Jumat, 22 November 2013

Penjaja Dusta

Sumber gambar: Wikipedia

lf you wanna sell a lie, you get the press to sell it for you.
- Lester Siegel, Argo (2012)


Adakah orang yang mau membeli dusta? Rasanya tidak ada. Namun tanpa sadar, kadang kita tak merasa bahwa kita sedang melahap dusta—dengan kadar atau takaran yang berbeda.

Lalu di mana orang-orang kadang tanpa sadar melahap dusta? Kutipan dari film terbaik Academy Award 2013 di atas memberi kita jawabannya. Dalam kutipan dari film yang diangkat dari kisah nyata yang menceritakan peristiwa penyelamatan sandera diplomat Amerika di Teheran dalam kemelut politik di Iran tahun 1979 itu, kita menemukan kekuatan media (pers) dalam menyebarkan dusta.

Kutipan di atas memang tampak cenderung menunjukkan unsur emosi yang tidak netral. Mungkin terkesan sinis. Atau hiperbolis. Jika mau ditarik ke dalam ungkapan yang lebih netral, kutipan di atas mungkin menyimpan proposisi lain yang mendahuluinya: yakni bahwa kekuatan media (pers) itu sedemikian besar. Dengan demikian, jika ada niat untuk menyebarkan kebohongan maka media menyediakan tempat yang efektif.

Dalam kutipan di atas, dusta yang dibicarakan adalah dusta yang disengaja— dusta yang dirancang untuk tujuan tertentu. Dalam konteks Argo, dusta itu adalah tipu daya untuk mengelabui pemerintah Iran demi menyusupkan tim penyelamat diplomat Amerika ke Iran dengan berkedok kru film fiksi-sains dari Hollywood.

Namun, dusta atau “perkataan yang tidak benar” juga tetaplah berbahaya meski ia tidak disengaja. Apalagi ia kemudian disebarkan melalui media dan bisa menyasar pembaca dengan jumlah puluhan, ratusan, ribuan, atau bahkan lebih.

Di tengah semakin maraknya media massa dan sarana penerbitan bagi perorangan di era internet ini, maka judul di atas tak lain adalah pengingat untuk saya dan mungkin juga orang lain bahwa saya haruslah berhati-hati untuk jangan sampai menjadi penjaja dusta di berbagai bentuk lapak informasi.

Bentuk dusta dalam penyebaran informasi di sini bisa sangat sederhana, misalnya berupa posting atau komentar di media sosial seperti Facebook atau Twitter. Yang lebih rumit, wujudnya berupa tulisan yang secara umum dipandang sebagai “berita”.

Berita yang memuat dusta juga bisa diperinci bentuk-bentuknya. Bisa karena fakta yang dihimpun tidak diperiksa dengan ketat, atau karena si penulis tidak cermat menulis kata atau kalimat sehingga apa yang ditulis dan kemudian disiarkannya itu tak sama dengan maksud yang ada di kepalanya.

Untuk soal yang terakhir ini, agar tidak terlalu abstrak, izinkan saya mengangkat contoh sederhana. Jika ada kalimat seperti ini: “Kemarin saya melihat pasangan pelajar yang masih mengenakan seragam sekolah duduk-duduk di salah satu warung di Pasar Ganding selepas zuhur,” maka pikiran saya akan mengatakan bahwa kedua pelajar yang dimaksud sama-sama mengenakan seragam sekolah. Jika faktanya yang mengenakan seragam hanya salah satunya, maka rasanya tidak salah untuk mengatakan bahwa kalimat di atas memuat dusta.

Apabila pada tulisan yang sama kemudian muncul kalimat seperti ini: “Pak Ahmad heran mengapa dua pasangan pelajar itu sudah ada di Pasar Ganding, padahal saat itu masih jam sekolah,” maka sebagai pembaca saya akan heran dan bertanya-tanya: apakah yang duduk-duduk di warung itu sebenarnya 2 orang ataukah 4 orang?

Istilah “penjaja dusta” pada judul di atas mungkin akan terdengar hiperbolis. Tapi menurut saya, dalam konteks media dan arus informasi yang sedemikian cepat di era internet ini, rasanya tidaklah berlebihan untuk memberikan unsur hiperbolis pada judul tulisan ini. Alasannya, dampak informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan (dusta) itu bisa tak berhingga. Teknologi salin-tempel memudahkan percepatan penyebaran informasi dengan berbagai media, terutama melalui jejaring sosial di internet.

Film Mad City (1997) yang dibintangi oleh Dustin Hoffman dan John Travolta kiranya dapat memberikan gambaran tentang bagaimana dusta yang dikelola dalam industri media bisa memberikan dampak yang mematikan. Film itu menceritakan kasus salah tembak satpam yang baru dipecat di sebuah museum pada mantan rekan kerjanya yang membuat ia terlibat masalah pelik. Karena keadaan, akhirnya ia “terpaksa” menyandera sekelompok murid sekolah di museum itu. Kasus ini dimanfaatkan oleh sejumlah media sehingga akhirnya membawa sejumlah dampak yang tak terkira.

Jika media diakui memiliki dampak yang begitu dahsyat, apa yang bisa kita lakukan? Untuk selamat dari potensi cap sebagai “penjaja dusta”, setidaknya kita bisa menggarisbawahi kembali hal-hal mendasar dalam kaidah jurnalistik. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, sesederhana apa pun, pastikan untuk memeriksa kembali fakta-fakta yang sudah dihimpun dari berbagai sumber. Pastikan bahwa fakta-fakta itu memang akurat. Kedua, pastikan bahwa kita sudah menghimpun fakta dan pendapat dari sisi yang lengkap. Jangan sampai ada subjek kunci dalam berita atau peristiwa yang kita tulis tidak mendapatkan tempat untuk bersuara. Ketiga, pastikan bahwa kata-kata atau kalimat yang kita gunakan benar-benar menggambarkan gagasan, pikiran, fakta, atau data yang kita himpun. Jangan bosan untuk membuka kamus untuk memastikan ketepatan makna kata-kata tertentu. Penyuntingan oleh pihak lain mungkin akan membantu jika ada hal-hal penting yang terlewatkan.

Dari sisi lain, sebagai pembaca kita mungkin harus juga membuka kemungkinan bahwa bisa jadi tulisan yang kita cerna di media dalam pengertian yang luas berpotensi untuk memuat dusta. Karena itu, menjadi pembaca yang cerdas dan kritis tampaknya menjadi keharusan di tengah derasnya banjir informasi yang mendera kita saban hari.

Sungguh sedih membayangkan jika generasi kita dibanjiri dengan berita-berita yang memuat dusta. Itu sebuah pembiasaan yang sangat tidak baik dan mungkin berpeluang untuk meracuni pikiran dan cara pandangnya dalam melihat peristiwa dan dunia.

Khususnya mereka yang suka menulis di berbagai media, dari yang sederhana hingga yang profesional, mari kita terus berupaya untuk berlindung dari menjadi orang yang termasuk dalam kelompok penjaja dusta. Sebagai pembaca, mari kita menjadi pembaca yang cerdas dan kritis.

Baca juga:
>> Bila Media Tak Setia pada Fakta
>> Melek Informasi

Read More..

Kamis, 14 November 2013

Maunya ‘Nginggris’ Malah Bikin Meringis


Dalam salah satu tulisannya, Alif Danya Munsyi pernah menuturkan tentang gejala ‘nginggris’ yang menjajah Jakarta. Di berbagai tempat umum di kota itu, bertaburan kata-kata berbahasa Inggris seperti no smoking, three in one, flying over, busway, ring road, dan sebagainya.

Malah dia juga menemukan ada kasus ‘nginggris’ yang salah kaprah. Di beberapa gedung megah di Jakarta, tulisan tanda masuk dan keluar ada yang menggunakan kata in di gerbang masuk dan out di gerbang keluar. “Dengan begitu manusia seakan-akan menjadi bola tenis atau kok bulutangkis yang diteriaki wasit antara masuk dan keluar garis,” tulisnya.

Kasus salah kaprah ‘nginggris’ yang serupa baru-baru ini saya temukan di desa saya tepat sehari sebelum peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober lalu. Saya menemukannya saat saya hendak meninggalkan acara wisuda sarjana Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep, pada 27 Oktober 2013 lalu. Di tempat parkir, saya melihat tulisan yang langsung membuat saya—untuk kesekian kali—tertawa melihat kecerobohan berbahasa pengurus publik yang juga lazim disebut “korps baju cokelat” itu.

Saya melihat mobil operasional polisi sektor Guluk-Guluk bernomor polisi 3702-67 mencantumkan tulisan berbahasa Inggris tetapi keliru. Di belakang ruang kemudi, ada tulisan besar “SABHARA”, dan di bawahnya tertulis “Contack Center (021) 110”. Tulisan berbahasa Inggris yang keliru ini, “Contack”, juga saya temukan di sisi kanan bagian belakang Mitsubishi Strada itu.

Saya agak terburu-buru saat menemukan kejanggalan itu dan tidak sempat memfoto secara lebih detail mobil yang sedang parkir itu. Dalam perjalanan pulang dari tempat acara saya jadi teringat kasus kecerobohan berbahasa aparat kepolisian yang sebelumnya juga sempat saya temukan dan saya tulis di blog saya.

Korps yang terkesan amat suka membuat akronim ini pernah membuat masalah serius di Kabupaten Sumenep gara-gara mereka tidak bisa memahami kalimat yang tercantum dalam brosur penerimaan brigadir brimob dan dalmas 2012 Kepolisian Resor Sumenep, Jawa Timur, yang dibuat oleh institusi mereka sendiri. Akibat ketidakpahaman ini, mereka bersikeras menolak seorang lulusan Madrasah Aliyah yang dikelola oleh sebuah pesantren di Sumenep. Aparat masih terus ngotot meski sudah diberi penjelasan baik dari sudut kebahasaan maupun dari aspek yang lain. Ujungnya, Polres Sumenep baru menyatakan permohonan maaf sepekan setelah ada tekanan berupa aksi massa pada 17 Juli 2012 dan pengaduan hingga tingkat Jawa Timur.

Selain teringat pada kasus tahun lalu itu, saya juga sempat bertanya-tanya: apakah ini hanya satu kasus kesalahan, atau dalam bahasa aparat biasa disebut “oknum”, atau memang terjadi secara masif? Secara kebetulan, hari Sabtu (9/11) lalu saat saya sedang ke kota Sumenep, pertanyaan saya ini terjawab. Saat melintas di depan Masjid Jamik Sumenep, saya melihat mobil operasional polisi sektor kota Sumenep, dan sekilas saya melihat tulisan berbahasa Inggris dengan kesalahan yang persis sama di bagian belakang sisi kanan mobil yang sedang parkir tersebut. Sayang sekali saya tak sempat memfoto mobil tersebut.

Pikiran saya terus berlanjut: jangan-jangan ini terjadi di semua mobil operasional polisi di Sumenep. Atau bahkan di Jawa Timur! Teringat kembali pada kasus tahun lalu, saya jadi khawatir bahwa kecerobohan berbahasa semacam ini juga menunjukkan kekacauan berpikir pengurus publik di negeri kita.

Beberapa ahli bahasa melihat gejala ‘nginggris’ ini sebagai bentuk sikap minder. Di sisi lain, ini bisa juga menunjukkan kehidupan kita yang semakin mendunia. Di atas itu semua, jangan sampai keinginan untuk ‘nginggris’ dan tampil sebagai warga dunia terjerembab ke dalam sikap yang justru bisa bikin orang meringis, seperti pengalaman saya di atas.

Baca juga:
>> Nalar Bahasa Pengurus Publik

Read More..

Senin, 14 Oktober 2013

Cerpen Terpilih Lintas-Dekade untuk Program Literasi SMA 3 Annuqayah



Keluasan bacaan sangat penting untuk membantu proses kreatif kepenulisan. Wawasan bacaan yang terbatas bisa jadi akan membuat penjelajahan kreasi kepenulisan seseorang juga terbatas.

Gagasan semacam inilah yang membuat saya sebagai Kepala SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, merasa penting untuk menghimpun cerpen (cerita pendek) terpilih dalam satu buku yang diharapkan dapat membantu siswa untuk memperkaya wawasan bacaan dan kepenulisan cerpen pada khususnya. Penting diketahui bahwa minat bacaan dan kepenulisan siswa di SMA 3 Annuqayah (yang semuanya perempuan) pada khususnya dan siswa/santri putri Pesantren Annuqayah pada umumnya relatif cukup banyak yang mengarah pada fiksi, baik novel maupun cerpen. Sedang dari pengamatan sepintas terlihat bahwa rujukan bacaan siswa untuk karya fiksi berupa novel dan cerpen masih terbatas. Akibatnya, siswa yang menulis cerpen cenderung memperlihatkan gaya yang relatif seragam.

Dengan landasan pemikiran seperti ini, saya merancang program penerbitan buku antologi cerpen terpilih yang bertujuan untuk memperkenalkan para penulis cerpen terkemuka di Indonesia dan karya-karya terbaik mereka. Program penerbitan antologi ini berada dalam kerangka program pengembangan literasi di SMA 3 Annuqayah yang dirancang khusus pada tahun pelajaran 2013/2014.

Sebuah buku yang menghimpun cerpen-cerpen terbaik lintas-generasi dan lintas-dekade menjadi penting karena sependek pengetahuan saya, buku seperti ini belum ada atau belum diterbitkan untuk umum. Buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi yang dihimpun oleh HB Jassin, misalnya, sebagaimana judulnya, hanya terbatas pada generasi sastrawan yang disebut “Angkatan 66”. Kumpulan cerpen terbaik Kompas yang rutin terbit sejak 1992, misalnya, hanya terbatas pada cerpen-cerpen yang dimuat di Harian Kompas.

Memilih penulis cerpen dan karya mereka untuk dihimpun dalam satu buku memiliki keterbatasan dan juga kesulitan tertentu. Ada banyak penulis cerpen terkemuka di Indonesia yang mewakili generasi dan gaya atau teknik bercerita yang khas. Jika buku ini memuat banyak penulis dan karyanya, maka bukunya harus tebal. Dan buku antologi yang terlalu tebal saya pikir mungkin akan kurang nyaman. Pengamatan sepintas, siswa di lingkungan saya masih agak “ketakutan” bila berhadapan dengan buku yang tebal. Karena itu, saya berpikir bahwa buku antologi cerpen terpilih ini bisa dibuat berseri—tidak hanya satu antologi. Dan ini adalah antologi yang pertama.

Antologi cerpen yang pertama ini memuat 18 cerita pendek karya penulis cerpen terkemuka di Indonesia. Kedelapan belas cerpen ini mewakili generasi penulis yang merentang dari cerpenis kelahiran tahun 1924 sampai 1977. Para penulis cerpen yang terpilih dalam antologi ini diseleksi berdasarkan dua pertimbangan utama: wakil dari generasi berdasar dekade tahun kelahiran dan kekhasan gaya kepenulisan. Proses pemilihannya memang agak sulit dan lama. Untuk dua hal ini, saya meminta masukan dari beberapa orang yang punya wawasan cerpen yang luas dan pemahaman akan kebutuhan bacaan siswa di lingkungan sekolah kami pada khususnya. Di antara mereka adalah Kiai Muhammad Faizi, Ahmad Badrus Sholihin, dan Bernando J. Sujibto. Saya juga sempat berkomunikasi langsung dengan Joni Ariadinata dan Puthut EA berkaitan dengan proyek antologi ini dan cerpen karya mereka.

Memilih satu cerpen dari penulis terkemuka yang sudah dipilih juga tidak mudah. Saya berusaha mengambil cerpen yang kira-kira mewakili kekhasan gaya kepenulisannya tapi kira-kira tidak terlalu sulit dicerna siswa setingkat SMA/MA. Untuk hal ini, saya sempat mengganti beberapa cerpen karena saat diujicobakan kepada beberapa siswa atau saat dibaca dan dicermati ulang oleh saya sendiri, saya merasa kurang begitu pas dengan cerpen yang sudah dipilih sebelumnya. Cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo, misalnya, muncul setelah sebelumnya terpilih cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” dan “Rumah yang Terbakar”. Cerpen “Lukisan Perkawinan” karya Hamsad Rangkuti, misalnya, dipilih setelah cerpen “Lagu di Atas Bus” dikomentari siswa bahwa katanya terkesan agak membosankan.

Memutuskan cerpen yang mana dari cerpenis seperti Putu Wijaya yang sangat produktif bahkan hingga sekarang untuk dimasukkan dalam antologi ini terasa cukup menyulitkan juga. Dalam situasi seperti ini, pertimbangan saya bisa jadi akan terkesan subjektif, meskipun saya sudah berusaha menyisir buku-buku kumpulan cerpen, buku-buku antologi cerpen Putu Wijaya yang saya punya semisal Blok dan Yel, dan juga laman blog yang khusus menampung cerpen-cerpen Putu Wijaya.

Selain melibatkan kenalan yang saya pandang ahli dalam proses memilih penulis dan karyanya, proses penyusunan antologi cerpen ini juga melibatkan siswa, termasuk juga dalam tahap pengetikan ulang naskah, koreksi pengetikan, pemilihan kata-kata yang kemudian dibuatkan kamus kecilnya di bagian belakang buku, dan pembuatan ilustrasi. Dari berbagai proses itu, saya juga meminta komentar dan penilaian siswa atas cerpen yang dibacanya itu.

Bagi siswa yang belajar di sebuah sekolah di pedalaman seperti SMA 3 Annuqayah yang berada di kampung Sabajarin, Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, antologi semacam ini pasti akan sangat berarti. Hanya dalam satu buku, siswa diperkenalkan dengan cerpenis-cerpenis terkemuka dengan satu karya pilihan mereka. Di tengah keterbatasan akses buku dan informasi, sejak bangku SMA siswa bisa memperluas dunia imajinasi mereka melalui karya-karya yang terhimpun dalam antologi ini.

Antologi ini rencananya akan dikemas dalam bentuk buku dan diperbanyak secara terbatas untuk digunakan dalam program pengembangan literasi SMA 3 Annuqayah. Di satu sisi, antologi ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran siswa yang hendak menulis cerpen, karena dalam kerangka program literasi di SMA 3 Annuqayah, sekolah rencananya akan menghimpun dan menerbitkan cerpen karya siswa secara rutin. Selain itu, dalam kegiatan pembelajaran di kelas untuk pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, antologi ini tentu saja dapat dipergunakan saat membahas tema cerpen di kelas, baik sebagai bahan latihan maupun pengayaan pembelajaran.

Sebagai pendukung pembelajaran, dalam antologi ini saya juga melampirkan kamus kecil di bagian akhir yang memuat kata-kata yang relatif baru bagi siswa. Ada 153 lema dalam kamus kecil ini. Lema dipilih sebagian besar oleh siswa selain oleh saya sendiri. Dengan adanya kamus kecil ini, kegiatan membaca akan menjadi lebih bergizi dan bernilai tambah karena siswa juga mungkin akan memperluas wawasan kosakata mereka.

Selain kamus, setelah 18 cerpen terpilih, saya juga memilih satu esai karya Budi Darma sebagai penutup yang kira-kira bisa menjadi bahan pengaya tentang proses kreatif kepenulisan cerpen.

Saat ini buku ini sudah berada dalam tahap penataan perwajahan akhir. Ada beberapa pernik perwajahan-dalam yang belum selesai, dan sampul untuk buku ini juga masih dalam tahap penyelesaian.

Satu hal yang masih mengganjal dalam pikiran saya adalah soal hak cipta. Pengetahuan saya yang lebih teperinci tentang hak cipta memang masih sangat kurang. Tapi muncul pertanyaan dalam benak saya: apakah penerbitan buku ini secara terbatas dalam konteks, situasi, dan tujuan seperti saya paparkan di atas bisa dibenarkan secara moral atau tidak mencederai hak para penulis yang karyanya termuat di sini?

Untuk sementara, saya berbaik sangka bahwa para penulis yang karyanya termuat dalam antologi ini akan tidak merasa bermasalah atau tidak merasa haknya tercederai. Dalam bahasa pesantren, ‘ulima ridlâhu (artinya: diketahui bahwa dia akan rela). Buku antologi yang saya siapkan ini sangat jauh dari tujuan-tujuan yang sifatnya komersial atau bersifat pribadi. Saya yakin, para penulis yang karyanya termuat dalam antologi ini akan merasa seperti saling bergandeng tangan— juga dengan kami di sini, guru dan siswa di sebuah sekolah di pedalaman Madura—untuk bersiasat mengatasi keterbatasan dan sekaligus bergerak untuk memajukan pendidikan dan kehidupan masyarakat melalui sastra dan literasi.

Saya yakin, Allah akan mencatat semua niat baik dan usaha kebaikan yang dilakukan semua orang, sekecil apa pun itu, sesederhana apa pun itu. Dan semoga niat baik saya melalui penerbitan buku antologi cerpen terpilih ini tidak termasuk dalam kategori niat baik yang dilakukan dengan jalan yang tidak/kurang baik.

Semoga mendapat perkenan Allah. Terima kasih.


Daftar Cerpen Terpilih dan Sumber Naskah

Robohnya Surau Kami, AA Navis
AA Navis, Robohnya Surau Kami, Jakarta: Gramedia, Cetakan XIII, September 2007.

Tegak Lurus dengan Langit, Iwan Simatupang
Iwan Simatupang, Tegak Lurus dengan Langit, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Sumpah Dua Lelaki Bersaudara, Mohammad Diponegoro
Mohammad Diponegoro, Odah dan Cerita Lainnya, Yogyakarta: Hikayat Publishing, Maret 2006.

Secangkir Kopi dan Sepotong Donat, Umar Kayam
Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Jakarta: Grafiti, April 2003.

Laki-Laki Tua Tanpa Nama, Budi Darma
Budi Darma, Orang-Orang Bloomington, Jakarta: Sinar Harapan, 1980.

Keberanian Manusia, Motinggo Busye
Motinggo Busye, Nyonya dan Nyonya, Jakarta: KPG, Oktober 2004.

Setangkai Melati di Sayap Jibril, Danarto
Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril, Yogyakarta: Bentang Budaya, Februari 2001.

Lukisan Perkawinan, Hamsad Rangkuti
Hamsad Rangkuti, Lukisan Perkawinan, Yogyakarta: Mahatari, Oktober 2004.

Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, Kuntowijoyo
Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997), Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Cetakan II, Maret 2002.

Kamus, Putu Wijaya
Putu Wijaya, Blok, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan II, September 1995.

Gus Jakfar, A, Mustofa Bisri
A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Cetakan III, April 2008.

Senyum Karyamin, Ahmad Tohari
Ahmad Tohari, Senyum Karyamin, Jakarta: Gramedia, Cetakan IV, Oktober 2000.

Dongeng Sebelum Tidur, Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma, Iblis Tak Pernah Mati, Yogyakarta: Galang Press, Mei 1999.

Malaikat tak Datang Malam Hari, Joni Ariadinata
Joni Ariadinata, Malaikat Tak Datang Malam Hari, Bandung: DAR Mizan, 2004.

Otobiografi Gloria, AS Laksana
AS Laksana, Murjangkung, Jakarta: GagasMedia, 2013.

Makam Keempat, Linda Christanty
Linda Christanty, Kuda Terbang Mario Pinto, Jakarta: Kata Kita, Februari 2004.

Ketika Mas Gagah Pergi, Helvi Tyana Rosa
Helvy Tiana Rosa, Ketika Mas Gagah Pergi, Jakarta: Pustaka Annida, 1997.

Ibu Pergi ke Laut, Puthut EA
Ripin: Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006, Jakarta: Kompas, 2006.

Pengarang dan Obsesinya, Budi Darma
Budi Darma, Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2008.


Baca juga:
>> Kerangka Acuan Program Pengembangan Literasi SMA 3 Annuqayah



Read More..

Kamis, 12 September 2013

Kerja Efektif


Setiap hari kita tenggelam dalam pekerjaan atau kegiatan yang kita lakukan. Namun pernahkah kita mencoba diam sejenak lalu bertanya pada diri kita sendiri: seberapa jauh sebenarnya langkah yang kita buat dalam pekerjaan kita? Seperti apa sebenarnya nilai pekerjaan atau kegiatan yang telah kita lakukan itu?

Pertanyaan semacam ini dapat kita bawa ke wilayah pekerjaan atau kegiatan yang sifatnya perseorangan maupun kelembagaan. Mengajukan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri mungkin terasa cukup sederhana. Pertanyaan itu hanya untuk kita, tidak untuk orang lain. Akan tetapi jika terkait dengan lembaga, pertanyaan ini tampak menjadi lebih rumit karena tentu saja pekerjaan atau kegiatan yang kita maksud melibatkan orang dan faktor yang tidak tunggal.

Baik diarahkan kepada diri kita sendiri maupun pada suatu lembaga, pertanyaan ini pada dasarnya bersifat evaluatif dan reflektif. Pertanyaan ini hendak mengukur dan melihat kembali secara lebih cermat titik-titik yang telah kita lalui dalam serangkaian pekerjaan atau kegiatan kita itu. Seperti apakah bentuk titik-titik yang kita bentuk dalam jejak pekerjaan atau kegiatan kita?

Membiasakan diri untuk mengangkat pertanyaan yang sifatnya evaluatif dan reflektif ini secara gamblang dan terus terang sangatlah penting. Di SMA 3 Annuqayah, hal ini saya wujudkan dengan membiasakan menyusun laporan kegiatan kependidikan sekolah setiap akhir tahun pelajaran. Dalam tiga tahun masa kepemimpinan saya, ada tiga laporan yang telah dibuat. Sejak tahun lalu, saya juga berusaha mendorong tradisi membuat laporan ini pada Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan juga salah satu unit kegiatan siswa di SMA 3 Annuqayah, yakni komunitas siswa peduli lingkungan yang bernama Pemulung Sampah Gaul (PSG).

Dalam laporan yang dibuat sekolah ini saya berusaha untuk mengangkat dan menyajikan semua data yang kami miliki terkait dengan seluruh kegiatan sekolah. Sistematikanya mengikuti bidang-bidang utama yang dikerjakan sekolah, yakni bidang kelembagaan, kurikuler, kesiswaan, sarana dan prasarana, dan administrasi.

Kadang data dan butir informasi yang kami cantumkan terasa agak remeh. Misalnya data asal sekolah siswa atau tanggal pelaksanaan rapat yang pernah dilaksanakan di sekolah. Akan tetapi saya yakin bahwa catatan-catatan seperti itu suatu saat akan kelihatan nilai gunanya.

Laporan sekolah yang kami buat saya dorong agar tidak hanya bersifat formal dan sangat singkat. Dalam tiap butir laporan kegiatan, saya mendorong agar ada deskripsi atau narasi sesingkat apa pun tentang kegiatan yang telah dilaksanakan itu. Pada titik ini kami merasa sangat terbantu oleh tradisi kami yang lain yang sejak tahun 2008 mendorong siswa-siswa kami untuk menulis berita kegiatan di sekolah. Tulisan-tulisan siswa itu pada akhirnya dapat menjadi paparan penjelas yang sifatnya naratif dan deskriptif tentang kegiatan-kegiatan sekolah yang dilaksanakan dalam satu tahun pelajaran. Sadar akan pentingnya “laporan” yang dibuat siswa ini, sejak tahun lalu kami melampirkan tulisan-tulisan siswa tersebut dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan kependidikan sekolah.

Laporan yang kami susun ini terasa sekali semakin memudahkan pekerjaan kami pada tahun-tahun berikutnya karena dari laporan itulah kami bisa menemukan satu informasi tertentu tentang satu butir kegiatan yang akan berguna saat kami merancang atau melaksanakan kegiatan serupa di tahun berikutnya. Lebih dari itu, kami juga bisa mendapatkan satu gambaran yang cukup utuh dengan melihat semua apa yang telah kami lakukan dalam rentang satu tahun pelajaran.

Kami merasa dapat bekerja secara lebih efektif saat sejak tahun pelajaran yang lalu, yakni tahun pelajaran 2012/2013, di awal tahun pelajaran kami berhasil menyusun dokumen rencana program sekolah yang cukup lengkap. Pada dua tahun pelajaran sebelumnya, kami hanya membuat alokasi anggaran secara kasar dengan berdasarkan pada apa yang sudah kami kerjakan pada tahun sebelumnya. Namun sejak tahun pelajaran yang lalu, kami berhasil membuat rencana program sekolah yang disusun melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan pihak guru.

Rencana program sekolah itu menuntun arah pekerjaan dan kegiatan kami, dan laporan yang kami buat di akhir tahun mengukur dan menilai seberapa jauh rencana kami itu terlaksana.

Rencana dan evaluasi atau laporan sebenarnya hal yang sudah lazim diketahui oleh banyak orang. Apalagi mereka yang berada di posisi pengambil keputusan atau kebijakan suatu lembaga. Biasanya masalah ini disampaikan dalam pelatihan kepemimpinan atau organisasi. Namun rasanya, paling tidak di sekitar saya, belum banyak lembaga yang mencoba untuk berdisiplin melaksanakan hal ini.

Saya membayangkan seperti apa kira-kira jalannya suatu lembaga yang melaksanakan kegiatan-kegiatannya tanpa perencanaan dan tanpa evaluasi. Pada tingkat yang paling ekstrem, saya pikir lembaga itu mungkin akan sangat rentan dengan situasi darurat atau tantangan bila suatu saat datang. Pada tingkat yang masih bisa ditoleransi, mungkin lembaga itu tetap bisa bertahan dan melaksanakan kegiatan rutinnya. Namun saya pikir lembaga itu akan cukup sulit berkembang.

Kerja efektif dengan perencanaan dan laporan saya rasakan juga dalam kaitannya dengan soal jejaring. Dokumen perencanaan dan laporan sekolah jika disiarkan kepada khalayak terkait akan mempermudah suatu lembaga untuk bekerja sama atau berjejaring dengan pihak-pihak yang lebih luas. Jika saya berbincang dengan seseorang yang sekiranya dapat membantu program sekolah kami, saya cukup memberinya tautan dokumen atau tulisan tentang kami di internet sehingga dia bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Dari situ juga, orang itu dapat juga terus melanjutkan penelusurannya melalui tautan dan jejaring informasi yang tersedia. Saya sangat percaya bahwa kerja sama atau berjejaring adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam membantu kesuksesan pekerjaan atau kegiatan yang kita lakukan.

Kesimpulannya, pekerjaan atau kegiatan kita semestinya kita rencanakan dengan baik dan kita nilai (evaluasi) dengan tertib dalam bentuk dokumen tertulis. Ini tidak saja akan membuat pekerjaan kita menjadi lebih berdaya dan berhasil guna, tapi juga memudahkan orang lain untuk terlibat dan membantu pekerjaan atau kegiatan kita itu.

Terakhir, tulisan ini sebenarnya adalah pengingat untuk diri saya sendiri. Ya, tulisan ini adalah semacam peneguhan agar saat saya berkegiatan di satu lembaga, saya bisa terus istikamah untuk membuat perencanaan dan evaluasi tertulis—sesederhana apa pun, seperti halnya tulisan ini—agar pekerjaan saya itu bisa lebih mangkus atau bahkan agar waktu yang saya habiskan dalam kegiatan saya itu tidak relatif sia-sia.

Wa mâ tawfîq illâ bi l-Lâh.


>> Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Kependidikan SMA 3 Annuqayah Tahun pelajaran 2012/2013 bisa diunduh di sini.

>> Dokumentasi berita kegiatan SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2012/2013 bisa diunduh di sini.

Read More..

Minggu, 01 September 2013

Mari Selamatkan Manuskrip Pesantren

Salah satu manuskrip keislaman pesantren yang saya temukan bertanggal 10 Oktober 1977.

Kajian pesantren dalam kerangka studi keislaman nusantara sudah cukup banyak dilakukan. Tapi pendekatan yang dilakukan masih sangat sedikit yang menggunakan metode penelitian naskah atau manuskrip pesantren. Studi yang dilakukan lebih banyak mengandalkan pada wawancara dan pengamatan. Ini terjadi terutama karena manuskrip pesantren masih belum mendapatkan perhatian oleh kalangan pesantren sendiri.

Demikian salah satu kunci gagasan yang saya dapatkan saat Pak Amiq Ahyad, kenalan di Facebook yang merupakan dosen filologi di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya bertandang ke rumah saya beberapa hari setelah lebaran Idulfitri lalu. Kandidat doktor yang menyelesaikan dua program magister di Belanda ini memang mengajar dan menekuni studi naskah (manuskrip) dengan fokus ketertarikan pada manuskrip pesantren.

Kedatangan Pak Amiq kemarin itu di antaranya bertujuan untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya merawat dan menyelamatkan manuskrip pesantren yang menurut perkiraannya pasti sangat melimpah. Pak Amiq memberi ilustrasi kasar dugaannya bahwa di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pastilah banyak sekali manuskrip pesantren.

Di pesantren yang tercatat berdiri pada tahun 1887 ini, dahulu pastilah para santrinya memiliki banyak catatan selama belajar di pesantren. Tambahan lagi, dahulu santri relatif sulit untuk mendapatkan kitab sehingga banyak di antara mereka yang menyalin atau menulis ulang kitab yang dipelajarinya di pesantren. Jika sepuluh persen saja dari para santri itu menyalin 2 kitab dalam setahun, maka potensi manuskrip pesantren di jaringan Annuqayah sangat besar.

Belum lagi ada fakta yang telah diketahui banyak orang bahwa beberapa kiai Annuqayah telah mengarang karya-karya berbahasa Arab. Beberapa di antaranya saat ini digunakan sebagai bahan pelajaran di lembaga pendidikan formal di Annuqayah dan lembaga jaringan atau alumninya.

Apa nilai penting salinan atau manuskrip-manuskrip tersebut? Secara sederhana Pak Amiq menjelaskan bahwa manuskrip-manuskrip pesantren itu akan dapat menjadi bukti yang sangat kuat betapa pesantren telah lama memiliki tradisi keilmuan yang canggih. Manuskrip pesantren akan memperlihatkan dengan jelas dialog-dialog keilmuan yang ada di pesantren sejak zaman dahulu.

Di sebuah pesantren di Jawa Timur, tutur Pak Amiq, dia menemukan sebuah karya yang luar biasa yang merupakan ulasan atas kitab Jawharatuttawhid karya Ibrahim al-Laqqani. Manuskrip yang lain, dalam bentuk catatan sederhana, juga berbicara banyak tentang semangat keilmuan yang ada di pesantren.

Saya sendiri sekitar dua tahun yang lalu secara kebetulan menemukan sebuah manuskrip pesantren tertanggal 10 Oktober 1977 di antara kitab-kitab ayah saya. Manuskrip yang saya temukan ini adalah rangkuman atas kitab Matnul Ajrumiyyah, kitab rujukan dasar tentang tata bahasa Arab yang biasa digunakan di pesantren. Manuskrip 31 halaman berbahasa Indonesia dan ditulis dengan huruf Arab pegon yang ditulis oleh seorang santri bernama Muhammad Sirri ini di mata saya memperlihatkan kecanggihan tradisi keilmuan pesantren pada masa itu. Menyusun rangkuman dari kitab kuning berbahasa Arab bukan sesuatu yang sederhana. Apalagi saya melihat si pengarang sudah bisa menyajikan beberapa poin rangkuman dalam bentuk tabel sehingga lebih mempermudah secara visual untuk memberikan pemahaman kepada pembaca. Tak heran bahwa naskah ini sampai sekarang di Annuqayah masih digunakan sebagai rujukan santri dalam belajar dasar-dasar tata bahasa Arab.


Salah satu salinan manuskrip Kiai Ilyas - Sumber: Muhammad Al-Faiz

17 Agustus lalu, seorang saudara memposting sebuah gambar di Facebook yang memuat kutipan syair berbahasa Arab bertema kemerdekaan yang ditulis oleh salah seorang pengasuh Pesantren Annuqayah, almarhum Kiai Muhammad Ilyas Syarqawi (wafat tahun 1959). Petikan syair itu kata saudara saya yang mengutip, Muhammad Al-Faiz, tercatat bertanggal 17 Agustus 1949. Al-Faiz menyalin syair itu dari manuskrip yang dia temukan di antara arsip almarhum ayahnya.

Manuskrip yang terakhir ini menunjukkan sesuatu yang sangat menarik: bahwa tokoh pesantren di Madura telah cukup intens bersentuhan dengan ide nasionalisme. Tak mengherankan, karena saudara Kiai Muhammad Ilyas, yakni Kiai Abdullah Sajjad, meninggal pada 3 Desember 1947 setelah ditembak oleh tentara Belanda.

Kedatangan Pak Amiq beberapa hari setelah lebaran lalu menggugah saya dan orang-orang pesantren pada umumnya untuk semakin sadar akan pentingnya dokumentasi dan nilai historis dari manuskrip pesantren. Kata Pak Amiq, manuskrip-manuskrip pesantren itu harus segera diselamatkan karena jika tidak pesantren akan kehilangan bukti sejarah kehebatannya di masa lalu. Bukti sejarah ini bukan sekadar dasar untuk dijadikan klaim bahwa pesantren sudah menjadi pusat keilmuan keagamaan sejak lama. Lebih dari itu, manuskrip-manuskrip itu dapat menjadi bahan pelajaran dan motivasi bagi orang-orang pesantren untuk terus berkhidmah di dunia pendidikan dan kemasyarakatan sebagaimana dahulu sudah dilakukan.

Hanya kepedulian orang-orang dalam pesantren sendirilah yang akan dapat menyelamatkan nasib manuskrip-manuskrip pesantren yang berharga itu.

Read More..

Senin, 19 Agustus 2013

Waktu Sela dan Kamera Seadanya


Sejak memiliki kamera saku pada pertengahan 2009 dan menyukai fotografi mulai sekitar akhir tahun 2009, saya kadang meluangkan waktu secara khusus untuk berburu gambar. Tujuannya adalah untuk belajar dan menajamkan naluri fotografi. Memang objek dan momentumnya sering kali biasa. Tapi saya percaya bahwa dengan sudut pandang yang tepat, setiap jepretan dapat memberi pelajaran yang baru buat saya.

Sejak memiliki kamera yang lebih baik, yakni kamera DSLR, hobi berburu gambar menjadi semakin menggoda. Sayangnya, bersamaan dengan itu, kesibukan saya di kegiatan kependidikan justru semakin padat sehingga saya agak kesulitan mengatur waktu untuk secara khusus berburu gambar. Apalagi, perangkat kamera DSLR dengan perangkat pendukung (lensa, filter, dan yang lain) cukup menyita ruang dan agak ribet untuk dibawa.

Pada akhir bulan November 2012 lalu, saya sempat kedatangan tamu fotografer terkemuka, Tedi K. Wardhana (instruktur Darwis Triadi School of Photograpy, Jakarta). Pada kesempatan itu, dia memberikan pelatihan singkat fotografi kepada murid dan guru di SMA 3 Annuqayah. Fokusnya pada fotografi dengan kamera telepon seluler (ponsel). Dari pemaparan Pak Tedi, saya tersadar bahwa belajar fotografi juga bisa dilakukan dengan perangkat mobil yang nyaris dimiliki semua orang: telepon seluler. Apalagi saat ini telepon seluler yang memiliki fasilitas kamera terbilang murah dan sudah dimiliki banyak orang.

Apa yang paling mungkin digali dan dipelajari dari kamera ponsel? Paling tidak ada dua hal: pembingkaian dan kepekaan pada cahaya. Pembingkaian adalah hal yang menurut saya sangat mendasar dalam fotografi, yakni bagaimana kita memasukkan objek tertentu dalam bingkai gambar yang sedang kita bidik. Setiap kali mengambil gambar dengan kamera, saya berusaha untuk membayangkan bahwa saya sedang mengambil secuil gambar dari realitas yang ada di hadapan saya dalam sebuah batas atau bingkai tertentu. Nah, untuk melatih hal ini, kamera ponsel tentu saja tidak punya hambatan.

Yang kedua adalah soal kepekaan pada cahaya. Kamera pada dasarnya bekerja melalui cahaya. Kamera merekam objek yang kita ambil dengan berdasarkan masukan cahaya yang ada di sekitar objek tersebut. Penyesuaian terhadap keberadaan cahaya dengan objek yang kita tuju sangatlah penting dalam fotografi. Arah cahaya datang dan posisi kita yang sedang mengambil gambar akan berpengaruh pada gambar yang akan dihasilkan. Dengan teknologi yang seadanya, kamera ponsel dapat menjadi media eksplorasi untuk dapat merekam objek secara lebih baik dengan menempatkan diri dan menyesuaikan dengan situasi cahaya yang ada.

Jika kebetulan ada waktu dan berada di hadapan objek dan situasi yang tepat, saya berusaha memanfaatkan kamera ponsel saya dengan niat belajar. Contohnya adalah sore tadi. Saat pulang dari menghadiri tasyakkuran pernikahan seorang rekan di Kecamatan Batang-Batang, sekitar 60 km dari rumah saya di Guluk-Guluk, pulangnya kami mampir shalat asar di Masjid Jamik Sumenep. Begitu turun dari kendaraan, naluri fotografi saya langsung bekerja saat melihat Masjid Jamik Sumenep di sore sekitar pukul 16.35 WIB itu.

Langit biru. Senja yang cerah. Awan putih terbentuk cukup rapi di balik pintu gerbang masjid yang dominan dengan warna putih dan kuning itu. Saya teringat pada keagungan masjid yang dibangun di masa pemerintahan Panembahan Somala (1762-1811) dengan arsitek Lauw Pia Ngo itu. Nilai multikultural gerbang masjid yang berarsitektur China itu bagi saya sungguh membanggakan untuk diceritakan.

Setelah menunaikan shalat asar, saya pun mulai mengambil gambar dengan fokus pada gerbang masjid yang dibangun selama enam tahun itu, yakni mulai 1781 hingga 1787. Dengan menggunakan kamera ponsel Samsung GT-P3100, ternyata gambar yang dihasilkan cukup memuaskan buat saya. Dan, yang terpenting, saya berkesempatan untuk menajamkan naluri fotografi saya.

Di jalan pulang setelah meninggalkan Masjid Jamik Sumenep, sambil melihat-lihat hasil jepretan saya, pikiran saya sempat tergoda untuk secara khusus mengeksplorasi Masjid Jamik Sumenep sebagai objek kamera dengan waktu yang lebih leluasa dan utuh. Sungguh rasanya akan menjadi pengalaman menarik. Tapi saya belum tahu kapan saya bisa melakukannya.

Di bawah ini adalah beberapa hasil jepretan saya sore tadi.









Read More..

Kamis, 01 Agustus 2013

Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal - Q., s. al-Hujurat [49]: 13


Pada hari penaklukan Mekah di tahun kedelapan hijriah, di antara kebahagiaan yang dirasakan umat Islam, Bilal mengumandangkan azan di Ka’bah. Namun, ternyata setelah Bilal azan di Ka’bah, sebagian orang orang yang hadir di situ berkomentar dengan nada melecehkan. Diceritakan bahwa Usayd bin Abi al-‘Ish berkata: “Alhamdulillah ayahku wafat sebelum melihat kejadian ini.” Al-Harits ibn Hisyam denga nada serupa melontarkan tanya: “Apa Muhammad tidak menemukan orang lain yang lebih pantas untuk azan selain burung gagak ini?”

Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa sikap mengejek semacam ini cukup sering terjadi dalam masyarakat jahiliyah. Berbangga atas kehebatan kelompoknya dan menjatuhkan kabilah yang lain bahkan juga ditemukan dalam syair-syair Arab. Dalam konteks inilah, demikian Ibn ‘Asyur, ayat ini menyerukan umat manusia untuk menjaga diri dari cara pandang dan sikap tak terpuji seperti itu.

Dalam kaitan dengan beberapa ayat sebelumnya, ayat ini tampaknya berusaha untuk membangun pandangan etik yang bersifat pribadi dan lebih bersifat ke dalam yang umum sifatnya. Jika pada ayat-ayat sebelumnya al-Qur’an memberikan tuntunan bagaimana etika berhubungan dengan sesama muslim (seperti perintah untuk hati-hati menerima informasi, dorongan untuk berdamai, larangan untuk berprasangka dan melecehkan orang lain), ayat ini seperti hendak merangkum secara lebih luas tentang bagaimana segala bentuk relasi antarsesama mesti dibangun di tengah fakta keberagaman manusia.

Ayat ini dimulai dengan seruan dan peringatan kepada seluruh umat manusia yang pada titik intinya menunjukkan dua hal: bahwa manusia itu diciptakan dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa tujuan diciptakannya manusia yang beragam dari berbagai bangsa dan suku adalah untuk saling mengenal.

Poin pertama pada awal ayat ini hendak menegaskan bahwa semua manusia itu berasal dari seorang laki-laki dan seorang perempuan—tak ada yang berbeda sehingga semua setara. Jika proses penciptaan semua manusia itu sama, lalu masih adakah alasan untuk merasa lebih unggul daripada orang lain hanya karena, misalnya, kita terlahir dengan kulit yang lebih putih ketimbang orang lain?

Poin berikutnya, fakta bahwa ada beragam bangsa dan suku tidak lain dirancang oleh Allah agar manusia itu saling mengenal. Jadi, tujuan penciptaan yang beragam itu adalah pengenalan. Dengan demikian, pengenalan (saling mengenal) adalah kunci awal dalam setiap orang membangun jalinan kemitraan antarmanusia baik pada tingkat yang paling sederhana (perorangan) hingga tingkat yang lebih luas (kelompok masyarakat atau bangsa).

Menurut Quraish Shihab, pengenalan ini menjadi kunci bagi semakin terbukanya peluang kerja sama untuk bisa saling memberi manfaat. Kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama pada tingkat yang paling mendasar harus dibangun dengan adanya sikap terbuka untuk mau saling mengenal orang atau kelompok lain. Quraish mengutip surah al-‘Alaq [96]: 6-7 yang menjelaskan bahwa orang yang merasa dirinya tidak butuh pada orang lain (dan karena itu tak berminat untuk mengenal orang lain) termasuk orang yang sewenang-wenang.

Khaled Abou El Fadl memberikan kerangka yang lebih radikal dalam memahami soal pengenalan dalam tujuan penciptaan sebagaimana disampaikan ayat ini. Abou El Fadl, yang memosisikan dirinya sebagai muslim moderat, berpandangan bahwa al-Qur’an tidak hanya menerima realitas keragaman di dalam masyarakat. Al-Qur’an bahkan mengharapkan realitas keragaman itu. Ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi manusia agar mereka sudi untuk saling mengenal, dan dari pengenalan itu lahirlah kebajikan-kebajikan yang lebih luas (seperti kerja sama untuk kebaikan) yang tidak hanya akan berdampak pada satu kelompok masyarakat tertentu saja.

Dalam kaitannya dengan kisah Bilal, budak dari Etiopia yang menjadi muazin pertama dalam Islam, bagian selanjutnya ayat ini menegaskan bahwa orang yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa. Di sisi Allah, takwa adalah ukuran kemuliaan. Prinsip ini banyak juga dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi, di antaranya sebagaimana yang tertuang dalam kisah haji wada’ (perpisahan). Pada peristiwa itu Nabi berpesan bahwa manusia itu berasal dari satu nenek moyang dan bahwa semua manusia itu setara, tak peduli warna kulit dan asal suku bangsanya. Nabi mengingatkan bahwa ketakwaan adalah ukuran kemuliaan yang sebenarnya.

Studi al-Qur’an yang menggunakan pendekatan semantik sebagaimana dilakukan Toshihiko Izutsu menyingkapkan satu hal yang sangat menarik dalam membedah bagian ini. Dua kata kunci pada bagian ini, yakni kata “akram” atau “karim” dan “taqwa” atau “atqa” menurut Izutsu dalam kerangka makna masyarakat Arab pra-Islam yang bercorak nomaden memiliki arti yang sama sekali lain yang kemudian diubah oleh pandangan-dunia Islam (al-Qur’an). Berdasarkan pengamatan Izutsu pada syair-syair Arab pra-Islam, termasuk al-mu‘allaqat (syair yang menang dalam lomba syair di Suq ‘Ukaz yang kemudian digantungkan di dinding Ka’bah), Kata “karim” di masa jahiliyah bermakna “kemuliaan karena garis keturunan”, sedangkan “taqwa”, yang kemudian menjadi konsep kunci dalam ajaran Islam, dalam masyarakat Arab pra-Islam sama sekali tidak digunakan dalam konteks religius. Sebagai kata kerja, “taqwa” diartikan “membela diri dengan menggunakan sesuatu”.

Nah, melalui ayat ini dan pemaknaannya pada dua kata tersebut, al-Qur’an menurut Isutzu telah melakukan revolusi sejarah gagasan moral Arab. Pada waktu itu, tak seorang pun berpikir untuk mengaitkan “kemuliaan” dengan “taqwa”, yang dalam pandangan-dunia Islam bermakna “takut pada hukuman Ilahi pada hari Kiamat.”

Namun, meski melalui berbagai titik ajaran Islam lainnya semangat baru makna “karim” yang dikaitkan dengan “taqwa” ini terus dikuatkan, dalam perjalanan sejarah, sikap primordial seperti tecermin dalam kisah Bilal dan tradisi jahiliyah yang berusaha untuk diruntuhkan di atas masih saja terjadi dalam sejarah Islam yang semakin mendunia. Fakhruddin al-Razi dalam menjelaskan ayat ini berkisah tentang sekelompok bangsawan di Khurasan yang merasa dirinya mulia karena memiliki ikatan keluarga yang paling dekat dengan Sayyidina Ali. Mereka bahkan melecehkan seorang budak hitam yang oleh masyarakat lebih dihormati karena ilmu dan amal kebajikannya.

Jika ketakwaan adalah ukuran kemuliaan, lalu apa pengertian takwa? Secara sederhana, takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Namun, pada tingkat yang paling tinggi, demikian al-Razi menjelaskan, orang yang paling bertakwa adalah dia yang hari-harinya disibukkan hanya dengan Allah.

Yang menarik dari al-Razi dalam menjelaskan bagian ini adalah bahwa menurutnya ketakwaan sejati itu hanya dapat diperoleh dari ilmu. Al-Razi mengutip sabda Nabi yang menyatakan bahwa satu orang yang berilmu lebih ditakuti oleh setan daripada seribu hamba yang beribadah. Ia juga mengutip surah Fathir [35]: 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Menurut al-Razi, orang yang rajin beribadah tapi tak dilandasi ilmu yang cukup sangat mungkin ibadahnya itu tidak lahir dari kesadaran diri yang utuh atau bahkan beribadah dengan model transaksional dengan Allah—seolah sedang menukarkan amalnya dengan pahala dan surga.

Dalam pemahaman yang lebih utuh atas ayat ini, tergambar bahwa takwa sebagai ukuran kemuliaan menjadi jangkar penting dalam jalinan kemitraan manusia. Rangkaian penjelasan dalam ayat ini seolah hendak menegaskan bahwa semua jalinan kemitraan manusia, terutama yang bersifat personal, haruslah berlandaskan dan bertujuan untuk memperkuat semangat ketakwaan kepada Allah.

Cukup menarik kiranya saat kita menemukan bahwa dalam versi yang lain, ayat ini dikisahkan turun dalam kasus yang berkaitan dengan jalinan kemitraan dalam bentuk pernikahan. Dalam riwayat yang lain, diceritakan bahwa suatu hari, saat Abu Hind membekam Nabi, Nabi meminta tetua Bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hind dengan salah seorang putri mereka. Namun permintaan Nabi ini tidak ditanggapi positif. Pasalnya, Abu Hind dahulu adalah budak mereka.

Sikap Bani Bayadhah ini dikecam al-Qur’an dengan diturunkannya ayat ini. Allah mengajarkan bahwa pertimbangan penting dalam jalinan kemitraan yang berbentuk pernikahan tak boleh didasarkan pada hal-hal yang bersifat luaran. Seorang budak bisa saja lebih mulia daripada seorang merdeka atau seorang kaya karena mutu takwanya yang lebih tinggi.

Pada titik inilah ayat ini sebenarnya juga menjadi titik tolak perdebatan mazhab fikih dalam soal kafâ’ah, yakni sejauh mana kafâ’ah itu dituntut dalam jalinan pernikahan. Dalam fikih, istilah kafâ’ah berarti keserasian atau kecocokan (mumâtsalah, suitability) antara pasangan suami-istri demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungan pernikahan. Ada mazhab yang berpendapat bahwa ayat yang membawa semangat persamaan derajat (kesetaraan) ini menjadi dalil bagi tidak diperlukannya syarat kafâ’ah dalam pernikahan. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyân al-Tsawrî, Hasan al-Bashrî, dan al-Karakhî.

Namun, mazhab yang lain berpendapat bahwa semangat kesetaraan yang dibawa oleh ayat ini terkait dengan kesetaraan hak dan kewajiban. Sedangkan ada fakta lain bahwa setiap orang dalam kehidupan masyarakat bisa memiliki kelebihan tertentu yang juga diapresiasi oleh al-Qur’an. Misalnya sebagaimana tercantum dalam surah al-Mujadilah [58]: 11 yang menggambarkan kelebihan orang yang menguasai ilmu. Demikian juga, surah al-Nahl [16]: 71 menjelaskan kelebihan orang yang memiliki harta.

Kebanyakan mazhab fikih berpendapat bahwa kafâ’ah perlu dipertimbangkan dalam pernikahan. Namun secara teknis terjadi perbedaan pendapat. Berdasar pada ayat ini, misalnya, mazhab Maliki berpandangan bahwa pertimbangan dalam kafâ’ah hanya meliputi kadar mutu keagamaan saja (ditambah kondisi fisik, bukan dalam arti soal kecantikan, tetapi cukup untuk memastikan apakah calon pasangannya tidak memiliki cacat tubuh tertentu yang dapat mengurungkan niatnya untuk menikahi orang tersebut). Mazhab Maliki juga berargumen bahwa faktanya, ada beberapa sahabat Nabi yang berasal dari kalangan budak yang menikahi perempuan merdeka, seperti Zayd ibn Haritsah yang menikahi Zaynab bint Jahsy. Ada juga hadis Nabi yang mengisahkan sahabat Bilâl yang hendak melamar seorang perempuan dari kaum Anshâr dan didukung oleh Nabi, padahal kaum Anshâr sendiri menolak. Jadi, sesuai dengan pernyataan ayat ini, yang terpenting adalah mutu ketakwaan (agama).

Sementara itu, mazhab yang lain, seperti mazhab Syafi’ie, menyebut lima hal yang termasuk dalam unsur kafâ’ah: agama, status kemerdekaan, nasab, cacat fisik, dan mata pencaharian.

Terlepas dari perdebatan tentang kafâ’ah ini, pada intinya hampir semua pendapat ini bermuara pada prinsip dan tujuan sosial pernikahan yakni untuk mengukuhkan pewarisan nilai dan integrasi sosial, di samping juga dengan melihat unsur kesetaraan manusia.

Dari semua pembahasan di atas, alur gagasan dan pesan yang hendak disampaikan ayat ini kurang lebih adalah sebagai berikut. Manusia itu diciptakan setara. Sementara itu, keberagaman harus disikapi secara positif sebagai sebuah tantangan etis untuk bersedia terbuka dan mengenal yang lain sehingga dari situ terbuka jalinan kerja sama untuk menyebar kebajikan. Secara khusus, segala bentuk jalinan kemitraan, yakni di kalangan muslim, seharusnya berdasar dan bertujuan untuk meningkatkan mutu ketakwaan.

Di penutup ayat ini, Allah menegaskan bahwa diri-Nya Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Quraish Shihab memberikan penekanan bahwa kalimat di penghujung ayat ini sangatlah khas. Sifat ‘alîm dan khabîr dalam al-Qur’an hanya tiga kali dipergunakan secara bersanding. Selain di akhir ayat ini, kedua sifat Allah itu disebut di surah Luqman [31]: 34 dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang kematian seseorang dan juga di surah al-Tahrim [66]: 3 dalam kasus pembicaraan rahasia di antara istri-istri Nabi menyangkut sikap mereka kepada Rasul akibat kecemburuannya pada istri Nabi yang lain, Zaynab bint Jahsy.

Pada intinya, kedua sifat yang disebut secara bersamaan ini menunjukkan pengetahuan Allah yang sangat mendalam dan tak terbatas untuk hal-hal yang sangat sulit atau bahkan mustahil diketahui manusia. Dalam kaitannya dengan ayat ini, demikian Quraish Shihab, ini menunjukkan bahwa manusia tak akan mampu menakar mutu keimanan dan ketakwaan seseorang. Manusia tak dapat menjadi hakim moral untuk menilai ketakwaan orang lain.

Wallahua‘lam.



Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

Khaled Abou El Fadl, Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, HarperSanFrancisco, New York, 2005.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997.

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dârul Fikr, Damaskus, 2010.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Membincang Kafâ’ah



Read More..

Minggu, 14 Juli 2013

Menyemai Benih Pewarta Warga

Para pewarta warga SMA 3 Annuqayah tahun pelajaran 2012/2013

Saat memimpin proses penyusunan Laporan Kegiatan Kependidikan SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2012/2013, saya dan para pimpinan yang lain sangat terbantu dengan berita-berita kegiatan sekolah yang ditulis oleh siswa SMA 3 Annuqayah dan ditayangkan di blog sekolah khususnya dalam satu tahun pelajaran terakhir.

Selain fungsi dokumentasi, tulisan-tulisan siswa itu dapat menjadi sarana promosi kegiatan sekolah. Dari promosi kegiatan itu, tak jarang ada pihak-pihak yang mau bekerja sama atau bahkan membantu program sekolah kami. Tulisan-tulisan siswa itu bahkan kami rujuk dalam laporan singkat yang kami sebarkan kepada para wali siswa pada hari penyerahan rapor 3 Juli lalu.

Tradisi menulis para siswa pada khususnya berkaitan dengan kegiatan sekolah ini sudah saya rintis sejak saya masih belum menjadi kepala SMA 3 Annuqayah, yakni pada tahun 2008. Saat itu saya mengajar materi Bahasa Indonesia. Karena keterbatasan waktu dan keterbatasan yang lain, kemampuan menulis tidak bisa secara leluasa dilakukan di dalam kelas. Untuk itu, saya berinisiatif membuat ruang belajar yang lain bagi siswa untuk belajar menulis. Bentuknya adalah blog sekolah.

Belajar menulis yang paling mudah adalah menuliskan hal yang paling dekat atau sesuatu di sekitar kita. Jadi, menurut saya belajar menulis dengan dimulai dari tema kegiatan sekolah relatif akan cukup mudah bagi siswa. Maka saya mengarahkan proses belajar menulis ke arah penulisan berita sederhana atau straight news.

Saya merangkum cara penulisan berita sederhana dari buku-buku jurnalistik atau sumber lainnya. Dalam menerangkan hal ini kepada para siswa, sering kali saya menggunakan contoh berita yang dimuat di berbagai media untuk mengamati bersama bagaimana proses kreatif di balik penulisan berita-berita tersebut berdasarkan teori kepenulisan yang dipelajari.

Misalnya, saya mengambil satu berita di koran, lalu kami mendiskusikan sumber-sumber berita yang digunakan si penulis. Kami mengamati butir-butir informasi yang ada dan memilahnya berdasarkan jenis sumber berita, lalu mendiskusikan kemungkinan pengembangannya.

Berita yang ditulis siswa itu lalu saya tayangkan di blog sekolah. Untuk mendorong keterbacaan berita tersebut, saya menyebarkan tautan tulisan siswa itu di berbagai media sosial.

Naskah yang ditulis siswa saya periksa dan saya berita catatan. Jika tidak terlalu parah, biasanya saya yang menyunting sekadarnya. Jika masih banyak kesalahan mendasar, saya mengembalikan kepada si penulis dan memintanya untuk melakukan perbaikan. Kadang ada tulisan yang sampai dikembalikan sampai tiga kali. Senang juga jika si penulisnya tidak menyerah untuk menyunting tulisannya.

Sering kali saya harus bertindak lebih aktif dalam menagih tulisan kepada para penyumbang berita. Karena itu, setiap kali ada kegiatan di sekolah, saya sejak awal sering mengingatkan dengan bertanya: siapa yang akan menulis berita kegiatan ini? Dengan cara seperti ini, cukup jarang ada kegiatan sekolah yang tidak dituliskan beritanya oleh siswa.

Apa yang saya lakukan ini bisa dibilang juga merupakan upaya untuk menyemaikan benih-benih pewarta warga di kalangan siswa. Di era informasi ini, sangat penting untuk mendidik para penulis agar juga punya orientasi kepedulian sosial yang wujudnya berupa sikap berbagi (informasi). Mereka yang punya kemampuan menulis semestinya juga menggunakan kemampuannya itu untuk menyiarkan hal-hal penting yang tidak dikabarkan media arus utama.

Saya senang sekali saat menemukan siswa yang dulu aktif menyumbang berita dan kini telah berstatus sebagai alumni SMA 3 Annuqayah masih tetap menulis entah itu di blog pribadinya atau di media yang lain.

Atas kerja sama dan dukungan para siswa yang menyumbangkan proses dokumentasi dan promosi kegiatan sekolah ini, sejak saya menjadi kepala sekolah, saya memberikan penghargaan kepada penyumbang berita paling produktif.


Untuk tahun pelajaran 2012/2013 ini, saya memberikan kenangan-kenangan buku untuk semua penyumbang berita dari kalangan siswa yang jumlahnya ada 9 orang. Namun saya tetap memilih penyumbang berita terbaik dan memberinya penghargaan buku yang lebih banyak daripada penyumbang berita lainnya. Pengumuman nama-nama penyumbang berita dan penyerahan penghargaannya ini dilakukan pada hari penyerahan rapor di Madaris III Annuqayah, 3 Juli lalu.

Saya berharap semangat berbagi informasi ini menjadi salah satu nilai penting yang akan terus dikuatkan di SMA 3 Annuqayah. Dan saya yakin, ini semua akan dicatat sebagai amal kebaikan oleh Allah swt. Semoga Allah meridai.

Read More..

Jumat, 21 Juni 2013

Kerangka Acuan Program Pengembangan Literasi SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2013/2014


Latar Belakang

Era informasi ditandai dengan membanjirnya informasi dalam berbagai bentuk. Ini tidak hanya ditandai dengan semakin banyaknya penerbitan buku, majalah, koran, dan media cetak lainnya. Revolusi teknologi informasi melalui kehadiran internet yang semakin cepat dan intens masuk ke wilayah perkampungan telah memberikan dampak yang sangat besar bagi generasi muda Indonesia.

Generasi muda Indonesia saat ini telah benar-benar menjadi generasi informasi. Dengan akses internet yang semakin meluas, mereka dengan mudah bisa mengakses informasi dan berhubungan dengan orang-orang dan gagasan yang bahkan mungkin tak mereka bayangkan sebelumnya.

Pertanyaannya, apakah sekolah telah cukup memberi bekal keterampilan dan pengalaman yang cukup agar mereka tidak gagap menghadapi era informasi semacam ini?

Dalam kerangka menjawab pertanyaan ini, SMA 3 Annuqayah dalam beberapa tahun terakhir ini telah berupaya membekali siswa agar memiliki kemampuan literasi yang baik. Wujudnya berupa kebiasaan membaca dan keterampilan mencerna dan menggali/mendalami informasi dengan baik. Siswa dilatih untuk dapat melek informasi, tangkas mengolah informasi, dan mampu menyampaikan gagasan dengan baik melalui berbagai media. Kemampuan literasi yang baik ini diharapkan dapat mengantarkan mereka untuk menjadi pembelajar mandiri yang kreatif dan kritis.

Penguatan literasi di sekolah perlu didorong dan dikuatkan dengan penyediaan bacaan-bacaan bermutu yang terpilih. Juga perlu adanya arahan dan bimbingan agar siswa terbiasa dan terampil membaca dan mendalami informasi. Selain itu, siswa juga membutuhkan pendampingan dalam belajar dan berlatih menyampaikan gagasan melalui tulisan.

Secara umum, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penguatan literasi tampak belum menjadi perhatian utama sekolah. Belum banyak upaya yang dilakukan sekolah secara sistematis untuk membimbing siswa dalam memilih buku bacaan yang menarik dan memahaminya dengan baik.

Secara lebih khusus, ini terlihat dari kondisi siswa SMA 3 Annuqayah pada umumnya yang dalam pengamatan sepintas tiga tahun terakhir tergolong relatif kurang akrab dengan buku. Cukup bisa dimaklumi, karena dalam pengamatan tersebut ditemukan bahwa kebanyakan sekolah asal siswa SMA 3 Annuqayah tidak memiliki program yang secara khusus mendorong siswa memiliki keterampilan membaca dan menulis. Selain itu, mayoritas siswa SMA 3 Annuqayah berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang belum memiliki akses ke dunia buku dan media informasi.

Sejauh ini, siswa SMA 3 Annuqayah mengakses buku dan memperoleh penguatan literasi melalui Perpustakaan Madaris III Annuqayah. Perpustakaan Madaris III Annuqayah yang digunakan bersama oleh siswa Madrasah Ibtidaiyah 3 Annuqayah, Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah, dan SMA 3 Annuqayah sejak tahun 2006 telah dihidupkan kembali dan aktif dengan sejumlah kegiatan literasi. Meski dananya terbatas, perpustakaan ini berusaha menjadi perpustakaan aktif dengan cara mengelola beberapa kegiatan rutin yang dimaksudkan untuk mendorong literasi. (Tentang Perpustakaan Madaris III Annuqayah, silakan baca di sini).

Namun SMA 3 Annuqayah merasa perlu untuk memberikan kegiatan literasi yang lebih menantang pada siswa SMA 3 Annuqayah pada khususnya sehingga dalam dua tahun terakhir ini SMA 3 Annuqayah mencoba melakukan sejumlah kegiatan pengembangan dan penguatan literasi, termasuk juga yang menyentuh pada guru. Dengan latar belakang ini, maka untuk tahun pelajaran 2013/2014 mendatang, SMA 3 Annuqayah merancang beberapa program pengembangan literasi.


Tujuan/Target

  1. Siswa memiliki kebiasaan dan keterampilan membaca yang baik. 
  2. Siswa memiliki kemampuan untuk mendalami informasi atau bahan bacaan dengan kritis. 
  3. Siswa mampu berbagi informasi dan gagasan dengan baik khususnya melalui tulisan. 
  4. Siswa memiliki wawasan kepustakaan dan pengalaman membaca jenis tulisan yang beragam. 
  5. Siswa dekat dengan buku-buku pemancing minat baca. 
  6. Siswa membaca secara mendalam paling tidak 3 buku terpilih dalam satu tahun dan mampu memaparkan hasil bacaannya secara lisan dan tertulis. 
  7. Guru terlibat aktif dalam program literasi sekolah sehingga guru terdorong untuk terus belajar dan menambah wawasan terutama terkait bidang yang digelutinya. 

Bentuk Program

Program literasi di SMA 3 Annuqayah sejauh ini yang paling menonjol adalah program Perpus Masuk Kelas, yakni program penyediaan naskah kutipan pendek (sekitar 500-1300 kata) dari buku atau sumber terpilih yang setiap hari diantarkan ke tiap kelas. Program ini adalah pengembangan dari apa yang sudah populer dengan nama “silent reading” atau “membaca senyap” yang banyak dipraktikkan di beberapa sekolah. Bedanya, dalam Perpus Masuk Kelas, sekolah memilih kutipan-kutipan menarik yang sekiranya dapat memancing minat baca siswa. Sejauh ini SMA 3 Annuqayah baru memiliki 80 naskah bacaan (lebih jelasnya, silakan baca di sini).

Untuk tahun pelajaran 2013/2014 mendatang, SMA 3 Annuqayah merancang 4 program literasi:

1. Perpus Masuk Kelas.
Sejak mulai dilaksanakan pada akhir Februari 2012, program ini telah mendapatkan dukungan dari murid dan guru. Dukungan tersebut tampak dari angket yang pernah disebarkan sekolah kepada siswa untuk mengevaluasi program ini dan tanggapan beberapa guru dan masyarakat pada umumnya dalam berbagai kesempatan. Untuk tahun pelajaran 2013/2014, program ini akan berupaya menambah dan memperkaya bahan bacaan. Paling tidak di akhir tahun pelajaran 2013/2014 ditargetkan SMA 3 Annuqayah sudah memiliki sekitar 150-200 naskah terpilih.

2. Buku Wajib Baca.
Adapun perincian teknis program ini adalah sebagai berikut:
  1. Program ini akan mewajibkan setiap siswa SMA 3 Annuqayah untuk membaca sedikitnya 3 buku pilihan dalam satu tahun pelajaran. Satu buku di semester pertama, dan dua buku di semester kedua. 
  2. Sekolah akan menentukan sekitar 25 judul buku terpilih dan masing-masing judul akan disediakan sedikitnya sebanyak 10 eksemplar (jumlah siswa di SMA 3 Annuqayah sekitar 220 orang). Daftar sementara buku wajib baca terlampir. 
  3. Pilihan buku didasarkan atas tema yang menarik, kesesuaian dengan visi dan misi sekolah, potensi isi buku untuk digali dan didiskusikan dari beberapa segi, keberagaman tema, ketebalan buku, dan keterjangkauan pemahaman siswa. 
  4. Siswa diwajibkan membuat rangkuman dan ulasan buku yang sudah dibaca tuntas. Diupayakan agar rangkuman dan ulasan tersebut dibimbing dengan bentuk kerangka atau pertanyaan yang dapat memunculkan unsur-unsur penting dari buku (akan dibuat setelah daftar buku wajib baca ditentukan/disepakati). 
  5. Rangkuman dan ulasan tersebut harus dipaparkan di hadapan paling tidak 10 murid dan 1 guru (sekolah memfasilitasi kegiatan presentasi ini). Diharapkan, peserta yang mengikuti diskusi adalah mereka yang juga membaca buku yang sama. Mungkin saja dibuat dua atau tiga hari khusus untuk acara presentasi (sekolah diliburkan, mungkin sebelum ujian semester) dengan sesi paralel. Namun presentasi juga dimungkinkan dilaksanakan jauh sebelum ujian semester asalkan memenuhi syarat kehadiran audien. Guru yang hadir diharapkan dapat menjadi fasilitator (karena itu seharusnya sudah membaca bukunya). Tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan alumni SMA 3 Annuqayah agar sewaktu-waktu dapat ikut membantu memfasilitasi diskusi. 
3. Penerbitan buku antologi cerpen terpilih.
Untuk memperkenalkan para penulis cerpen dan karya-karya terbaik mereka kepada siswa, SMA 3 Annuqayah bermaksud untuk menerbitkan buku antologi cerpen terpilih yang memuat cerpen karya penulis-penulis terkemuka di Indonesia dan dunia. Sekolah akan mengumpulkan cerpen-cerpen terpilih dan dicetak terbatas untuk dibaca siswa (mungkin sekitar 50 eks). Cerpen dipilih dengan maksud untuk memberi rujukan berbagai teknik penceritaan atau gaya bertutur kepada siswa sekaligus memperkenalkan penulis-penulis terkemuka. Program ini untuk mendukung kecenderungan siswa yang suka membaca atau menulis cerpen tetapi kekurangan referensi/contoh cerpen yang baik dari beragam penulis.

4. Perpus dalam Kelas.
Letak Perpustakaan Madaris III Annuqayah yang terpisah/berjarak dengan kompleks kelas SMA 3 Annuqayah terkadang membuat siswa malas datang ke perpustakaan. Untuk itu, SMA 3 Annuqayah memandang bahwa siswa perlu didekatkan dengan bahan pustaka tertentu yang kira-kira dapat memancing minat baca dan rasa ingin tahu siswa. Karena itu, untuk tahun pelajaran 2013/2014 mendatang, SMA 3 Annuqayah memprogram untuk menyediakan lemari kecil berukuran 80 cm x 120 cm di tiap kelas (total ada 8 kelas) sebagai tempat buku-buku terpilih, termasuk buku-buku yang masuk dalam kategori Buku Wajib Baca, antologi cerpen terpilih, dan pustaka primer untuk mendukung literasi dan pembelajaran secara umum (seperti kamus bahasa, kamus subjek ilmu tertentu, dan sebagainya).

Untuk mendukung keempat program literasi tersebut di atas, sekolah juga memprogram pelatihan membaca dan menulis, diskusi buku, temu penulis, penerbitan kumpulan tulisan karya siswa, dan semacamnya. Sebenarnya, beberapa bentuk kegiatan seperti ini sudah cukup sering diadakan di SMA 3 Annuqayah (silakan baca di sini), termasuk dukungan siswa untuk menulis berita kegiatan sekolah di blog sekolah. Namun ke depan kegiatan semacam ini secara khusus akan diarahkan terutama untuk membantu siswa mencerna dan mendalami bahan bacaan yang masuk dalam kategori Buku Wajib Baca. Pertimbangannya, dalam pengamatan sekilas dua tahun terakhir, beberapa siswa tampaknya memiliki kemampuan membaca atau memahami bacaan yang cukup rendah karena sebelumnya belum terbiasa atau belum akrab dengan bahan pustaka sehingga program pendukung yang bersifat bimbingan dan pendampingan sangatlah dibutuhkan.


Waktu Pelaksanaan

Program Perpus Masuk Kelas akan dimulai setelah siswa baru (kelas X) masuk aktif seusai mengikuti MOS tahun pelajaran 2013/2014. Saat ini, naskah-naskah baru terus diketik dan diproses dengan standar pemilihan yang sama sebagaimana naskah-naskah sebelumnya. Penyiapan naskah melibatkan siswa aktif dan alumni SMA 3 Annuqayah.

Sedangkan program Wajib Baca Buku akan diberlakukan mulai semester kedua tahun pelajaran 2013/2014, bulan Januari 2014. Semester pertama digunakan untuk menyiapkan buku dan perangkat yang dibutuhkan, termasuk untuk sosialisasi program ini kepada siswa dan guru. Selain itu, pada semester pertama program ini akan diujicobakan untuk siswa tertentu, termasuk siswa yang kemampuan membacanya di bawah rata-rata. Untuk yang terakhir ini, juga akan diujicobakan program khusus pendampingan bagi mereka yang memiliki kemampuan membaca di bawah rata-rata.

Penerbitan buku antologi cerpen pilihan ditargetkan dapat terlaksana di akhir semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 mendatang. Tahapan kerja yang diperlukan adalah (1) pemilihan cerpen tahap awal; (2) seleksi cerpen yang akan masuk dalam antologi; (3) pengetikan cerpen; (4) lay-out; dan (5) pencetakan.

Sedangkan Perpus dalam Kelas akan mulai diaktifkan pada awal tahun pelajaran 2013/2014, karena lemari buku untuk tiap kelas saat ini sudah hampir tersedia semuanya (saat ini sudah tersedia 5 lemari). Buku-buku yang akan diletakkan sementara di awal tahun pelajaran mendatang adalah buku-buku bantuan beberapa pihak yang jumlahnya sekitar 100 eksemplar yang setahun terakhir ini diletakkan di kantor sekolah dan dipinjamkan kepada siswa dan guru.

Anggaran

Dana yang dibutuhkan untuk program yang dipaparkan di sini kurang lebih sebagai berikut:
- Naskah Perpus Masuk Kelas 80 x 45 x Rp 175     = Rp 630.000,-
- Buku Wajib Baca 25 judul x 10 eks x Rp 60.000     = Rp 15.000.000,-
- Penerbitan Antologi Cerpen 50 eks x Rp 50.000   = Rp 2.500.000,-
- Pengadaan KBBI 9 eks @ Rp 375.000,-                 = Rp 3.375.000,-
- Pelatihan membaca/menulis, diskusi buku, dll        = Rp 5.000.000,-
                                                                  Jumlah   = Rp 26.505.000,-

Secara keuangan, SMA 3 Annuqayah hampir sepenuhnya mengandalkan anggaran sekolah pada dana dari pemerintah. Karena kemampuan ekonomi orangtua siswa yang secara umum termasuk golongan ekonomi menengah ke bawah, sekolah tiap tahun hanya menarik uang sebesar Rp 60.000,- per siswa. Karena tergantung pada dana pemerintah, kasus ketidakjelasan alokasi dana dan realisasinya dari pemerintah seperti yang terjadi pada tahun pelajaran 2012/2013 misalnya menyebabkan rencana program sekolah yang sudah disusun di awal tahun pelajaran tidak dapat terlaksana semua. Dana dari pemerintah yang terbatas tersebut tentu saja didahulukan terutama untuk melaksanakan kegiatan rutin kependidikan yang sebagian besar tersedot untuk honor guru dan operasional sehari-hari.

Karena keterbatasan dana sekolah ini, maka kami sangat berharap adanya dukungan dari berbagai pihak yang memiliki visi yang sama untuk menguatkan literasi di sekolah pada khususnya. Secara khusus kami juga berharap adanya dukungan dari penerbit buku berupa penyediaan buku gratis atau bentuk dukungan lainnya.

Penutup

Demikian kerangka acuan program pengembangan literasi SMA 3 Annuqayah ini dibuat untuk menjadi bahan rujukan bagi semua pihak terkait terutama agar dapat lebih mudah dalam memberikan dukungan yang lebih konkret pada program ini. Hal-hal yang belum jelas akan dijelaskan kemudian.

Guluk-Guluk, 21 Juni 2013

Kepala SMA 3 Annuqayah,

M. Mushthafa



Lampiran

Daftar Sementara Buku Wajib Baca SMA 3 Annuqayah

  1. Guruku Orang-Orang dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, LKiS. 
  2. Emak, Daoed Joesoef, Kompas. 
  3. Lukisan Kaligrafi, A Mustofa Bisri, Kompas. 
  4. Rahasia Perempuan Madura, A. Dardiri Zubairi, Andhap Asor. 
  5. Manusia Madura, Mien A. Rifai, Pilar Media. 
  6. Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Bisri Effendy, P3M. 
  7. Satu Abad Annuqayah, Tim Penulis, PP Annuqayah. 
  8. Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Nizar Abazhah, Zaman. 
  9. Wanita-Wanita al-Qur’an, Fathi Fawzi ‘Abd al-Mu’thi, Zaman. 
  10. Perempuan, M. Quraish Shihab, Lentera. 
  11. Bukuku Kakiku, St Sularto (Editor), Gramedia. 
  12. Ganti Hati, Dahlan Iskan, JP Books. 
  13. Sekolah itu Candu, Roem Topatimasang, Insist. 
  14. Lumbung Pangan, Hira Jhamtani, Insist. 
  15. Creative Writing, AS Laksana, Gagas Media. 
  16. Buku Pintar Mind Map, Tony Buzan, Gramedia. 
  17. Bekisar Merah, Ahmad Tohari, Gramedia. 
  18. Harimau! Harimau!, Mochtar Lubis, YOI. 
  19. Pertemuan Dua Hati, NH Dini, Gramedia. 
  20. Para Priyayi, Umar Kayam, Grafiti. 
  21. Burung-Burung Manyar, YB Mangunwijaya, Djambatan. 
  22. Totto-chan, Tetsuko Kuroyanagi, Gramedia. 
  23. City of Joy (Negeri Bahagia), Dominique Lapierre, Bentang. 
  24. To Kill a Mockingbird, Harper Lee, Qanita. 
  25. The Kite Runner, Khaled Hosseini, Qanita. 
  26. Sheila, Torey Hayden, Qanita. 
  27. Gadis Jeruk, Jostein Gaarder, Mizan. 



Versi paling mutakhir kerangka acuan ini, termasuk daftar buku wajib baca yang telah diperbarui, dapat diunduh di sini.

Read More..

Jumat, 10 Mei 2013

Sisi Moral Sepeda Gembira


Adakah sisi moral yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan sepeda gembira atau fun bike? Pertanyaan ini mengemuka saat Kamis (9/5) kemarin saya bersama rekan-rekan Komunitas Meddal Annuqayah (KoMA) mengikuti Sumenep Fun Bike 2013 yang dilaksanakan oleh Dinas Budaya, Parisiwata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Sumenep.

Pertanyaan ini muncul tepatnya setelah kami selesai menuntaskan rute sepeda gembira yang ditetapkan panitia, yakni di sekitar kota Sumenep. Setelah memarkir sepeda di area akhir rute yang akan menjadi tempat pengundian, saya dan rekan-rekan mengambil air minum dalam kemasan yang telah disediakan panitia. Kebetulan persediaan air minum yang saya bawa dalam botol minuman sudah hampir habis setelah menempuh jarak sekitar 26 kilometer dari Guluk-Guluk ke kota Sumenep.

Saya memasukkan air minum itu ke dalam botol saya. Setelah tertuang semua, saya jadi kebingungan karena saya tak melihat ada tempat sampah di sekitar tempat itu. Rekan setim dari KoMA juga tampak kebingungan mencari tempat sampah. Setelah melihat kanan kiri dan tak berhasil menemukan tempat sampah, saya mencoba bertanya ke salah seorang panitia yang ada di panggung. Ternyata dia juga tidak tahu.

Singkatnya, akhirnya saya menemukan tempat sampah di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumenep yang berjarak sekitar 140 meter dari tempat acara.

Pengalaman inilah yang memunculkan pertanyaan di atas: adakah sisi moral yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan sepeda gembira atau acara-acara lain yang melibatkan banyak orang dan berpeluang untuk menghasilkan banyak sampah? Saya tidak tahu persis berapa peserta sepeda gembira kemarin. Sepengamatan saya, jumlahnya ratusan. Atau bahkan bisa lebih seribu orang. Bayangkan, bagaimana jadinya jika sepuluh persen saja dari peserta yang ada tak menemukan tempat untuk membuang sampah dan akhirnya membuangnya sembarangan. Kenyataannya, kemarin saya memang menyaksikan sampah botol minuman berserakan di mana-mana di area acara.


Di sisi utara dan selatan lapangan yang menjadi tempat acara saya juga melihat ada orang berjualan minuman menggunakan gelas plastik. Mereka berjualan dengan tenda yang tampaknya disediakan panitia. Namun saya lihat mereka tak menyediakan tempat sampah sehingga pembeli tampaknya kemudian membuang sampah secara sembarangan.

Pertanyaan seperti yang saya kemukakan di atas pernah menjadi bahan diskusi di salah satu kelas saya saat kuliah Etika Terapan di Utrecht University, Belanda. Kebetulan di antara teman sekelas saya ada seorang dosen NHTV Breda University, Belanda, yang meminati studi turisme dan dia kerap kali mengungkap sisi moral dari turisme. Misalnya, sering kali dia melihat pengelolaan sampah di tempat wisata kurang baik sehingga justru merugikan penduduk setempat. Atau bahkan turisme juga bisa berdampak buruk dari sisi kesehatan karena penyakit yang dibawa oleh para pelancong yang tidak diatur dan dikendalikan oleh para pengelola atau pengambil kebijakan terkait.

Apa yang saya alami dalam kegiatan sepeda gembira kemarin bagi saya memperlihatkan bahwa rupanya panitia, dalam hal ini Disbudparpora Kabupaten Sumenep, lupa untuk memperhatikan sisi kebersihan yang mungkin muncul dalam bentuk negatif dari kegiatan yang mereka laksanakan. Memang, mereka bukan dinas yang bertugas untuk menjaga kebersihan. Tapi saya pikir lembaga seperti dinas budaya dan pariwisata mestinya memiliki visi kebersihan yang menurut saya merupakan salah satu nilai (moral) mendasar baik dalam budaya maupun pariwisata.

Saya mencatat sisi moral sepeda gembira ini sekaligus sebagai pengingat bagi saya pada khususnya, juga Komunitas Meddal Annuqayah (KoMA), dan kita semua pada umumnya, agar bisa cukup peka dan lebih utuh dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kesukaan bersepeda, misalnya, dalam pandangan saya di antaranya menunjukkan pandangan dasar untuk menghargai bumi dengan mengurangi pencemaran udara yang mungkin muncul jika kita menggunakan kendaraan bermotor. Visi semacam ini mestinya harus lebih utuh dan juga dikuatkan, misalnya, dengan juga mendorong kebiasaan untuk tidak membuang sampah secara sembarangan. Akan terasa lucu misalnya jika ada sebuah komunitas sepeda yang para anggotanya ternyata cukup sering melakukan sesuatu yang tidak ramah lingkungan.

Tulisan ini juga saya tempatkan sebagai pengingat untuk saya pada khususnya agar saat melaksanakan kegiatan yang melibatkan banyak orang, saya harus juga memikirkan sisi kebersihan dan kemungkinan sampah yang akan dihasilkan oleh para peserta. Tak hanya menyediakan tempat sampah, dalam kegiatan semacam ini panitia pelaksana juga seharusnya mengingatkan kepada para hadirin atau peserta untuk menjaga kebersihan dan bertanggung jawab pada sampahnya masing-masing.

Dengan langkah seperti ini, maka kegiatan apa pun, entah itu sepeda gembira, pengajian agama, lomba-lomba, atau yang lainnya, juga akan memiliki nilai lebih sebagai pendidikan moral yang saya pikir akan lebih manjur untuk bisa tertanam dalam diri kita masing-masing. Dengan seperti itu juga, berarti kita turut mengambil langkah bersama untuk menjaga bumi yang lebih lestari.

Read More..

Selasa, 07 Mei 2013

Bincang Profesi untuk Mendorong Refleksi


Sependek pengamatan saya, di lingkungan sekolah secara umum guru-guru cukup jarang berbincang hal-hal yang berkaitan dengan profesi mereka secara intens. Lebih jauh lagi, tidak banyak upaya yang dilakukan sekolah untuk mendorong guru-guru merefleksikan kegiatan yang terkait profesi mereka sehari-hari.

Kegiatan rapat di sekolah lebih banyak mengangkat masalah teknis. Dalam pengalaman saya, rasanya agak sulit membawa perbincangan rapat yang memang cukup formal ke tema-tema reflektif. Maka gagasan tentang “professional talk” atau “bincang profesi” bagi saya menjadi menarik untuk dicoba dilakukan di sekolah.

Saya belajar tentang professional talk atau bincang profesi ini pada hari Sabtu (4/5) kemarin dalam sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) di Surabaya. Bertempat di Pecel Bu Kus di Jalan Barata Jaya 17, Surabaya, acara ini menghadirkan dua nara sumber: Itje Chodidjah (seorang praktisi pendidikan dari Jakarta) dan Dhitta Puti Sarasvati (Direktur Riset dan Pengembangan Program IGI).

Bincang profesi pada dasarnya merupakan kegiatan yang sederhana. Ia berupa kegiatan berbincang-bincang secara ringan berkaitan dengan berbagai pernik dunia pendidikan atau secara lebih khusus lagi kegiatan pengajaran di kelas. Bincang profesi ini mengasumsikan bahwa guru punya banyak pengalaman sehari-hari yang menarik yang bisa dibagi dan direfleksikan bersama.

Hal sederhana yang dibicarakan bisa saja akan membutuhkan waktu yang cukup panjang jika terus digali dan dikembangkan dengan baik. Pada pertemuan Sabtu kemarin, dua nara sumber mencoba mengemukakan topik sederhana untuk dibincangkan oleh para guru yang hadir. Ada yang berupa foto salah satu pajangan di kelas yang diamati dan kemudian dikomentari. Diskusi pun berkembang ke beberapa hal penting dalam pembelajaran.

Bincang profesi bisa juga berangkat dari masalah-masalah yang muncul di sekolah. Pada Sabtu kemarin, para peserta misalnya diminta untuk berdiskusi soal bullying di sekolah yang terjadi di antara sesama guru, yang menurut survei IGI merupakan salah satu masalah yang jamak terjadi di sekolah-sekolah.

Memang tak harus ada jalan keluar yang disepakati atas permasalahan yang dibicarakan. Akan tetapi, dengan berbagi dan berefleksi, paling tidak para guru memiliki persediaan rujukan dan wawasan yang semakin kaya dalam menjalani kegiatan kependidikan mereka sehari-hari. Ini juga adalah cara untuk mendorong guru-guru agar terus belajar melalui pengalaman-pengalaman sederhana di sekolah.

Selain rapat, tampaknya bincang profesi ini perlu diberi ruang tersendiri secara khusus di sekolah. Tujuannya juga agar sekolah bisa menjadi sebuah lingkungan yang reflektif, sehingga berbagai kegiatan yang kependidikan yang ada tetap terjaga untuk terus ditemalikan dengan diri guru masing-masing dan lingkungan atau masyarakat.

Read More..

Minggu, 14 April 2013

Pak Polisi, Tolong Berantas Maling Sapi



Pada hari Jum’at (12/4) kemarin, rombongan Kepolisian Resor Sumenep melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Jamik Annuqayah, Guluk-Guluk. Rombongan Polres Sumenep menggunakan lima kendaraan, di antaranya bus mini. Rombongan ini dipimpin langsung oleh Kapolres Sumenep, AKBP Marjoko, S.I.K., M.Si.

Sejak melihat rombongan mobil Polres Sumenep yang parkir di sekitar masjid, saya sudah menduga bahwa mungkin mereka ingin menyampaikan sesuatu setelah shalat Jum’at. Ternyata benar. Seusai shalat Jum’at, Kapolres menyampaikan beberapa hal di depan jamaah yang terdiri dari santri dan masyarakat.

Saya mencatat beberapa poin penting dari penyampaian Kapolres Sumenep tersebut. Pertama, dia memaparkan bahwa menurut laporan yang dia terima, kondisi Guluk-Guluk kondusif. Cuma ada indikasi bahwa ada masyarakat Guluk-Guluk yang menyimpan bahan peledak, di antaranya yang populer di masyarakat dengan sebutan potas. Kapolres mengingatkan bahwa orang yang memiliki dan menyimpan bahan peledak seperti itu, seperti juga senjata tajam selain yang digunakan sebagai alat pertanian, diancam dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951.

Kapolres juga menyampaikan salah satu tugas kepolisian dalam memberantas apa yang disebutnya “penyakit masyarakat”. Polisi punya satu operasi khusus untuk masalah ini yang diberi akronim “operasi pekat”—ya, polisi dan tentara memang hobi sekali membuat akronim. Dalam kamus kepolisian, Kapolres menyebutkan penyakit masyarakat itu meliputi perjudian, minum minuman keras, prostitusi, dan premanisme.

Kapolres juga menyinggung soal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat. Kapolres melaporkan kesiapan pihak kepolisian untuk mengamakan pelaksanaan UN. Kapolres kemudian melanjutkan bahwa bulan depan akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa desa di Kabupaten Sumenep. Dia meminta dukungan masyarakat untuk ikut mengamankan pelaksanaan Pilkades tersebut.

Yang menarik dari kehadiran rombongan Polres Sumenep ini adalah karena seusai Kapolres memaparkan beberapa hal tersebut di atas, dia memberi kesempatan kepada jamaah yang hadir untuk menyampaikan masukan atau pertanyaan. Menurut catatan saya, ada tiga penanya yang mengajukan pertanyaan kepada Kapolres. Penanya terakhir, K.H. M. Syafi’ie Anshari, sempat bolak-balik bertanya untuk meminta uraian lebih mendalam atas jawaban yang diberikan sebelumnya.

Semua pertanyaan mengarah pada kasus yang marak terjadi belakangan di masyarakat, termasuk di wilayah Guluk-Guluk, yakni pencurian, khususnya pencurian hewan dan kendaraan bermotor. Intinya, para penanya menginginkan adanya tindakan yang tegas dari aparat kepolisian. Malah Kiai Syafi’ie sempat menyampaikan kemungkinan perlunya terapi kejut ala Penembak Misterius yang sempat dilakukan Presiden Soeharto pada sekitar tahun 1983 hingga 1985. Penanya yang lain mengeluhkan soal modus pemerasan yang dilakukan pencuri hewan atau kendaraan bermotor. Kerap terjadi, hewan atau kendaraan yang hilang dapat dikembalikan bila si pemilik menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada pihak tertentu yang memiliki hubungan dengan si pencuri.

Jawaban Kapolres dalam pemahaman saya cenderung normatif dan datar. Kapolres mengajak masyarakat untuk ikut membantu penanganan kasus pencurian dengan cara memberikan laporan dan kesaksian bila ada kasus pencurian yang diketahui. Kapolres juga menyinggung bahwa saksi akan dilindungi—bahkan perlindungan saksi juga sudah diatur dalam undang-undang.

Mengenai modus uang tebusan, Kapolres menyampaikan bahwa saat ini di Polres Sumenep sudah ada kasus maling yang diproses secara hukum setelah ditangkap akibat memeras dengan modus seperti ini.

Kapolres juga mengingatkan agar jika ada masyarakat yang menemukan kasus pencurian, masyarakat diminta untuk membantu dengan menangkap si pelaku dan menyerahkannya pada aparat kepolisian. Kapolres mengingatkan agar masyarakat jangan sampai main hakim sendiri dengan membakar pelaku pencurian atau menganiaya.

Meskipun sesi dialog berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 30 menit, saya merasa kurang puas. Tentu saja, berbincang masalah pencurian hewan dan kendaraan saja membutuhkan waktu yang lama, karena masalah ini cukup rumit dan melibatkan banyak pihak.

Saya membayangkan, idealnya Polres Sumenep memiliki semacam visi penanganan yang lebih utuh dan menyeluruh untuk masalah ini. Saya sebenarnya berharap bahwa pada saat menghadapi beberapa pertanyaan jamaah tersebut, Kapolres akan menyampaikan visi penanganan yang menyeluruh itu, termasuk penjelasan yang bersifat praktis (how to) yang dapat menuntun warga untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan soal ini. Ternyata tidak. Kapolres hanya menjawab sebatas poin pertanyaan yang diajukan, tidak masuk lebih mendalam dan meluas secara lebih radikal.

Sebagai pendengar awam, di benak saya, misalnya, saya bertanya-tanya kenapa Kapolres menyampaikan bahwa menurut laporan, kondisi di Guluk-Guluk kondusif. Padahal, belum genap satu bulan di sebelah utara Masjid Jamik Annuqayah terjadi kasus pencurian sapi sebanyak 3 ekor. Belum genap sebulan pula, di kompleks PP Annuqayah terjadi kasus pencurian kendaraan bermotor. Saya sempat menyampaikan ini kepada santri yang duduk di sebelah, dan salah seorang peserta rombongan Polres yang tidak jauh dari saya menjawab, “Ya laporkan.”

Saya heran, apakah memang harus seperti itu? Artinya, polisi baru bergerak setelah ada laporan? Sependek pengetahuan saya, kasus pencurian seperti pencurian sapi itu bukanlah delik aduan. Jadi, sekali lagi, apa polisi baru akan bekerja jika ada warga yang melaporkan? Bagi saya, dalam kasus pencurian 3 ekor sapi di dekat Masjid Jamik Annuqayah itu, nyaris mustahil polisi tidak tahu kejadiannya karena lokasi kejadian hanya berjarak 650 meter dari kantor Kepolisian Sektor Guluk-Guluk. Jadi, jika polisi benar-benar tidak tahu, saya sungguh heran.

Masalah perlindungan saksi sempat ditegaskan dan ditanyakan lebih sekali oleh Kiai Syafi’ie yang tampaknya merasa kurang puas dengan jawaban Kapolres. Saya bisa memahami ketidakpuasan Kiai Syafi’ie, karena memang dalam situasi sosial masyarakat Madura, warga yang memberi kesaksian atas kasus pencurian sapi (bahkan mungkin juga keluarganya) akan diancam oleh si pencuri. Saya menangkap keraguan dan pertanyaan di benak Kiai Syafi’ie: sejauh mana polisi akan melindungi dan menjamin keselamatan saksi dan atau pelapor?

Saat dialog diakhiri pada pukul 13.23 WIB, paling tidak saya merasa senang melihat pihak kepolisian mau berbincang dan mendengar suara rakyat. Namun, karena sifatnya umum dan waktunya terbatas, saya punya harapan yang lebih. Saya berharap, suatu saat akan ada suatu pertemuan yang lebih fokus ke satu soal tertentu, misalnya masalah pencurian hewan dan kendaraan bermotor, yang memang belakangan cukup marak terjadi di lingkungan saya.

Dengan lebih fokus, mungkin saja polisi bisa menyusun satu rancangan yang lebih utuh dan jelas dalam membantu menyelesaikan nestapa masyarakat yang di tengah sulitnya kehidupan ekonomi mereka masih juga dihantui oleh tindak kejahatan pencurian. Jika masalah konkret seperti ini tak kunjung berusaha keras diatasi, artinya polisi tidak menunjukkan upaya serius dan menyeluruh untuk menyelesaikannya, saya cenderung berpikir bahwa kepercayaan masyarakat pada pihak kepolisian yang di mata saya saat ini cenderung rendah akan sangat sulit untuk dipulihkan.

Wallahualam.


Baca juga:
>> Surat Terbuka Untuk Pak Polisi

Read More..