Akhir-akhir ini telah banyak dibicarakan tentang bagaimana dalam beberapa tahun terakhir berkembang suatu jenis buku yang di pasar begitu laku: buku remaja. Buku-buku remaja ini, baik dalam format fiksi maupun nonfiksi, seakan menjadi sahabat baru yang begitu dirindukan oleh kalangan remaja dalam menjalani pergaulannya sehari-hari. Buku-buku yang ditulis oleh kalangan dewasa atau kaum remaja itu sendiri, terutama di kalangan remaja perkotaan, menjadi semacam asesori pergaulan baru yang tak boleh ditinggalkan. Alhasil, tak heran jika buku-buku tersebut cetak ulang berkali-kali, sehingga tak aneh bila kemudian banyak penerbit yang mulai masuk secara lebih serius menggarap segmen pasar ini.
Lalu bagaimana dengan buku anak? Sependek pengamatan saya hingga saat ini, genre buku anak di Indonesia masih belum berkembang pesat seperti halnya buku-buku remaja. Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa tidak cukup mudah untuk menemukan bahan-bahan bacaan yang menarik untuk anak. Kalaupun ada, mungkin kita akan menemukan buku-buku anak yang merupakan karya terjemahan, atau kalaupun itu bukan terjemahan, gaya penulisan dan pengemasannya kebanyakan cenderung bercorak konvensional.
Sebagai perbandingan, dalam kasus buku-buku remaja, sebenarnya buku-buku semacam itu memang berawal dari naskah-naskah terjemahan, baik fiksi maupun nonfiksi, diterbitkan oleh penerbit-penerbit yang relatif mapan, dengan konsep perwajahan yang menarik (seperti pada buku aslinya). Selanjutnya, karena terlihat mendapat respons positif dari pasar, banyak penerbit yang kemudian secara proaktif memburu naskah-naskah remaja melalui berbagai media, seperti dari ajang lomba atau naskah-naskah yang dipublikasikan sendiri di semacam situs pribadi penulisnya di internet.
Apakah “eksprimentasi” penerbit untuk terjun ke buku-buku anak memang hanya menunggu momentum atau ada persoalan lain? Patut dicatat, bahwa salah satu kunci sukses booming buku remaja mungkin adalah lantaran tingkat minat dan daya konsumsi kaum remaja kita yang cukup tinggi. Artinya, dorongan untuk membeli karya buku remaja dapat muncul dari si remaja itu sendiri—meski mungkin juga dipengaruhi oleh komunitas pergaulannya. Sementara itu, masih cukup sulit berharap bahwa anak-anak dapat berinisiatif secara langsung untuk membeli sebuah buku. Karena itu, jika kita merujuk pada definisi buku anak itu sendiri, yaitu buku yang dirancang secara khusus untuk menarik minat baca anak, baik itu nanti akan dibaca anak-anak itu sendiri ataupun dibacakan oleh orang lain, maka peran orang tua dan semacam institusi sekolah misalnya untuk mendorong daya konsumsi anak-anak terhadap buku akan sangat menentukan.
Apakah permasalahannya adalah soal sumber daya penulis? Sependek pengamatan saya, di Indonesia masih belum banyak—untuk tidak mengatakan tidak ada—penulis yang menseriusi buku anak-anak. Ini mungkin terkait dengan belum mapannya genre-genre buku di negeri ini; tidak seperti di Barat, yang tiap genre buku telah melahirkan penulis-penulis mapan dan berkelas. Jika mau berkaca pada kasus buku remaja yang diawali dengan suksesnya buku remaja terjemahan dan diikuti oleh banyak karya lokal, maka sebenarnya buku anak terjemahan di Indonesia juga sudah mengalami sukses, seperti Harry Potter karya JK Rowling atau seri Lima Sekawan dan yang lainnya karya Enid Blyton.
Bahan-bahan yang dapat diolah untuk buku-buku anak sebenarnya amatlah kaya. Materi dan tema buku untuk pasar anak-anak ini bisa berbentuk fiksi, puisi, biografi, juga sejarah, yang pada prinsipnya menggunakan gaya-gaya penulisan bertutur atau bercerita, dan dapat digali dari kisah-kisah fabel, legenda, mitos, cerita rakyat (yang biasanya banyak berkembang via tradisi lisan). Selain itu, seperti halnya yang terjadi di awal-awal perkembangan buku anak di Barat pada abad ke-14 yang sumber utamanya adalah Alkitab, para penulis lokal bisa mengolah kisah-kisah dalam kitab suci yang memang sangat banyak itu. Dengan keragaman khazanah kebudayaan masyarakat Indonesia yang begitu melimpah, maka sejatinya tak ada alasan untuk mengatakan bahwa bahan untuk buku-buku anak di Indonesia terbilang miskin.
Sebenarnya kita dapat menemukan beberapa contoh produk buku anak yang sudah terbit di Indonesia, seperti seri cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia, atau beberapa cerita yang bertolak dari legenda atau sejarah nasional dan puisi yang diterbitkan oleh kelompok Mizan. Tapi sepertinya produk-produk buku anak tersebut tidak cukup dirancang secara berkelanjutan dan dengan strategi penerbitan yang didalami secara khusus sehingga keberadaannya di pasar menjadi kurang berpengaruh dan kurang mendorong gairah penerbit-penerbit lainnya untuk ikut bergabung menyemarakkan genre ini.
Tentu saja eksprimentasi untuk menghadirkan buku-buku anak untuk masyarakat Indonesia tak boleh dihentikan—termasuk juga penerjemahan buku-buku anak bermutu ke bahasa Indonesia. Eksprimentasi harus terus diupayakan dengan mengeksplorasi berbagai bentuk penyajian yang sesuai dengan karakter dunia anak, seperti dengan lebih memanjakan unsur visual yang atraktif, menyisipkan sentuhan unsur-unsur permainan, atau gaya penyajian yang tidak terlalu kaku dan sangat ketat dengan aturan gramatika bahasa. Termasuk pula dengan terus memperluas tema sajian, seperti karya fiksi bertema fantasi (seperti Harry Potter atau The Lord of the Rings) atau sejarah, yang sejauh ini belum dicoba diterbitkan. Atau juga komik.
Masa anak-anak adalah salah satu masa saat kreativitas dan imajinasi begitu subur, sehingga jika dipupuk dengan bahan-bahan kepustakaan yang bermutu akan semakin mempertajam dan menghidupkan berbagai potensi kreatif anak. Sayang, jika energi kreatif anak-anak itu dibiarkan berkembang secara “alami”, tanpa ada upaya-upaya yang lebih sistematis dan lebih serius. Buku-buku anak ini juga akan sangat berguna untuk secara lebih dini menanamkan minat baca kepada anak serta untuk mengasah seluruh potensi kecerdasan anak.
Kamis, 21 Juli 2005
Buku Anak, Siapa yang Mau Peduli?
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 31 Juli 2005.
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)