Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah) - (Q., s. al-An‘am/6: 94)
Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Dalam menjalani kehidupannya, manusia seringkali membina kemitraan dengan orang lain, baik itu individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Kemitraan yang dijalin manusia dengan orang lain dilakukan dengan harapan agar dapat membantunya menemukan kehidupan yang lebih baik.
Untuk tujuan ini, bentuk kemitraan yang dilakukan manusia bisa juga berupa agama yang di antara ajarannya mendorong kecintaan pada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama. Di sisi lain, terkadang manusia juga percaya bahwa harta benda dapat menolongnya mengantar pada kehidupan yang bahagia.
Di manakah sebenarnya kita mesti meletakkan berbagai bentuk jalinan kemitraan yang kita bangun selama hidup di dunia? Apa maknanya semua itu jika pada akhirnya kita dipisahkan dari dunia ini oleh kematian?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dituturkan bahwa Nabi menjelaskan bahwa yang menyertai mayat ke alam akhirat itu hanya amalnya. Keluarga dan hartanya akan tetap di dunia. Catatan amal selama di dunia itulah yang akan menjadi perhitungan kelak di akhirat.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi menjelaskan bahwa amal manusia di dunia itu semuanya terputus bila ia sudah meninggal. Namun ada tiga amal yang masih akan menambah catatan amal kebaikannya meski ia sudah meninggal: sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakan orangtuanya.
Hadis ini kurang lebih memberikan penegasan untuk ayat 94 surat al-An‘am ini. Ayat ini menerangkan bahwa kelak manusia itu akan kembali kepada Allah (di hari kiamat) sebagai pribadi. Artinya, segala amal pada masa hidup seseorang akan dipertanggungjawabkan secara pribadi di hadapan Allah. Semua jalinan kemitraan, entah itu hubungan keluarga, keanggotaan sebuah organisasi, jabatan, dan harta benda, tak akan ada gunanya lagi di akhirat nanti. Suami atau istri, anak dan sanak keluarga yang lain, guru dan pembimbing spiritual, dan yang lainnya, tidak akan bisa membantu kita di akhirat nanti. Hanya amal kebaikan kita saja yang akan bisa mewujudkan kebahagiaan kita di akhirat.
Lebih jauh, al-Razi menulis bahwa ayat ini di antaranya menegaskan bahwa pada hakikatnya manusia itu bergerak dari alam yang sifatnya jasmani menuju alam rohani. Dari dunia menuju akhirat, pada akhirnya hanya amal kebajikanlah yang akan berharga—tidak lainnya. Karena itu, hal yang bersifat fisik-jasmani sejatinya hanya akan bernilai sejauh ia bisa membuahkan bekal kebajikan yang dapat dibawa ke akhirat nanti. Sungguh merugi jika hal-hal yang bersifat fisik-jasmani itu oleh manusia selama berada di dunia tidak dimanfaatkan untuk menghimpun bekal ke akhirat.
Mengingat akan wujud pertanggungjawaban pribadi di akhirat nanti sebagaimana digambarkan ayat ini, kita diingatkan untuk tidak tertipu dengan pesona kehidupan dunia. Bahwa berbagai macam hal yang tampak dapat melindungi kita saat ini dan membuat nyaman kehidupan kita sekarang ini bisa jadi kelak sama sekali tak ada nilainya.
Daftar Pustaka
Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf Annawawi, Riyadlus Shalihin, Alharamayn, t.t., 2005.
Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.
Esai ini dikutip dari buku Al-Qur'an al-Karim: The Wisdom (Penerbit Al-Mizan, Bandung, Mei 2014). Tentang proses kreatif penulisan esai ini, silakan baca tulisan ini.