saya pikir pembaca yang budiman juga punya pengalaman yang sama atau mirip di toko eceran yang saya maksud, yakni bahwa ada beberapa barang yang harganya sungguh gila!
Memang, yang namanya swalayan mengasumsikan bahwa pembeli sudah sadar dengan harga barang yang akan dia beli. Tapi, saat sedang terburu, pembeli mungkin tidak sempat memperhatikan label harga yang tercantum.
Secara pribadi, sebenarnya saya memang berusaha agar sebisa mungkin tidak berbelanja di toko eceran seperti tempat tadi pagi itu. Alasan utamanya mungkin bisa dibilang cukup ideologis: masuknya toko eceran swalayan modern ke pelosok beberapa tahun terakhir ini dinilai oleh banyak pihak sebagai serangan bagi pengusaha kecil di tingkat lokal. Ritel-ritel itu pelan-pelan dapat membunuh pengusaha lokal dan pasar tradisional. Padahal, pasar tradisional merupakan ruang publik yang bernilai penting secara sosial dan budaya—selain ekonomi.
Beberapa pihak memprotes kebijakan pemerintah lokal yang terkesan cukup longgar dalam memberi izin. Namun, bukankah keputusan berbelanja di mana dan apa itu pada akhirnya berada pada tingkat individu?
Demikianlah, pembaca yang budiman. Pengalaman tadi pagi tampaknya harus menjadi pengingat yang tegas buat saya atas niatan saya untuk sedapat mungkin tidak berbelanja di ritel modern (waralaba nasional) itu.
Itu yang sifatnya personal. Lalu bagaimana melihat pengalaman tadi dari sudut pandang sosial? Ada beberapa pertanyaan yang kemudian muncul. Misalnya, apakah tidak ada regulasi yang mengatur harga jual barang jika ternyata harga jualnya sungguh tidak wajar? Atau, jika mau mengeluh, kepada siapa masyarakat menyampaikannya?
Sekali lagi, pengalaman berbelanja tadi pagi ini mengajak saya untuk kembali merenung dan mengingat bahwa ada banyak aspek terkait dengan kegiatan konsumsi kita sehari-hari. Itu bisa sesuatu yang terkait dengan problem etis (seperti terkait isu keadilan lingkungan) atau bahkan mungkin juga ideologis dan politis. Pada akhirnya, pada tingkat individu, ini menegaskan pentingnya menjadi konsumen yang kritis dan bertanggung jawab.
Senin, 27 Juli 2015
Harga Gila
Label: Ethics, Public Service, Reflection, Social-Politics
Minggu, 19 Juli 2015
Meneropong Realitas yang Timpang
Judul buku: Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: viii + 288 halaman
ISBN: 978-602-291-078-7
Kenyataan hidup sehari-hari sering tampil sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya, sering kali kepekaan kita tumpul dan tak bisa menangkap pesan hidup di balik sebuah peristiwa. Akhirnya hidup ini menjadi jalinan arus yang hambar sehingga dalam bahasa Sokrates menjadi hidup yang tak layak dijalani karena tanpa refleksi.
Esai-esai budayawan kondang Emha Ainun Nadjib yang terkumpul dalam buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kenyataan hidup sehari-hari. Yang menarik, refleksi Emha terfokus pada kisah-kisah hidup orang-orang pinggiran. Di halaman persembahan buku ini, secara eksplisit Emha menyebut “orang-orang yang dianiaya,” “orang-orang yang ditindas,” “orang-orang yang dirampas kemerdekaannya,” dan “orang-orang yang dimiskinkan”.
Penyebutan Emha ini jelas merupakan sebentuk keberpihakan yang sifatnya cukup ideologis. Artinya, dalam meneropong kenyataan hidup yang timpang, Emha berada di pihak mereka yang terpinggirkan itu. Pihak yang terpinggirkan kerap tak memiliki saluran untuk menyatakan diri di ruang publik sehingga Emha kemudian seperti menjadi juru bicara untuk mereka.
Contohnya seperti kisah para pedagang di pasar yang diancam secara samar oleh seorang pejabat lantaran proses pembongkaran dan renovasi pasar. Emha menampilkan dialog orang-orang kecil yang resah dan merasa tak dihargai itu. Di sebuah bagian, Emha menulis bahwa mereka bukannya tidak setuju, tapi hanya ingin diajak berunding, diakui dan dihargai bahwa mereka juga adalah subjek utama pembangunan.
Esai-esai dalam buku ini memang ditulis pada paruh pertama dekade 1990-an, saat pemerintah Orde Baru nyaris sepenuhnya tak memberi ruang kritis dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pembangunan. Kisah pedagang pasar di atas cukup sering terjadi tapi tak ada media yang siap mengangkat isu ini secara terang-terangan.
Lebih dari sekadar menyajikan ironi pembangunan, Emha memberikan refleksi sederhana yang cukup tajam dan mendasar. Misalnya terkait kasus pembangunan Kedung Ombo, Jawa Tengah, yang mendapat penolakan dari warga namun akhirnya diresmikan pada tahun 1991. Seperti pedagang pasar, warga sebenarnya bukan hendak membangkang dan melawan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Mereka hanya menuntut keadilan. Tapi, tulis Emha, apakah untuk menuntut keadilan warga akhirnya harus mendapat cap sebagai “melawan konstitusi”?
Perlawanan memang identik dengan orang-orang pinggiran, termasuk di antaranya kaum buruh. Masalahnya, pemerintah Orde Baru ketika itu kemudian terbiasa memberi stigma negatif kepada para buruh yang sering memprotes ketidakadilan yang dialaminya dengan menyebut mereka sebagai “komunis”. Padahal, tulis Emha, tak harus menjadi komunis untuk memprotes ketidakadilan.
Namun Emha tak hanya berhenti di sini. Emha mengajak pembaca untuk menelaah lebih mendalam. Jika isu buruh dalam konteks internasional memang cukup identik dengan komunis, Emha mengusik kita untuk melihat kenyatan kaum buruh di negara-negara komunis yang ketika itu justru ditindas penguasa. Malah kaum buruh di negara kapitalis cenderung berjaya.
Selain berangkat dari hasil pengamatan, Emha juga menulis esai-esainya berdasarkan pengaduan baik secara langsung maupun melalui surat. Pada tahun 1992 Emha misalnya pernah menerima surat dari seorang pendeta di Nusa Tenggara Timur yang menyampaikan keresahannya akibat proyek hutan tanaman industri yang menggusur hutan adat dan padang ternak warga dan jemaatnya. Mereka sudah mengadu kepada aparat, tapi hasilnya nihil dan tak memuaskan.
Emha juga menulis beberapa esai tentang kasus mutilasi di Probolinggo tahun 1992 yang membuat geger. Mbah Jiwo, seorang nenek, memutilasi cucunya sendiri. Badan cucunya itu diiris-iris menjadi 79 bagian. Sebagian kabarnya dijadikan bahan membuat rawon. Orang-orang terkejut, juga mengecam. Atas peristiwa ini, Emha mengemukakan refleksi menarik. Kalau orang-orang terkejut dengan sadisme Mbah Jiwo dan menganggap Mbah Jiwo sebagai orang yang tak normal, mengapa banyak masyarakat memandang biasa realitas yang sebenarnya juga tak biasa dan bahkan mungkin juga termasuk sadis?
Emha menyebut seorang ibu di pasar yang bekerja mulai tengah malam hingga esok sorenya hanya untuk seribu-dua ribu rupiah, sementara di sebuah kantor ada orang yang hanya duduk-duduk digaji ratusan juta rupiah. Apakah ini bukan sadisme dalam mekanisme perekonomian kita?
Di tengah berbagai fenomena ketimpangan sosial dan ketidakadilan itu, memang ada para pemuda yang tampak peduli misalnya dengan menggelar demonstrasi. Namun, atas fenomena seperti ini, Emha memberi catatan kritis. Emha khawatir mereka yang “hobi” demonstrasi itu “lebih berorientasi kepada keasyikan memprotes daripada pencarian jalan keluar”.
Meskipun esai-esai dalam buku ini ditulis lebih 20 tahun lalu tapi kekuatan refleksi dan relevansinya tetap cukup kuat. Esai-esai dalam buku ini tidak saja menghadirkan suara orang yang terpinggirkan, tapi juga memuat refleksi kritis terkait isu pembangunan dan kehidupan sosial pada umumnya.
Bukankah ketimpangan sosial yang menuntut perhatian pemerintah dan semua unsur masyarakat hingga ini masih menjadi masalah serius bagi bangsa ini? Bukankah masih banyak masyarakat kita yang menjadi gelandangan di kampung sendiri? Demikian juga masalah pembangunan kadang juga masih berbenturan dengan aspirasi masyarakat, seperti dalam kasus pembangunan semen di Rembang, Jawa Tengah.
Kekuatan esai-esai Emha ada pada sudut pandangnya yang kritis, reflektif, dan tak biasa sehingga dapat menghadirkan kenyataan hidup yang timpang dengan lebih menggugah. Perspektif Emha dalam esai-esainya menghidupkan kepekaan kemanusiaan kita yang mendasar sehingga juga menggiring kita untuk berbuat sesuatu demi mengatasi berbagai realitas timpang itu meski dengan cara yang sederhana.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juli 2015.
Rabu, 08 Juli 2015
Menyoal Batas Barat dan Timur
Judul Buku: Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi
Penulis: Al Makin, Ph.D.
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: xii + 258 halaman
Dalam konstelasi politik dunia, Barat dan Timur sering berhadapan dalam situasi yang cukup bersitegang atau bahkan berkonflik. Dalam dunia keilmuan, kita juga mengenal orientalisme, yakni bagaimana Barat menulis tentang Timur. Belakangan, muncul juga yang disebut oksidentalisme, yakni Timur menulis tentang Barat. Kedua bidang kajian ini sampai sekarang terus menjadi wilayah akademik yang berkembang di dunia intelektual.
Problem Barat dan Timur dalam kerangka ilmu orientalisme dan oksidentalisme inilah yang dikupas oleh buku ini. Buku yang tampaknya dirancang sebagai buku teks kuliah ini memberikan pemaparan relasi Barat dan Timur sejak era penjajahan hingga era globalisasi. Penulis buku ini, Al Makin, mengampu matakuliah orientalisme dan oksidentalisme di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak tahun 2000 (hlm. 3).
Al Makin memulai uraiannya dengan melacak awal mula ketertarikan Barat dalam mengkaji Timur yang dimulai pada era penjajahan. Dengan mengambil fokus pada pengalaman Indonesia, Al Makin memberikan kerangka uraiannya dengan sudut pandang yang khas Michel Foucault yang menempatkan pengetahuan dalam relasi kuasa. Menurut Al Makin, kekuasaan Belanda didukung oleh pengetahuan tentang masyarakat pribumi. Al Makin memberi contoh bagaimana pemahaman mendalam Snouck Hurgronje tentang Aceh dan juga pengetahuan Stamford Raffles tentang masyarakat Jawa dapat dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan kekuasaan mereka (hlm. 20, 25).
Orientalisme mulai muncul setelah Barat bertemu Timur melalui penjajahan. Terlepas dari kepentingan kekuasaan, dalam mengkaji Timur para ilmuwan Barat memperlihatkan semangat dan dedikasi yang luar biasa. Kesungguhan ini tidak hanya tampak dalam keseriusan mereka mempelajari teks tapi juga dalam terjun ke lapangan dan meneliti kehidupan masyarakat Indonesia sehingga menghasilkan karya yang sering dikutip. Beberapa ilmuwan Barat yang bisa disebut antara lain Richard Bell, Clifford Geertz, dan William Liddle (hlm. 28-30).
Menyikapi berbagai hasil kajian ilmuwan Barat yang berada dalam lingkup orientalisme ini, masyarakat Timur menurut Al Makin banyak yang salah kaprah. Barat dipandang seolah berniat jahat dan mempelajari Islam untuk kepentingan menghancurkannya. Menurut Al Makin, persepsi semacam ini tidak terbukti secara ilmiah dan cenderung bersifat ideologis dan dibungkus dengan teori konspirasi (hlm. 61, 189).
Pada bagian berikutnya, Al Makin memaparkan pemikiran kaum orientalis mulai dari Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Montgomery Watt, hingga Benedict Anderson. Pada bagian ini Al Makin juga menggarisbawahi bahwa bagaimanapun kajian orientalisme ini telah berkontribusi bagi kajian keislaman (hlm. 131). Demikian juga, kajian kaum orientalis ini cukup beragam. Misalnya, buku Patricia Crone dan Michael Crook, Hagarism (1977), yang menguraikan sejarah Islam memperlihatkan sudut pandang Yahudi, Kristen, Yunani, dan Mesir, sehingga menyulut pro dan kontra. Atas karya ini, sejumlah intelektual Barat sendiri juga menilainya sebagai karya yang tidak cukup kuat argumennya (hlm. 138-144).
Setelah mengulas orientalisme, pemikiran Timur tentang Barat (oksidentalisme) kemudian dipaparkan melalui sudut pandang beberapa tokoh, seperti Hassan Hanafi, Mukti Ali, dan Burhanuddin Daya. Hassan Hanafi merintis sudut pandang dekonstruktif atas mitos Barat yang dipandang merepresentasikan seluruh umat manusia (hlm. 195).
Pada bagian akhir, buku ini mencoba merefleksikan situasi terkini saat batas-batas Barat dan Timur lebur akibat menguatnya globalisasi. Al Makin menyebut hadirnya teknologi internet sebagai faktor yang meleburkan batas-batas Barat dan Timur ini (hlm. 216-218).
Selain sebagai buku teks kuliah, buku ini dapat menjadi bahan refleksi kita bersama dalam melihat identitas ketimuran (dan keislaman) kita. Buku ini mengantarkan kita pada wawasan bahwa saat ini Barat memang dominan, sebagaimana halnya Timur pada masa keemasan Islam pernah juga berjaya di bidang sains. Dengan proses globalisasi, yang lebih penting saat ini adalah proses untuk saling membuka diri, saling belajar, dan saling berkontribusi bagi kemajuan peradaban dunia (global).
Selain kelemahan teknis seperti kalimat-kalimat yang tersusun kurang lengkap dan kadang agak rumit, buku ini memang sedikit terkesan mengagung-agungkan Barat dan relatif kurang memberi kritik tajam terhadap Barat, khususnya tentang eurosentrisme yang masih tampak kental dalam penulisan sejarah seperti yang ditunjukkan oleh Tamim Ansary dalam buku Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes (2009).
Di sisi lain, saat mengulas leburnya batas Barat dan Timur, Al Makin masih lebih banyak mengulas fakta-fakta yang mungkin terkesan dangkal tentang hal ini dan tidak masuk ke soal tatanan sosial, politik, dan budaya global yang juga memperlihatkan dominasi Barat yang masih cukup kuat. Akibat globalisasi, batas Barat dan Timur mungkin memang lebur. Tapi tatanan politik global saat ini masih dalam dominasi Barat.
Al Makin kadang juga kurang cermat mengemukakan argumennya, seperti saat menilai Hassan Hanafi terlalu ambisius dalam melihat Eropa dengan mengemukakan argumen bahwa banyak ilmuwan Barat yang mencoba melihat Barat dari kacamata Timur. Contohnya, kata Al Makin, Carole Hillenbrand yang menulis tentang Perang Salib dari sudut pandang Islam. Padahal, jika kita lihat, kritik Hassan Hanafi dikemukakan dalam karyanya yang terbit tahun 1991 sedang karya Hillenbrand terbit tahun 1999.
Terlepas dari beberapa titik lemah tersebut, kehadiran buku ini patut diapresiasi karena bisa menjadi pengingat untuk merawat ruang dialog peradaban Barat dan Timur.
Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 8 Juli 2015.
Kamis, 02 Juli 2015
Tafakur sebagai Kunci Kebajikan
Judul Buku: Tafakur Sesaat Lebih Baik daripada Ibadah Setahun
Penulis: Al-Ghazali
Penerjemah: K.H. R. Abdullah bin Nuh
Penerbit: Noura (Mizan), Jakarta
Cetakan: Pertama, April 2015
Tebal: x + 158 halaman
Kehidupan zaman sekarang cenderung menggiring orang untuk hidup terombang-ambing tanpa pegangan. Akibatnya, kita menyaksikan orang relatif cukup mudah terseret oleh sebuah pandangan atau tindakan yang dapat merugikan. Situasinya mungkin mirip seperti perahu yang tanpa kemudi di tengah samudera dan ombak yang menggila.
Bagi yang kental dengan sudut pandang religius, tentulah agama diyakini sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan. Namun demikian, terkadang agama dibenturkan dengan akal. Seolah agama tidak menerima fungsi akal sebagai potensi yang dimiliki manusia untuk digunakan sebagai perangkat dalam menjalani kehidupan.
Judul buku ini, yang diambil dari hadis Nabi Muhammad saw, menegaskan bahwa Islam sangatlah menghargai kegiatan berpikir (tafakur). Buku ini merupakan petikan bab dari mahakarya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, tepatnya diambil dari bab tafakkur yang ada di juz keempat.
Dalam membahas masalah ini, al-Ghazali menguraikannya dalam beberapa sub-pembahasan, di antaranya tentang keutamaan tafakur, hakikat dan buah tafakur, objek pembahasan tafakur, dan metode menafakuri ciptaan Tuhan.
Keutamaan tafakur dipaparkan al-Ghazali di bagian pembuka dengan mengutip hadis-hadis Nabi atau kutipan dari para sahabat atau ulama terkemuka. Kesimpulan yang dapat diambil pada bagian ini adalah bahwa Islam sangat menghargai ilmu atau pengetahuan, dan kunci penting ilmu adalah tafakur. Bahkan, beberapa kutipan, seperti juga judul buku, menempatkan keutamaan tafakur di atas ibadah. Hal ini dapat dimengerti karena ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan renungan mendalam dapat keliru dan hambar dalam pelaksanaannya.
Saat menjelaskan hasil tafakur, dijelaskan bahwa kegiatan ini memiliki tujuan akhir pada sikap batin dan amal kebajikan. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa tafakur adalah kunci kebajikan. Secara sederhana, al-Ghazali menerangkan bahwa tafakur menghasilkan ilmu atau pengetahuan, dan ilmu atau pengetahuan dapat mengubah keadaan hati, lalu berubahlah perilaku anggota badan.
Pengaruh filsafat Yunani dapat dilihat saat al-Ghazali menjelaskan pengertian tafakur. Menurut al-Ghazali, tafakur berarti “menghadirkan dua makrifat (pengetahuan) dalam hati agar timbul makrifat ketiga. Dari pengertian ini, kita dapat memahami bahwa tafakur dalam pemahaman al-Ghazali identik dengan penyimpulan dalam silogisme. Bahkan, contoh yang dikemukakan al-Ghazali pun adalah bentuk silogisme.
Al-Ghazali menempatkan tafakur sambil juga menunjukkan bahaya taklid (ikut-ikutan). Taklid hanya akan menghasilkan dasar yang sangat lemah dan rentan. Namun demikian, di sisi yang lain tafakur dalam kerangka pandang al-Ghazali diliputi oleh nuansa keimanan yang sangat kental. Kegiatan berpikir bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri dan terlepas dari nilai agama dan ketuhanan.
Kerangka keimanan terlihat jelas dalam uraian al-Ghazali yang panjang lebar dalam membahas objek tafakur dan bagaimana aktivitas tafakur itu dilakukan. Menurut al-Ghazali, tafakur itu bisa terkait dengan mu‘amalah dan juga mukasyafah. Yang pertama menjelaskan bagaimana tafakur tentang interaksi dengan manusia dan Tuhan, sedang yang kedua khusus tentang menafakuri kebesaran Allah.
Secara sederhana, al-Ghazali menjelaskan bahwa tafakur tentang mu‘amalah meliputi empat pokok hal: perintah (taat), larangan atau maksiat, hal yang mencelakakan, dan hal yang menyelamatkan. Bagi mereka yang sudah cukup akrab dengan buku-buku al-Ghazali, keempat hal ini memang telah menjadi kerangka umum al-Ghazali dalam menjelaskan hal yang terkait dengan keagamaan, seperti yang digunakan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah.
Dari seluruh uraian al-Ghazali tentang tafakur dalam hal mu‘amalah, dapat disimpulkan bahwa kegiatan tafakur berada dalam kerangka reflektif dan spiritual. Meski pada sub-pembahasan awal al-Ghazali memberi pengertian tafakur yang identik dengan penalaran logis, tapi tafakur dalam kerangka al-Ghazai berdiri sebagai jalan memperbaiki batin.
Terkait mukasyafah, al-Ghazali berdasar pada hadis Nabi yang melarang untuk berpikir tentang zat Allah. Menurut al-Ghazali, akal manusia tak akan mampu menangkap dahsyatnya kebesaran Allah. Untuk itu, kebesaran Allah ditangkap bukan melalui zat-Nya, tapi melalui ciptaan-Nya. Karena itu, dalam uraian ini, al-Ghazali memberi contoh tafakur tentang diri manusia, fenomena langit, barang tambang, dan sebagainya.
Buku yang diterjemahkan oleh K.H. R. Abdullah bin Nuh (pendiri Pesantren Al-Ihya’ dan sekolah al-Ghazali Bogor) ini sebenarnya tidak hanya memuat bab tafakkur dari kitab Ihya’. Buku ini juga memuat terjemahan karya autobiografis al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal.
Al-Munqidz dapat dipandang sebagai catatan reflektif al-Ghazali atas pengembaraan intelektual dan spiritual yang telah dilakoninya. Ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kegiatan tafakur mengambil objek yang paling dekat: diri kita sendiri.
Buku ini bernilai penting untuk menegaskan semangat Islam melawan sikap taklid dengan mendorong umatnya untuk secara aktif melakukan kegiatan berpikir. Tak hanya di situ, al-Ghazali menunjukkan bahwa kegiatan berpikir harus berada dalam kerangka keimanan. Dua hal inilah yang akan terus penting untuk diingat dan ditegaskan saat kegiatan berpikir manusia semakin intens dan bisa melahirkan ekses negatif yang tak diinginkan.
Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 2 Juli 2015.