Selasa, 26 November 2024

Pilkada dan Ujian Keimanan


Bagi seorang yang beriman, pemilihan kepala daerah (pilkada) mungkin adalah sebuah ujian keimanan. Apa saja sisi keimanan yang diujikan dalam momen pilkada ini?

Secara umum, seorang yang beriman harus memiliki kesadaran bahwa semua tindakan yang dia lakukan di dunia kelak akan dipertanggungjawabkan secara pribadi di hadapan Allah. Kesadaran tentang pertanggungjawaban di akhirat ini adalah salah satu poin mendasar ajaran yang pertama disampaikan Nabi Muhammad saat memulai misi kerasulannya.

Masyarakat Arab waktu itu secara umum berpikir bahwa setelah mati, semua urusan selesai. Tak ada akhirat. Tak ada sesi urusan tanggung jawab. Namun Nabi Muhammad mengajarkan hal yang sebaliknya. Seorang yang beriman harus mengorientasikan hidupnya pada kesadaran tentang adanya Hari Pengadilan di akhirat. Kebahagiaan yang dicari di dunia hanyalah fana, sedang kebahagiaan yang sebenarnya hanyalah di akhirat adanya.

Pilihan sikap kita dalam pilkada tentu juga termasuk salah satu yang harus dipertanggungjawabkan. Pilkada berkaitan dengan kepemimpinan dalam masyarakat. Dalam Islam, ada norma-norma yang diajarkan oleh agama tentang kepemimpinan dan tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam al-Qur’an, ada term “ulil amr” yang merepresentasikan pengurus publik atau pemerintah yang mengatur dan mengurus tatanan kehidupan bersama. Dalam surah Annisa’ ayat 59, term ulil amr disejajarkan dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul. Seruan kepada kaum beriman dalam ayat ini tampak menunjukkan bahwa ulil amr disejajarkan dengan pemegang otoritas yang lain, yakni Allah dan Rasulullah. Penyejajaran ini menunjukkan nilai penting posisi ulil amr yang dapat kita pahami sebagai nilai penting momentum memilih pemimpin seperti dalam pilkada.

Otoritas ulil amr ini harus dibangun di atas kriteria yang tepat. Karena itu, pemimpin atau ulil amr harus memiliki visi kemaslahatan umum (bukan hanya melayani tuan dan kelompoknya), integritas, keadilan, kompetensi, mau mendengar suara masyarakat, dan memiliki kasih sayang kepada umat. Pedoman semacam inilah yang kiranya penting menjadi pegangan saat ikut serta memilih calon pemimpin.

Namun terkadang godaan muncul ketika calon-calon yang ada di antaranya memiliki kedekatan subjektif dengan kita. Dalam situasi seperti ini, kriteria objektif dan panduan normatif kadang menjadi terabaikan. Padahal al-Qur’an sudah mengingatkan dalam surat al-Maidah ayat kedelapan agar kita tidak dikuasai oleh subjektivitas kita, agar jangan sampai “kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil”.

Saya jadi teringat ulasan beberapa sumber ketika menceritakan dakwah Rasulullah di Mekah. Asghar Ali Engineer misalnya dalam salah satu bukunya yang berjudul The Origin and Development of Islam mengutip beberapa sumber dan menyatakan bahwa kaum kafir Mekah bukannya tidak percaya dengan apa yang disampaikan Nabi Muhammad. Reputasi Nabi Muhammad sebagai orang yang tepercaya dan tidak punya rekam jejak yang buruk (malah punya catatan kepedulian pada masalah kemasyarakatan) membuat kaum kafir Mekah tak punya bahan argumen untuk menolak apa yang disampaikan Nabi Muhammad. Akhirnya orang Mekah mencari-cari alasan dengan kemudian memfitnah Nabi Muhammad sebagai orang gila, tukang sihir, dan sebagainya.

Kutipan dari HAR Gibbs dalam bukunya, Muhammedanism (1962: 26), di bawah ini menyatakan hal tersebut secara lebih jelas:

The resistance of the Meccans appears to have been due not so much to their conservatism or even to religious disbelief (though they ridiculed Mohammed's doctrine of resurrection) as to political and economic causes. They were afraid of the effects that his preaching might have on their economic prosperity, and especially that his pure monotheism might injure the economic assets of their sanctuaries. In addition, they realized more quickly than Mohammed himself did that their acceptance of his teaching would introduce a new and formidable kind ofpolitical authority into their oligarchic community.

Perlawanan orang-orang Mekkah tampaknya bukan disebabkan oleh konservatisme mereka atau bahkan ketidakpercayaan mereka pada agama yang dibawanya (meskipun mereka mengejek doktrin Muhammad tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat) melainkan karena alasan politik dan ekonomi. Mereka takut pada dampak yang mungkin ditimbulkan oleh ajarannya terhadap kemakmuran ekonomi mereka, dan khususnya bahwa monoteismenya yang murni dapat menghancurkan aset ekonomi tempat-tempat suci yang mereka kuasai. Selain itu, mereka menyadari lebih cepat daripada Muhammad sendiri bahwa penerimaan mereka terhadap ajarannya akan memunculkan jenis otoritas politik yang baru dan tangguh ke dalam komunitas oligarki mereka.

Membaca sumber tersebut, saya jadi terpikir, betapa celakanya jika ada seseorang yang karena dikuasai situasi subjektifnya menolak visi kebenaran yang terang benderang. Betapa celakanya orang yang menutupi kebenaran hanya karena jika ia mengikuti kebenaran itu maka posisi sosialnya, kekuasaannya, sumber ekonominya, gaya hidupnya, atau perutnya, terancam.

Dalam situasi ini, saya berpikir bahwa pilkada memang adalah ujian keimanan. Ia menguji komitmen kita pada kebenaran. Ia menguji integritas kita saat berhadapan dengan dilema-dilema dan godaan-godaan yang mungkin bersifat duniawi. Ia menguji kita tentang apa yang semestinya didahulukan: orientasi duniawi atau ukhrawi? Apakah pilihan kita mengikuti standar normatif atau tunduk pada hawa subjektif?

Dalam bentuk yang lain, ujian pilkada juga berwujud praktik politik uang. Dalam intensitas politik uang yang menurut banyak data semakin menguat pada ajang-ajang coblosan beberapa tahun terakhir, iman seseorang diuji apakah standar normatif memilih pemimpin akan diruntuhkan oleh uang atau materi yang sifatnya sementara belaka. Orientasi materi ini juga berpengaruh terhadap cara berpikir (mindset) masyarakat. Masyarakat mulai semakin banyak yang berpikir bahwa rezeki itu adalah dan hanyalah materi dan atau uang. Rezeki dalam bentuk yang lain yang sifatnya abstrak mulai tersisih dalam pikiran. Misalnya, rezeki pemimpin yang peduli dan benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Atau kesehatan dan waktu yang dapat terisi dengan hal-hal positif dan penuh keberkahan.

Ya, pilkada ini memang adalah ujian. Dan mungkin, dalam ruang sunyi yang tenang, ruang tempat nurani berdiam, kita sendiri bisa memberi nilai untuk pilihan yang kita tentukan.

Wallahu a'lam.


1 komentar:

Khalis mengatakan...

MasyaAllah :)