Bila orang pada umumnya menyatakan bahwa pengetahuan itu memberi terang, saya kini punya pikiran lain. Ada kalanya pengetahuan tertentu justru menggelisahkan. Setidaknya, itulah yang saya alami pagi tadi.
Bersilaturahmi di hari lebaran, di rumah seorang famili, tadi pagi saya disuguhi air minum dalam kemasan. Merknya Aqua. Saya tak punya masalah kesehatan dengan air minum dalam kemasan. Namun saya bermasalah dengan merk Aqua—gara-gara pengetahuan saya. Apalagi, air minum yang isi bersihnya 240 ml itu tepat dikeluarkan dari pabrik Aqua kedua di Pandaan yang telah beroperasi sejak 1984. Saat saya melirik ke labelnya, tampak jelas tertulis: “Mata Air Pandaan, Gunung Arjuno”.
Kegelisahan saya itu terjadi karena pengetahuan saya. Saat di Trondheim, Norwegia, bulan April lalu, saya sempat membaca sebuah berita di laman Media Indonesia Online (yang sekarang sudah tak bisa diakses, tapi masih terdokumentasi di laman Walhi) tentang aktivitas perusahaan Aqua yang mengancam debit air tanah di Gunung Arjuno. Dilaporkan bahwa PT Tirta Investama (Danone Aqua) setiap hari mengeksploitasi 1,5 juta liter air tanah di lereng Gunung Arjuno. Akibatnya, warga Pasuruan banyak yang mengeluh karena sumber mata air mereka banyak yang mati.
Saya mencoba membayangkan angka 1,5 juta liter itu, dan saya lalu teringat pada air botol Aqua kemasan 1,5 liter. Jika air yang dieksploitasi setiap hari itu dikemas dengan botol ukuran 1,5 liter, maka itu akan sama dengan sejuta botol kemasan 1,5 liter! Imajinasi visual tentang sejuta botol yang berderet tiap hari, siap diangkut, didistribusikan, dan dijual itu, terasa mengganggu pikiran saya. Ke manakah mereka itu semua akan berakhir?
Satu setengah juta liter! Jika setiap orang rata-rata memakai air bersih sebanyak 150 liter per hari, maka air yang dieksploitasi Aqua setiap hari di Pasuruan itu cukup untuk jatah sepuluh ribu orang yang tinggal di Pasuruan!
Ini adalah sejenis pengetahuan yang menggelisahkan. Atau, dalam istilah Michael Moore, the awful truth. Dan pengetahuan ini kemudian menemukan momentumnya untuk menggelisahkan saya tadi pagi.
Sebenarnya, masalah terbesar yang saya hadapi dalam kasus ini bukan terletak pada aspek teoretis atau konseptual. Masalahnya ada pada tindakan, yakni bagaimana saya menyikapi dan merespons pengetahuan saya itu. Pengetahuan itu telah merepotkan saya, memaksa saya untuk berpikir kembali untuk menjulurkan tangan saya meraih satu-satunya pilihan air minum yang tersedia di tempat itu pagi tadi.
Saya lalu teringat pembahasan Franz Magnis-Suseno tentang kebebasan, yang kemudian menyadarkan saya bahwa pada saat semacam tadi pagi itulah saya sebenarnya dapat menegaskan bahwa saya memiliki kebebasan. Saya punya kebebasan karena saya memiliki pilihan—dengan berbagai konsekuensinya.
Dan saya pun tahu, pilihan apa yang sebaiknya saya ambil pagi tadi. Ya, setidaknya pagi tadi—entah lain kali.
Rabu, 17 November 2010
Ironi Pengetahuan
Label: Daily Life, Environmental Issues
Selasa, 16 November 2010
Bagikan Pengalamanmu, Bagikan Kisah-Kisahmu
Kini yang tersisa adalah penyesalan. Waktu jelas tak bisa terulang. Sekarang saya hanya bisa meratap mengapa dahulu saya tak rajin menuliskan semuanya—pengalaman penuh warna yang sebelumnya bahkan tak terbayangkan akan dapat saya lewati.
Hari Kamis dua pekan yang lalu, di kelas Jurnalistik, setelah beberapa pekan awal memberi bekal wawasan pengetahuan dan pengantar umum tentang jurnalisme, saya mencoba menanamkan semangat kepenulisan kepada murid-murid setingkat SLTA di siang itu. Saya memperkenalkan gagasan tentang jurnalisme warga (citizen journalism) kepada mereka dengan sebuah kerangka yang “agak politis”. Saya katakan bahwa media arus utama tak selalu sudi berbagi ruang untuk menuturkan hal-hal penting yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, kita sebagai warga masyarakat mestinya juga terlatih dan memiliki kemampuan untuk menuliskan hal-hal penting di sekitar kita. Bahkan hal yang personal pun terkadang dapat memiliki nilai penting yang lebih luas, yakni dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat luas.
Saat berdiskusi tentang jurnalisme warga itu, pikiran saya sebenarnya tengah mendua. Jika yang keluar dari mulut saya adalah semacam upaya menyulut semangat murid-murid untuk menulis, benak saya saat itu dipenuhi dengan penyesalan. Pikiran saya melayang ke Belanda, tepat setahun yang lalu, saat saya mencoba mencatat kisah daun-daun yang berjatuhan di musim gugur, lalu juga perjalanan kereta di suatu senja dari Leiden ke Utrecht.
Rasa sesal yang menyelimuti pikiran saya muncul saat saya menyadari betapa banyak pengalaman-pengalaman menarik lainnya yang tak sempat saya catat. Pengalaman di hari-hari pertama saat baru tiba di Belanda di tengah menjalankan ibadah puasa, misalnya, hanya sempat saya catat dengan cara yang terlalu kaku dan “kering”.
Setiba di Utrecht awal September tahun lalu, saya memang langsung disambut dengan berbagai kesibukan, mulai dari perkuliahan dengan tugas-tugas yang langsung berjibun, urusan administrasi dengan Kantor Registrasi Kota dan kampus, termasuk juga pengenalan lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tambahan lagi, itu semua harus dilakukan bersama penyesuaian cuaca baru dan antisipasi yang kurang matang.
Tapi kalau dipikir-pikir, mestinya semua situasi itu tak bisa menjadi alasan atas kelalaian saya melewatkan momen-momen yang tak tercatat itu. Justru sebaliknya: mestinya itu semua menjadi dorongan sehingga momen yang penuh warna itu dapat terekam dalam sebuah komposisi yang dapat dibaca di kemudian hari.
Namun saya patut juga bersyukur bahwa selama di Utrecht dalam waktu lima bulan, lebih sepuluh tulisan telah saya tulis. Mengingat kembali masa-masa itu setahun yang lalu, saya berpikir bahwa salah satu faktor yang membantu saya menjaga semangat kepenulisan saya waktu itu adalah Blog Pengalamanku yang dikelola oleh Radio Nederland Wereldomroep (RNW) yang memberi ruang bagi orang-orang Indonesia di Belanda untuk membagikan cerita dan pengalaman mereka. Bahkan saya berhasil mendapatkan tiga sovenir dari Blog Pengalamanku untuk tulisan-tulisan yang saya kirimkan—yakni iPod Nano yang kemudian menemani hari-hari saya bersepeda dan menikmati Belanda dan Eropa, hardisk eksternal 1 terra yang lalu dibuat untuk menyimpan file-file penting yang saya dapatkan di Eropa, dan E-Book Reader yang sungguh bermanfaat buat saya.
Setelah sekitar lima bulan kembali beraktivitas di kampung halaman, saya terkadang geregetan saat membaca tulisan-tulisan pengalaman teman-teman saya di Eropa, baik yang ditulis di blog pribadi maupun Blog Pengalamanku RNW. Sekali lagi, saya kini hanya bisa menyesal. Lebih dari itu, bahkan kesibukan-kesibukan di kampung halaman pun belakangan telah melumpuhkan semangat saya untuk terus menulis.
Memang benar, waktu tak dapat dibeli. Momen dan kesempatan hanya datang satu kali. Karena itulah, selagi Anda sedang berada dalam sebuah ruang pengalaman yang unik, semisal pengalaman bertajuk “pengalaman-Eropa”, maka kesempatan semacam itu jangan disia-siakan. Tuliskan, bagikan!
Label: Literacy