Sabtu, 28 Juli 2018

Ternyata, Ada Pengurus Publik yang Tidak Melunasi Pajak Kendaraannya


Ternyata, sebagian pengurus publik tidak melunasi pajak kendaraannya. Kalau dalam Ilmu Logika, pernyataan ini termasuk proposisi partikular negatif. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan ini dapat termasuk kategori fakta. Saya tahu ini fakta dari sebuah tulisan yang saya baca pagi ini:

"Cerita buruk DPR sepertinya nggak ada matinye. Ada saja perilaku buruk anggota legislataif mulai dari hampir setiap waktu tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena korupsi sampai ditangkap polisi di jalan. Tidak ada habis-habisnya anggota DPR tertangkap karena korupsi. Cerita negatif kali ini anggota DPR tertangkap polisi lantaran ngemplang pajak kendaraan bermotor.

Tidak tanggung-tanggung, dia menunggak pajak selama dua tahun. Adalah anggota DPR dari Gerindra bernama Kardaya Warnika yang tertangkap basah ngemplang pajak. Anggota Komisi VII DPR itu terjaring razia karena tidak membayar pajak kendaraan bermotor. Dia ditangkap polisi di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur."


Ini adalah kutipan tajuk rencana Koran Jakarta hari ini, 28 Juli 2018 yang kebetulan saya baca. Isinya tentang anggota DPR yang tertangkap polisi karena kendaraan bermotornya tidak dilunasi pajaknya.

Sebagai murid Kiai M Faizi dalam hal urusan pemeriksaan pajak kendaraan bermotor melalui pemeriksaan plat nomor di situs Dinas Pendapatan Daerah, saya sudah sangat sering mendapatkan kendaraan bermotor (sering kali mobil-mobil yang tergolong menengah ke atas) yang tidak dilunasi pajaknya. Bahkan beberapa di antaranya saya ketahui mobil tersebut milik pengurus publik atau juga tokoh masyarakat.

Ya, tentu cerita saya ini tentang mobil yang lalu-lalang di sekitar wilayah yang biasa saya lintasi: Pamekasan-Sumenep khususnya. Kendaraan-kendaraan itu kebanyakan masih bisa saya cek status pajaknya melalui laman Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur. Kadang saya juga memeriksa pajak kendaraan bermotor di luar wilayah Jawa Timur yang juga bisa dilakukan dengan mudah di internet.

Tak hanya saat berjumpa di jalanan, saat menghadiri acara-acara umum baik di lembaga publik maupun acara lainnya saya kadang memeriksa nomor kendaraan yang saya temui. Tak mesti karena ingin tahu kelunasan pajaknya, tapi kadang hanya untuk mengetahui besaran pajak yang dibayarkan oleh si pemilik.

Pernah saat bersepeda motor saya berada di belakang sebuah mobil mewah yang nilai pajaknya lebih dari untuk membayar Mio J keluaran tahun 2014 yang saya kendarai. Saya dan mobil itu sama-sama terjebak macet di Pasar Keppo, Galis, Pamekasan. Saya tergoda untuk memfoto dan kemudian memeriksa pajaknya karena saya sudah pernah bertemu dengan mobil ini sebelumnya di sebuah acara. Oh, ternyata pajaknya tidak dibayar! Pada nomor kendaraannya, tahun pembayaran pajaknya saat itu ditutupi dengan bendera merah putih (untung tak ditambah stiker: NKRI Harga Mati!).

Kadang kalau ada berita kecelakaan di situs internet saya iseng juga memeriksa pajak mobil yang kecelakaan tersebut. Pernah ada berita iring-iringan mobil pejabat yang tabrakan beruntun. Situs Kompas mencantumkan nomor kendaraannya. Saya cek: eeeee salah satunya ternyata tak membayar pajak.

Pernah juga Addarori Ibnu Wardi beberapa tahun lalu memposkan gambar aparat berseragam cokelat yang sedang parkir dengan sepeda motornya (kalau tidak salah saat mengantar jamaah umroh atau haji). Saya cek nomor kendaraannya: eeeee motornya ada yang masih menunggak pajak.

Saat saya mengetahui bahwa secara rutin Pemerintah Provinsi Jawa Timur kerap punya program pemutihan pajak kendaraan bermotor, saya jadi berpikir: mungkin saja orang-orang yang suka telat (atau tidak melunasi) pajak kendaraan bermotor itu tahu tentang hal ini sehingga mereka menunda pembayaran pajaknya (ada yang hingga beberapa tahun lho). Kan lumayan untuk dibuat biaya cetak banner atau modal usaha lainnya. Apalagi mobil yang tak dibayar pajaknya itu sekelas Innova atau bahkan Alphard.

Saat keterbukaan informasi publik seperti sekarang ini semakin lebar karena akses internet yang semakin mudah, masyarakat di antaranya dapat mengambil manfaat untuk juga ikut serta melakukan evaluasi atas program pemerintah dalam hal pajak kendaraan bermotor. Mungkin saja pemilik kendaraan bermotor yang saya jumpai yang belum bayar pajak itu lupa, seperti cerita anggota DPR dalam tajuk rencana Koran Jakarta di atas. Dengan begitu kita bisa mengingatkan. Lain lagi jika kita menduga kuat bahwa lupanya tersebut terjadi secara sistematis. Mungkin yang seperti ini perlu perlakuan berbeda.

Oiya, terakhir, kalau mau tahu lebih jauh tentang cara memeriksa pajak kendaraan bermotor atau hal lain tentang tertib lalu-lintas, silakan hubungi Kiai M Faizi.


Read More..

Jumat, 27 Juli 2018

Refleksi Futuristik atas Sejarah Manusia


Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Yanto Musthofa, Penerbit Pustaka Alvabet, Jakarta, Juli 2017, 530 halaman, ISBN: 978-602-6577-17-7)

Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Damaring Tyas Wulandari Palar, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, September 2017, viii + 525 halaman, ISBN: 978-602-424-416-3)


Kita hidup di zaman yang terus berlari. Orang-orang menjalani hidup dengan bergegas sehingga banyak yang tak sempat untuk menyediakan waktu sela dan berefleksi.

Buku yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, profesor sejarah dari Hebrew University of Jerusalem, ini mendedahkan sejarah umat manusia (homo sapiens) sejak kemunculannya pada sekitar 200 ribu tahun yang lalu di Afrika Timur hingga kini. Meski cukup ringkas jika dilihat dari periode yang dipaparkan dan tebal buku yang disajikan, buku ini mampu mengantarkan pembacanya ke ruang jeda yang reflektif dan futuristik untuk melihat jejak panjang dari titik pijak yang tengah didiaminya saat ini. Kerangka reflektif yang tersirat secara cukup kuat merupakan salah satu keunggulan buku yang tersaji dengan gaya tutur yang lincah ini.

Kita tahu bahwa saat ini manusia telah menjadi penguasa bumi. Nasib bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya nyaris tergantung pada manusia. Padahal, pada 70 ribu tahun yang lalu manusia adalah binatang remeh yang tak punya kuasa apa-apa atas nasib bumi. Keberadaannya tidaklah signifikan—seperti ubur-ubur, simpanse, atau harimau.

Ini adalah pokok masalah yang dijawab buku ini di bagian awal. Dengan kilasan sejarah yang singkat dan padat, buku ini memulai dengan penjelasan tentang proses supremasi manusia atas makhluk lain di planet bumi. Harari menjelaskannya saat ia mulai menguraikan tiga periode revolusi penting dalam sejarah manusia, yaitu revolusi kognitif, revolusi pertanian, dan revolusi sains.

Revolusi kognitif adalah awal kebangkitan manusia menuju puncak kekuasaannya. Menurut Harari, revolusi kognitif ini terjadi pada sekitar 70 ribu tahun yang lalu saat manusia menemukan cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi. Mulai saat itu, manusia mampu menggunakan bahasa sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia.

Dengan keluwesannya, bahasa dengan fungsi baru itu mampu memerdekakan manusia dari kerangka makhluk biologis yang terbatas sehingga kemudian manusia mencatatkan dirinya sebagai makhluk yang menyejarah dan berbudaya. Revolusi kognitif mengunggulkan manusia menjadi binatang dengan kemampuan kerja sama secara fleksibel dalam level yang bersifat masif. Inilah kunci awal dominasi manusia di atas planet bumi.

Kerja sama dalam level masif ini dapat terjadi karena manusia mampu memunculkan dan hidup di dalam realitas yang dikhayalkan (entitas fiktif), tak hanya dalam dunia material yang berupa realitas objektif. Entitas fiktif ini—yang dapat berupa mitos, agama, negara, korporasi, konsep hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain—terbukti mampu menyatukan manusia untuk bergerak dalam satu landasan cerita dan norma tertentu.

Penemuan pertanian sekitar 10 ribu tahun yang lalu tidak hanya mengubah pola hidup nomaden menjadi kehidupan menetap. Revolusi pertanian mendorong ledakan populasi. Tapi kemelimpahan hasil makanan dari pertanian bagi Harari adalah perangkap kemewahan yang pada gilirannya menuntut manusia untuk bekerja lebih keras.

Revolusi pertanian pelan-pelan mengantarkan manusia pada penyatuan yang kini membuat dunia menjadi desa global. Harari mencatat tiga hal yang mempersatukan manusia, yaitu uang, imperium, dan agama. Uang berhasil menjadi dasar bagi tatanan moneter dunia. Imperium menyatukan beragam kelompok masyarakat dalam satu entitas politik tertentu yang terus berkembang dinamis. Agama mempertemukan orang-orang yang melimpahkan otoritas absolut pada Tuhan dan wakil-wakilnya di bumi untuk menjamin stabilitas sosial dalam kehidupan bersama.

Namun revolusi pertanian tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kedahsyatan dampak revolusi sains. Revolusi sains dimulai dengan “penemuan ketidaktahuan” sekitar 500 tahun yang lalu. Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan ini membuat sains modern menjadi lebih dinamis dan aktif untuk menjangkau hal-hal baru dibandingkan dengan tradisi pengetahuan sebelumnya. Dari rahim sains modern lalu lahirlah teknologi berbasis energi-energi baru.

Menurut Harari, revolusi sains yang sebenarnya baru terjadi saat sains beraliansi dengan agama dan atau ideologi, termasuk juga imperium atau otoritas politik. Dari sini muncullah imperialisme. Dari sini pula lahir kapitalisme yang mendorong berputar cepatnya roda-roda industri—juga konsumerisme.

Keberhasilan buku ini dalam mengurai titik-titik penting yang paling menentukan dalam perubahan sejarah kebudayaan manusia di antaranya tampak saat Harari menjelaskan titik mula dan dampak industrialisasi. Secara cerdik, Harari memberi gambaran pokok pergeseran dunia industri dengan mengangkat perubahan cara pandang manusia terhadap waktu. Harari menarasikan asal usul penggunaan jam sistem GMT (Greenwich Mean Time) secara global yang disusul dengan cara pemaknaan baru manusia pada waktu, adopsi cara pengaturan jam ala dunia industri oleh berbagai institusi seperti sekolah, dan juga dampak-dampak lanjutannya yang cukup revolusioner.

Berbagai hal yang lahir dari revolusi sains akhirnya mengantarkan banyak revolusi penting dalam kehidupan manusia sekarang. Saat ini, revolusi terjadi tidak dalam hitungan ribuan tahun. Berbagai penemuan baru dalam dua abad terakhir telah mengantarkan pada situasi-situasi tak terduga. Internet, misalnya, dengan aneka inovasinya, saat ini telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan dengan berbagai dampaknya sehingga sekarang kita tak bisa membayangkan dunia tanpa internet.

Di bagian akhir, Harari menggambarkan kehidupan manusia yang semakin maju saat manusia mulai menembus batas-batas biologisnya dan menerobos hukum seleksi alam. Yang menarik, dengan nada retoris Harari menyampaikan betapa berbahayanya kemampuan hebat hewan yang kini “nyaris menjadi Tuhan” ini jika ia senantiasa “tidak puas, tidak bertanggung jawab, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan”. Pada bagian ini, Harari tampak menunjukkan kepeduliannya pada dimensi etis sains dan teknologi dan kebutuhan akan nilai-nilai tertentu sebagai landasan orientasi masa depan.

Edisi terjemahan bahasa Indonesia dari buku yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa ini terbit dalam dua versi. Versi pertama diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada bulan Juli 2017 dengan penerjemah Yanto Musthofa dan editor Nunung Wiyati. Sedangkan versi kedua diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan September 2017 dengan penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar dan penyunting Andya Primanda.

Secara umum, dua versi terjemahan ini bisa dibilang sama bagusnya. Saya sendiri membaca utuh versi terjemahan yang terbit lebih awal. Namun, saat versi kedua terbit, saya juga membeli dan membaca secara acak pada bagian-bagian yang sebelumnya sudah saya tandai sebagai bagian yang penting atau menarik.

Pembacaan ini kemudian memberikan sedikit perbandingan bagi saya terkait aspek penerjemahannya. Sekilas, saya merasa bahwa terjemahan Yanto Musthofa yang diterbitkan Alvabet terasa lebih nyaman dan lebih lincah gaya tuturnya. Misalnya petikan terjemahan dari bagian buku yang menggambarkan cara pandang paradigma modern terhadap pengaturan waktu:

Permulaan yang sederhana ini melahirkan jaringan global jadwal, yang diselaraskan sampai ke bagian terkecil, detik. Ketika media siaran—pertama radio, kemudian televisi—mulai bercokol, mereka memasuki sebuah dunia jadwal dan menjadi pendorong utama dan juru dakwahnya (hlm. 421).

Versi terjemahan Damaring Tyas Wulandari Palar seperti berikut:

Awal yang sederhana itu melahirkan jejaring jadwal global, yang disinkronisasi sampai sepersekian detik. Ketika media siaran—pertama-tama radio, lantas televisi—muncul untuk pertama kali, mereka memasuki dunia jadwal dan menjadi penegak dan penyebar utamanya (hlm. 423).

Pilihan terjemahan versi Alvabet untuk menggunakan frasa “mulai bercokol” dan “juru dakwah”, bukannya “muncul untuk pertama kali” dan “penyebar utama” sebagaimana di versi KPG, terasa lebih nyaman dan lebih berisi muatan maknanya untuk sampai ke ruang pemahaman saya. Versi lengkap bahasa Inggrisnya—saya membaca versi terbitan Vintage—adalah sebagai berikut:

This modest beginning spawned a global network of timetables, synchronised down to the tiniest fractions of a second. When the broadcast media—first radio, then television—made their debut, they entered a worl of timetables and became its main enforcers and evangelists (hlm. 396).

Namun demikian, saya menemukan penerjemahan bagian tertentu di versi Alvabet yang terasa kurang pas. Pengalaman saya sebagai editor buku karya terjemahan dulu di Penerbit Serambi dan di Penerbit Bentang Pustaka menunjukkan bahwa jika terdapat kalimat atau frasa yang kurang berhasil dipahami sepenuhnya maka biasanya penerjemah atau editor akan memilih untuk menerjemahkannya secara literal. Ini yang saya temukan di versi terjemahan Alvabet.

Di halaman 6 misalnya di versi terjemahan Alvabet ada subjudul “Tulang Belulang dalam Kloset”. Dalam pemahaman saya, frasa ini tertangkap agak membingungkan dan kurang jelas maknanya. Ternyata, di versi bahasa Inggrisnya tertulis “Skeletons in the Closet” (hlm. 5), yang jika dicari di kamus bahasa Inggris akan ditemukan bahwa pengertian frasa tersebut adalah “rahasia yang tersimpan yang jika terbongkar akan mempermalukan pihak tertentu”. Di versi terjemahan KPG, teks tersebut diterjemahkan “Rahasia yang Tersimpan Rapat”.

Di bagian lain, kasus serupa saya temukan. Ini kutipan dari versi terjemahan Alvabet:

Jutaan tahun evolusi telah mendesain kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota-anggota komunitas. Hanya dalam waktu dua abad kita sudah menjadi individu-individu teralienasi. Tak ada yang memberi kesaksian lebih baik tentang hebatnya kekuatan kultur (hlm. 428).

Teks berbahasa Inggris untuk terjemahan tersebut adalah sebagai berikut:

Millions of years of evolution have designed us to live and think as community members. Within a mere two centuries we have become alienated individuals. Nothing testifies better to the awesome power of culture (hlm. 403-404).

Kalimat terakhir pada versi terjemahan Alvabet tampak kurang jelas gagasan pokok yang akan disampaikan. Penerjemahannya cenderung literal. Saat membaca versi terjemahan KPG, gagasan pokok kalimat tersebut jadi lebih mudah tertangkap.

Jutaan tahun evolusi telah membentuk kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota masyarakat. Dalam dua abad saja kita telah menjadi individu-individu teralienasi. Itulah bukti terbaik mengenai dahsyatnya kekuatan budaya (hlm. 431).

Buku yang edisi pertamanya terbit di Israel pada 2011 dengan judul Kitzur Toldot Ha’enoshut ini sangat penting dibaca untuk merefleksikan noktah kecil kehidupan kita dalam bentang sejarah semesta yang lebih luas.

Uraiannya yang kaya data, tajam, dan mengalir dalam alur dan cara tutur yang hidup mampu memberi pemaparan sederhana yang cukup jelas tentang bagian-bagian atau unsur-unsur paling menentukan hingga membentuk titik-titik perubahan penting dalam rentang sejarah manusia. Cara pembahasannya yang utuh meski singkat memberi pembaca perspektif yang baru, lebih padu, dan mencerahkan untuk memahami tantangan masa depan umat manusia.

Yang paling mendasar, pesan penting yang hendak disuarakan buku ini juga adalah perihal tantangan etis manusia dengan segala pencapaiannya saat ini yang bisa dibilang cukup luar biasa. Tantangan yang menunggu jawaban mendesak inilah yang menjadi salah satu kesimpulan reflektif pemaparan Harari dalam buku ini.


Tulisan ini dimuat di Karepe Dotkom, 17 Juli 2018.

Read More..

Senin, 16 Juli 2018

Orientasi Kependidikan untuk Guru


Memasuki awal tahun pelajaran baru di sekolah, insan pendidikan di Indonesia banyak menyorot kegiatan orientasi untuk siswa baru yang saat ini diberi nama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Masuknya unsur kekerasan yang ditengarai selalu muncul dalam kegiatan tersebut membuat pemerintah pada tahun 2016 mengeluarkan instruksi khusus untuk memformat ulang kegiatan rutin tahunan tersebut.

Selain kegiatan MPLS, sejak 2015 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi penekanan pada keterlibatan orangtua/wali untuk mendukung proses pendidikan di sekolah dengan mendorong mereka untuk mengantarkan anak-anak mereka pada hari pertama sekolah.

Di luar kedua hal tersebut, kita semua mengetahui bahwa kunci penting pendidikan di sekolah bagaimanapun terletak di tangan guru. Para guru itulah yang sehari-hari bersentuhan secara langsung dengan murid melalui pembelajaran di kelas, pergaulan di lingkungan sekolah, maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Mengingat posisi penting guru tersebut, pertanyaan yang menarik diangkat di awal tahun pelajaran adalah tidakkah penting kiranya bagi sekolah untuk menyegarkan orientasi kependidikan para guru melalui kegiatan khusus di awal tahun pelajaran.

Dalam tugas dan pengabdian mereka sehari-hari, para guru telah berjibaku dengan dinamika yang sangat beragam di kelas dan di sekolah sesuai dengan latar tempat, lingkungan sosial-budaya, dan karakter murid yang ada. Di luar sekolah, para guru juga bersentuhan dengan arus pergaulan sosial yang terus mengalami perubahan cepat. Media sosial dan internet pada umumnya yang dapat dilihat sebagai sumber belajar dan tempat aneka “teladan” perilaku saat ini menjadi aktor penting yang tak bisa diremehkan pengaruhnya bagi dunia pendidikan.

Dengan situasi dan tantangan yang sedemikian rupa, penyegaran orientasi kependidikan untuk guru sebenarnya adalah hal yang sangat penting dilakukan secara lebih tertata oleh sekolah. Bagaimanapun, kegiatan rutin mengajar yang juga ditambah dengan tugas administratif cukup rawan menumpulkan kepekaan para guru untuk melihat tantangan kontekstual masa kini dalam kaitannya dengan nilai dasar tugas keguruan dalam praksis pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

Jika ditilik secara mendalam, kata “orientasi” memiliki makna yang sangat mendasar dan penting. Dalam menjelaskan pengertian Etika atau Filsafat Moral, Franz Magnis-Suseno (1996: 13) memberikan gambaran makna “orientasi” dengan situasi yang dihadapi oleh seseorang yang sedang bepergian ke tempat yang asing untuk pertama kali. Bisa dibayangkan situasi kejiwaan orang tersebut: tiba sendiri di terminal tanpa tahu harus ikut angkutan yang mana untuk tiba ke tempat yang ditujunya. Sementara itu, calo-calo dan bahkan juga preman mengintai memanfaatkan kebingungan orang tersebut.

Gambaran ini memberikan pengertian makna orientasi yang sangat penting dan kontekstual. Melalui gambaran ini, kita dapat memahami bahwa orang yang kehilangan orientasi terancam tak akan mencapai apa yang menjadi tujuannya. Di samping itu, ada kemungkinan pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari situasi orang yang kehilangan orientasi dan dapat memicu masalah dan kerugian.

Siswa baru di sekolah mengikuti kegiatan orientasi karena dianggap mereka akan memasuki jenjang pendidikan dan lingkungan belajar baru. Jika siswa perlu mendapatkan orientasi sebelum memulai belajar di sekolah maka orientasi untuk guru sebenarnya juga sangatlah penting. Bahkan, meskipun bukan pertama kali mengajar, orientasi untuk guru di awal tahun pelajaran tetaplah penting.

Awal tahun pelajaran adalah momentum yang tepat untuk menyegarkan kembali visi kependidikan para guru terutama terkait peran yang sedang dimainkan mereka dalam kehidupan sosial. Visi ini perlu terus disegarkan seiring dengan situasi zaman yang berubah.

Hal yang paling penting digarisbawahi pada orientasi visi keguruan terkait dengan peran dan tugas guru. Jika peran guru hanya dilihat dalam kerangka yang sempit, maka kerja kependidikan berada dalam asumsi yang bersifat pinggiran. Padahal, pendidikan merupakan kerja peradaban yang maknanya sangat mendalam. Para guru adalah agen penting dalam perubahan dan kemajuan masyarakat. Pendidikan bukan hanya mengantarkan individu pada mobilitas vertikal, tapi juga mengantar masyarakat menyongsong kebangkitan dan kemajuannya sebagai komunitas atau bangsa.

Sejarah kebangsaan Indonesia menunjukkan bahwa tokoh-tokoh penting pendiri bangsa pernah mengabdi di dunia pendidikan sebagai guru. Perjumpaan langsung para guru dengan para generasi penerus bangsa yang intens setiap hari dapat mengilhamkan dan memberikan dorongan yang kuat untuk mengerahkan segenap daya dan kemampuan dalam kerangka pengabdian pada masyarakat dan bangsa.

Guru yang memiliki kerangka pikir yang lebih luas akan dapat membawa masalah-masalah dan tantangan aktual kebangsaan ke ruang pembelajaran baik sebagai materi maupun sebagai jangkar orientasi pembelajaran. Masalah-masalah seperti ancaman narkoba, virus radikalisme dan terorisme, eksploitasi alam yang mengabaikan keadilan, dan sebagainya adalah sekian masalah dan tantangan kebangsaan yang perlu direspons oleh dunia pendidikan khususnya para guru.

Dengan bekal orientasi yang segar dan pembacaan aktual atas visi kependidikan yang dilakoninya, diharapkan para guru dapat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi pembangunan kehidupan kebangsaan.


Tulisan ini adalah naskah awal artikel yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 16 Juli 2018.

Read More..

Minggu, 15 Juli 2018

Seni Hidup Berorientasi “Menjadi”


Judul buku: The Art of Living: Hidup Antara Memiliki dan Menjadi
Judul asli: The Essential Fromm (editor: Rainer Funk)
Penulis: Erich Fromm
Penerjemah: FX Dono Sunardi
Penerbit: Baca, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, Maret 2018
Tebal: xviii + 240 halaman
ISBN: 978-602-6486-14-1


Modernitas dengan semua perangkat pendukungnya cenderung mendorong manusia untuk hidup dengan menumpuk kepemilikan. Identitas dan kesadaran diri pun bahkan kemudian didefinisikan dalam kaitannya dengan sesuatu yang dimiliki.

Hidup dengan orientasi “memiliki” inilah yang oleh Erich Fromm disebut sebagai sumber masalah manusia modern. Keterasingan, keserakahan, dan krisis identitas adalah di antara dampak yang kemudian diderita oleh manusia modern.

Sumber menguatnya orientasi memiliki ini menurut Fromm adalah paradigma ekonomi pasar yang kapitalistik. Menurut paradigma ini, segala sesuatu dilihat sebagai komoditas. Sesuatu itu dipandang dari segi nilai tukar atau nilai jualnya, bukan lagi nilai guna. Yang memprihatinkan, karakter pemasaran ini tak hanya berlaku untuk benda-benda, tapi juga manusia.

Kala manusia dipandang sebagai komoditas, maka muncullah “pasar kepribadian”. Orang-orang, bahkan kemudian juga pranata sosial, berpikir dengan mengarahkan jalan hidupnya pada pembentukan kepribadian yang dibutuhkan pasar. Seorang wiraniaga, guru atau dosen, sekretaris, manajer hotel, dan juga profesi-profesi lainnya, atas dasar kriteria yang dibuat pasar kemudian kebanyakan secara tak sadar mengalami dirinya sebagai komoditas. “Orang tidak lagi menaruh perhatian pada hidup dan kebahagiaannya, tetapi pada bagaimana dia bisa laku dijual,” tulis Fromm.

Orang berburu kesuksesan dengan menyesuaikan diri menurut ukuran pasar. Orang-orang mencari nilai dalam konteks keterjualannya dan berdasarkan pengakuan orang lain (pasar). Inilah sumber penderitaan manusia modern.

Dalam paradigma modus eksistensi memiliki yang ditopang oleh kapitalisme, manusia modern banyak menempuh jalan sesat di berbagai aspek kehidupannya. Manusia modern, misalnya, digiring untuk berpikir bahwa dengan menumpuk barang dia akan dapat meraih kepuasan dan kebahagiaan. Namun konsumerisme yang kompulsif ini hanya menempatkannya dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan.

Produksi dibuat bukan lagi untuk konsumsi yang sehat. Karena itu pula, eksploitasi yang sering mengabaikan nilai kemanusiaan dianggap tidak masalah, bahkan didukung oleh perangkat-perangkat sosial.

Demikian pula, dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya, manusia di era industrialisme modern terjebak pada berhala-berhala baru. Religiositas yang humanistik yang bertolak dari kebutuhan eksistensial pada kerangka orientasi dan objek devosi sulit sekali mendapat tempat dalam sistem ekonomi pasar. Muncul paganisme baru berupa pemberhalaan manusia. Manusia merasa mahatahu, dan kemudian mengendalikan dan mengeksploitasi alam untuk menegaskan bahwa dirinya mahakuasa dan demi melayani kebutuhan sistem ekonomi pasar.

Saat ini modus eksistensi memiliki telah mewujud sebagai sikap dominan masyarakat dan bahkan telah menjadi karakter sosial. Dorongan untuk bersikap serakah, misalnya, diam-diam terbentuk secara sosial. Sebagai karakter sosial, manusia digerakkan untuk berpikir, bertindak, mengembangkan ambisi, meraih prestasi, merepresi perasaan, dan juga merespons dengan cara tertentu sesuai dengan tuntutan ekonomi pasar.

Dalam situasi ini, untuk meraih modus eksistensi “menjadi”, menurut Fromm dibutuhkan kehendak yang kuat, keberanian, dan juga nalar kritis untuk keluar dari cengkeraman karakter dominan tersebut.

Karakter eksistensi menjadi memberi tempat pada penghayatan makna bahwa hidup adalah sebuah proses dan menekankan pada upaya untuk selalu terhubung dengan dimensi batin manusia. Dengan cara ini, manusia didorong untuk tidak membangun pola relasi menguasai dan mengeksploitasi, tapi relasi yang didasarkan cinta.

Buku ini merupakan kliping pokok-pokok pikiran Fromm yang langsung dipetik dari karya-karyanya dan sumber-sumber lain yang di antaranya belum pernah diterbitkan. Kerja editor buku ini, Rainer Funk, sungguh luar biasa dalam memilah, mensistematisasi, dan menyajikan ide-ide jernih dan kritis Fromm secara runtut dan bernas dengan merujuk pada tulisan-tulisannya.

Buku ini menegaskan bahwa menjalani hidup itu harus dengan bekal sikap kritis. Buku ini memberikan pelajaran secara cukup terfokus tentang model bersikap kritis menjalani hidup di tengah berbagai problem hidup manusia modern yang salah orientasi.

Versi yang sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 15 Juli 2018.

Read More..

Minggu, 08 Juli 2018

Pelajaran Hidup tentang Melepas Belenggu Dendam


Judul buku: Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Memaafkan (101 Kisah tentang Mengikhlaskan untuk Membuat Hidup Lebih Baik)
Editor: Amy Newmark dan Anthony Anderson
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xviii + 486 halaman
ISBN: 978-602-03-7508-3


Hidup terus bergerak maju. Namun terkadang tanpa sadar seseorang tersandera di titik hitam tertentu akibat kemarahan, kebencian, atau dendam yang tak berkesudahan. Belenggu itu membuatnya membesar-besarkan masa lalu kelam yang sejatinya tidak seberapa penting. Dunia kemudian menjadi terasa menyempit, dan hidup pun kemudian menjadi pengap dan tak berkembang.

Buku ini menghimpun kisah orang-orang yang berhasil melepaskan belenggu dendam dengan berjuang mewujudkan kekuatan memaafkan. Kisah-kisah yang sarat pelajaran hidup dalam buku ini berhasil menunjukkan bahwa ternyata memaafkan itu dapat mengantarkan pada kebebasan dan membuat hidup lebih baik.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak relasi antar-manusia yang terjalin dengan intensitas yang berbeda-beda, mulai dari keluarga, tempat kerja, tetangga, dan yang lainnya. Setiap relasi menyimpan potensi masalah yang dapat menyulut kemarahan, kebencian, dan juga dendam.

Keluarga adalah salah satu ruang yang berpotensi memantik konflik. Kadang sifatnya cukup samar sehingga tak terasa secara langsung. Kadang konflik dalam relasi keluarga ditekan sehingga tak muncul ke permukaan. Namun, bagaimanapun, relasi yang tidak sehat itu dapat memicu perilaku buruk bawah sadar.

Ferida Wolff, salah satu kontributor dalam buku ini, berkisah tentang ayahnya yang perfeksionis. Pernah suatu kali saat usia sekolah ia mengerjakan pekerjaan rumah dengan ayahnya. Karena Wolff mengalami kesulitan dengan pelajaran matematika, ayahnya sempat mengeluarkan kata-kata yang menghunjam perasaannya. Sejak itu ia tidak pernah minta bantuan ayahnya lagi.

Kemarahannya pada orangtuanya karena telah menempatkannya dalam posisi selalu-menciut itu membuatnya minder. Bahkan, bertahun-tahun kemudian ia mengalami depresi setelah melahirkan. Pada saat itulah ia mendatangi konselor dan terungkaplah kemarahannya yang belum tuntas itu.

Saat itu ayahnya sudah lanjut usia. Wolff menemui ayahnya dan meminta maaf saat mereka berbincang tentang masa lalunya. Wolff terbebaskan. Ia juga membangun cinta yang lebih dalam dengan ayahnya. Lebih jauh, ia juga mendapatkan pelajaran tentang bagaimana seharusnya ia membesarkan anak-anaknya (hlm. 19-21).

Ada juga kisah tragis Diane Nichols yang dikhianati suaminya yang selingkuh. Saat perselingkuhan terungkap, suaminya menembak mati perempuan selingkuhannya sehingga sang suami diganjar hukuman penjara delapan belas tahun hingga seumur hidup.

Semenjak itu, hidup Nichols dengan kedua anaknya jadi kelam. Kepedihan hidup tak mampu disembuhkan oleh konseling yang ia jalani atau alkohol dan obat tidur yang dia konsumsi. Ia sampai berpikir tentang bunuh diri.

Tapi suatu malam dia mendapatkan pencerahan. Cara untuk menghentikan kepedihan adalah dengan memaafkan, pikirnya. Kesadaran untuk memaafkan, yang ia dapatkan dan wujudkan dengan penuh perjuangan, baginya adalah serupa mukjizat bagi anak-anaknya dan juga untuk dirinya sendiri. Ia membebaskan dari masa lalu, melepaskan semua kepedihan, dan membuka masa depan yang cerah (hlm. 165-169).

Kisah inspiratif lainnya adalah tentang Jean Morris yang menaruh dendam pada June Johnson gara-gara anaknya sering diserang secara emosional oleh June. Dendam membuatnya menghindar untuk bertemu. Karena June mengikuti kelas aerobik pagi, Jean mengikuti kelas sore.

Tapi Jean akhirnya malu sendiri karena ternyata anaknya hingga dewasa sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan emosional June. Dalam sebuah pembicaraan dengan anaknya bertahun-tahun kemudian, Jean tahu bahwa anaknya tidak ada masalah dengan perlakuan June. Saat itulah, Jean merasa bahwa ia selama ini terkungkung oleh perasaan dendamnya. Lalu muncullah kesadaran untuk memaafkan (hlm. 236-239).

Dalam kisah yang lain, memaafkan kadang tampak tak masuk akal. Tapi kekuatan dari dalam diri seseorang kadang sanggup menerobos dinding tebal yang menutupi pintu maaf itu. Kisah ImmaculĂ©e Ilibagiza, seorang penyintas Genosida Rwanda, yang memaafkan pembunuh keluarganya yang termasuk suku Tutsi mengejutkan banyak orang. Namun ImmaculĂ©e berkata: “Kebencian telah merenggut semua yang kucintai dariku. Hanya pengampunan yang tersisa yang bisa kutawarkan” (hlm. 334-338).

Kisah-kisah dalam buku ini memberi pelajaran penting bahwa kemarahan, kebencian, dan balas dendam, sebenarnya hanyalah akan menyakiti diri sendiri. Dengan memaafkan, hidup akan lebih berdaya dan bermanfaat. Namun penting dicatat bahwa kekuatan memaafkan yang dibicarakan dalam buku ini lebih dalam konteks kehidupan sehari-hari yang sifatnya sederhana dan bersifat personal, bukan dalam konteks politis yang lebih luas.

Meski begitu, buku ini tetap bernilai penting untuk disimak bersama. Buku ini tidak saja memberi pelajaran tentang perjuangan untuk move on dari pengalaman hidup yang pahit dan tak sesuai dengan harapan. Pada sisi terdalam, buku ini menegaskan bahwa memaafkan adalah ungkapan terdalam dari kekuatan cinta. Dan hidup yang dijalani dengan penuh cinta akan mengantarkan pada kebahagiaan, sedangkan hidup yang diliputi dengan kebencian hanya akan membiakkan kegundahan.

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 8 Juli 2018.


Read More..

Senin, 02 Juli 2018

Humor, Pertemuan Orang Madura dengan Gus Dur


Judul buku: Kelakar Madura buat Gus Dur
Penulis: H. Sujiwo Tejo
Penerbit: Imania, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 200 halaman


Kelakar telah mempertemukan Gus Dur dengan orang Madura. Sujiwo Tejo, dalang kelahiran Jember berdarah Madura, yang mempertemukannya dalam esai-esai yang terhimpun dalam buku ini.

Orang Madura dikenal dengan sifat keras kepala dan keluguannya. Sering juga tersirat kecerdikan dan kepandaian mengambil perspektif di balik dua sifat ini. Karakter khas orang Madura ini sering tampil dalam cerita sehari-hari yang penuh kelakar yang disampaikan dalam pembicaraan santai atau bahkan dalam penggung pengajian atau forum diskusi.

Banyak orang percaya bahwa humor memiliki kekuatan yang tak dapat disepelekan. Kumpulan esai Gus Dur di Majalah Tempo diterbitkan dengan judul Melawan Melalui Lelucon (2000). Gus Dur sendiri dalam esai pengantar untuk buku Mati Ketawa Cara Rusia menulis bahwa humor adalah “sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat”. Lebih jauh, humor bagi Gus Dur juga menjadi unsur penting dalam tradisi perlawanan budaya.

Sujiwo Tejo dalam buku ini menyajikan kisah-kisah orang Madura dengan latar saat Gus Dur aktif di dunia politik, khususnya saat menjabat sebagai Presiden RI yang keempat. Ada kisah Pak Sutawi, pedagang bekisar dari Sumenep, yang dalam kisahnya menyentil arah reformasi yang tidak jelas. Dia menyuruh sopir pribadinya untuk mencopot stiker “Hidup Reformasi!” di kaca mobilnya, dan menggantinya dengan poster Jennifer Lopez, lalu diberi tulisan: “Jangan cam-macam. Pantat dia saja diasuransikan. Apalagi mobil ini!”

Selain mengkritik reformasi yang “tak diasuransikan” sehingga jalannya tak keruan dan mengkhawatirkan, dalam kisah Pak Sutawi ada selingan kisah lucu. Di sebuah lampu merah di Malang, Pak Sutawi memprotes penjual foto presiden dan wakil presiden karena harganya sama. Menurut Pak Sutawi, mestinya foto wakil presiden harganya beda, karena kedudukannya beda.

Di bagian lain, Sujiwo Tejo juga terlihat menyelipkan pandangan orang Madura yang unik dalam salah satu esainya, yakni pandangan orang Madura tentang ayam. Sujiwo Tejo menulis bahwa alasan Gus Dur membiarkan kursi jabatan ketua Mahkamah Agung tetap kosong waktu itu adalah karena Gus Dur khawatir orang Madura bakal marah.

Apa hubungannya? Karena sebelumnya pernah ada rombongan demonstran yang mendemo Andi M. Ghalib, ketua Mahkamah Agung sebelumnya, dengan menghadiahinya ayam. Menurut Sujiwo Tejo, di mata orang Madura ini penghinaan terhadap martabat ayam. Apalagi hidup orang Madura menganut filsafat ayam, yaitu kar-karkar colpek. “Ibarat ayam, mereka mengais-ngaiskan cakar kakinya (kar-karkar) untuk menemukan yang masih bisa dimakan di antara sampah lalu mematuknya (colpek),” tulis Sujiwo Tejo.

Etos kerja keras orang Madura di antaranya bersumber dari filosofi ini sehingga tak heran orang Madura banyak yang hidup merantau. Di perantauan, mereka tak malu untuk bekerja sebagai pengumpul besi tua, penggali parit, tukang becak, tukang cukur, dan sebagainya.

Di salah satu esai, Sujiwo Tejo juga menulis terkait salah satu profesi yang melekat sebagai identitasnya: dalang. Saat membandingkan Gus Dur dengan Semar, Tejo menulis tentang wayang topeng Madura. Dalam wayang topeng Madura, hanya Semar yang bisa berbicara terlepas dari skenario dalang karena topeng Semar hanya tertutup di bagian separuh atas.

Tejo bercerita tentang sebuah lakon yang kacau karena dalangnya bercerita tentang Raja Mandura yang kalah perang. Penonton tidak terima. Tapi Semar menjadi penyelamat. Dia nyerocos di luar skenario.

Semar berbicara tentang konflik orang Madura di Sambas. Semar memberi kilasan singkat sejarah keberadaan dan konflik orang Madura di sana, meski kemudian pembicaraannya yang berhasil menenangkan penonton menjadi melantur.

Selain mengangkat dan mengemas aspek humor yang mengandung kearifan, unsur kritik dan perlawanan, serta kebersahajaan dan kecerdasan orang Madura, Sujiwo Tejo dalam 32 esai dalam buku ini juga banyak menyisipkan informasi menarik tentang Madura baik yang bersifat historis maupun antropologis. Ada tentang peran Wiraraja yang menolong Raden Wijaya sebelum kelak mendirikan Kerajaan Majapahit (yang oleh Tejo diletakkan dalam konteks “bakat” orang Madura untuk menjadi otonom dari sesuatu yang lebih besar), tentang Trunojoyo, dan tentang Sarifah Ambani (istri Cakraningrat) yang kemudian menjadi legenda Rato Ebu.

Ada banyak unsur antropologis Madura yang juga disebut dalam buku ini. Misalnya tentang kerupuk tangguk dari Kampung Pongkoran, Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan, canmacanan buatan Bersoka yang terkenal, orang Madura yang suka menggunakan gigi emas, dan banyak lagi yang lainnya.

Meski bagian-bagian yang bersifat historis maupun antropologis tersebut tidak disampaikan secara luas dan mendalam, seperti juga halnya unsur humornya yang bagi sebagian pembaca di beberapa bagian mungkin masih kurang terasa kental, buku ini merupakan khazanah budaya yang bernilai khususnya bagi masyarakat Madura. Paling tidak dari buku ini kita sebagai masyarakat Madura semakin tersadar bahwa ada banyak aspek menarik yang perlu digali dari kebudayaan Madura sebagai bagian dari kerja kebudayaan.

Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 1 Juli 2018.

Read More..