Sudah beberapa hari berlalu, tapi syair itu kadang masih berkelebat di pikiran saya.
Gagasan tentang perjalanan, masa depan yang gelap, kesendirian, dan keberpasrahan pada Kuasa Tuhan, buat saya sungguh menggetarkan. Adakah yang lebih menakutkan daripada ketidakpastian-dalam-kesendirian? Adakah yang lebih menakutkan selain perjalanan-dalam-kegelapan?
Telah begitu lama saya terbiasa berpikir dengan kepastian sebagaimana ditanamkan dalam paradigma sains positivistik—clear and distinct, dalam istilah RenĂ© Descartes—sehingga saya kadang terlupa dan seakan menampik fakta bahwa nyatanya pengetahuan saya memiliki batas yang tak pantas untuk terlalu dibanggakan. Apakah sebenarnya saya sedang berusaha mencari penghiburan dengan selalu berusaha percaya pada kepastian?
Kegelapan ini terasa mengurung saya dari ujung ke ujung. Sungguh saya merasa tak benar-benar tahu dengan pasti bagaimana semua ini bermula dan bagaimana akan berakhir—di mana, kapan, dan seterusnya.
Lalu mengapa puisi itu mempersandingkan kegelapan dan iman? Bukankah pada umumnya orang banyak menghubungkan iman dengan Pencerahan? “Go out into the darkness and put your hand into the Hand of God,” kata puisi itu.
Menurut saya, kegelapan adalah jalan yang senyatanya sedang saya tempuh. Dalam konteks ini, kegelapan mungkin adalah semacam simbol absurditas. Absurditas ini tampak dalam gagasan bahwa rasanya hidup terlalu pendek untuk saya untuk bisa merengkuh makna semua ini dengan purna—tujuan, keinginan, penyesalan, pemahaman, dan sebagainya. Di antara hasrat saya untuk mendapatkan kesempurnaan dan kepastian, saya berhadapan dengan fakta betapa rentang perjalanan-gelap saya hanyalah sepersekian sekon dari sejarah alam raya. Dengan kata lain, setetes air di antara samudera.
Dalam kependekan, kegelapan, dan kesendirian itu, rasanya iman memberi saya makna untuk sejengkal langkah yang mungkin sempat saya buat bersama semesta. Lebih dari itu, iman di perjalanan-dalam-kegelapan—bukan di jalan yang benderang—menantang saya untuk merespons makna dan implikasi kegelapan itu dengan baik. Justru karena saya bukanlah malaikat yang berjalan di atas rel dan rute yang pasti, saya tertantang untuk membuat rekam jejak yang indah—bukan hanya untuk saya, tapi jika mungkin bahkan untuk semesta.
Kini, saat saya berada di salah satu halte perjalanan ini, saya pun mereka-reka dan mencoba menyiapkan bekal untuk perjalanan berikutnya. Saya tidak tahu pasti apakah saat ini sedang pagi, siang, sore, atau sudah malam. Buat saya, perjalanan-dalam-kegelapan juga berarti bahwa saya bisa saja tertipu oleh petunjuk “waktu objektif”—ah, saya jadi teringat Henri Bergson. Seperti di kota tempat saya tinggal sekarang, Trondheim, Norwegia, tak mudah untuk membuat patokan waktu dari gelap dan terang, paling tidak untuk seorang yang berasal dari negeri tropis. Karena itu, perjalanan-dalam-kegelapan juga menuntut saya untuk memperlakukan setiap detik dengan harga yang pantas—pantas untuk sebuah absurditas.
Sambil menunggu waktu untuk meninggalkan halte ini, di antara berkemas, saya mencoba mengingat apakah saya masih punya lilin yang tersisa di ransel saya. Semoga lilin saya masih cukup untuk sisa perjalanan ini.
Terima kasih untuk Bang Mauritz Panggabean yang telah menginspirasi tulisan ini dan mempertemukan saya dengan syair Minnie Louise Haskins (1875-1957), “The Gate of the Year”, dan lukisan Theodor Severin Kittelsen (1857-1914), "Soria Moria". Gambar diambil dari Wikipedia.
Kamis, 10 Juni 2010
Perjalanan-dalam-Kegelapan
Label: Diary, European Adventures
Langganan:
Postingan (Atom)